Phandana Jataka

No. 475

PHANDANA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“O manusia yang berdiri,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di tepi sungai Rohiṇī, tentang suatu pertengkaran keluarga.

Situasi cerita ini akan dijelaskan secara lengkap di dalam Kuṇāla-Jātaka128.

Dalam kesempatan ini, Sang Guru menyapa sanak keluarganya, O raja, dan berkata :

____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, terdapat sebuah desa tukang kayu di luar kerajaan. Di dalam desa tersebut ada seorang tukang kayu brahmana, yang mata pencahariannya adalah membuat kereta kuda dari kayu yang diambilnya dalam hutan.

Waktu itu, ada sebuah pohon plassey129yang besar di daerah pegunungan Himalaya. [208] Seekor singa hitam biasa datang dan berbaring di bawah pohon ini di saat berburu mangsanya.

Suatu hari, angin yang kuat menghantam pohon ini, dan sebuah cabang pohon yang kering jatuh mengenai bahunya. Pukulan itu membuatnya merasa sakit, dan ia bangun dengan cepat karena takut dan lari. Kemudian ia melihat ke belakang, ke arah jalan yang dilewatinya, dan ia tidak melihat apa-apa, sehingga ia berpikir, “Tidak ada singa atau harimau atau yang lainnya yang mengejarku. Baiklah, menurutku, dewa pohon yang ada di sana tidak suka saya berbaring di sana. Saya akan mencari tahu kebenarannya.” Dengan berpikiran demikian, ia menjadi marah dan menghantam pohon tersebut, berteriak, “Saya tidak memakan sehelai daun pun dari pohonmu, saya juga tidak mematahkan satu cabang pohonmu. Anda bisa bersabar dengan hewan lain yang singgah di sini, tetapi tidak bisa denganku! Ada masalah apa denganku? Tunggulah beberapa hari lagi, saya akan mencabutmu sampai ke akar, saya akan membuatmu terpotong dalam bagian-bagian kecil!” Demikianlah ia mencaci maki dewa pohon tersebut dan kemudian pergi mencari seseorang.

Dikatakan sebelumnya pada waktu itu, tukang kayu brahmana tersebut bersama dengan dua atau tiga anggotanya naik gerobak kuda ke negeri tetangga mencari kayu untuk perdagangan kereta kudanya. Ia meninggalkan gerobaknya di satu tempat, kemudian dengan membawa kapak dan beliung di tangannya, ia pergi mencari pepohonan. Kebetulan ia berjalan mendekati pohon plassey tersebut. Singa itu yang melihat kedatangannya, pergi dan berdiri di bawah pohon tersebut karena ia berpikir, “Hari ini saya akan membalas dendam kepada musuhku!” Tetapi brahmana itu melihat ke arah lain dan menjauh dari pohon tersebut. “Saya akan berbicara kepadanya sebelum ia pergi jauh,” pikir singa, dan ia mengucapkan bait pertama berikut ini:

“O manusia, yang berdiri dengan memegang kapak,
berburu sesuatu di dalam area hutan ini,
Beritahu saya yang sebenarnya, pohon apa yang Anda cari?”

“Lo, suatu keajaiban!” kata laki-laki tersebut sewaktu mendengar sapaan dari singa tersebut, “Saya bersumpah, saya belum pernah mendengar seekor hewan yang dapat berbicara seperti manusia. [209] Pastinya ia mengetahui jenis kayu apa yang bagus untuk kereta kuda. Saya akan bertanya kepadanya.” Dengan berpikiran demikian, laki-laki tersebut mengucapkan bait kedua berikut ini:

“Menaiki bukit, menuruni lembah, menelusuri dataran,
seorang raja yang menguasai daerah hutan ini:
Beritahu saya dengan benar, pohon apa
yang bagus digunakan untuk membuat roda?”

Singa tersebut mendengar ini dan berkata dalam dirinya sendiri, “Sekarang saya dapat memenuhi keinginan hatiku!” kemudian ia mengucapkan bait ketiga berikut ini:

“Bukan pohon sala, akasia, bukan juga pohon telinga kelinci130,
atau semak belukar131 yang bagus;
Tetapi ada sebuah pohon yang dinamakan pohon plassey,
dan di sana Anda dapat membuat roda yang bagus dengannya.”

Laki-laki tersebut senang mendengar ini dan berpikir, “Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagiku masuk ke dalam hutan. Ada makhluk dalam wujud seekor hewan memberitahukanku tentang kayu apa yang bagus untuk membuat roda! Bagus sekali!” Maka ia bertanya lagi kepada singa dalam bait keempat berikut ini:

“Bagaimana bentuk dari dari daun pohon ini,
bagaimana bentuk batang pohonnya,
Beritahu saya dengan benar,
sehingga saya dapat mengenali pohon itu?”

Untuk menjawab ini, singa mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:

“Pohon ini memiliki cabang pohon yang terlihat menunduk,
membengkok, tetapi tidak patah:
Ini adalah pohon plassey,
dimana saya biasanya berteduh.

“Untuk jari-jari atau bingkai roda, tiang penyangga kereta,
atau roda, atau bagian apa saja,
Pohon plassey ini bagus bagimu
dalam membuat sebuah kereta.”

Setelah semua ini dikatakan, singa itu menepi dengan perasaan gembira di dalam hati. Pembuat kereta tersebut mulai menebang pohon itu. Kemudian dewa pohon yang tinggal di sana berpikir, “Saya tidak pernah menjatuhkan benda apapun kepada hewan tersebut. Ia marah tanpa alasan yang jelas, dan sekarang ia membuat tempat tinggalku dihancurkan, saya juga akan hancur. [210] Saya harus mencari cara untuk menghilangkan kebesarannya.”

Jadi dengan mengambil wujud seorang penebang kayu, dewa pohon itu mendatangi pembuat kereta tersebut dan berkata kepadanya, “Hai teman! Betapa bagusnya pohon yang sedang Anda tebang di sana! Apa yang akan Anda lakukan setelah menebangnya?”—“Membuat roda kereta.”—“Apa! Apakah ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa pohon ini bagus untuk membuat kereta?” “Ya, seekor singa hitam.”—“Bagus sekali, demikian yang dikatakan si singa hitam. Anda dapat membuat sebuah kereta yang bagus dengan menggunakan kayu dari pohon ini, katanya. Akan tetapi, saya beritahu Anda satu hal; jika Anda menguliti leher seekor singa hitam dan meletakkannya di sisi bagian luar daripada roda keretamu, seperti kain pelindung dari besi, selebar ukuran empat jari tangan, maka roda itu akan menjadi sangat kuat dan Anda bisa mendapat banyak keuntungan darinya.”—“Tetapi dimana saya bisa mendapatkan kulit dari singa hitam?”—“Betapa bodohnya dirimu! Pohon ini akan tetap berdiri dengan kokoh di sini, tidak akan pergi kemana-mana. Anda pergi cari singa yang telah memberitahumu tentang pohon ini, dan tanya padanya bagian pohon mana yang harus Anda potong, kemudian bawa ia kemari. Di saat ia tidak waspada dan sedang menunjuk ke sana kemari, tunggu sampai ia mengeluarkan cakarnya, baru Anda pukul ia dengan kapak tajammu, bunuh dirinya, ambil kulitnya, makan dagingnya, dan tebanglah pohon ini sesuka hatimu.” Demikianlah dewa pohon tersebut memuaskan kemurkaan dirinya.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini:

“Demikian yang dikatakan tentang pohon plassey ini
yang dapat mengabulkan keinginanmu:
‘Tetapi saya juga mempunyai sebuah pesan untukmu:
O Bhāradvāja, dengar ini!

“Dari bahu raja hewan buas tersebut,
ambil kulitnya selebar empat jari tangan ,
Dan letakkan di sisi luar roda karena
itu akan membuatnya menjadi sangat kuat.’

“Demikianlah dalam sekejap, pohon plassey itu,
untuk memuaskan kemarahannya,
Pada singa yang telah lahir dan belum lahir,
membawa kehancuran yang mengerikan.”

____________________
Tukang pembuat kereta itu yang mendengar arahan dari dewa pohon yang sedang menyamar tersebut, berseru: “Ah, ini adalah hari keberuntunganku!” Ia pun akhirnya membunuh singa tersebut, menebang pohon itu, dan pulang kembali.
____________________

[211] Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan mengucapkan:

“Demikianlah pohon plassey yang tidak cocok dengan hewan buas itu132,
dan hewan buas yang tidak cocok dengan pohon plassey,
Menimbukan kematian bagi masing-masing pihak
dengan perselisihan yang saling tidak dimengerti.

“Jadi, di antara manusia, dimana saja timbul suatu perselisihan atau pertengkaran,
Mereka, seperti hewan buas dan pohon tersebut sekarang ini, memotong burung merak yang bijak133.

“Saya beritahu ini kepada kalian,
bahwa di saat kalian berkumpul bersama,
Haruslah memiliki satu pandangan,
dan jangan bertengkar seperti yang dilakukan
oleh hewan buas dan pohon plassey itu.

“Belajarlah hidup damai dengan semua orang,
ini akan mendapat pujian dari orang bijak;
dan barang siapa Yang merasa senang dengan kedamaian dan keadilan,
ia pasti akan mencapai kedamaian di akhir.”

Setelah mendengar cerita tentang raja hutan ini, mereka akhirnya menjadi berdamai.
____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, saya adalah dewa pohon yang tinggal di dalam hutan, dan melihat semua kejadian itu.”

____________________

Catatan kaki :

128 No. 536.

129 phandana, adalah sebuah pohon yang sama jenisnya dengan palāpa, ’butea frondosa.’

130 Vatica Robusta: dinamakan demikian karena dilihat dari bentuk daunnya.

131 dhavo, atau Grislea Tomentosa.

132 Kata aslinya adalah iso, ‘Raja,’ misalnya untuk singa, raja dari hewan buas. Demikian yang tertulis di dalam teks Pali.

133 Para ahli menjelaskan bahwa manusia yang menunjukkan kehebatan dirinya di dalam sebuah pertengkaran, sama seperti burung merak yang memperlihatkan bagian pribadinya. Kemungkinan ini adalah sebuah kiasan di dalam No. 32.

Leave a Reply 0 comments