Tabib dan Seorang Wanita

7. Tabib dan Seorang Wanita

(CERITA TENTANG BHIKKHU CAKKHUPALA)

Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Savatthi, datanglah seorang Bhikkhu yang bernama Cakkhupala, matanya buta. Ia menghadap Sang Buddha dan memberi hormat.
Pada malam itu, ketika ia melatih meditasi dengan berjalan, karena matanya buta, dengan tidak sengaja ia menginjak beberapa serangga, sehingga serangga-serangga itu mati.
Keesokkan paginya, beberapa orang bhikkhu menemukan beberapa serangga yang mati. Mereka berpikir bahwa Bhikkhu Cakkhupala menginjak-injak serangga-serangga tersebut. Mereka melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.
Sang Buddha bertanya, apakah mereka melihat sendiri Bhikkhu Cakkhupala membunuh serangga itu. Ketika mereka menjawab tidak melihat, Sang Buddha lalu berkata :
“Seperti kalian yang tidak melihatnya membunuh ia juga tidak melihat serangga-serangga tersebut. Disamping itu, sebagai seorang yang telah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi (Arahat), ia tidak lagi mempunyai keinginan untuk membunuh makhluk hidup, jadi ia tetap suci.”
Para bhikkhu lalu bertanya mengapa Bhikkhu Cakkhupala buta. Sang Buddha bercerita :
Pada masa lampau, ketika Raja Kasi memerintah di Benares, terdapatlah seorang tabib. Tabib itu setiap hari pergi ke desa-desa dan ke kota-kota untuk mengobati orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongannya.
Pada suatu hari, ia melihat seorang wanita yang matanya sakit. Tabib itu bertanya :
“Mata kamu kenapa?”
“Mata saya sakit, tuan.”
“Saya akan mengobati matamu.”
“Silahkan, tuan.”
“Apa yang akan kamu berikan kepada saya?”
“Kalau tuan berhasil menyembuhkan mata saya, maka saya beserta anak-anak saya akan menjadi pembantumu.”
“Baiklah,” kata tabib itu.
Kemudian ia membuat obat yang cocok untuk mata wanita itu. Dengan obat yang diberikan oleh tabib itu sekali saja, wanita itu sembuh dan sehat kembali. Mengalami kejadian ini, wanita itu berpikir :
“Saya sudah berjanji kepada tabib itu untuk menjadi pembantunya beserta anak-anak saya, kalau mata saya sembuh. Tetapi ia tidak ramah kepada saya. Lebih baik saya tipu dia saja.”
Ketika tabib itu datang dan bertanya bagaimana keadaan matanya, wanita itu menjawab :
“Tuan, sebelumnya mata saya sakitnya hanya sedikit; tetapi sekarang kelihatannya malah bertambah buruk dari pada sebelumnya.”
Tabib itu lalu berpikir :
“Wanita ini berbohong karena dia tidak mau memberikan saya sesuatu, padahal ia sudah berjanji untuk menjadi pembantu saya beserta anak-anaknya, kalau matanya sembuh. Baiklah, sekarang saya tidak menginginkan imbalan apa-apa darinya; saya akan membuatkan obat supaya matanya menjadi buta.”
Lalu ia pulang ke rumah dan menceritakan hal itu kepada isterinya. Isterinya diam saja.
Kemudian ia membuat obat tetes mata, setelah selesai ia pergi ke rumah wanita itu dan memintanya untuk meneteskan obat itu ke matanya. Tanpa banyak tanya, wanita itu menuruti perintahnya. Setelah ia meneteskan obat mata itu ke matanya, seketika itu juga mata wanita itu menjadi buta. Tabib itu adalah Bhikkhu Cakkhupala.
“O Para Bhikkhu, perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh anakKu, mengikutinya di kemudian hari. Perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh seseorang akan mengikutinya, seperti roda pedati mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya.”
Setelah menceritakan hal tersebut, Sang Buddha mengucapkan syair :

“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya.”

( Dhammapada, Yamaka Vagga no. 2 )