Terapi Secara Buddhis

TERAPI SECARA BUDDHIS

Oleh : Ruth Walshe
Alihbahasa: Upi. Kshantidewi

Dalam abad ke-20 ini, kata “terapi” sudah tak asing lagi bagi kita, terutama yang berkaitan dengan “Penyembuhan melalui kegiatan” (Terapi okupational). Mari kita renungkan sejenak, mengapa begitu banyak orang yang berpendapat bahwa “Penyembuhan melaui kegiatan” hasilnya memuaskan, terutama untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental? Apakah karena hal tersebut dapat mengalihkan perhatian kita dari segala kecemasan?
Menurut Buddha Dhamma, bagaimanapun “Penyembuhan melalui kegiatan” bukanlah jalan keluar yang memuaskan bagi problem-problem kita. Buddha Dhamma adalah sikap hidup yang menolong kita untuk melihat ke dalam diri sendiri – menyelami batin kita sedalam-dalamnya – tepat di pusat kesulitan kita.
Kenyataannya, mengalihkan perhatian dan kecemasan hanya merupakan pelarian belaka, meskipun untuk sementara waktu mungkin berhasil. Buddha Dhamma menentang semua bentuk pelarian.
Sebaliknya, anda harus berani melihat diri anda sendiri, seakan-akan orang yang tak dikenal sedang melihat anda dan menghadapi emosi-emosi anda – terutama kekuatiran-kekuatiran anda – yang akan timbul dalam proses penyelidikan anda. Hanya dengan menerima ini secara tepat, anda boleh berharap bisa mengatasi kesulitan-kesilitan tersebut suatu ketika.
Pada sisi lain, hal ini mungkin memberi kesan bahwa Buddha Dhamma sangat erat hubungannya dengan psikologi. Dalam beberapa hal memang benar, tetapi ada satu perbedaan yang sangat besar antara kedua hal itu. Psikologi akan membantu anda untuk mengerti diri anda sendiri secara intelektual dan, terutama emosi, sedangkan Buddha Dhamma menolong anda melampaui intelektual kita dan memahami pengalaman hidup yang nyata. Itulah sebabnya penerapan Buddha Dhamma jauh lebih dalam daripada aliran psikologi manapun.
Tetapi, bagaimana seseorang bisa mencapainya? Satu-satunya jalan ialah dengan meditasi dan melatih kesadaran – satipatthana.
Saya tidak mampu menulis tentang meditasi, karena saya belum cukup melatih diri dalam hal itu. Jadi saya hanya akan membatasi diri dengan membahas kesadaran sebagai penyembuhan atas penderitaan-penderitaan kita umumnya, yang kita kenal dengan istilah : Buddhis Terapi (Terapi secara Buddhis).
Dalam ajaran Sang Buddha kita dapat menerapkan kesadaran terhadap :

  1. tubuh
  2. perasaan-perasaan
  3. keadaan pikiran
  4. bentuk-bentuk pikiran

Tetapi karena penderitaan sebenarnya kita rasakan melaui perasaan jasmani (rasa sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi), saya hanya akan menguraikan kedua hal ini, terutama mengenai emosi-emosi kita. Namun, tentu saja penekanan utama pada Buddha Dhamma juga terletak pada kesadaran terhadap badan (mengamati pernafasan kita – langkah kaki kita waktu kita berjalan) dan bentuk-bentuk pikiran (mengamati/ menyadari pikiran-pikiran dan khayalan-khayalan kita)

Perasaan-perasaan badan jasmani

Penderitaan yang paling berat yang dirasakan badan jasmani kita adalah rasa sakit. Dalam hal ini kita hampir selalu mencari pertolongan dari luar: entah memanggil dokter atau minum obat ataupun keduanya. Tetapi, apa yang harus kita lakukan jika kita tidak mendapat pertolongan dari luar?
Misalkan kita menderita sakit gigi yang hebat, yang tak dapat disembuhkan oleh obat apa pun. Dan serangan itu datang tengah malam, ketika praktek dokter gigi sudah tutup. Saya yakin banyak orang pernah mengalami hal semacam itu pada waktu-waktu yang lalu.
Dan umumnya kita telah menderita rasa sakit jasmani ataupun perasaan tidak enak. Mengapa? Karena kita bukan hanya menderita akibat badan sakit, tetapi juga berbagai emosi menganggu kita saat itu, misalnya kuatir, mengasihani diri sendiri, benci dan sebagainya.
Namun, saya takut selain itu masih banyak hal lain yang lebih rumit. Jika kita dapat menerima ha-hal tersebut sebagaimana adanya, penderitaan kita akan jauh berkurang. Hal ini akan saya bahas nanti ketika saya membahas tentang penderitaan batin.
Sayang sekali, sikap menerima justru merupakan titik kelemahan kita. Kita sulit menerima. Sebaliknya, “sang aku” justru suka membungkus atau menutupi segala sesuatu dan setiap hal. Jika rasa sakit terlalu hebat, kita mencoba menekannya, dan akibatnya rasa sakit itu berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan emosi-emosi kita.
Jadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa sesungguhnya penyebab penderitaan kita bukanlah rasa sakit, bahkan bukan juga ketakutan akan rasa sakit itu – tetapi rasa takut yang ditekan. Menurut Graham Howe: Penyakit syaraf tidak lain adalah ketakutan yang tidak diakui.”
Sekarang, marilah kita kembali meninjau soal sakit jasmani, misalnya sakit gigi. Bagaimana kita dapat menolong dari dalam diri kita sendiri secara Buddhis – maksudnya menolong dari dalam diri kita sendiri? Secara sederhana ialah dengan berkonsentrasi penuh pada gigi yang sakit itu.
Apakah ini tidak menyebabkan sakitnya makin hebat? Tidakkah ini terlalu introspektif? Terlalu negatif?
Ya, pada mulanya memang mungkin rasa sakit bertambah ketika kita berkonsentrasi, tetapi kita tidak boleh lari dari kenyataan. Bila saya katakan konsentrasi, maksud saya kita mengamati dengan cara pemisahan diri kita, bukan terlibat dalam rasa sakit itu dengan “aku” kita yang kecil di pusatnya. Sekarang, jika anda sungguh-sungguh berkonsentrasi – hanya berkonsentrasi pada rasa sakit untuk waktu yang cukup lama – maka, rasa sakit akan sangat berkurang atau hilang sama sekali. Mengapa? Karena dengan tindakan murni berkonsentrasi anda secara total menerima keadaan anda, bagaimanapun buruknya. Dan jika hanya ada tindakan mengawasi tanpa si pengawas di pusat – sudah pasti, ini bukanlah intropeksi – tidak negatif dan juga tidak positif.

Keadaan pikiran

Seperti telah saya terangkan, sebenarnya emosi-emosi kita yang terutama menyebabkan penderitaan, baik emosi saja ataupun penderitaan jasmani kita. Oleh karena itu, marilah kita tinjau secara menyeluruh tentang penderitaan yang disebabkan oleh berbagai keadaan pikiran – berbagai emosi kita.
Ketika saya menjadikan diri saya sebagai kelinci percobaan dalam penyelidikan ini, saya mendapatkan enam keadaan pikiran yang agaknya bertanggung jawab atas penderitaan saya, yaitu:

  1. Keserakahan dalam arti umum
  2. Keserakahan supaya diri sendiri lebih hebat
  3. Harga diri yang terluka
  4. Iri hati
  5. Kebencian
  6. Kekuatiran

Jangan merasa tidak enak! Ingatlah, keadaan-keadaan pikiran itu hanyalah terbentuk dari kebodohan kita – kegelapan batin kita – tidak lebih dan tidak kurang. Mula-mula, kita menerima semua itu secara intelek, tanpa menentukan jenisnya. Namun demikian, perkenankanlah saya menyatakan bahwa di antara keenam keadaan pikiran ini, kekuatiranlah yang paling berbahaya. Itulah sebabnya mengapa saya membahas hal tersebut paling akhir dan secara panjang lebar. Menurut pendapat saya, kekuatiran benar-benar merupakan sumber penderitaan batin kita.

1. Keserakahan dalam arti umum

Saya rasa keserakahan adalah contoh yang sangat baik untuk menggambarkan bahwa perasaan frustrasi lebih menyebabkan kita menderita daripada keserakahan itu sendiri.
Misalnya saya menginginkan sebuah baju yang terpajang di etalase toko. Saya hampir tergoda untuk membelinya, tetapi pada detik-detik terakhir saya mencoba menolak godaan itu. Ketika keinginan (keserakahan) itu mula-mula muncul, timbul perasaan yang menyenangkan. Tetapi perasaan senang itu tidak bertahan lama, bahkan masih lebih lama bila kita makan es krim atau kue. Kemudian akal sehat saya muncul dan saya mulai merasa frustasi. Saya tak bisa lagi membeli baju itu, karena saya tidak mempunyai uang. Ini membuat saya agak tidak enak. Namun, perasaan menderita yang lebih hebat muncul, karena sementara waktu berlalu, frustasi saya makin meningkat. Ini disebabkan karena pikiran saya masih terikat pada baju tersebut. Saya tak dapat menghilangkan pikiran itu. Setiap kali baju tersebut muncul di pikiran saya, disertai perasaan sedih dan kecewa, saya mendorong perasaan itu jauh-jauh, dengan akibat membuat keadaan bertambah buruk.
Makin saya frustrasi akibat keserakahan ingin memiliki baju tersebut, makin saya tekan keinginan tersebut dengan berpura-pura seolah-olah baju tersebut tidak ada – dan penderitaan sayapun semakin besar. Inilah langkah-langkah pasti menuju keterikatan pada belenggu yang saya buat sendiri.
Namun demikian, jangan anda keliru: Semua ini adalah pengertian intelektual yang murni dari situasi itu dan memang tidak berguna selama kita masih dalam cengkeraman emosi. Karena cengkeraman itu begitu kuat kita tak bisa berpikir dengan baik. Memang sesudah itu kita akan sedikit tertolong. Mungkin kita akan berpikir, lain kali kita tidak akan begitu bodoh. Mungkin …. Tetapi, marilah kita pahami dengan jelas satu hal ini: Alasan intelektual ini sangat jauh berbeda dengan kesadaran seperti saya berada di tempat yang sangat jauh dengan mahluk di bulan!
Kalau demikian, apa perbedaan yang utama? Karena saya hanya dapat menerangkan dengan intelek saya, hal ini jadi sangat sulit. Kesadaran merupakan suatu pengalaman langsung – melihat benda-benda secara langsung sebagaimana adanya, karena itu tidak mungkin diuraikan dengan memakai konsep-konsep.
Melalui kesadaran yang benar dan konsentrasi yang benar, apa yang kita sebut kenyataan, yang biasanya kita berikan pada segala obyek yang kita inginkan atau benci tidak berarti lagi dan hanya tampak segi luarnya saja, datang dan pergi. Hal-hal itu menjadi bentuk-bentuk maya yang tidak berguna.
Sekarang, jika kita menerapkan kesadaran pada emosi-emosi dalam kasus kita ini, keserakahan akan baju tersebut – melalui proses penyerapan dengan pengamatan, si pengamat yang jadi pusat (sang aku) maupun obyek itu (baju) akan tiba-tiba menghilang. Pada akhirnya hanya ada keserakahan, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada penggolongan, perbandingan atau penilaian. Hanya penglihatan mata yang tidak bersalah. Dan melihat dengan tepat adalah Penyembuhan Secara Buddhis, penyembuhan langsung atas penderitaan kita. Bahkan ini bermanfaat dalam hal-hal kecil dan pengetahuan yang mendasar yang sudah bekerja sehingga membuat lingkaran kejahatan akan berakhir. Ini juga menguatkan keyakinan kita akan Buddha, Dhamma dan Sangha, yang mutlak perlu dalam Buddha Dhamma

2. Keserakahan supaya diri sendiri lebih hebat

Hal ini jauh lebih berbahaya untuk diri kita sendiri daripada keserakahan dalam arti umum. Keserakahan kita terhadap benda-benda tidak ditujukan langsung pada kesadaran akan harga diri kita. Hal ini masuk akal: jika keyakinan kita yang bodoh terhadap “aku” menyebabkan penderitaan kita, lalu emosi-emosi apa pun, pikiran-pikiran atau perbuatan kita cenderung meningkatkan keyakinan kita yang salah. Konsekwensinya berat bagi kita: tidak hanya dalam kehidupan sekarang, tetapi juga kehidupan yang akan datang. Bayangkan kehidupan sebagai aliran air. Jika kita mencoba berenang menentang arus, kita akan tergulung oleh arus. Kita akan kehabisan tenaga dan menyiksa diri dalam proses ini, sampai akhirnya kita memahami pelajaran kita dengan cara yang sukar ini.
Saya akan berikan satu contoh lagi. Umpamanya saya ingin menjadi aktris-aktris yang terkenal. Ini sudah salah dari permulaan. Mengapa? Buddha Dhamma mengajarkan kepada kita untuk tidak melihat tindakan, tetapi motif di balik tindakan itu. Saya ingin menjadi terkenal. Saya ingin sudah suatu hal yang salah dan unsur termasyhur adalah suatu hal yang lebih buruk, karena dasarnya adalah memperbesar sang aku. Anda mungkin mendebat bahwa “saya ingin” tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan dengan tema utama siapa kuat dialah yang menang.
Tetapi, hidup bukanlah suatu permainan menangkap dan mengikat. Ini yang menyebabkan kita sungguh-sungguh salah. Meskipun hukum karma mungkin kejam dan mematikan, inilah cara kita untuk menyadari, yang merupakan faktor keseimbangan dalam hidup kita. Semakin banyak kita berhasil mengurangi pusat bentuk-bentuk keakuan kita melalui kesadaran yang benar makin tercapai keseimbangan dan ketenangan dalam batin kita. Itulah jalan tengah, di mana Hukum Karma tidak berlaku lagi.
Mungkin juga, dapat saya katakan di sini, bahwa bukan saja keinginan untuk menjadi aktris terkenal itu salah – tetapi juga keinginan untuk menjadi apa saja sama salahnya. Kalau demikian, apa motif yang benar? Semata-mata kasih untuk bertindak, tanpa rencana atau maksud tertentu dari sang aku. Hal ini tentu tidak mungkin bagi kita, makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna. Itulah sebabnya mengapa kita masih berjuang untuk menghadapi lingkaran tumimbal lahir ini. Tetapi, kita tidak perlu berkecil hati, karena kita masing-masing mempunyai kekuatan untuk memurnikan motif-motif kita sedikit demi sedikit, sementara wawasan kita terhadap kehidupan ini sebagaimana adanya makin meningkat.
Namun demikian, marilah kita kembali pada “sang aku” yang menderita. Sang aku yang ingin menjadi pusat perhatian masyarakat dan selanjutnya sang aku akan merasa lebih aman. Sang aku yang menginginkan uang lebih banyak untuk memuaskan lebih banyak keinginan.
Selanjutnya, seperti halnya kasus keserakahan dalam arti umum, keinginan saya untuk menjadi aktris terkenal juga tidak terlalu membuat frustrasi, selama masih ada unsur harapan. Selama masih ada pengharapan, penderitaan saya tidak begitu hebat. Tetapi, sama saja, tetap ada penderitaan yang terus berlangsung – terutama jika tidak diakui dan ditekan. Namun demikian, semakin saya gagal mencapai keinginan itu, semakin besar penderitaan saya; semakin saya tekan, semakin hebat penderitaan saya. Lingkaran buruk tersebut semakin buruk. Ketika kita tidak dapat lagi menahan hal ini, kita lari dan mengubah bentuk keinginan kita dan berharap kali ini kita akan berhasil. Tetapi, apa yang tidak kita mengerti adalah kenyataan bahwa walaupun keinginan kita berhasil, kita masih tetap terikat olehnya dan membawa penderitaan sepanjang masa. Karena keinginan-kemelekatan – berarti melawan arus kehidupan.
Misalnya, saya dapat menjadi aktris terkenal, keinginan saya tidak akan berhenti sampai di situ, karena saya selalu ingin membuktikan pada diri saya sendiri dan orang-orang lain bahwa saya sungguh-sungguh seorang aktris terkenal. Juga akan timbul ketegangan dengan rekan-rekan sekerja saya. Semakin sulit keadaan, sang aku semakin besar. Dan pada akhirnya – melalui penyakit, usia tua dan mungkin berbagai keadaan – keinginan itu juga akhirnya menimbulkan frustrasi, kecuali bila lingkungan luar memaksa kita menyerah dan melepaskan keinginan saya itu.
Tetapi, mengapa harus menunggu faktor luar, jika kita bisa menjadi penentu dan menguasai diri dari dalam? Perhatikan keserakahan supaya diri sendiri lebih hebat, seperti yang telah saya uraikan sebelumnya. Arahkan perhatian pada hal yang paling menyakitkan, jangan mendorongnya ke lorong bawah sadar yang gelap. Dan, melihat situasi sesuai kenyataan – bukan imajinasi kira sendiri – adalah satu-satunya cara penyembuhan. Semakin “sang aku” menyepak ke segala arah, semakin banyak ia mengeluh dengan pahit dan semakin penting untuk memberikan terang. Karena terang ini bersinar dari dalam, terang ini adalah wawasan menuju hal-hal alamiah yang sejati, yang terikat dengan perasaan terhadap hal-hal ini, termasuk diri anda sendiri.

3. Harga diri yang terluka

Harga diri yang terluka adalah akibat langsung dari kepercayaan yang salah mengenai “aku”. Semakin kita membesarkan “aku” kita, semakin besar harga diri kita yang terluka. Kalau kita melekat begitu erat pada “sang aku” yang kecil dan rumit ini, maka kita hanya dapat melihat dan mengalami hidup dari sudut “sang aku” yang menjadi pusat segala hal, dan menjadi penyebab kesulitan kita. Sepanjang waktu kita terus terluka, tidak hanya karena perbuatan ataupun kepasifan orang lain, tetapi sedikit kritik apa saja mungkin menyebabkan kita menderita. Terutama jika itu datang dari seseorang yang kita kasihi – seseorang yang dekat dengan kita. Biarlah saya berikan satu contoh lagi:
Suatu hari suami saya tiba-tiba mengeluh bahwa sikap saya agresif ketika berdebat. Saya agak tersinggung, tetapi segera saya lupakan hal itu.
Beberapa hari kemudian, ketika saya sedang duduk beristirahat di kursi malas sesudah makan siang, tiba-tiba kenangan akan peristiwa tersebut muncul lagi – kata demi kata muncul dengan jelas. Tampaknya saya larut ke dalam emosi-emosi yang sama seperti ketika suami saya menegur saya. Pipi saya menjadi merah dan saya menderita. Emosi-emosi baru mempengaruhi saya: kemarahan – bahkan kebencian pada suami saya.
Tentu saja, sementara serangan tersebut berlangsung, saya tidak dapat memahami proses itu sama sekali. Segala sesuatu telah kacau karena emosi saya dan perasaan kasihan terhadap diri sendiri dan akibatnya penderitaan saya bertambah berat. Kemudian tiba-tiba, seperti terbangun dari tidur, saya ingat untuk menerapkan kesadaran. Dan, biasanya hal itu ada manfaatnya. Sejenak saya berusaha keluar dari emosi-emosi saya sendiri. Dan kemudian untuk pertama kalinya dalam peristiwa tersebut saya merasa seolah-olah diri saya adalah seorang aktris yang tidak saya kenal yang sedang beraksi. Saya tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Saya hanya jadi penonton saja. Segala sesuatu tiba-tiba tampak berubah: agak aneh dan lucu. Benarkah saya sendiri yang sedang duduk di kursi dan bergulat dengan emosi-emosi yang menyala itu? Saya tertawa terbahak-bahak. Saya telah memisahkan diri saya dari diri saya sendiri. Saya juga telah memisahkan diri saya dari emosi-emosi, dengan menempatkan diri saya sebagai penonton yang netral.
“Semuanya baik-baik saja sesungguhnya,” mungkin diri saya berargumentasi. “Kritik suamimu sama sekali tidak serius, dan, mungkin ada benarnya juga. Orang tidak boleh lekas tersinggung. “Tetapi, bagaimana kalau ada orang yang benar-benar mengritik, membuat tuduhan jahat dan kurang beralasan? Sudah tentu, harga diri kita akan terluka. Dalam hal ini, saya katakan: Jika anda dapat mematahkan keyakinan mengenai sang aku yang salah, jika anda sepenuhnya terpisah dari diri anda sendiri dan segala hal di sekeliling anda, tak ada yang dapat menyakiti anda lagi. Bagaimanapun, harga diri yang terluka hanya merupakan keterikatan terhadap apa yang disebut standar-standar kebaikan dari sang aku !

4. Iri hati

Kalau kita dipengaruhi oleh salah satu atau kedua keserakahan-keserakahan dalam arti umum dan keserakahan supaya diri sendiri lebih hebat – dalam lingkup yang luas, anda akan sering menemukan diri anda sendiri bentrok dengan orang-orang yang berhasil mendapatkan apa yang anda idam-idamkan. Akibat dari keadaan itu timbullah perasaan iri hati. Dan semakin anda terikat pada hal-hal yang tidak dapat anda peroleh – anda semakin frustasi – dan semakin besar pula perasaan iri hati anda.
Dalam hal ini, coba ikuti petunjuk Buddha Dhamma, seperti sudah saya terangkan sebelumnya, yang bahkan lebih dalam daripada ilmu psikologi. Tak ada soal maaf ataupun menuduh diri sendiri. Sebaliknya, kita hanya menyadari segala sesuatu dan setiap hal yang muncul dalam pikiran kita. Dan anda akan menemukan bahwa frekwensi perbuatan baik dapat meningkat, seperti juga tindakan kejahatan. Sementara wawasan anda meningkat, kepercayaan anda pada Dhamma juga meningkat. Begitu pula sebaliknya. Demikianlah, pelan tapi pasti segala kemelekatan kita pada diri kita sendiri, orang-orang dan barang-barang di sekeliling kita akan makin berkurang. Pikiran dan tubuh kita akan menjadi lebih sehat.
Sambil lalu, mungkin menyenangkan juga untuk mengerti bahwa rasa cemburu itu sesungguhnya tidak lain daripada sejenis iri hati yang timbul akibat keserakahan. Misalnya, saya tertarik pada seorang pria. Saya ingin memilikinya – seperti saya memiliki rumah susun saya. Jika wanita lain menerima perhatiannya, tidak hanya untuk saya sendiri, maka saya merasa cemburu. Saya merasa iri hati, karena saya menganggap pria itu milik saya. Begitulah contoh sederhananya. Sebenarnya, jika anda memperhatikan emosi-emosi kita tanpa memberinya nama dengan julukan yang buruk, seperti berdosa atau jahat – ini dapat menjadi permainan yang agak menyenangkan, tentunya selama anda tidak terlibat dalam permainan itu.
Jika perasaan iri hati menjadi sangat kuat, maka iri hati bisa berkembang menjadi kebencian. Misalnya, contoh kita tentang keserakahan supaya diri sendiri menjadi lebih hebat atau termasyhur. Andaikata saya tidak berhasil menjadi aktris terkenal yang saya idam-idamkan, sedangkan kawan sekolah saya malah berhasil. Semua ambisi saya gagal, sementara Susan meniti karirnya ke puncak dengan mulus
Saya pikir, contoh ini jelas untuk menggambarkan iri hati yang meningkat jadi kebencian. Jumlah kebencian yang saya tekan, bagaimanapun akan membuat penderitaan saya lebih berat. Baiklah, sekarang kita tinggalkan iri hati dan meninjau soal kebencian.

5. Kebencian

Kebencian, dapat dikatakan seperti sebuah perputaran arus air dalam arus kehidupan. Kebencian timbul terhadap siapapun yang berada di antara “ego” saya dan keinginan saya. Tetapi, dalam hal ini, emosi dari keinginan dapat bersifat positif maupun negatif. Jika guru saya memberikan soal hitungan yang sukar, yang tidak saya sukai, saya membencinya. Saya merasa, begitulah, suatu keinginan untuk tidak mengerjakan hitungan tersebut.
Bahkan lebih rumit lagi, mungkin bisa kita katakan, bahwa membenci seseorang adalah ikatan yang negatif. Saya tidak dapat memadamkan rasa benci itu, sama halnya saya tidak dapat memadamkan rasa cinta pada seseorang, hanya dengan menimbulkan lebih banyak emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini mungkin dapat dipakai untuk menerangkan sedikit ajaran Buddha tentang hukum karma, yang mengklaim bahwa dalam reinkarnasi yang akan datang, kita akan berjumpa dengan orang-orang, yang secara istimewa kita benci atau cinta dalam kehidupan ini. Ini agak mengerikan, saya selalu berpikir….
Karena kebencian membuat kita sering menderita dan emosi-emosi itu sendiri sudah sepenuhnya keluar dari kehidupan yang harmonis – kita selalu berusaha menekannya sedapat-dapatnya. Dan jika kita menerimanya biasanya kita membenci diri kita sendiri karena itu, yang tidak lain adalah ikatan yang negatif dari sang aku kita.
Saya merasa, Buddha Dhamma sangat unik bila dibandingkan dengan agama-agama lain dalam hal kebijaksanaannya yang mendalam. Tak ada soal merendahkan diri dalam bentuk apa pun, seperti Sang Buddha telah membuktikan dalam pikiran dan tubuhnya. Karena mengasihi diri sendiri maupun membenci diri sendiri membentuk kemelekatan. Hanya dengan meninggalkan khayalan-khayalan sang aku melalui jalan tengah – tercapai pelepasan yang sejati – manusia bisa melepaskan diri dari segala penderitaan.

6. Kekuatiran

Seperti telah saya jelaskan di bagian permulaan, kekuatiran adalah paling berbahaya dari semua emosi-emosi kita. Mengapa? Karena hal ini timbul dari perasaan yang tidak aman. Dan akar penyebab dari rasa tidak aman adalah kemelekatan yang sudah kita kenal sejak lama.
Ketika Dr. Suzuki mengatakan secara bijaksana bahwa kesulitan kita mulai dari timbulnya kesadaran “ini dan itu,” ia menyatakan secara tidak langsung penderitaan kita disebabkan oleh kemelekatan. Pada saat saya menempatkan ego saya di pusat alam semesta, saya mulai membedakan antara ini dan itu. Dan dengan demikian saya mulai terikat. Jadi kita mungkin berkata: Timbulnya kesadaran akan ini dan itu menghasilkan kekuatan ikatan (kemelekatan).
Berbagai jenis emosi yang telah saya bahas, timbul dari bermacam-macam ikatan tertentu, tetapi perasaan tidak aman kita yang berkepanjanganlah yang menghasilkan kekuatiran pada umumnya, yang berasal langsung dari kekuatan kemelekatan. Kesunyataan yang kedua dari Empat Kesunyataan menyatakan: Asal mula penderitaan adalah keinginan!
Sesudah menerima pernyataan ini kita dapat maju selangkah lagi dengan mengatakan bahwa kita terikat demikian kuatnya pada kehidupan ini – sangat terikat, karena kita takut terhadap sesuatu yang tak diketahui, bila kita mati dan takut terhadap apa yang terjadi sesudah itu. Sejumlah besar ketakutan kita akan kematian dapat ditelusuri berasal dari rasa takut mati yang berada dalam diri kita.
Namun demikian, tentu saja takut akan kematian ini sumbernya adalah kemelekatan (keterikatan).
Bagi saya sendiri, kekuatiran selalu menyatakan dirinya dalam bentuk ketegangan emosi. Jika hal ini cukup kuat, akan menimbulkan ketegangan jasmani juga. Dan ketika hal tersebut mereda melalui tindakan mengamati, biasanya masih ada ketegangan mental sebagai hadiah perpisahan. Ketegangan mental yang masih ada cepat masuk ke dalam pikiran-pikiran saya sampai seakan-akan saya sedang menunggangi kuda komidi putar. Ini membutuhkan waktu untuk memahaminya – tetapi sekarang saya selalu mengenalinya sebagai pola tetap yang selalu berulang lagi. Berbagai macam ketegangan, tentu saja, merupakan bagian dari ketegangan sejati akibat kemelekatan, yang menyatakan dirinya sendiri melalui bermacam-macam saluran sesuai intensitasnya
Ini perlu diketahui, supaya kita tidak mudah ragu oleh berbagai istilah yang kita lekatkan pada ketegangan akibat kemelekatan itu.
Setelah kita membahas tentang kemelekatan panjang lebar, saya harus memperingatkan anda, atau lebih baik, mendorong anda: Karena saya hanya memaparkan semuanya ini dalam konsep-konsep yang bisa dimengerti otak kita, ini tidak berarti kemelekatan adalah sesuatu yang nyata. Ini hanya nyata dalam pikiran khayal kita – jangan sampai kita keliru tentang hal ini.
Karena itu, kita bahkan menjadi tidak berdaya karena sangat tegang. Kita terikat pada kekuatiran-kekuatiran kita sendiri – kita takut pada ketakutan kita sendiri. Tetapi, sekali kita berhasil mematahkan khayalan – ilusi pikiran ini – bahkan untuk waktu yang singkat – ketegangan tersebut akan hancur lebur dalam semua bentuknya untuk sementara, sehingga kita merasa heran apa sebetulnya semua ketegangan tadi. Tetapi, saya akan membahas ini lebih lengkap sekarang.
Marilah kita kembali lagi pada soal Samsara, yaitu penderitaan di dunia yang fana ini.
Andaikata kuatnya kemelekatan itu mula-mula memperlihatkan dirinya dalam bentuk perasaan khawatir: Apa yang harus kita lakukan terhadap sekam yang sedang membara ini? Biasanya, kita mulai memberi umpan berupa pikiran – ya, segala macam pikiran. Otak kita lalu memberikan perasaan kuatir yang umum ini sebuah etiket dan mengubah hal itu menjadi kekuatiran saya yang khusus – yang berbeda dengan kekuatiran anda. Misalnya: Apakah saya dapat menangani pekerjaan ini dan itu besok? Sekarang, bila kita tidak memberi bara yang cocok pada sekam itu, mungkin sekam itu akan mati sendiri perlahan-lahan, daripada menjadi api yang menyala.
Tetapi, kadang-kadang yang lebih buruk terjadi, yaitu api menjadi makin besar dan makin besar sampai tak bisa dikendalikan. Apa yang telah terjadi? Tiba-tiba saya telah menderita demikian banyak kekuatiran, di samping rasa takut lainnya, saya juga mulai merasa takut terhadap kekuatiran saya.
Dalam keputusasaan saya, saya terikat pada kemelekatan saya sendiri. Tetapi, tentunya ini begitu halus sehingga kesadaran saya belum dapat menyerapnya.
Sekali lagi: Kesadaran – ketidakmelekatan – adalah obat untuk semua kekuatiran. Tetapi, saya harus menyadari, bahwa walaupun kekuatiran saya telah hilang untuk saat itu, itu bisa muncul lagi – mungkin kekuatiran yang sama atau berbeda bentuknya.
Karena buah karma saya, pola kebodohan yang sama akan memperlihatkan dirinya sendiri untuk waktu yang lama. Tetapi, hal itu akan berkurang intensitasnya, sebanding dengan bertambahnya pengalaman saya, dan akibatnya wawasan saya akan makin berkembang. Karma saya yang baru, reaksi saya terhadap akibat karma yang dulu mulai semakin sehat.
Dalam usaha untuk menyadari kekuatiran itu ada dua tingkatan:

  1. Ketika kekuatiran tertentu menjadi kekuatiran yang sungguh-sungguh.
  2. Ketika kekuatiran itu lenyap sama sekali pada saat itu.

Kadang-kadang, bahkan saya dapat menyadari kekuatiran tersebut sebelum saya dapat memberi nama dan dalam hal ini tentu lebih mudah mengatasinya, Tetapi, kadang-kadang ketegangan saya akibat kekuatiran tampaknya menjadi semakin buruk, bukannya makin baik. Apa yang salah? Saya begitu terpaku pada tujuan saya: tujuan untuk membebaskan diri saya dari penderitaan – karena selain tegang akibat kekuatiran – saya juga tegang dengan keterikatan pada tujuan saya. Sang aku menginginkan kelepasan ikatan dan itu hanya menambah ikatan baru pada semua yang sudah ada. Apa yang harus saya lakukan?
Dalam hal ini jawabannya tetap, yaitu kurangnya keyakinan. Keyakinan pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mungkin seseorang bertanya, “Apa yang harus dilakukan untuk memperoleh keyakinan?”
Saya khawatir pertanyaan ini sejak semula sudah salah, karena sang aku tak pernah bisa yakin terhadap apa pun. Satu-satunya hal yang dapat dilakukannya hanyalah merendahkan diri, bukan kepada orang lain, tetapi terhadap Sang Aku sendiri, terhadap diri sendiri.
Pada hakekatnya, Sang Aku ini melambangkan kebodohan (avijja) dan menerima hal ini berarti merendahkan diri. Akibatnya, juga akan ada sikap menerima yang benar terhadap penderitaan saya dan selanjutnya sang aku akan merasa tenang untuk waktu yang lebih lama. Ini berarti untuk sementara waktu penderitaan akan lenyap.
Sekarang, mari kita renungkan sejenak mengapa sikap menerima yang benar terhadap penderitaan adalah satu-satunya cara penyembuhan, sedangkan menekan penderitaan akan menyebabkan penderitaan semakin parah. Konsep ini sukar diterangkan – tetapi akan saya coba.
Bila saya menekan penderitaan, sebenarnya saya hanya mendorong kemelekatan saya ke bawah sadar. Bagaimanapun, saya selalu membayangkan pikiran bawah sadar itu sebagai gudang besar tempat menimbun atau menyimpan barang-barang yang tidak menyenangkan atau yang tidak ingin kita lihat lagi. Tetapi, kalau baunya sudah terlalu busuk, maka kita akan buru-buru membuka gudang itu sebentar untuk mengeluarkan barang-barang yang busuk tersebut, kemudian segera menutup dan menguncinya lagi.
Tetapi kekacauan yang sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa saya masih melekat pada semua emosi-emosi yang ada di bawah sadar, walaupun berada di luar jangkauan kesadaran kita. Supaya emosi-emosi itu tetap berada di bawah sadar, saya membutuhkan banyak energi, yang hanya menambah penderitaan saya
Marilah kita meninjau soal penerimaan – sikap menerima yang benar secara Buddhis – yaitu yang sebaliknya, membangun ketidakmelekatan, di mana sang aku tidak lagi diikat oleh kemelekatan. Demikianlah, begitu sederhana, namun merupakan hal yang paling sulit bagi sang aku.
Baiklah kita lihat sekali lagi hal yang penting, yaitu penerimaan yang benar terhadap penderitaan kita yang disebabkan oleh kekhawatiran. Seperti telah saya jelaskan sebelumnya, hanya tindakan penerimaanlah yang menyembuhkan: menghentikan penderitaan. Jika sang aku tidak terlibat, maka keinginan pun tidak ada. Kita tidak lagi terikat oleh: “saya ingin” atau “saya tidak ingin”. Jadi sikap menerima yang benar berarti ketidakmelekatan.
Nah, sementara penderitaan berhenti, semua energi kita, yang biasanya digunakan untuk membuat sang aku yakin, tidak digunakan lagi. Maka, tak ada lagi yang menghalangi hubungan kita dengan alam semesta. Akhirnya, Metta dan Karuna dapat mengalir masuk keluar dengan bebas. Dengan usaha yang benar mengubah penderitaan menjadi tanpa derita, kita memperoleh ketenangan-ketenangan yang melampaui pengertian kita. Untuk sementara waktu, kita telah disembuhkan dari ketegangan akibat kekuatiran!

Leave a Reply 0 comments