Sumber – Sumber

SUMBER – SUMBER

226. Semua agama memiliki kumpulan naskah suci, buku atau buku-buku yang dipercayai memiliki kewenangan dan yang menjadi dasar kepercayaan. Pada umumnya dinyatakan, bahwa naskah itu berdasarkan wahyu (anussava), yang adalah kata-kata dari Tuhan atau Dewa dari masing-masing agama dan oleh karenanya dianggap sempurna dan memiliki kekuasaan penuh. Sang Buddha mengajarkan, bahwa agama yang didasarkan pada naskah-naskah berdasar wahyu tidaklah cukup (anassasikam)1, karena beberapa alasan.

227. Masalah pertama dari wahyu adalah ada demikian banyak agama, semuanya menyatakan naskah-suci mereka adalah kata-kata dari Tuhan, tetapi semua naskah berisi ajaran dan pemahaman yang berbeda. Tentu saja, tidaklah mungkin, bahwa semuanya adalah wahyu yang sejati dan masalahnya ialah kita tidak memiliki metode untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Masalah ke dua dari wahyu adalah adanya kecenderungan bersikap terlalu “membuku”, semuanya dirujuk ke buku. Mereka yang kepercayaannya disandarkan pada yang disebut naskah berdasar wahyu cenderung menghabiskan waktu memperdebatkannya kata demi kata, ayat demi ayat, sebab semua naskah dapat ditafsirkan bermacam-macam, mereka terlibat dalam perdebatan tentang ‘yang mana adalah’ dan ‘yang mana bukanlah’ tafsiran yang benar. Agama-agama berdasarkan wahyu cenderung terlalu memperhatikan buku-buku, sehingga mengabaikan penelitian oleh diri sendiri yang cermat dan pada pertumbuhan nilai spiritual sejati. Masalah ke tiga yang membuat kita ragu pada pernyataan-pernyataan agama yang berdasar wahyu, adalah seperti yang diutarakan dengan sangat baik oleh Ananda. Beliau berkata:

Beberapa guru, yang adalah penganut tradisi berpegang pada kebenaran wahyu dan mengajarkan hal-hal yang berdasarkan wahyu, berdasar apa yang telah diwariskan oleh kekuasaan kitab-suci. Sekarang, para guru itu mungkin mempunyai daya-ingat yang baik pada wahyu, mungkin juga mempunyai daya-ingat yang tidak baik pada wahyu; dan pada keadaan ini bisa benar dan bisa pula salah. Orang yang berakal-budi dengan merenungkan kenyataan ini, dan setelah merenungkannya, dia akan melihat bahwa agama seperti itu tidaklah memadai dan dengan demikian akan tidak tertarik dan meninggalkannya.2

Walau “Tuhan” menyampaikan wahyu itu lewat nabi, juga tidak ada cara untuk dapat memastikan sepenuhnya, apakah nabi itu telah mendengarkan dan mengerti wahyu itu dengan tepat atau tidak. Walau didengarkan dan dimengerti dengan baik sekali pun, maka wahyu itu dapat saja tidak direkam dengan baik untuk pewarisannya kemudian. Dan memang pada kenyataannya, banyak naskah-naskah suci dari beberapa agama memiliki versi-versi yang berbeda dan beberapa bagian telah dikurangi atau ditambah, yang karenanya telah membuat kita ragu pada keasliannya.
228. Agama Buddha tidak menghadapi masalah-masalah seperti ini, karena tidak ada pernyataan yang mengatakan bahwa naskah-naskah suci adalah wahyu. Sebaliknya, naskah agama Buddha adalah penyampaian seorang manusia, yakni Sang Buddha, juga direkam oleh manusia. Demi keselamatan, penganut agama lain mampercayai segala sesuatu yang ada di naskah-suci, sedangkan seorang Buddhis harus mengerti dan memahaminya sendiri, naskah-suci hanyalah sarana untuk melaksanakan hal ini. Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam salah satu khotbah-Nya yang sangat terkenal, Khotbah pada suku Kalama (Kalama Sutta):

Janganlah bertindak hanya atas dasar kekuasaan kitab-suci (pitaka sampada) …. tapi bila engkau mengetahui sendiri: “Hal-hal ini adalah baik, hal-hal ini tidak akan dipersalahkan, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilaksanakan serta diikuti, membawa kebajikan dan kebahagiaan,” maka ikuti dan mantaplah dengannya.3

Untuk agama lain, hal yang sangat penting adalah siapa yang mengucapkan naskah-suci itu, tapi bagi seorang Buddhis hal yang paling penting adalah apa yang diucapkan, dan apakah itu tepat dan berfaedah. Bila kita membaca sabda-sabda Sang Buddha, kita hendaknya membiarkan sabda-sabda itu menyarankan pemahaman bagi kita, kita merenungkan pemahamannya, mengerti dan membandingkannya dengan pengalaman sendiri.

229. Pula, umat Buddha tidak menyatakan kebenaran mutlak dari naskah-suci mereka dan memandang kitab-suci yang lain sebagai hal yang berbahaya. Seorang Buddhis dengan gembira dapat mengetahui nilai spiritual dari literatur suci lain dan darinya dapat menambah wawasannya sebab perhatian utama umat Buddha tidak pada pertahanan dan memperteguh dogma, tapi mengetahui kebenaran.

Walau demikan, nasehat dan petunjuk yang disampaikan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha dan kebijaksanaan yang dikandungnya, hendaknya diberi penghormatan yang layak. Sering sebelum menyampaikan suatu khotbah, Beliau berkata pada orang yang berkumpul untuk mendengarkan-Nya:

Dengarkan baik-baik, perhatikanlah dan Saya akan berbicara.4

Demikian pula hendaknya kita pada saat ini bila membaca khotbah-khotbah Beliau, penuh perhatian dan bersikap terbuka. Sang Buddha mendorong agar semua murid-Nya terbiasa dengan ajaran-Nya. Beliau berkata:

Beginilah hendaknya engkau melatih dirimu: Khotbah-khotbah yang diajarkan oleh Yang Mulia – dalam, mendasar, amat luhur – dari waktu ke waktu, kita akan melewatkan hari-hari kita untuk mempelajarinya.” Dengan cara inilah hendaknya engkau melatih dirimu.5

230. Dimasa-masa awal agama Buddha, seperti diketahui belum ada buku, khotbah-khotbah Sang Buddha dihafal sampai mengendap dalam ingatan. Untuk melakukan hal ini, seseorang duduk di dekat seorang yang menguasainya dan mendengarkannya dengan penuh perhatian secara berulang-ulang. Oleh karenanya, mereka yang mengetahui khotbah-khotbah sering disebut sebagai yang ‘banyak mendengar’ (bahusuta). Pada zaman ini, kata tadi mungkin maknanya sama dengan ‘pembaca yang baik’. Sekarang khotbah-khotbah Sang Buddha telah tersebar dimana-mana dalam bentuk cetakan, dan tentunya tidak perlu lagi dihafalkan seperti dahulu kala. Namun demikian, akan bermanfaat untuk mengetahui beberapa bagian atau ayat yang penting di dalam hati, agar kebijaksanaan atau petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dibangkitkan setiap saat. Beberapa orang dengan mudah dapat mengutip demikian banyak bagian kitab-suci, namun tindakannya bertolak belakang dengan apa yang dikutipnya itu. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa pengetahuan teoritis dan menghafal kitab-suci adalah sesuatu yang tidak berharga, bila tidak di latar belakangi dengan usaha untuk berubah, tumbuh dan sadar. Beliau berkata:

Bila seseorang banyak menghafal naskah-naskah suci,
Tapi tidak bertindak sesuai dengannya,
Orang yang demikian adalah bagaikan pengembala sapi
Yang menghitung sapi milik orang lain.
Dia tidak mengambil bagian dalam berkah kehidupan suci.6

Suatu peta yang digambar oleh seorang yang telah pernah mengunjungi suatu tempat yang akan pula kita datangi adalah suatu yang berharga. Seorang yang bijaksana akan menggunakan peta itu walau orang-orang lain hanya berbicara tentangnya tanpa bersama menuju ke tujuan itu. Demikian pula, walau orang-orang lain cukup puas dengan mengetahui naskah Buddhis tanpa menerapkannya, namun hendaknya tidak mencegah kita untuk mempelajari dan kemudian dengan hati-hati menjalani Jalan. Seperti dikatakan Aryasura:

Naskah suci dalah cahaya yang menghalau kegelapan dari kegelapan-batin; kekayaan yang tak dapat dicuri; senjata yang mengalahkan musuh yang bernama ‘nafsu-keinginan’; penasehat terbaik bagi seorang untuk bertindak; teman yang tabah dalam keadaan yang sulit, obat yang tidak menyakitkan bagi penyakit yang diderita; prajurit perkasa yang kuat untuk mengalahkan pasukan kejahatan; harta tertinggi dari kemenangan dan kebahagiaan.7

MASA AWAL KEPUSTAKAAN BUDDHIS

231. Selama empat puluh tahun masa mengajar, Sang Buddha telah menyampaikan ribuan khotbah dengan berbagai metoda mengajar. Kadang-kadang Beliau hanya menyampaikan pembicaraan sederhana, lalu mungkin merangkum kambali topik utamanya dalam bentuk ayat-ayat, kadang-kadang pula Beliau bertanya-jawab, menggunakan pepatah, persamaan dan perumpamaan untuk memperjelasnya. Khotbah-khotbah, pepatah-pepatah dan ayat-ayat diingat secara rinci oleh orang yang mendengarkannya langsung, lalu meneruskannya pada orang lain. Dapat dipahami bahwa sampai akhir pengabdian Sang Buddha, beredar sangat banyak pelajaran-pelajaran lisan. Walau orang telah tahu menulis pada masa itu, namun tidak ada usaha untuk menjadikannya tertulis, sebab masyarakat India kuno pada masa itu menganggap ingatan lebih dapat dipercaya daripada pena seorang penulis dan ingatan jelas lebih dapat bertahan lebih lama di kepala seseorang dibanding lembaran-lembaran daun (yang ditulisi diatasnya). Memang, pada kenyataannya masa itu masyarakat India kuno telah mengembangkan dan menyempurnakan teknik untuk mengabdikan literatur di dalam ingatan mereka secara luar biasa.

232. Sewaktu Sang Buddha mencapai Nibbana-akhir di Kusinara, salah seorang murid senior Beliau, Maha Kassapa, dan sekelompok bhikkhu sedang dalam perjalanan menuju Kusinara untuk menjumpai Sang Buddha, namun mereka belum mendengar berita kemangkatan Guru mereka. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang pertapa pengembara yang kemudian menyampaikan berita kemangkatan Sang Buddha yang telah beberapa hari sebelumnya. Begitu mendengar berita ini, beberapa bhikkhu mulai meratap sedih, tapi salah seorang dari mereka, Subhadda, yang menjadi bhikkhu pada usianya yang sudah lanjut, malah berkata:

Sudahlah, kawan-kawan, tidak usah meratap atau menangis! Kita sebenarnya beruntung telah terlepas dari Pertapa Agung itu. Dia selalu saja menjemukan kita dengan berkata: “Adalah baik bila engkau berbuat begini atau adalah baik bila engkau tidak berbuat begitu!” Sekarang kita dapat berbuat atau tidak berbuat, sesuka hati kita.1

Maha Kassapa kemudian menyadari bahwa andaikata banyak bhikkhu seperti Subhadda, ketidaksesuaian paham mengenai Dhamma akan segera muncul. Oleh karenanya diputuskan bahwa tiga bulan kemudian, pertemuan besar akan dilaksanakan. Lima ratus Arahat berkumpul untuk mendiskusikan ajaran Sang Buddha, menyusunnya, dan mengulanginya dan memantapkannya masing-masing dalam ingatan mereka. Pertemuan besar ini dilaksanakan di Gua Sattapanni di Rajagaha, pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Pertama. Sewaktu konsili bersidang, Maha Kassapa menyambut lima ratus Arahat itu, dengan berkata:

Marilah, Para Yang Mulia, kita mengulangi Dhamma dan Tata-tertib (vinaya), sebelum apa yang bukan Dhamma berkembang dan apa yang Dhamma malah tertutup, sebelum apa yang bukan Tata-tertib berkembang dan apa yang Tata-tertib tertutup, sebelum mereka yang berucapkan bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang berucapkan bukan Tata-tertib menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Tata-tertib menjadi lemah.2

Sidang menunjuk Upali untuk mengulangi peraturan-peraturan untuk para bhikkhu dan bhikkhuni sebab dia memang ahli dalam bidang (Vinaya) itu, dan Ananda dipilih untuk mengulangi khotbah-khotbah, sebab dia lah yang menjadi pendamping dan senantiasa menyertai Sang Buddha selama dua puluh tahun, dia mendengarkan khotbah lebih sering dari yang lainnya. Sebagian dari diskusi diambil dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan Maha Kassapa kepada Ananda:

“Dimanakan, Ananda yang terhormat, Brahmajala Sutta diucapkan?”
“Tuan yang terhormat, diantara Rajagaha dan Nalanda di rumah peristirahatan agung di Ambalatthika.”
“Kepada siapa?”
“Suppiya si-pengembara dan Brahmadatta si-Brahmin muda.”
Lalu, Maha Kassapa menanyakan Ananda tentang tema dan perincian Samaññaphala Sutta.
“Dimanakah, Ananda yang terhormat, Samaññaphala Sutta diucapkan?”
“Di Rajagaha, di kebun mangga kepunyaan Jivaka.”
“Kepada siapa?”
“Kepada Ajatasattu, putra dari ibunda Videhan.”3

Dengan cara ini pula Maha Kassapa bertanya tentang Lima Nikaya, dan setiap pertanyaan dapat terjawab oleh Ananda. Ananda selalu mengawali menjawab pertanyaan tentang setiap khotbah dengan berkata: “Sesuai yang saya dengar” (evam me sutam), yang berarti “Inilah yang saya ingat pernah dengarkan”, oleh karenanya hampir setiap khotbah diawali dengan kata-kata tersebut.

233. Dalam beberapa abad kemudian, Dhamma masih tetap dihafalkan dengan berhati-hati, diingat dan diteruskan pada yang lainnya. Walau ini adalah kewajiban yang biasanya dilakukan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni, tapi terdapat banyak bukti bahwa para umat awam laki-laki dan wanita, juga banyak mengetahui Dhamma di dalam hati dan memainkan peran dalam penerusannya. Didalam naskah-naskah, kita membaca seorang wanita menghafal bagian dari Samyutta Nikaya.4 Didalam catatan-catatan lama lainnya, diabad ke tiga sebelum Masehi, nama-nama beberapa umat awam biasa disebut-sebut bersama julukan mereka, antara lain ‘penghafal Dhamma’ (dhammakathika), ‘yang mengetahui keranjang’ (petakin), ‘yang mengetahui khotbah-khotbah’ (sutantika) dan ‘yang mengetahui Lima Kumpulan’ (pañcanekayika). Kira-kira seratus tahun sesudah Sang Buddha, dilaksanakan lagi suatu Konsili Ke dua, yang dihadiri sekitar tujuh ratus bhikkhu-bhikkhu pemimpin, semula mereka membicarakan beberapa pertentangan paham menyangkut tata-tertib kehidupan vihara, setelah bagian ini selesai, mereka menghafal Dhamma bersama. Pertemuan ini berlangsung di Vesali. Lalu kira-kira 230 tahun sesudah Sang Buddha, Raja Asoka melaksanakan Konsili ke tiga di ibu kota kerajaannya di Pataliputta, dan sekali lagi Dhamma secara keseluruhan dihafalkan bersama. Kemungkinan pada konsili inilah diputuskan untuk memasukkan buku Abhidhamma sebagai bagian ke tiga dari Kitab suci Buddhis. Juga kemungkinan untuk pertama kalinya disepakati untuk mengabadikan Dhamma dalam bentuk tertulis, walau tidak ada rekaman bahwa ini dilakukan sebelum tahun 50 Sebelum Masehi di Sri Lanka, dimana agama Buddha telah menyebar disana pada waktu itu. Sejak masa itu, kitab suci Buddhis tertulis di kitab-kitab yang dibuat dari daun palma, kulit kayu, sutra, dan terakhir seperti zaman kita ini, diatas kertas. Jadi kata-kata Sang Buddha benar adalah “indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya”, dan dengan sangat hati-hati diwariskan pada kita.

TIPITAKA

234. Sekarang marilah kita mengenal susunan dari kitab-suci Buddhis Tipitaka. Istilah ‘pitaka’ berarti ‘keranjang’, istilah yang dipakai, sebab bagaikan para pekerja di zaman India kuno meneruskan keranjang tanah dari kepala seseorang ke kepala rekannya, Dhamma juga diteruskan dari ingatan seorang guru ke ingatan muridnya. Awalan ‘ti’ berarti ‘tiga’, dengan demikian Tipitaka berarti Tiga Keranjang. Tiga Keranjang tersebut, adalah – Sutta Pitaka – keranjang dari khotbah-khotbah, Vinaya Pitaka – keranjang dari peraturan (disiplin), dan Abhidhamma Pitaka – keranjang analisa (uraian). Istilah ‘Sutta’ sebenarnya berarti ‘benang’, khotbah-khotbah Sang Buddha disebut demikian, karena setiap darinya memiliki ‘benang arti’ atau ‘untaian argumentasi’.

235. Sutta Pitaka dibagi atas lima kumpulan atau koleksi (nikaya). Yang pertama, Digha Nikaya – kumpulan dari Khotbah-khotbah Panjang – terdiri atas 34 khotbah-khotbah yang, seperti terlukis dinamanya, adalah khotbah-khotbah yang sangat panjang. Yang ke dua, Majjhima Nikaya – Kumpulan dari Khotbah-khotbah Setengah-Panjang – terdiri atas 150 khotbah-khotbah yang juga seperti namanya, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Yang ke tiga adalah Samyutta Nikaya – Kumpulan khotbah-khotbah Yang-berhubungan – didalamnya 7562 khotbah-khotbah dikelompokkan sesuai obyeknya. Yang ke empat adalah Anguttara Nikaya – Kumpulan Khotbah Bertahap. ‘Anguttara’ berarti ‘selesai dalam satu’, sebab 9557 khotbah-khotbah dalam kumpulan ini dikelompokkan dalam satu urutan dari satu sampai sebelas. Lima Nikaya yang terakhir adalah Khuddaka Nikaya – Kumpulan Campuran – yang terdiri dari 15 hasil karya yang agak terpisah, yang karena perbedaannya, tidak dapat digabung dalam salah satu dalam empat Nikaya yang lainnya. Kita akan meninjau secara singkat beberapa yang penting-penting dari kumpulan ini. Dhammapada, tidak diragukan adalah karya dalam Tipitaka yang paling populer dan termahsyur. Ini merupakan kumpulan dari 423 ayat (gatha) diucapkan oleh Sang Buddha pada waktu yang berbeda-beda, disusun dalam 23 bab tergantung dari pokok bahasannya. Dhammapada merupakan bagian kitab-suci Buddhis yang paling banyak diterjemahkan dibanding bagian yang lainnya. Udana – Ayat-ayat Peningkatan (atau melegakan) – sesuai namanya merupakan kenyataan bahwa setiap bagian dari 80 khotbah, isinya diselesaikan dalam satu atau lebih ayat yang memberi peningkatan atau semangat (udana). Yang sangat mirip dengan Udana adalah Itivuttaka – Seperti Dikatakan – yang terdiri atas 112 khotbah, yang juga dirangkum pada bagian akhir dalam satu atau beberapa ayat.

236. Sutta Nipata – Kumpulan Khotbah – terdiri atas 55 khotbah dalam bentuk sajak, yang keseluruhannya berjumlah 1149 ayat. Mangala Sutta, Metta Sutta dan beberapa khotbah yang populer lainnya ditemukan dalam karya ini. Karena semua khotbah-khotbah ini diucapkan pada masa-masa awal Sang Buddha mengajar, dan karena kebanyakan darinya dianggap jasa kesusasteraan, maka Sutta Nipata adalah salah satu buku-buku terpenting dalam Tipitaka. Dua hasil karya indah lainnya adalah Theragatha – Ayat-ayat para Bhikkhu, dan Therigatha – Ayat-ayat para Bhikkhuni, masing-masing terdiri atas 164 dan 72 sajak, ditulis oleh beberapa Siswa-siswa Sang Buddha. Beberapa sajak adalah riwayat-hidup sendiri (autobiografi), beberapa adalah pujian-pujian bagi Sang Buddha, yang lainnya merupakan pujian keberadaan dan kebahagiaan Pencerahan. Buku yang terbesar dalam Khuddaka Nikaya adalah Jataka – kisah kelahiran-kelahiran. Jataka terdiri atas 547 cerita, yang diambil dari hikayat atau cerita-cerita rakyat India kuno, lalu diberi warna Buddhis dengan menjadikan Sang Buddha (dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya) sebagai pahlawan dalam setiap cerita. Walau Jataka hanyalah legenda, tapi setiap dari cerita itu mempunyai nilai pengajaran moral yang tinggi. Pada kenyataannya, memang cerita Jataka digunakan selama berabad-abad sebagai teladan moral bagi rakyat jelata, kaum Buddhis yang sederhana dan lugu. Buku-buku di dalam Khuddaka Nikaya lainnya muncul belakangan setelah bagian Tipitaka yang lain dan tidak dianggap seberapa penting saat ini.

237. Bagian ke dua yang besar dari Tipitaka adalah Vinaya Pitaka – Keranjang Tata-tertib – yang terdiri atas lima buku. Vinaya berisi peraturan-peraturan bagi bhikkhu dan bhikkhuni, tatacara kehidupan vihara, dan beberapa kejadian penting dalam kehidupan Sang Buddha yang berhubungan dengannya. Juga ada rekaman tentang sejarah atau masa-masa awal kehidupan masyarakat vihara, termasuk laporan-laporan dari Konsili Pertama dan Konsili Ke dua.

238. Bagian ke tiga dan yang terakhir adalah Abhidhamma Pitaka – Keranjang Penguraian – yang terdiri atas tujuh buku. Salah satu dari buku ini, Kathavattu – Butir-butir Ketidaksesuaian/kontroversial – berisi masalah-masalah sekitar doktrin yang diperdebatkan dalam Konsili ke tiga, dan inilah buku terakhir yang digabung dengan Tipitaka. Buku-buku lain dari Abhidhamma terdiri atas daftar unsur-unsur batin dan benda, penyebab dan akibatnya, dan penguraian tipe-tipe kepribadian yang berbeda. Buku pertama dari Abhidhamma mungkin ditulis sekitar 150 tahun setelah kemangkatan Sang Buddha dan yang terakhir, yang adalah Kathavattu diatas, ditulis sekitar tahun 253 Sebelum Masehi. Dengan demikian, Abhidhamma Pitaka tidak dibacakan pada Konsili Pertama, tapi ditambahkan pada Tipitaka pada masa-masa belakangan. Berdasar asal-usulnya, gaya penyajiannya dan waktu dituliskannya, dapat disimpulkan bahwa Abhidhamma adalah bagiam Tipitaka yang paling kurang kepenadaannya. Vinaya, yang kita ketahui berhubungan dengan keberadaan bhikkhu dan bhikkhuni, dan Sutta Pitaka, yang adalah Dhamma dari kata-kata Sang Buddha sendiri; adalah bagian terpenting dari literatur Buddhis.

239. Seperti apa yang dapat kita lihat diatas, Sutta Pitaka sangatlah padat dan panjang; sebagai gambaran dapat diutarakan, bahwa ternyata terjemahan bahasa Inggeris-nya terdiri atas lebih dari 30 jilid buku. Walau demikian, seperti diperhatikan pada khotbah-khotbah yang telah banyak dituliskan diatas, banyak diantaranya ditandai dengan pengulangan-pengulangan kata-kata, yang menyebabkan bertambah panjangnya khotbah-khotbah tersebut; hal demikian, dapat dipahami, terjadi sebagai usaha agar khotbah-khotbah mudah dihafalkan; jadi demi kepentingan pewarisan ajaran-ajaran itu dalam bentuk lisan, pada masa-masa sebelum khotbah-khotbah direkam dalam bentuk tulisan. Pula, khotbah-khotbah ada yang diulangi kata demi kata atau dalam bentuk yang sama pada dua tempat yang berbeda. Salah satu contoh adalah Satipatthana Sutta ada di dalam Digha Nikaya maupun di Majjhima Nikaya,1 pula hampir semua bagian Brahma Vagga dalam Dhammapada diulangi di Sutta Nipata.2 Hal yang juga dapat dipahami, karena Sutta Nipata berisi khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Siswa-siswa utama Sang Buddha.

240. Tipitaka diwariskan dan akhirnya sampai pada kita dalam bahasa India kuno yang dikenal sebagai Magadhi, disebut demikian karena merupakan bahasa daerah dari kerajaan Magadha, bagian dari Kosala, dimana Sang Buddha paling banyak melewatkan masa hidup-Nya. Bahasa Magadhi kemudian dikenal sebagai bahasa Pali, yang berarti ‘naskah’, artinya bahasa dari naskah-naskah. Tidak semua cendekiawan sependapat bahwa Sang Buddha berbicara dalam bahasa Pali, tetapi bila tidak demikian, setidaknya bahasa tersebut adalah bahasa yang sangat mirip bahasa Pali. Filsuf besar Wilhelm Geiger berkata “bahasa Pali semestinya dipandang sebagai bahasa Magadhi, bahasa yang digunakan Sang Buddha dalam khotbah-khotbah-Nya.”3 Professor Rhys Davids dalam pengantar buku kamus Pali-Inggeris karyanya, mengatakan: “Bahasa Pali di dalam buku-buku peraturan-peraturan adalah didasarkan pada bahasa daerah Kosala baku yang digunakan pada abad ke 6 dan ke 7 Sebelum Masehi ….. bahasa daerah ini adalah bahasa-ibu Sang Buddha.”4 Kadang-kadang dipertanyakan penting tidaknya seseorang mengerti bahasa Pali agar dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada dua bhikkhu yang mengharapkan agar digunakan bahasa Sanskerta (chandaso) dalam kata-kata Sang Buddha, dengan alasan bahasa Sanskerta adalah bahasa mati, tidak berubah lagi dan dengan demikian diharapkan agar pemahaman kata-kata Sang Buddha tidak akan hilang. Sang Buddha menolak, dan berkata:

Saya memperkenankan engkau, para bhikkhu, untuk mempelajari kata-kata Sang Buddha dalam bahasamu sendiri-sendiri.5

Pesan-pesan kemanusiaan Sang Buddha berhubungan dengan pengalaman-pengalaman dan dapat dimengerti lewat pengalaman, tidak dengan melestarikan dalam bahasa. Tidak diragukan lagi, walau mungkin perlu memahami sedikit istilah Pali, tapi Sang Buddha menginginkan kita belajar Dhamma dalam bahasa kita sendiri, karena Beliau mengetahui bahwa itulah cara terbaik untuk mengerti dan untuk berkomunikasi satu sama lain.

241. Adalah mudah untuk menemukan acuan dalam kitab-kitab suci, karena biasanya kitab-kitab suci telah terbagi dengan baik atas bab-bab dan kemudian terbagi lagi atas ayat-ayat. Namun disebabkan karena ukuran dan sebaran yang luas dari Tipitaka, maka masih perlu dipikirkan suatu sistim acuan yang terbaik bagi Tipitaka. Saat ini, mungkin sistim acuan yang baik dan paling banyak digunakan adalah seperti yang dipergunakan dalam edisi-edisi dan terjemahan-terjemahan oleh Pali Text Society, dan oleh karenanya kita akan lebih terbiasa dengan sistim ini. Di sudut kanan atas halaman sebelah kiri dari setiap buku terjemahan ke bahasa Inggeris oleh PTS dituliskan angka Romawi diikuti nomor. Yang pertama (angka) merujuk ke jilid dari karya yang dimaksud dan yang ke dua (nomor) merujuk ke halaman dari naskah Pali asli. Jadi, bila kita sedang membaca sebuah buku yang mengutip Tipitaka dan dalam daftar acuannya disebutkan A II 150, dan bila kita ingin meneliti kutipan itu, inilah yang kita lakukan: Periksa Tipitaka, cari Anguttara Nikaya (‘A’ adalah singkatan dari Anguttara Nikaya, Kumpulan Khotbah Bertahap), ambil jilid Dua (II berarti Jilid Dua) dan buka halaman-halamannya, lihat pada sudut kanan atas dari halaman sebelah kiri, sampai kita menemukan 150. Di halaman itu atau sekitar itu akan kita temukan sumber yang dikutip oleh buku yang kita baca. Beberapa karya Tipitaka lainnya, misalnya Dhammapada, Sutta Nipata, Theragatha dan Therigatha, kesemuanya dalam bentuk ayat-ayat, dengan demikian acuan dari kitab-kitab ini hanya pada karya dan nomor ayat-nya saja. Jadi acuan ayat ke 53 dalam Dhammapada ditulis Dp 53, atau ayat ke 410 dari Sutta Nipata ditulis Sn 410. mungkin akan membutuhkan waktu untuk terbiasa dalam menggunakan sistim acuan ini, tapi sekali kita lakukan, maka Tipitaka akan mengungkapkan banyak harta kebijaksanaan bagi kita.