TINDAKAN SEJATI
90. Tindakan adalah sesuatu yang kita perbuat dengan menggerakkan badan kita. Tindakan salah adalah tindakan yang disertai dorongan negatif dan menghasilkan dampak negatif, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain; sebaliknya Tindakan Sejati (samma kammanta) disertai dorongan positif dan mempunyai dampak positif baik pada diri sendiri maupun diri orang lain. Karena setiap makhluk hidup sangat menghargai hidupnya dan hidup dari yang mereka cintai, maka membunuh mereka atau mengancam kehidupan mereka adalah salah satu dari yang terburuk yang dapat dilakukan seorang padanya. Pembunuhan melibatkan kekerasan, ketakutan dan kesakitan pada diri korban, dan akan memperkuat kecenderungan kekerasan, kebencian dan hati tak berbelaskasih pada pelakunya. Bila kita menjaga perasaan orang lain, kita tidak akan membunuh atau menyebabkan kesakitan pada mereka seperti halnya kita tidak lakukan pada diri sendiri. Sang Buddha bersabda:
Semua gemetar pada kekerasan, semua takut kematian
Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
Oleh karenanya jangan membunuh ataupun menyebabkan mereka terbunuh.Semua gemetar pada kekerasan, semua menghargai hidup
Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
Oleh karenanya jangan membunuh ataupun menyebabkan mereka terbunuh.1
Dan bila kita ingin lebih nengembangkan kasih-sayang, sedemikian kuat dan luasnya, seperti semestinya, maka adalah masuk akal bahwa kita juga hendaknya menghindari pembunuhan makhluk apa pun, tidak hanya manusia.
91. Berpantang dan menghindari mengambil hidup makhluk lain, adalah suatu aspek teramat penting dari Tindakan Sejati, dengan sendirinya adalah penghargaan pada kehidupan. Usaha-usaha untuk membuat keadaan dan segala benda-benda menjadi aman sedemikian rupa sehingga tidak dapat melukai seseorang, menghilangkan penyakit, memberi pernaungan dan perlindungan pada yang memerlukan, membantu memberi kedamaian dan merujukkan pertikaian-pertikaian adalah tindakan-tindakan positif terbaik yang selalu dapat kita prakarsai. Hal lain, yang oleh Sang Buddha sangat ditekankan, sebagai langkah mempertahankan dan menghargai kehidupan, adalah merawat dan menyembuhkan orang sakit. Sang Buddha menyebut dirinya sendiri “dokter yang baik” (anuttaro bhisako)2, yang dalam hal ini berarti Beliau dapat menyembuhkan mereka yang rohani-nya sakit oleh karena kekotoran-batin, dengan obat Dhamma.3 Tapi Beliau memang adalah seorang tabib dan perawat bagi mereka yang sakit badaniah. Kitab Suci Tipitaka mencatat banyak kali, Beliau mengunjungi orang sakit, menasehati dan menghibur mereka, malah merawat mereka.
Pada waktu itu, seorang bhikkhu menderita disentri, dan berbaring lemah ditempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Sang Buddha dan Ananda yang lagi mengunjungi tempat itu, menjenguk bhikkhu tersebut, seraya bertanya: “Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?”
“Saya menderita disentri.”
“Apa tidak ada yang merawatmu?”
“Tidak ada, Tuanku.”
“Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?”
“Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Tuanku.”
Lalu, Sang Buddha berseru pada Ananda: “Pergi dan ambillah air. Kita akan memandikan bhikkhu ini.” Dengan demikian, Ananda mengambil air; sementara Sang Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Sang Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya.
Kemudian, Sang Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya pada mereka: “Kenapa, wahai para bhikkhu, engkau tidak merawat bhikkhu sakit itu?”
“Sebab sudah tidak berguna bagi kita, Yang Mulia.”
“Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat, siapa yang akan melakukannya? Siapa yang ingin merawat Daku, hendaknya merawat pula mereka yang sakit.”4
Jelas, berbicara dalam kebenaran (sacca) berarti menghindari kebohongan, pembicaraan mendua (tidak konsisten), melebih-lebihkan, kebenaran setengah-setengah; berbicara dalam kebenaran berarti berbicara hanya sesuai kenyataan yang diketahui. Seperti telah kita pelajari sebelumnya, kehendak yang muncul sebelum berbuat sesuatu sangatlah berperan. Seseorang dapat saja mengatakan suatu kebenaran tapi disertai keinginan untuk menyakiti hati dapat saja menutup kebenaran atau malah berbohong tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan. Kebenaran hendaknya tidak digunakan untuk menyakiti hati seseorang, bila kebenaran yang merugikan seseorang harus diutarakan, maka harus dilakukan dengan hati-hati, penuh pertimbangan dan tenggang rasa. Demikian pula, hendaknya kita hanya terpaksa menutupi kebenaran atau berbohong, apabila tidak ada pilihan lain dan kita telah mawas pada kemungkinan kepentingan-kepentingan pribadi. Namun dalam kebanyakan situasi, kejujuran tetaplah cara terbaik. Bila kita telah berbicara dengan benar, kita tidak pernah kwatir pada kemungkinan ketahuan berbohong dikemudian hari, dan kita tidak akan terjerat dengan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Menjadi jujur adalah memiliki hati-nurani yang sejati, dapat dipercayai, dapat diharapkan dan dihargai oleh sesamanya.
Dengan lima cara, seorang yang merawat orang sakit adalah tepat merawat si sakit. Apa lima itu? Dia menyiapkan obat; dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya, dan yang tidak baik tidak ditawarkannya; dia merawat si sakit dengan cinta-kasih, tanpa pamrih; dia tak tergoyah oleh tinja, kencing, muntah dan ludah; dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.5
Bila kita dapat merawat orang sakit, dengan mengembangkan hal-hal seperti diatas, kita telah dapat menambah nilai rohani mereka seperti yang telah kita lakukan pada jasmani mereka. Subhasitaratnakhosa membuat perumpamaan sederhana tentang mereka yang dapat menyampingkan kepentingan pribadinya, bertindak tak mementingkan diri sendiri, dengan perumpamaan sebuah pohon.
Pohon memberi naungan bagi yang lain,
Sementara dia sendiri ditimpa panas matahari,
Buah yang dihasilkannya diperuntukkan bagi yang lain
Demikianlah orang-baik adalah bagaikan pohon.6
92. Dalam hubungannya dengan yang telah diajarkan tentang pembunuhan; apakah seorang Buddhis hendaknya vegetaris? Pada zaman Sang Buddha, juga pada zaman ini, ada pendapat bahwa makanan tertentu, terutama daging, akan menghilangkan kemurnian dan menodai mereka yang memakannya. Agama Buddha secara jelas mengatakan bukan karena makanan kita menjadi ternoda – hanya pikiran, perbuatan dan perkataan yang jahat, yang mengotori kita.
Apabila seseorang kasar, congkak, menghasut, menipu, licik dan tidak mau berbagi pada orang lain.
Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.Kemarahan, kesombongan, keras kepala, keinginan jahat, licik, cemburu, angkuh, berkelompok dengan mereka yang jahat.
Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.Bermoral jelek, tak membayar utang, bergunjing, menipu, bersaksi-dusta, berbuat jahat seperti itu kepada yang lainnya.
Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.7
Sebagian orang lainnya menjadi vegetaris, bukan karena anggapan bahwa daging menyebabkan mereka ternodai, tetapi karena menganggap bahwa dengan memakan daging, maka mereka terlibat pembunuhan, walaupun tidak langsung. Apa yang dikatakan Sang Buddha tentang ini? Pertama, Sang Buddha sendiri bukanlah seorang vegetaris, tidak ada rekaman selama empat puluh tahun masa penyebaran ajaran-Nya, yang menunjukkan bahwa Beliau menganjurkan hidup vegetaris. Dalam peraturan kebhikkhuan Sang Buddha berkata bahwa daging-daging binatang liar tertentu jangan dimakan, hal ini berarti daging yang lainnya dapat dimakan;8 pada lain kesempatan secara rinci Sang Buddha menganjurkan pemberian kaldu daging untuk memberi kekuatan pada tubuh yang sedang sakit.9 Sewaktu sepupu Sang Buddha, Devadatta, meminta pada Sang Buddha agar peraturan pertapaan yang keras, yang salah satu diantaranya adalah berpantang makan daging, diperlakukan bagi para bhikkhu; Sang Buddha ternyata tidak menerima permintaan itu.10 Sekali waktu, sekelompok orang Jain mencoba menjatuhkan nama Sang Buddha dan Siswa-Nya, karena menerima dan memakan makanan berdaging yang ditawarkan kepada mereka. Menjawab pertanyaan Siswa-Nya, atas pertanyaan apa yang harus dilakukan bila makanan berdaging ditawarkan pada mereka, Sang Buddha berkata agar mereka hendaknya menerimanya, kecuali bila melihat, mendengar, ataupun mencurigai, bahwa hewan itu khusus dibunuh untuk menjadi makanan mereka.11
93. Dengan demikian posisi ajaran Sang Buddha dalam hal ini adalah jelas. Ada dua kasus yang berbeda: Pertama, adalah membunuh dengan tangan sendiri, menyuruh seseorang untuk membunuh atas namanya, atau membiarkan seseorang untuk membunuh atas namanya; ke dua, adalah memakan daging dari binatang yang dibunuh tanpa izin, persetujuan dan setahu dari seseorang. Pada kasus pertama, seseorang bertanggung jawab langsung; pada kasus ke dua seseorang, sedikit atau banyak turut bertanggung jawab secara tidak langsung. Kritik dilontarkan pada tradisi Buddhis kuno dalam perbedaan pendapat ini dengan menyatakan bahwa kedua kasus diatas tidak jauh berbeda. Walau demikian, seseorang vegetaris ketat sekali pun sama tanggung jawabnya dengan pemakan daging, terhadap makhluk yang dibunuh secara tidak langsung. Sayuran, sebagai makanan para vegetaris tidak luput dari penyemprotan hama serangga; pula para vegetarian mungkin pula menggunakan sepatu kulit, mereka juga mengkin menggunakan bahan-bahan rumah tangga yang dibuat dari bagian-bagian hewan (misalnya sabun yang dibuat dari lemak hewan), mereka juga tanpa ragu menggunakan obat terdiri dari serum hewan atau dibuat setelah dicoba dengan mengorbankan binatang percobaan. Dari seluruh produk hewan, tentunya tidak saja yang dimakan yang ditolak; secara konsekwen, untuk menjadi vegetaris mutlak, seorang hendaknya juga tidak menggunakan seluruh produk hewan dan sayuran yang dibudidayakan. Jadi, untuk sekadar hidup berarti harus “memurnikan” makanannya, lingkungannya dan hidupnya, padahal sebenarnya demikianlah hakekat keberadaan alam yang tidak dapat memuaskan secara mutlak. Pada dasarnya, seorang Buddhis hendaknya mengerjakan apa saja untuk mencegah pembunuhan; dia bisa memilih menjadi vegetaris, orang lainnya mungkin lebih jauh, yang lain lagi mungkin tak sejauh itu. Setiap orang bebas menentukan caranya masing-masing. Tapi walau bagaimana pun juga, mereka yang non-vegetaris, secara spiritual mengambil peranan yang sama dengan para vegetaris.
94. Mencuri adalah suatu tindakan salah sebab memperkuat keserakahan, kelicikan dan kebohongan pada orang yang melakukan pencurian, dan menyebabkan kesusahan dan penyesalan pada mereka yang kecurian. Dalam melaksanakan ajaran Sang Buddha, kita menghindari mengambil barang milik orang lain, malah sebaliknya diajar membagi barang milik kita pada orang lain. Kedermawanan (dana) dan kemurahan-hati (caga), tidak hanya mengurangi rasa-kepemilikan, tapi juga memenangkan rasa hormat, mengikat persahabatan dan memberi kegembiraan pada yang lain. Pesan Sang Buddha:
“Apakah mungkin, Yang Mulia Guru, melihat hasil nyata dari kedermawanan?”
Sang Buddha menjawab: “Ya, kita dapat melihat hasil nyata dari kedermawanan. Pemberi, si dermawan, akan dicintai dan disayangi oleh banyak orang. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Mereka yang bijaksana dan baik, meneladaninya. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Nama-harumnya akan menyebar kemana-mana. Ini juga adalah hasil yang nyata dari kedermawanan. Juga, kemana pun dia bergabung, akan dihargai; diterima dengan rasa aman dan tanpa kesulitan oleh para Brahmana, para perumah tangga atau pun yang hidup menyepi. Inilah hasil yang nyata dari pemberian. Dan pada akhirnya, si pemberi, si dermawan, setelah kematiannya akan terlahir di alam surga. Inilah hasil nyata yang terlihat kemudian.12
95. Secara tradisional di dalam agama Buddha dikenal empat macam pemberian. Yang pertama adalah pemberian barang materi (amisa dana). Termasuk disini pemberian makanan, pakaian, uang dan barang-barang lain yang dapat berguna bagi orang lain. Sang Buddha mengajak kita untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pemberian dan mempertimbangkan dampak pemberian pada yang menerimanya. Dengan demikian, akan terlihat bahwa pemberian, walau sekadar materi, akan sangat berharga, baik pada pemberi juga pada penerima. Sebagai contoh, bila kita memberi obat pada seorang, maka kita tidak hanya sekadar memberinya kumpulan bahan kimia (yang bernama obat), tapi kita telah pula memberi kesehatan dan kebahagiaan, malah kita mungkin telah pula memberi hidup. Dalam hal pemberian makanan Sang Buddha bersabda:>
Sewaktu memberi makanan, si pemberi telah pula memberi lima hal. Apa yang lima itu? Dia memberi hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi. Dalam pemberian itu, si pemberi telah mengambil-bagian pula dalam hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi, saat ini maupun saat akan datang.13
Pemberian lain adalah pemberian tenaga (parichaya dana), yang berarti meminjamkan bakat, keahlian dan waktu kita kepada seorang atau perhimpunan yang membutuhkannya. Bekerja sukarela pada usaha-usaha kemanusiaan, pada vihara-vihara dan organisasi Buddhis adalah contoh yang baik dari pemberian ini. Macam pemberian ke tiga adalah pemberian rasa-aman (abhayadana). Sangat sering, masyarakat sekeliling kita ditakutkan oleh sikap pikiran mereka sendiri; imajinasi menyebabkan mereka selalu mengkwatirkan hal yang baru ‘mungkin’ terjadi, bukannya pada hal-hal yang benar kenyataan dan menjadi ancaman sebenarnya. Dalam hal ini, kata-kata yang memberi keyakinan dan ketenangan akan dapat meniup kabut ketakutan itu. Di antara rasa takut, maka rasa takut pada kematian adalah yang paling menakutkan, terutama bila kematian telah dekat. Bila kita telah berkeyakinan kokoh pada Tiga Permata (Buddha, Dhamma dan Sangha), bila kita bermoral tinggi dan bila kita telah mengerti proses kelahiran kembali, kematian bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Perasaan tak takut pada kematian inilah yang hendaknya kita turut salurkan pada mereka yang menjelang kematiannya. Menganjurkan seorang yang menghadapi kematian untuk mengingat perbuatan-perbuatan baiknya, membantu memberi pengertian bahwa kematian adalah bagian alamiah dari proses kehidupan, atau sekadar menemani mereka, mendengarkan mereka atau membuat tubuh mereka lebih nyaman; semua hal diatas akan sangat membantu agar mereka dapat mati dengan perasaan damai dan tenang. Pemberian yang sangat dekat dengan pemberian rasa-aman adalah pemberian Dhamma (dhamma dana), yang oleh Sang Buddha disebut sebagai pemberian yang termulia.14 Selain secara langsung membabarkan Dhamma pada yang lain, maka kita dapat memberi dana Dhamma dengan cara menulis buku-buku tentang agama Buddha, mencetaknya untuk dibagikan cuma-cuma, membantu kehidupan para bhikkhu dan para pandita dan juga perhimpunan yang menangani usaha-usaha itu.
96. Kita dapat menyampaikan pesan, agar seorang suka berdana dengan berbagai cara dan motivasi, karena tidak semua orang memiliki semangat menolong dan cinta-kasih yang diharapkan mendorongnya berdana. Mengacu pada orang yang mengembangkan kedermawaan, Paramitasamasa menjelaskan, sebagai berikut:
Pemberi; tidak berfoya-foya, yang adalah racun; tidak mencelakakan orang lain; tidak takut dan tidak malu; dan tidak mencari-cari mereka yang dianggapnya pantas untuk menerima.
Dia tidak memberi sesuatu yang perlu bila yang lainnya masih baik, atau dengan memandang rendah berpikir: “Mereka tidak pantas untuk ditawari,” dia juga tidak menurunkan nilai pemberiannya dengan mengharapkan balasan, dia juga tidak memberi tanpa ketulusan atau keraguan.
Bila memberi pada orang bijaksana, dia tidak merasa bangga berlebihan; bila memberi pada orang biasa, dia tidak merasa terhina. Dia memberi dengan rela, tidak akan memandang tinggi dirinya juga tidak memandang rendah yang lainnya.
Dia tidak memberi dengan maksud yang tidak baik; dia tidak memberi tanpa cita-cita mulia. Dia tidak memberi dengan kemarahan, juga tidak menyesali apa yang telah dia berikan.
Dia tidak memberi banyak bila dipuji atau sedikit bila tidak dipuji. Dia tidak memberi sesuatu yang merugikan atau menimbulkan perilaku tercela.15
97. Seks adalah aspek penting dalam menyangkut masalah biologi dan psikologis. Tujuan utama adalah untuk me-reproduksi turunan, tapi juga berkembang dari sekadar masalah batiniah dan isteri. Sering dorongan seksual dibumbui oleh takhyul dan tabu sehingga menjadikannya sumber perasaan bersalah, ketakutan dan penyakit mental. Demikian pula, dorongan seksual tak terkendali akan menyebabkan frustrasi, perzinahan, dan penderaan. Untuk menolong kita, menghindari kedua ekstrim diatas, sedemikian rupa sehingga masalah seks ditempatkan pada tempat yang tepat baik secara badaniah, psikologis dan kehidupan sosial, Sang Buddha mengajar kita agar menghindari apa yang disebut-Nya sebagai ‘Perilaku-seksual yang salah’ (kamesu miccha cara). Perilaku-seksual yang salah adalah semua perilaku yang merugikan diri kita atau diri orang lain. Pemerkosaan adalah contoh yang jelas dari perilaku-seksual yang salah. Perzinaan adalah contoh lainnya sebab menyebabkan pengingkaran janji, kebohongan dan kepalsuan, terpisah dari perasaan dihianati yang mungkin disebabkannya. Mengambil keuntungan dari orang yang bodoh, orang yang mudah tertipu atau orang yang ber-emosi lemah, demi memuaskan dorongan seksual adalah juga perilaku-seksual yang salah. Perzinaan, walau mungkin tidak secara langsung menyakiti hati seorang atau orang lain, akan mencampakkan kita dari kehidupan mulia dan cenderung membuat kita tidak berhati-hati pada perasaan dan harapan seseorang. Agama Buddha, sejalan dengan pemikiran moderen, yakni bahwa baik masturbasi, maupun seks pranikah yang dilandasi kebahagiaan dan tanggung jawab bersama, bukanlah masalah dosa/kesalahan. Hubungan seks sebelum pernikahan adalah tercela karena dapat menyebabkan kehamilan dan segala keadaan yang disebabkannya, yang kemudian berakhir dengan tindakan-tindakan yang merugikan batin. Pengendalian diri dan penyederhanaan dalam dorongan seks adalah apa yang disebut sebagai perilaku-seksual yang terlatih baik bagi seorang Buddhis.
98. Karena agama Buddha sangat mengutamakan pikiran (dalam hal ini peranannya, latihan-latihannya dan perubahan-perubahannya), maka dengan sendirinya keadaan jasmani jugalah penting, karena dapat mempengaruhi keadaan pikiran/batin kita. Oleh karenanya Sang Buddha mengajarkan agar kita senantiasa menjaga kesehatan badan.16 Olah raga, diet seimbang, sederhana dalam makanan, dan paling penting menghindari minuman-keras dan obat-obatan yang menyebabkan kecanduan; adalah sangat membantu menjaga kesehatan itu. Berpantang minuman-keras adalah mutlak dalam pelaksanaan tata kehidupan seorang Buddhis.
Mereka yang mengikuti jalan Dhamma
Hendaknya tidak minum minuman-keras
Atau menyarankan seseorang untuk meminumnya,
Karena mengetahui akibat dari kemabukan.Disebabkan mabuk,
Seorang yang bodoh berbuat sesuatu yang tercela
Dan juga menyebabkan orang lainnya tak berhati-hati
Hindarilah akar dari tindakan salah ini,
Kebodohan ini hanya disenangi mereka yang bodoh.17
Bila kita mabuk, kesadaran akan menurun dan kecerobohan terjadi, dengan demikian kita mudah berbuat kesalahan. Walau mungkin tidak langsung merugikan jasmani bila di minum dalam jumlah sedikit, namun lama kelamaan sebagai mana biasanya jumlah yang diminum akan bertambah banyak, dan dengan demikian akan merugikan jasmani. Dalam keadaan mabuk tak disangkal lagi, seseorang mudah mencelakakan dirinya sendiri. Tapi, yang lebih buruk, minuman keras sangat merugikan batin dan pikiran, menyebabkan hilangnya kewaspadaan, dengan demikian menonjolkan hal-hal yang justru harus diatasi dalam pelaksanaan tata kehidupan Buddhis.