Sattubhasta Jataka

No. 402

SATTUBHASTA-JĀTAKA183

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Pikiranmu dalam keadaan bingung,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan ini ketika berada di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Ummaga-Jātaka184.
____________________

Dahulu kala seorang raja yang bernama Janaka memerintah di Benares. Kala itu, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, dan mereka memberinya nama Senaka.

Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila, dan sekembalinya dari sana, ia menjumpai raja.

Raja memberikannya kedudukan sebagai penasihat dan kejayaan yang besar. [342] Ia mengajari raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual.

Dikarenakan ia adalah seorang pemberi wejangan kebenaran yang menyenangkan, ia membuat raja kukuh dalam menjalankan lima latihan moralitas, pemberian derma, (melaksanakan) laku Uposatha, sepuluh cara berbuat benar, dan demikian membuatnya berada di jalan kebajikan.

Di seluruh kerajaan, hal ini terlihat seolah-olah seperti waktu kemunculan para Buddha. Di hari Uposatha pada pertengahan bulan, raja beserta para pangeran dan yang lainnya berkumpul bersama dan menghiasi tempat pertemuan. Bodhisatta mengajarkan hukum kebenaran dengan gaya seorang Buddha di ruangan yang telah dihias, di tengah-tengah tempat duduk yang dilapisi dengan kulit rusa, dan wejangannya sama seperti pembabaran para Buddha.

Kemudian ada seorang brahmana tua yang meminta derma dan mendapatkan uang seribu keping, meninggalkan uang itu kepada sebuah keluarga brahmana dan pergi lagi untuk mendapatkan derma. Ketika ia pergi, keluarga itu menghabiskan semua uangnya. Ia kembali dan ingin meminta kembali uangnya. Brahmana itu, yang tidak bisa mengembalikan uang tersebut kepadanya, memberikan putrinya sebagai istri.

Brahmana yang satunya lagi membawa putrinya dan membuat tempat tinggal di sebuah desa brahmana yang tidak jauh dari Benares. Dikarenakan usia mudanya, istrinya itu tidak terpuaskan dalam nafsu dan berzina dengan brahmana muda yang lain.

Ada enam belas hal yang tidak bisa terpuaskan, dan apa saja keenam belas hal tersebut?

Laut tidak terpuaskan dengan semua sungai, api tidak terpuaskan dengan minyak, raja tidak terpuaskan dengan kerajaannya, orang dungu tidak terpuaskan dengan perbuatan buruknya, seorang wanita tidak terpuaskan dengan tiga hal–hubungan intim, perhiasan dan melahirkan anak–, brahmana tidak terpuaskan dengan kitab suci, praktisi meditasi (jhana) tidak terpuaskan dengan pencapaian meditasinya, seorang sekha185 tidak terpuaskan dengan pengikisan, orang tidak terpuaskan dengan keinginan (kesederhanaan), orang yang penuh semangat tidak terpuaskan dengan tenaganya, orang yang suka berbicara tidak terpuaskan dengan pembicaraannya, orang bijaksana tidak terpuaskan dengan pengikutnya, umat yang yakin tidak terpuaskan dengan pelayanan yang diberikan kepada Saṅgha (Sangha), orang yang memberi tidak terpuaskan dengan pemberiannya, orang yang terpelajar tidak terpuaskan dengan pemaparan kebenaran (Dhamma), keempat jenis orang186 tidak terpuaskan dengan melihat Sang Buddha.

Jadi wanita brahmana tersebut [304], dikarenakan tidak puas dengan hubungan initim, ingin menyingkirkan suaminya agar dapat melakukan perbuatan buruk dengan leluasa.

Maka pada suatu hari dengan niat buruk di dalam dirinya, ia tidur berbaring. Ketika suaminya berkata, “Bagaimana keadaanmu, istriku?” Ia menjawab, “Brahmana, saya tidak sanggup mengerjakan pekerjaan rumahmu, carikan saya seorang pembantu.” “Istriku, saya tidak mempunyai uang, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya?” “Carilah uang dengan meminta-minta sedekah, dan kemudian dapatkanlah pembantu itu.” “Kalau begitu, Istriku, siapkanlah segala sesuatunya untuk perjalananku.” Istrinya mengisi tas kulit itu dengan makanan yang keras dan lunak, kemudian memberikan tas itu kepada suaminya.

Brahmana itu, dengan melewati berbagai perkampungan, kota kecil dan kota besar, mendapatkan tujuh ratus keping dan dengan berpikir, “Uang ini sudah cukup untuk membeli budak (pembantu), yang laki-laki dan wanita,” ia kembali ke tempat tinggalnya.

Di suatu tempat yang ada airnya, ia membuka tasnya dan memakan sedikit makanannya kemudian turun ke bawah untuk minum air tanpa menutup tasnya. Kemudian seekor ular hitam yang berada di sebuah pohon yang berlubang, mencium bau makanannya, masuk ke dalam tas itu dan berbaring dalam lilitannya memakan makanan itu.

Brahmana tersebut kembali, dan tanpa melihat isi tasnya, ia menyandangkannya di bahu dan pergi.

Kemudian sesosok dewa pohon, dengan duduk di batang pohon yang berlubang, berkata kepadanya di tengah jalan, “Brahmana, jika Anda berhenti di tengah jalan, Anda akan mati. Tetapi jika Anda pulang hari ini, istrimu yang akan mati,” dan kemudian menghilang.

Ia mencoba untuk melihat siapa itu tetapi tidak bisa, ia menjadi takut dan cemas dengan kematian, dan kemudian tiba di gerbang Kota Benares, menangis dan meratap.

Hari itu adalah hari Uposatha pada pertengahan bulan, hari pengajaran hukum kebenaran oleh Bodhisatta, yang duduk di tempat duduk yang telah dihias. Orang-orang dengan membawa wewangian, untaian bunga dan lain sebagainya datang berbondong-bondong untuk mendengarkan ajaran tersebut. Brahmana itu berkata, “Kalian hendak pergi ke mana?” dan dijawab, “Brahmana, hari ini, Yang Bijak Senaka mengajarkan hukum kebenaran dengan suara yang merdu dan kekuatan layaknya seorang Buddha, apakah Anda tidak tahu?” Ia berpikir, “Mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang pengajar yang bijak, dan saya sedang bermasalah dengan rasa takut akan kematian. Orang bijak [344] mampu menghilangkan kesedihan, bahkan yang sangat besar sekalipun. Adalah hal yang tepat bagiku untuk ikut pergi dan mendengarkan ajarannya juga.”

Maka ia pergi bersama mereka, ketika orang-orang dan raja yang berada di antara mereka telah duduk mengelilingi Bodhisatta, ia berdiri di bagian luar, tidak jauh dari tempat duduk ajaran itu, dengan tasnya yang tetap disandang di bahunya, tetap merasa takut akan kematian.

Bodhisatta membabarkan ajarannya, seolah-olah seperti menurunkan sungai surgawi atau minuman dewa187. Orang-orang menjadi bersukacita dan bertepuk tangan mendengarkan pengajarannya. Orang bijak itu memiliki kemampuan melihat yang jauh. Kala itu, Bodhisatta membuka mata dewanya dengan lima kecemerlangan, melihat kerumunan orang tersebut dengan teliti di setiap sisi, dan sewaktu melihat brahmana itu, ia berpikir, “Orang-orang di sini telah menjadi bersukacita mendengarkan ajaran dan bertepuk tangan, tetapi brahmana yang satu itu masih merasa sedih dan menangis. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan kesedihan di dalam dirinya. Seperti menyentuh karat dengan asam, atau membuat setetes air bergulir dari daun teratai, akan kuajarkan kebenaran kepadanya, untuk membuatnya terbebas dari kesedihan dan menjadi bahagia.”

Maka ia pun memanggilnya, “Brahmana, saya adalah Yang Bijak Senaka, sekarang saya akan membuatmu bebas dari kesedihan, bicaralah dengan berani,” dan demikian berbicara dengannya ia mengucapkan bait pertama berikut:—

Pikiranmu dalam keadaan bingung,
perasaanmu kacau,
air mata yang menetes dari matamu adalah buktinya;
Anda telah kehilangan apa,
atau apa yang ingin Anda peroleh dengan datang ke sini?
Berikan saya jawaban sederhana.

[345] Kemudian brahmana itu, untuk menjelaskan penyebab kesedihannya, mengucapkan bait kedua berikut:—

Jika saya pulang ke rumah,
istri saya akan mati,
Jika tidak pulang,
saya yang akan mati, kata yaksa;
Itulah pikiran yang menusuk diriku dengan kejamnya:
Jelaskanlah permasalahannya kepadaku, Senaka.

Bodhisatta, yang mendengar kata-kata brahmana itu, menebarkan jaring pengetahuan, seolah-olah seperti melempar jaring ke laut, dan berpikir, “Ada banyak penyebab kematian bagi manusia di dunia ini: sebagian mati tenggelam di dalam laut atau dimakan oleh ikan pemangsa, sebagian jatuh ke Sungai Gangga atau dimakan oleh buaya, sebagian jatuh dari pohon atau tertusuk oleh duri, sebagian terkena senjata yang beragam jenisnya, sebagian karena makan racun atau tergantung atau terjatuh dari tebing yang curam atau dingin yang amat sangat atau terserang oleh penyakit yang beragam jenisnya, demikian mereka meninggal. Sekarang, di antara begitu banyak penyebab kematian, manakah yang akan menyebabkan kematian bagi brahmana itu jika ia tetap berada di jalan hari ini, atau bagi istrinya jika ia pulang ke rumah?”

Selagi merenungkan ini, Bodhisatta melihat tas yang ada di bahu brahmana itu dan berpikir, “Pasti ada seekor ular yang telah masuk ke dalam tas itu, ia masuk ke dalamnya dikarenakan aroma makanan ketika brahmana ini menyantap sarapan paginya dan pergi untuk minum air tanpa menutup kembali tasnya. Sekembalinya dari minum air, brahmana ini pasti pergi setelah mengikat tasnya dan menyandangnya tanpa menyadari bahwa ada ular yang telah masuk ke dalamnya: [346] Jika ia tetap berada di jalan, ia akan berkata di malam harinya ketika beristirahat, ‘Saya akan makan sedikit makanan,’ dan sewaktu membuka tas itu, ia akan memasukkan tangannya ke dalam, kemudian ular itu akan menggigit tangannya dan menghancurkan hidupnya; inilah yang akan menjadi penyebab kematiannya jika ia tetap berada di jalan. Akan tetapi, jika ia pulang ke rumah, tasnya akan jatuh ke tangan istrinya dan ia akan berkata, ‘Saya akan melihat isi tas ini,’ dan sewaktu membuka tas dan memasukkan tangannya, ular itu akan menggigit tangannya dan menghancurkan hidupnya; inilah yang akan menjadi penyebab kematian istrinya jika ia pulang ke rumah hari ini.” Hal ini diketahui oleh Bodhisatta dengan pengetahuan kebijaksanaannya.

Kemudian terlintas dalam benaknya, “Ular itu pasti adalah seekor ular hitam yang berani dan tidak memiliki rasa takut; ketika tas itu mengenai bagian tubuh brahmana itu, ia tidak bergerak ataupun gemetar, ia tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya di tengah-tengah kericuhan yang demikian; oleh karena itu, ia pasti adalah seekor ular hitam yang berani dan tidak memiliki rasa takut.”

Dari pengetahuan kebijaksanaannya, ia mengetahui hal ini, seperti melihat dengan mata dewa. Maka seolah-olah seperti orang yang berdiri di sana sebelumnya dan melihat ular itu masuk ke dalam tasnya, memutuskan dengan pengetahuan kebijaksanaannya, Bodhisatta menjawab pertanyaan brahmana itu di tengah kerumunan orang banyak tersebut dengan mengucapkan bait ketiga berikut:—

Awalnya saya menghadapi banyak keraguan,
sekarang lidahku akan mengutarakan kebenaran;
Brahmana, di dalam tasmu yang berisikan makanan,
seekor ular telah masuk ke dalamnya tanpa disadari.

[347] Setelah berkata demikian, ia bertanya, “Wahai brahmana, apakah ada makanan di dalam tasmu itu?” “Ada, Yang Bijak Senaka.” “Apakah Anda memakan sedikit makananmu waktu sarapan tadi pagi?” “Ya.” “Di manakah Anda duduk sewaktu makan?” “Di dalam hutan, di bawah sebuah pohon.” “Ketika Anda makan dan kemudian turun minum air, apakah Anda ada mengikat tali tas itu terlebih dahulu?” “Tidak.” “Ketika Anda selesai minum air dan kembali, apakah Anda mengikat tasnya setelah melihat isinya terlebih dahulu?” “Saya mengikatnya tanpa melihat isinya.” “Wahai brahmana, menurutku, ketika Anda pergi minum air, ular itu masuk ke dalam tas dikarenakan aroma makanan tanpa sepengetahuanmu, itulah masalahnya; oleh sebab itu, letakkanlah tas Anda ke bawah, letakkan di tengah-tengah kerumunan dan buka talinya, bergerak mundur, dan dengan menggunakan sebatang kayu, pukul-pukul tas itu, kemudian ketika Anda melihat seekor ular hitam merayap keluar dengan tudungnya yang terbuka dan mendesis, Anda tidak akan memiliki keraguan lagi.” demikian ia mengucapkan bait keempat berikut:—

Ambillah sebatang kayu dan pukul tas itu,
ia adalah seekor makhluk dungu dan berlidah cabang;
Hilangkan keraguan pikiranmu;
Buka tas itu dan ular itu akan terlihat olehmu.

Brahmana itu, yang mendengar perkataan Sang Mahasatwa, melakukan apa yang dikatakannya meskipun merasa cemas dan takut. Ular itu keluar dari dalam tas ketika tudungnya terpukul oleh kayu, kemudian berdiri melihat ke kerumunan orang.
____________________

Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini, mengucapkan bait kelima berikut:

Ketakutan, memukul-mukul di tengah keramaian,
tali tas berisikan makanan itu dibukanya;
Dengan marah seekor ular merayap keluar,
tudungnya terbuka, dalam kesombongannya.

Ular itu keluar dengan tudung yang terbuka. Kejadian ini sesuai dengan perkiraan dari Bodhisatta sebagai Buddha Yang Mahatahu. Kerumunan orang tersebut kemudian mulai melambai-lambaikan kain dan menepuk tangan mereka ribuan kali, hujan tujuh batu permata sama seperti hujan dari awan tebal, teriakan kata ‘bagus’ terdengar dalam beratus-ratus ribu kali, dan suara ribut itu seperti membelah bumi.

Cara menjawab pertanyaan seperti ini dengan gaya seorang Buddha bukanlah kekuatan dari kelahiran atau kekuatan dari seseorang yang banyak hartanya atau dari keluarga yang tinggi kastanya. Kalau begitu, dari manakah kekuatan itu berasal? Dari kebijaksanaan: orang yang memiliki kebijaksanaan dapat meningkatkan pandangan terang, membuka pintu ke jalan utama, memasuki nibbana yang abadi, menembusi kesempurnaan dari ke-siswa-an, ke-Paccekabuddha-an dan ke-Buddha-an. Kebijaksanaan adalah yang terbaik di antara kualitas-kualitas yang menuntun ke nibbana yang abadi, kualitas-kualitas lainnya adalah pembantu kebijaksanaan: dan demikian dikatakan:—

‘Kebijaksanaan adalah yang terbaik,’
orang baik mengakuinya,
seperti bulan yang muncul di langit berbintang;
Moralitas, kekayaan, kebenaran
adalah pembantu dari kebijaksanaan.

____________________

Ketika pertanyaannya telah dijawab oleh Bodhisatta, seorang pawang ular mengikat mulut ular tersebut, kemudian menangkap dan membebaskannya kembali di dalam hutan.

Brahmana itu, yang menghampiri raja, memberi salam dan penghormatan kepadanya, dan untuk memujinya, mengucapkan setengah bait berikut:—

Bagus sekali, Raja Jenaka,
pencapaianmu, bertemu dengan Yang Bijak Senaka.

[349] Kemudian ia mengambil tujuh ratus keping itu dari tasnya dan, untuk memberi pujian kepada Bodhisatta, ia mengucapkan satu setengah bait berikut, dengan niat untuk memberikan hadiah dalam kebahagiaannya:—

Kebijaksanaanmu luar biasa, wahai brahmana;
Penutup adalah suatu benda yang sia-sia
bagi kedua mata jelimu itu.

Lihatlah uang tujuh ratus keping ini,
ambillah semua, kuberikan uang ini kepadamu;
Saya berhutang nyawa kepada Anda,
dan juga kesejahteraan hidup istriku.

Mendengar perkataannya, Bodhisatta mengucapkan bait kedelapan berikut:—

Untuk melafalkan syair,
orang bijaksana tidak menerima bayaran;
Sebaliknya biarkanlah kami yang memberi kepadamu,
bawalah itu pulang ke rumah.

Setelah berkata demikian, Bodhisatta memerintahkan pengawal untuk menyiapkan uang seribu keping dan memberikannya kepada brahmana tersebut.

Ia kemudian bertanya kepada brahmana tersebut, “Siapa yang menyuruh Anda untuk meminta-minta sedekah?” “Istriku.” [350] “Apakah istrimu sudah tua atau masih muda?” “Masih muda.” “Kalau begitu, ia pasti melakukan sesuatu yang buruk dengan laki-laki lain: ia menyuruhmu pergi karena berpikir dapat melakukan hal itu dengan leluasa. Jika Anda membawa uang ini kembali ke rumah, maka ia akan memberikannya kepada kekasihnya–uang yang telah Anda kumpulkan dengan jerih payah; oleh karenanya, Anda tidak boleh langsung pulang ke rumah, melainkan terlebih dahulu meninggalkan uang itu di luar kota di dalam akar pohon atau tempat lainnya,” demikian ia menyuruhnya pergi.

Brahmana itu, yang berjalan mendekati desanya, meninggalkan uang itu di bawah akar pohon dan pulang ke rumahnya pada petang hari. Waktu itu, istrinya sedang duduk bersama dengan kekasihnya. Brahmana itu berdiri di pintu dan berkata, “Istriku.” Istrinya mengenali suaranya dan, setelah mematikan lampu, membuka pintunya. Ketika brahmana itu masuk, ia membawa kekasihnya keluar melalui pintu itu: Kemudian setelah masuk kembali dan ketika tidak melihat apa pun di dalam tasnya, sang istri berkata, “Brahmana, apa saja yang telah Anda dapatkan di dalam perjalananmu?” “Uang seribu keping.” “Di mana uangnya?” “Ada di tempat anu: jangan khawatir, kita akan mengambilnya besok.” Istrinya pergi memberi tahu kekasihnya, dan kekasihnya itu pergi mengambilnya seakan-akan itu adalah harta miliknya sendiri.

Keesokan harinya, brahmana itu pergi ke tempat tersebut, dan ketika tidak menemukan uangnya, ia mendatangi Bodhisatta, yang berkata, “Ada masalah apa, Brahmana?” “Saya tidak menemukan uangku lagi, wahai Yang Bijak Senaka.” “Apakah Anda memberitahukan ini kepada istrimu?” “Ya.” Mengetahui bahwa istrinya telah memberi tahu kekasihnya, Bodhisatta bertanya, “Brahmana, apakah ada seorang brahmana yang merupakan teman istrimu?” “Ada.” “Apakah ada seorang brahmana yang merupakan temanmu?” “Ada, wahai Yang Bijak Senaka.”

Kemudian Sang Mahasatwa memberikan biaya selama tujuh hari kepadanya dan berkata, “Pergilah, kalian berdua harus mengundang dan menjamu empat belas orang brahmana di hari pertama, tujuh brahmana dari temanmu dan tujuh lagi dari teman istrimu: mulai dari keesokan harinya, kurangkanlah satu orang setiap harinya sampai pada hari ketujuh di saat Anda mengundang satu brahmana dan istrimu juga mengundang satu brahmana. Kemudian jika Anda perhatikan bahwa brahmana yang diundang oleh istrimu pada hari ketujuh adalah orang yang selalu datang setiap harinya, beri tahu saya.” [351] Brahmana itu pun melakukan sesuai petunjuknya, dan memberitahukan Bodhisatta, “Wahai Yang Bijak, saya telah memerhatikan brahmana yang selalu menjadi tamu kami.”

Bodhisatta mengutus pengawal pergi dengannya untuk membawa brahmana yang disebutkannya itu dan bertanya kepadanya, “Apakah Anda mengambil uang seribu keping kepunyaan brahmana ini dari bawah pohon anu?” “Tidak, Yang Bijak Senaka.” “Anda tidak tahu saya adalah Yang Bijak Senaka; saya akan membuatmu mengembalikan uang itu.” Ia menjadi takut dan mengaku, dengan berkata, “Saya mengambilnya.” “Apa yang Anda lakukan dengan uang itu?” “Saya meletakkannya di tempat anu, wahai Yang Bijak.” Bodhisatta bertanya kepada brahmana yang pertama, “Brahmana, apakah Anda tetap memilih istrimu atau mencari yang lain?” “Biarkan saya tetap menjaganya, Yang Bijak Senaka.”

Bodhisatta mengutus pengawal untuk menjemput istri dan uang tersebut, dan mengembalikan uang itu dari tangan sang pencuri. Ia memberikan hukuman kepadanya, mengusirnya dari kerajaan, menghukum istrinya juga, dan memberikan kehormatan yang besar kepada sang brahmana, dengan membuatnya tinggal di dekatnya.
____________________

Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, banyak orang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, brahmana adalah Ānanda, dewa pohon adalah Sāriputta, kerumunan orang adalah para siswa Buddha, dan Yang Bijak Senaka adalah saya sendiri.”

____________________

Catatan kaki :

183 Lihat Folk-lore Journal, IV. 175, Tibetan Tales, VIII.

184 No. 546, Vol. VI.

185 seorang ariya yang belum mencapai kearahatan; yang sedang berlatih.

186 Bhikkhu, Bhikkhuni, Upasaka dan Upasika.

187 amata: minuman para dewa; ambrosia.

Leave a Reply 0 comments