Mengenal Tahun Baru Imlek

 

imlek

 

 

MENGENAL TAHUN BARU IMLEK

Di kalangan rakyat Tiongkok, banyak terdapat riwayat tentang asal usul Tahun Baru Imlek. Salah satunya ialah, pada zaman purba, terdapat sejenis binatang galak yang bernama Nian. Pada malam terakhir setiap tahun, ia pergi ke setiap kampung dan keluarga, untuk makan manusia. Pada suatu malam, Nian pergi ke sebuah kampung untuk makan manusia lagi, tetapi kebetulan terdapat dua orang kanak-kanak yang sedang bermain cambuk, dan mengeluarkan bunyi yang menakjubkan. Nian setelah terdengar bunyi itu, sangat terkejut dan melarikan diri. Ia pergi ke sebuah kampung lagi, dan melihat sehelai baju merah yang digantung di depan pintu sebuah rumah. Ia berasa tidak nyaman dengan baju merah itu, dan secepat kilat ia melarikan diri. Kemudian ia pergi ke sebuah kampung lagi dan melihat ke dalam satu rumah, dalam rumah itu sangat terang, lalu Nian melarikan diri lagi. Sejak waktu itu, orang sudah tahu Nian takut pada bunyi, warna merah dan cahaya yang terang, dan telah mendapat banyak cara untuk menangkisnya, misalnya menyalakan petasan, menempel kuplet dan memasang lampu, dan ini secara beransur-ansur menjadi adat kebiasaan di tahun baru Imlek.

Kegiatan merayakan Tahun Baru Imlek dimulai sejak tanggal 23 bulan ke-12 tahun Imlek dan sampai 15 bulan pertama tahun kemudian, yaitu pesta Capgomeh, selama hampir sebulan. Dalam masa itu, terdapat banyak jenis kegiatan bagi merayakannya, termasuk dalam kehidupan sehari-hari, istiadat dan hiburan.

Ketika memasuki bulan 12 tahun Imlek, orang Tionghoa sudah mulai menyapu rumah secara besar-besaran. Namun pada malam terakhir tahun itu, setelah makan malam sampai keesokan harinya, menyapu lantai menjadi pantangan besar karena orang Tionghoa beranggapan bahwa mereka yang menyapu lantai pada waktu itu, dia akan mengalami kerugian uang.

Pada saat merayakan Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa yang tinggal di Tiongkok Utara maupun Selatan sangatlah mementingkan makanan. Pada malam terakhir setiap tahun, mereka harus makan dan minum bersama-sama, dan makanan juga bermacam-macam. Tetapi lauk ikan amatlah penting dan tidak boleh dihilangkan. Di Tiongkok Utara, pada malam itu, mereka harus makan Jiaozi atau dumpling dengan harapan, semoga bahagia dan kehidupan serba lancar dari tahun ke tahun. Di Tiongkok Selatan, mereka harus makan kue tahun baru agar kehidupan mereka semakin tahun semakin bahagia.

Waktu merayakan tahun baru Imlek, orang Tionghoa biasanya senang menempel dan menggantung kertas merah atau barang perhiasan yang dianggap bertuah di depan pintu, halaman, kamar tidur, dinding, jendela dan perabot supaya suasana menjadi meriah. Adat istiadat menempel kuplet, dewa pintu, lukisan tahun baru seperti itu adalah bertujuan agar tercapai harapan dan doa agar hidup serba lancar, panjang umur dan bahagia.

Adapun berbagai hiburan juga dilakukan dalam suasana perayaan tahun baru Imlek, seperti memasang petasan merupakan kebiasaan yang sangat popular, bertukar teka-teki, mengunjungi pesta di kuil-kuil dan menikmati kecantikan lampu tanglong, lampion. Kegiatan tersebut biasanya dimulai sebelum malam tahun baru hingga mencapai puncaknya pada pesta Capgomeh.

Kebiasaan dalam suasana Tahun Baru Imlek juga banyak. Paling popular adalah saling memberikan kartu tahun baru, saling memberi angpao dan mengucapkan “Selamat Tahun Baru Imlek”. Pada malam terakhir setiap tahun, setelah makan malam bersama, generasi muda mengucapkan “Selamat Tahun Baru” kepada generasi tua, dan generasi tua memberi angpao kepada anak-anak. Pada tanggal 1 bulan pertama tahun Imlek, orang memakai baju yang mewah dan cantik, mereka saling mengucapkan selamat tahun baru dan panjang umur kepada orang tua, kemudian berkunjung ke sanak keluarga dan kawan-kawan. Pada waktu itu, suasana hari raya sangat meriah dan akrab penuh rasa kebersamaan dan kekeluargaan.

Di antara jutaan orang Tionghoa yang ada di dunia ini, ternyata tidak banyak yang mengetahui sejarah dan asal usul Tahun Baru Imlek. Biasanya mereka hanya merayakannya dari tahun ke tahun bila kalender penanggalan Imlek telah menunjukan tanggal satu bulan satu. Jenis dan cara merayakannya pun bisa berbeda dari satu suku dengan yang lain.

Keterbatasan pengetahuan ini dikarenakan luasnya daratan Tiongkok dengan beraneka ragamnya kondisi alam, lingkungan secara geografis maupun demografis, belum lagi secara etnis. Ada yang dimulai dengan sembahyang kepada Tuhan Yang Mahaesa dan para Dewa, serta leluhur, ada pula yang dimulai dengan makan ronde, maupun kebiasaan-kebiasaan lain sebelum saling berkunjung ke sanak saudara sambil tidak lupa membagi-bagi angpau untuk anak-anak, yang tentu saja menerimanya dengan penuh kegembiraan.

Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh dua system kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem Bulan-Matahari, dimana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29½ hari. Penanggalan ini masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam. Pembagian musim ini terbukti amat berguna untuk para petani dalam menentukan saat tanam maupun saat panen.

Berikut beberapa contoh pembagian 24 musim tersebut:
– Permulaan musim semi
Hari pertama pada musim ini adalah hari pertama Perayaan Tahun Baru, atau saat dimulainya Perayaan Musim Semi (Chun Jie).
– Musim hujan
Saat hujan mulai turun.
– Musim serangga
Serangga mulai tampak setelah tidur panjangnya selama musim dingin.
– dll (Masih terdapat 21 musim lain yang terlalu panjang untuk dibahas satu persatu)

Selain pembagian musim di atas, dalam penanggalan Tionghoa juga dikenal istilah Tian Gan dan Di Zhi yang merupakan cara unik dalam membagi tahun-tahun dalam hitungan siklus 60 tahunan. Masih ada lagi hitungan siklus 12 tahunan, yang kita kenal dengan “Shio”, yaitu Tikus, Sapi, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi.

Kesimpulannya, penanggalan Tionghoa tidak hanya mengikuti satu sistem saja, melainkan juga ada beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu musim, lima unsur, angka langit, shio, dll. Walaupun demikian, semua perhitungan hari ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang baik, lengkap dan harmonis bahkan hampir bisa dikatakan sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah “Lun Gwe”, merupakan bulan untuk mengkoreksi setelah satu periode tertentu.

Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan sebuah perayaan besar bagi masyarakat Tionghoa. Menggantung lentera merah, membunyikan petasan dan menyembunyikan sapu adalah salah satu keunikan dari perayaan ini. Disamping itu, masyarakat Tionghoa juga akan mulai menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari perayaan ini

In Nian Kuaile (Bahagia di Tahun Baru), Guo Nian Hao (Selamat Menjalani Tahun Baru), Chunjie Kuaile (Bahagia di Musim Semi), Sincun Kionghi (Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru), Sincia Cuyi (Selamat Tahun Baru), Kiunghi Sinnyen (Selamat Tahun Baru) adalah serangkaian ucapan selamat menyambut Imlek dalam bahasa Mandarin, Hokkian, Tiociu, dan Hakka.

Mengapa di Indonesia hari raya ini disebut Tahun Baru Imlek? Tidak ada satu pun ucapan itu mengandung kata Imlek. Apa arti kata Imlek? Dari bahasa Mandarin-kah? Tidak! Kata Imlek berasal dari bahasa Hokkian Selatan, berarti “penanggalan bulan”. Jadi, kata Imlek sebenarnya mengacu nama penanggalan yang didasarkan perhitungan bulan (lunar), yang dalam bahasa Mandarin disebut yinli. Dengan demikian, istilah Tahun Baru Imlek berarti “Tahun Baru Menurut Penanggalan Bulan”.

Penduduk keturunan Tionghoa di Indonesia menggunakan kata Sincia “bulan 1 yang baru” dengan ucapan Sincun Kionghi “Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru” atau Kionghi berarti “Selamat”. Juga ada kata konyan yang berasal dari guo nian (bahasa Mandarin), berarti “melewati tahun yang baru”.

Di negara asalnya, Tiongkok, perayaan Imlek dinamakan Chunjie, berarti “Perayaan Musim Semi”. Kata Chunjie digunakan sejak Tiongkok merdeka. Sebelumnya digunakan istilah Yuandan, berarti pada pertama di tahun yang baru dimasuki. Tahun 1949 Pemerintah Tiongkok menetapkan nama Yuandan untuk Tahun Baru Internasional, 1 Januari, sedangkan Tahun Baru Imlek dinamakan Chunjie.

Upacara menyambut Tahun Baru Imlek adalah Toapekong Naik, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian) / bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24.

Kata toapekong bermakna “paman buyut” (saudara laki-laki buyut) dengan makna kiasan “dewa”. Biasanya dewa dianggap orang berusia tua. Toapekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau generasi di atasnya.

Pada tanggal 23 / 24 itu, Toapekong yang naik bukan sembarang dewa, tetapi dewa tertentu, yaitu Dewa Dapur bernama Zao Shen. Alias: Kakek Dapur, Raja Dapur, Komandan Dapur Timur, Komandan Kepala Keluarga, Dewa Pelindung Rumah, Dewa Penguasa Penentu Kebahagiaan. Mengingat nama-nama alias itu tidak jauh dari hal seputar rumah tangga, maka dewa ini dianggap sebagai dewa keluarga yang menentukan baik-buruknya nasib suatu keluarga. Di Indonesia Dewa Dapur juga disebut Cao Kun Kong.

Siapa sebetulnya Dewa Dapur ini, mengapa ia begitu dihormati sehingga diadakan upacara khusus, misi apa yang dijalankan? Ada yang mengatakan, ia adalah Kaisar Shen Nong yang mengajari manusia bercocok tanam. Ia pula yang menciptakan api. Dikarenakan jasanya yang besar, setelah wafat ia menjadi dewa yang bernama Zao Shen atau Dewa Dapur.

Misinya, memberi laporan kepada Mahadewa tentang hal baik dan buruk dari keluarga bersangkutan. Karena bersemayam di dapur -di salah satu sudut atau tempat di dapur- ia tahu semua perkara dalam keluarga itu. Di situlah seorang ibu mengomel, ngerumpi bersama ibu-ibu lain, tertawa, dan bercanda bersama anggota keluarga lain sambil mengerjakan urusan rumah tangga. Dewa Dapur yang ada di sana pasti mendengar semua perkataan dan mencatatnya. Tanggal 23 dan 24 Cap Ji Gwee atau bulan 12 adalah saatnya Dewa Dapur naik ke langit, melaporkan seluruh kejadian selama satu tahun kepada keluarga itu.

Agar Dewa Dapur hanya melaporkan hal yang baik, manusia mencari akal untuk menyenangkan hatinya. Bahkan, manusia sampai memikirkan agar dalam perjalanan menuju langit, kuda tunggangan sang dewa tidak kelaparan, dan hewan peliharaannya di dunia tidak mati kelaparan. Pada tanggal 23 dan 24 itu, rumah Dewa Dapur dibersihkan lalu diberi sesajen. Sesajen ini ada yang wajib; ada yang tidak wajib.

Sesajen wajib berupa permen yang manis, liat, dan lengket, manisan buah kundur yang dikenal sebagai tangkua atau tangkwe. Sesajen tidak wajib berupa roti goreng dan teh, yang merupakan bekal bila sang dewa merasa lapar dan haus. Rumput untuk bekal makanan kuda tunggangan sang dewa, sedangkan kulit tahu untuk ayam peliharaannya yang ditinggalkan di bumi.

Sesajen wajib harus manis supaya sang dewa hanya melaporkan hal-hal yang “manis”. Selain manis, juga harus liat dan lengket. Begitu mengulum permen, mulut sang dewa menjadi sulit dibuka sehingga tidak banyak bicara dan hanya tersenyum saja.

Dengan demikian, lengkaplah “perhatian” manusia dalam menghantar dewanya naik ke langit dengan menyimpan maksud tertentu di balik semua itu. Selain itu, pada rumah dewa dipasang bait berpasangan, kuplet atau duilian berbunyi “naik ke langit mengatakan hal yang baik, pulang ke rumah membawa keberuntungan”, atau “naik ke langit mengatakan hal yang baik, turun ke dunia menjaga perdamaian”.

Di desa Tai Xing, Provinsi Jiangsu, Tiongkok, penduduk desa percaya sebelum berangkat naik ke langit, Dewa Dapur menghitung jumlah sumpit di rumah tempat tinggalnya. Ketika turun ke bumi, rezeki yang dibawanya sesuai jumlah sumpit yang ada. Sebelum upacara sembahyang, kepala keluarga menambah jumlah sumpit dengan harapan pada saat turun ke bumi nanti, Dewa Dapur akan menambah rezeki mereka.

Bulan 12 berakhir pada tanggal 30. Bulan berikutnya adalah bulan 1 yang disebut Cia Gwee (bahasa Hokkian) / bulan Zheng (bahasa Mandarin). Malam terakhir di bulan 12 ini disebut chuxi, yang berarti “malam yang ditinggalkan”, maksudnya malam terakhir di tahun itu yang akan ditinggalkan dalam memasuki tahun baru. Malam itu merupakan malam paling baik, ramai, dan menyenangkan karena merupakan malam menyambut kedatangan hari pertama di tahun yang baru.

Ada tiga kegiatan penting pada malam itu. Sebelum acara makan malam bersama, kepala keluarga memasang petasan. Kemudian, pintu utama rumah ditutup dan disegel dengan kertas merah. Tujuannya, agar hawa dingin -karena saat itu musim dingin- tidak masuk ke rumah.

Kertas merah sebagai lambang uang, merupakan alat untuk menjaga kesejahteraan keluarga. Sesudah pintu ditutup, lalu dipasang perapian dengan tujuan mendapat hawa hangat selain mengusir hawa dingin.

Acara berikutnya, makan malam bersama dengan hidangan wajib berupa ikan. Di Indonesia, misalnya Jakarta, umum disajikan ikan bandeng. Kebiasaan ini mendapat pengaruh dari daerah Tiongkok Selatan. Di Tiongkok Utara ada kebiasaan makan jiaozi (penganan berbentuk pempek kapal selam mini, terbuat dari tepung khusus berisi daging dan sayur). Mengapa makan ikan, bukan binatang lainnya? Alasannya, ada pepatah berbunyi nian nian you yu “setiap tahun ada sisa”. Kata yu yang berarti “sisa” berbunyi sama dengan kata yu yang berarti “ikan”. Kesamaan bunyi itulah yang menyebabkan mengapa ikan menjadi hidangan wajib di malam tahun baru. Dengan makan ikan, berarti dalam segala hal ada sisa. Tentu saja yang dimaksud adalah kelebihan rezeki. Makanan wajib lainnya, kue keranjang yang disebut nian gao. Kata gao “kue” berbunyi sama dengan gao yang bermakna “tinggi”. Dengan makan kue keranjang, diharapkan rezeki seseorang setiap tahun bertambah tinggi. Buah jeruk menjadi lambang keberuntungan karena lafal kata jeruk dalam bahasa Mandarin – juzi – mirip ji yang berarti “keberuntungan”.

Saat makan malam itu, di Tiongkok ada kebiasaan memberi angpao kepada anak kecil. Kata angpao berasal dari bahasa Hokkian. Angpao atau hongbao dalam bahasa Mandarin bermakna “bungkusan merah”, tidak mengacu uang yang khusus diberikan pada tahun baru. Nama uang pemberian khusus di tahun baru disebut yasui qian, bermakna “uang penutup tahun”.

Selesai makan malam, seluruh anggota keluarga bercengkerama, main catur semalam suntuk sambil bermain petasan. Menjelang tengah malam petasan yang dibunyikan semakin banyak dan besar. Pada zaman dulu digunakan juga meriam buluh untuk memperoleh suara dentuman lebih keras lagi. Tujuannya, untuk mengusir setan dan hantu. Malam itu malam terakhir musim dingin yang berasosiasi dengan Yin yang menimbulkan hawa dingin, gelap tanpa sinar bulan sehingga banyak setan berkeliaran.

Keesokan harinya merupakan hari pertama tahun baru, sekaligus menandai dimulainya musim semi. Musim semi berasosiasi dengan Yang yang menimbulkan hawa hangat, tanda-tanda kehidupan dimulai lagi, seperti bunga mulai bermekaran. Malam itu merupakan malam untuk mengucapkan selamat tinggal pada tahun yang sudah dilalui dan menyambut tahun baru yang akan dijalani dengan penuh harapan

Selain penjelasan di atas, dari sumber lain disebutkan bahwa melacak sejarahnya, Imlek bukanlah perayaan keagamaan tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat Tiongkok. Di Tiongkok, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik dan Kristen. Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru.

Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi, yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Capgomeh. Tujuannya, tak lain sebagai syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, di samping untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Tiongkok, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, dipilih hidangan yang berasosiasi pada makna “kemakmuran”, “panjang umur”, “keselamatan”, atau “kebahagiaan” dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.

Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya, sebagai simbol harapan akan kehidupan yang lebih manis di tahun baru. Dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rejeki yang berlapis-lapis, kue mangkok dan kue keranjang. Bubur sangat dihindari sebagai hidangan di hari ini karena dianggap melambangkan kemiskinan.

Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rejeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.

Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dan, lima belas hari sesudah Imlek dilakukan suatu perayaan yang disebut dengan Capgomeh. Masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Capgomeh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
Selamat tahun baru Imlek….!!!

Sincun Kionghie…!!!

Gong Xi Fa Chai…!!!

Keterangan : Disarikan dari berbagai sumber.

 

 

Leave a Reply 0 comments