7. Penahbisan Maha Pajapati Gotami
Ketika itu Sang Buddha sedang bersemayam di Nigrodharama (Taman Banyan), Raja Suddhodhana telah mangkat. Permaisuri raja, yaitu Maha Pajapati Gotami, bibi Sang Buddha, bersama-sama dengan lima ratus isteri pangeran datang menemui Beliau dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, dan menagujukan permohonan : “Yang Mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diizinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Tanpa menjelaskan alasannya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata :
“Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Untuk kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.
Kemudian ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalanannya menuju Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada di Mahavana (Hutan Besar) di ruang Kutagara (Ruang Menara).
Ketika itu Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan lima ratus wanita suku Sakya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh air mata, berdiri dengan menangis di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang menangis dan mendengarkan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui Sang Buddha dan berkata : “Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. Izinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci.”
“Cukup Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata,” jawab Sang Buddha.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.
“Yang Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?”
Sang Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Mendengar jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha Sempurna dengan berkata : “Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Akhirnya, setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu berkata : “Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya dan tidak boleh dilanggar.”
Yang Mulia Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami, ia dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.
Dengan munculnya Sangha Bhikkhuni, Sang Buddha lalu menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang, dengan bersabda : “Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun.”
Sang Buddha menambahkan : “Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula di mana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, maka Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama.”
“Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.”
Pernyataan ini, tentu saja tidak begitu menyenangkan bagi para wanita, Sang Buddha tidaklah bermaksud untuk menghukum, tetapi memperhitungkan hal ini karena kelemahan fisik wanita itu sendiri.
Meskipun ada beberapa alasan yang masuk akal, Sang Buddha dengan berat hati mengizinkan wanita untuk ditahbiskan menjadi bhikkhuni, hal ini menunjukkan kebesaran hati Sang Buddha, dan merupakan yang pertama kali di dalam sejarah dunia ini, terbentuknya Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan selama hidupnya.