Tittha Jataka

TITHA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Gantilah tempatnya olehmu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berada di Jetawana, mengenai seorang mantan tukang emas yang telah menjadi bhikkhu dan tinggal bersama sang Panglima Dhamma (Sāriputta).

Hanya seorang Buddha yang memiliki pemahaman isi hati dan dapat membaca pikiran manusia. Oleh karena itu, tanpa kekuatan itu, sang Panglima Dhamma hanya dapat memahami sedikit isi hati dan pikiran dari teman satu ruangannya, memberikan objek perenungan terhadap noda pikiran kepadanya. Inilah alasan mengapa objek itu tidak begitu bermanfaat baginya. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, ia dilahirkan selama lima ratus kali berturut-turut sebagai seorang tukang emas. Akibat terus menerus melihat keindahan emas murni dalam waktu yang begitu lama, objek perenungan yang diberikan oleh Thera Sāriputta menjadi tidak begitu membantunya. Ia menghabiskan waktu empat bulan tanpa mendapatkan kemajuan apa pun selain yang berhasil dicapainya saat permulaan latihan. Mengetahui bahwa ia tidak mampu membantu teman satu ruangannya mencapai tingkat kesucian Arahat, sang Panglima Dhamma berpikir, “Tidak ada orang lain lagi, selain Buddha sendiri, yang mampu memperbaiki hal ini. Saya akan membawanya menemui Sang Buddha.” Maka saat fajar menyingsing, ia membawa bhikkhu itu menemui Sang Buddha.

“Ada apa, Sāriputta?” tanya Sang Guru, “Apa yang membuatmu datang bersama bhikkhu ini?” “Bhante, saya memberikan sebuah objek perenungan untuknya. Setelah menghabiskan waktu empat bulan, ia masih belum mencapai kemajuan apa pun selain hasil yang dicapainya di awal pelatihan; Saya membawanya menemui Anda, karena berpikir tidak ada orang lain selain seorang Buddha yang dapat mengubah keadaan ini.” “Objek meditasi apa yang engkau berikan padanya, Sāriputta?” “Objek perenungan terhadap noda pikiran, Bhagawan.” “Sāriputta, engkau masih belum memiliki kemampuan untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Engkau boleh pergi terlebih dahulu, dan kembali di sore hari untuk menjemput teman satu ruanganmu ini.”

Setelah meminta thera senior itu pergi, Sang Guru memberikan jubah dalam dan luar yang bagus kepadanya, membuat bhikkhu itu tetap berada di sisinya saat Beliau pergi ke kota melakukan pindapata, melihat Beliau menerima berbagai macam makanan yang didanakan. Saat kembali ke wihara, ia dikelilingi oleh para bhikkhu, sementara Sang Bhagawan beristirahat siang [183] di ruangan yang wangi (gandhakuṭi). Di sore harinya, Sang Guru bersama bhikkhu itu berjalan di sekitar wihara tersebut, Beliau menciptakan sebuah kolam dengan rumpun bunga teratai di dalamnya, dimana teratai itu terlihat sangat indah. “Duduklah di sini, Bhikkhu,” kata Beliau, “dan tataplah bunga ini.” Meninggalkan bhikkhu itu disana, Beliau kembali ke ruangan-Nya yang wangi.

Bhikkhu itu terus menerus menatap bunga itu. Sang Bhagawan membuat bunga tersebut layu. Saat bhikkhu itu masih menatap bunga tersebut, bunga tersebut mulai melayu; kelopaknya berguguran, mulai dari bagian pinggirnya, sejenak kemudian, semua kelopaknya menghilang, berikutnya, benang sari bunga tersebut mulai berjatuhan hingga bagian yang tersisa hanyalah jantung bunga. Melihat proses tersebut, bhikkhu ini berpikir, “Walaupun awalnya bunga ini begitu cantik dan segar; namun akhirnya, warnanya pudar, kelopak dan benang sarinya berguguran, hingga yang tersisa hanyalah jantung bunga. Jika pembusukan dapat menimpa bunga teratai yang seindah ini; apa yang tidak akan menimpa jasmaniku? Semua benda yang terbentuk dari penggabungan beberapa komponen adalah tidak kekal adanya!” Dengan pikiran tersebut, ia mencapai pencerahan.

Mengetahui pikiran bhikkhu itu telah tercerahkan, Sang Guru yang sedang duduk di ruangan wangi itu mengirimkan seberkas bentuk yang mirip dirinya ke tempat tersebut, dan mengucapkan syair ini : —

Buanglah rasa cinta terhadap diri sendiri, dengan tangan
yang kau gunakan untuk memetik
bunga teratai di musim gugur. Persiapkan hatimu
untuk ini, tidak untuk yang lainnya; Jalan menuju kedamaian yang sempurna,
dan menuju pemadaman (terhadap nafsu keinginan)
yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Pada akhir syair ini, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Dengan pikiran bahwa ia tidak akan dilahirkan lagi, tidak dipusingkan oleh keadaan kehidupan dalam bentuk seperti apa pun setelah ini, dengan sepenuh hati ia mengucapkan syair berikut ini :

Ia yang hidup dengan pikiran yang matang;
ia yang telah bersih dan bebas dari segala jenis kekotoran,
dengan raga yang terakhir ini; Ia menjalani kehidupan yang suci,
adanya pemahaman yang mendalam, menjadikan ia sebagai seorang raja yang berkuasa; —
Ia, seperti bulan yang pada akhirnya memenangkan
jalannya dari cengkeraman Rāhu61,
telah memenangkan pembebasan yang tertinggi.

Kebodohan yang menutupiku, yang dibentuk oleh
khayalan yang timbul akibat adanya kegelapan, telah ditolak olehku ;

—Seperti, tertipu oleh ribuan sinar yang disorotkan oleh matahari,
yang menghiasi langit dengan siraman cahaya.

Setelah syair dan ungkapan kebahagiaan yang baru saja diucapkannya, ia menemui Sang Bhagawan dan memberikan penghormatan kepada Beliau. Thera Sāriputta yang datang setelahnya, memberikan penghormatan kepada Sang Guru, dan pergi bersama teman satu ruangannya.

Saat para bhikkhu mendengar kabar ini, [184] mereka semua berkumpul di Balai Kebenaran, duduk sambil memuji kebajikan Yang Maha Bijaksana, mereka berkata, “Awuso, karena tidak mengetahui isi hati dan pikiran manusia, Thera Sāriputta tidak mengetahui kecenderungan sifat teman satu ruangannya. Namun Sang Guru mengetahuinya. Hanya dalam waktu satu hari, Beliau mampu mengarahkan bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, sekaligus mencapai pengetahuan sempurna. Oh, betapa luar biasanya kemampuan yang mengagumkan dari seorang Buddha!”

Sang Guru memasuki balai tersebut dan duduk di tempat yang telah disediakan untuknya, bertanya, “Apa topik pembicaraan pertemuan ini, para Bhikkhu?”

“Tidak ada yang lain, Bhante, selain bahwa Engkau memiliki pemahaman tentang isi hati dan dapat membaca pikiran dari bhikkhu yang tinggal bersama sang Panglima Dhamma.”

“Hal ini bukan sesuatu yang mengagumkan, para Bhikkhu. Sebagai seorang Buddha, memang sudah seharusnya saya mengetahui kecenderungan sifat bhikkhu itu. Di kehidupan yang lampau saya juga mengetahui hal itu dengan baik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu, Brahmadatta memerintah di Benares. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual.

Suatu ketika, para penduduk memandikan seekor kuda liar di tempat pemandian kuda kerajaan. Saat tukang kuda membawa kuda kerajaan mandi di tempat pemandian tersebut, kuda itu merasa terhina sehingga ia menolak untuk mandi di tempat itu. Maka tukang kuda menghadap raja dan berkata, “Paduka, kuda kerajaan menolak untuk mandi.”

Raja meminta Bodhisatta menghadap dan berkata padanya, “Pergilah, wahai Yang bijak, dan temukan penyebab mengapa hewan tersebut tidak mau masuk ke dalam air saat tukang kuda membawanya ke tempat pemandian.” “Baik, Paduka,” jawab Bodhisatta. Ia segera pergi ke sisi perairan itu. Setibanya di sana, ia memeriksa kuda tersebut, menemukan bahwa kuda itu tidak mempunyai luka di bagian manapun dari tubuhnya. Ia mencoba memprediksikan penyebabnya, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada kuda lain yang telah mandi di tempat tersebut, sehingga kuda kerajaan merasa terhina dan tidak mau masuk ke dalam air. Ia bertanya kepada tukang kuda itu hewan apa yang telah mereka mandikan di sana sebelum ini. “Seekor kuda lain, Tuanku, — seekor hewan yang biasa-biasa saja.” “Ah, karena rasa cinta kepada dirinya sendiri, ia merasa tersinggung sehingga tidak mau masuk ke dalam air,” kata Bodhisatta kepada dirinya sendiri, “hal yang harus dilakukan adalah memandikan dia di tempat lain.” Maka ia berkata kepada tukang kuda itu, “Orang akan merasa bosan, Temanku, bahkan tentang pemilihan tempat, jika ia selalu mendapatkan hal yang sama. Ini juga terjadi pada kuda ini. Ia telah dimandikan di sini sebegitu banyak kalinya sehingga tak terhitung lagi. Bawalah ia ke tempat pemandian yang lain [185], mandikan dan beri ia minum di sana.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini :

Gantilah tempatnya olehmu, dan biarkan kuda itu minum.
Kadang di sini, kadang di sana, dengan selalu mengganti tempatnya.
Bahkan nasi-susu dapat memuakkan bagi manusia pada akhirnya.

Setelah mendengar perkataannya, mereka membawa kuda itu ke tempat yang lain, di sana ia minum dan mandi tanpa kesulitan. Saat tukang kuda memandikan kuda kerajaan tersebut setelah memberinya minum, Bodhisatta kembali untuk menghadap raja. “Baiklah,” kata Raja, “sudahkah kudaku minum dan mandi, Teman?” “Sudah, Paduka.” “Mengapa ia menolak untuk melakukan hal itu sebelumnya?” “Karena alasan berikut ini,” kata Bodhisatta, dan menceritakan keseluruhan kisah itu kepada Raja. “Orang ini benar-benar pintar,” kata raja, “ia bahkan bisa membaca pikiran seekor hewan.” Raja kemudian memberikan penghargaan kepada Bodhisatta. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya. Demikian juga dengan Bodhisatta, setelah meninggal ia terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya semasa hidup.

____________________

Setelah uraian itu berakhir, Beliau mengulangi apa yang telah dikatakan-Nya bahwa kecenderungan bhikkhu itu di masa lampau sama seperti saat sekarang ini. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan menga-takan, “Bhikkhu ini adalah kuda kerajaan itu, Ānanda merupakan sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”

Catatan kaki :

61 Rāhu adalah sebangsa Titan yang disebut-sebut menciptakan gerhana sementara dengan menelan matahari dan bulan.

Leave a Reply 0 comments