YM. Bhikkhu Girirakkhito Maha Thera
[Kontroversial Sang Pembabar Dharma Yang Pandai]
Lima Januari 1997 merupakan tanggal yang tidak akan dilupakan umat Buddha. Dihari Minggu itu, Bhikkhu Girirakhito Mahathera, Ketua umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia meninggal dunia. Bhikku Giri, yang sempat menjabat sebagai wakil Presiden Dewan Sangha Buddhis Sedunia (World Buddhist Sangha Council WBSC, periode 1985-1989) meninggal dengan tenang dikamarnya yang sekaligus berfungsi sebagai ruang kerja ketika ditunggui Hendra, dayangnya.
Banyak yang telah diperbuat Bhante Giri didalam masa kehidupannya yang cukup panjang itu. Masa kehidupan Bhante yang memiliki nama Pabajja Jinagiri ini bias terbagi dua fase besar. Fase pertama adalah sebagai seorang pemuda pejuang, perumah tangga dan tulang punggung keluarga, dan fase kedua atau sebagian dari hidupnya sampai berumur 70 tahun itu dihabiskan dalam pengabdiannya kepada Buddha Dharma. Bhante Giri tidak hanya dikenang sebagai seorang pejuang Dharma tetapi juga seorang pejuang yang membaktikan dirinya kepada bangsa dan negara.
Pejuang
Sebagai perumah tangga, Ida Bagus Giri yang lahir di Banjar, Buleleng pada tanggal 12 Januari 1927 ini beristerikan Made Kerti (Djero Made Wanasari) tahun 1945 yang memberinya empat orang putra dan seorang putri, 10 orang cucu dan 2 orang cicit. Sebagai tulang punggung keluarga, beliau pernah bekerja di pabrik semen, desa Temukus maupun berbisnis bermacam barang.
Sebagai pejuang yang mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara, pemuda Ida Bagus Giri sewaktu jaman revolusi pernah diangkat oleh Markas Besar Oemoem (MBO) sebagai intelligent, yang mengawasi gerak-gerik Belanda. Kegiatannya ini menyebabkan beliau sempat ditangkat Belanda selama empat bulan. Di tahun 1946-1949 beliau diangkat sebagai Direktur Koperasi Rakyat yang namanya Rukun Usaha. Sebagai Pemimpin pemuda pejuang diseluruh distrik Banjar, zaman Jepang (Sainengco), kemudian menjadi wakil punggawa (Fukungunco), dan banyak menyerap ilmu dari bosnya, tuan Suzuki, beliau merupakan saksi langsung perang di Buleleng.
Fase kedua merupakan masa dari sebagian besar kehidupannya untuk Buddha Dharma. Lebih dari tiga puluh tahun dihabiskan dalam pengabdiannya kepada Buddha Dharma dan masyarakat Buddhis di Indonesia. Banyak peristiwa yang dialami, disaksikan atau bahkan dilakoninya sendiri di dalam sejarah perkembangan agama Buddha Indonesia. Sebagai mana pengabdiannya terhadap Buddha Dharma, keterlibatannya dalam perang kemerdekaan merupakan sebagian dari pengabdiannya secara langsung terhadap bangsa dan negara.
Pengabdiannya terhadap agama, bangsa dan negara itu memperoleh wujudnya di Tahun 1994 ketika beliau menerima Satya Lencana Pembangunan Bidang Keagamaan, dari Presiden Republik Indonesia. Penilaian yang serupa diatas juga di ungkapkan oleh Ven. Tan Chaokun P.Vidhurdhammabhorn. Bhikkhu Thailand yang berjasa menanamkan benih-benih Theravada di Indonesia modern ini menyatakan bahwa Bhante Giri itu benar-benar orang yang religius dan berbakti kepada agama dan bangsa, dan mau bekerja keras demi agama, bangsa dan negara Indonesia.
Perintis Buddha Dharma
Bhante Giri meninggal pada usia 70 tahun kurang 7 hari.Pada hari ketujuh setelah kematiannya, dihari kelahirannya, 12 Januari 1997 jenazah Bhante Giri dikremasikan di Bali. Ribuan orang turut hanyut dalam rasa keterharuan dan kehilangan ketika api kremasi menyala membakar jenazah tokoh terkemuka umat Buddha ini, yang disebut-sebut oleh Oka Diputhera sebagai tokoh perintis pergerakan kembali agama Buddha di bumi Indonesia. Memang, nama Bhikkhu Girirakhito tidak bias dipisahkan apalagi dihapus dari sejarah pergerakan agama Buddha di Indonesia.
Sebagian besar hidupnya sejak menjadi pandita Buddha di tahun 1960 hingga saat-saat terakhirnya sebagai ketua umum DPP Walubi- yang dihabiskan demi pengembangan Buddha Dharma, menjadikan bhante Giri, seorang pemimpin Buddhis terkemuka yang sangat mengenali sekali karakter dari perkembangan agama Buddha di Indonesia. Kepada bhikkhu Uttamo, beliau mengingatkan bahwa taraf didalam memajukan agama Buddha di Indonesia masa kini adalah baru dalam taraf dana paramita, yaitu bagaimana kita dituntut lebih banyak berkorban untuk membina, dibandingkan taraf sila dan bhavana paramita yang masih banyak kendala dan kesulitannya.
Kontradiksi
Putra dari pasangan Idea Made Putra, dan Ida Ayu Ketut Tilem yang berasal dari kasta Brahmana ini merupakan seorang yang pandai memadukan dua hal yang tampaknya kontradiksi. Seperti kehidupan yang dijalaninya bhikkhu di dalam meditasi, dan hingar-bingar pernik berorganisasi. Atau antara naluri jiwa seni yang tertuang dalam lagu dan grup musik, dan melakoni kebutuhan hidup dengan berdagang. Maupun antara penguasaan emosi dan rasa dalam pengendalian diri dalam sila vinaya, dan penciptaan ratusan lagu-lagu Buddhis yang membuai namun membikin umat mencintai Buddha Dharma.
Dalam sejarah hidupnya, di tahun 1946 Ida Bagus Giri pernah mendirikan grup musik, sandiwara, dan drama. Karena bagusnya, grup ini kemudian sempat dipakai oleh Jawatan Penerangan Propinsi sampai tahun 1957. Disamping itu, sejak muda beliau juga telah tertarik kepada pelajaran spiritual, yang bermula dari adanya kelompok orang didesa Banjar mempelajari ajaran spiritual, yang di asuh pamannya sendiri, Ida Ketut Jalantik. Selain itu, bersamaan kebutuhan untuk mengungkapkan jiwa seninya dan kebutuhan spiritualnya, beliau sempat pula berdagang guna menghidupi keluarganya. Beliau berdagang apa saja dari kopi, mobil, hingga senjata, dan berkelana dari satu kota ke kota lain baik di Bali, Jawa, atau Sumatera.
Kepandaian memadukan dua hal yang tampaknya kontradiksi ini juga tampak bila dilihat dari ketertarikan beliau kepada agama Buddha dan kiprah pengabdiannya terhadap Buddha Dharma selanjutnya. Beliau tertarik agama Buddha dan kiprah pengabdiannya terhadap Buddha Dharma selanjutnya. Beliau tertarik agama Buddha lantaran meditasi Vipassana yang pertama kali diikutinya, dan kemudian selanjutnya sebagai pengabdi Buddha Dharma kita akan menjumpai beliau sebagai seorang bhikkhu yang amat mendalami dunia meditasi ini, juga aktif berkecimpung dan memimpin umatnya didalam organisasi. Seolah-olah ini menegaskan bahwa praktek meditasi juga bisa dilakukan ketika kita berkecimpung dalam masyarakat ramai.
Ketertarikannya kepada agama Buddha lantara mediatasi Vipassana itu sempat diungkapkan, Saya baru mulai tertarik pada ajaran agama Buddha karena mengikuti latihan Vipassana (meditasi pandangan terang) dan wawancara saya dengan bhikkhu Ashin Jinarakkhita tentang agama Buddha. Saya Vipassana pertama kali di daerah Kasap (dekat sungai Kasap), daerah terpencil di Watugong), dengan dibimbing oleh bhikkhu Ashin.
Pernyataanya bahwa meditasi juga bisa dipraktekan didunia nyata itu diungkapkan oleh dunia nyata itu diungkapkan oleh Ibu Hartati, Bhante, selalu menekankan bahwa bermeditasi itu sebetulnya tidak perlu di tempat yang sepi, justru jaman sekarang harus bisa bermeditasi di tempat yang ramai, di pasar atau di medan perjuangan. Maksudnya melakukan perbuatan baik, melawan keserakahan, kemelekatan,kebodohan, dalam rangka mencapai penerangan batin, dalam mencapai kesempurnaan sebagai cita-cita umat beragama Buddha. Jadi berusaha mengembangkan diri sejati melalui perlawanan kepada kotoran-kotoran yang ada, itu bisa dilakukan dalam hidup bermasyarakat.
Pelajaran dari Bhante Giri tentang filosofi meditasi dimana meditasi bisa dilakukan sesuai dengan aktivitas kita dimasyarakat ini mungkin dapat dipahami oleh seorang wanita sibuk seperti Ibu Hartati Murdaya. Dan dengan itu pula, Ibu Hartati bisa memahami sikap bhikkhu yang pandai memadukan hal-hal yang tampaknya parakods dan mungkin dianggap controversial ini, dan kemudian bersedia menjadi penyantun Walubi, bhakan kemudian terlibat aktif didalam organisasi Walubi.
Apa yang menjadikan seorang pengusaha besar seperti Hartati mau terlibat aktif dalam pergerakan Buddhis ? Bukankah ini dua kegiatan yang tampaknya paradoks : bisnis dan agama, lagi pula bersedia mendampingi Bhante Giri didalam Walubi. Tentunya karena hal itu tidak terlepas dari pemahaman ibu Hartati akan makna sesungguhnya Buddha Dharma khususnya yang berkenan dengan pentingnya aplikasi Buddha Dharma didalam kehidupan masyarakat.
Kontrovesial
Keteguhannya untuk merangkum dua hal yang kontradiksi itu terlihat ketika bhikkhu yang suka menulis lagi-lagu Buddhis ini sewaktu menjabat ketua umum DPP Walubi pertama kali di tahun 1982, tidak memperdulikan pertanyaan- pertanyaan dan keberatan-keberatan yang muncul, “apakah seorang bhikkhu pantas berorganisasi dan memimpin organisasi semacam Walubi?.”
Sebagai ketua umum Walubi sejak 1986 hingga 1997, orang juga akan memberikan penilaian sebagai tokoh yang controversial. Apakah beliau itu sesungguhnya tokoh pemersatu atau pemecah belah umat Buddha, sebab dibawah kepemimpinannya Walubi menelorkan keputusan yang parakods, dengan dikeluarkannya NSI (1987) dan Sagin serta MBI (1995) dari Walubi. Keputusan yang bisa dipertanyakan dan mungkin bertentangan dengan dasar pendirian Walubi itu sendiri sebagai organisasi yang bersifat konfultatif dan pemersatu umat Buddha sesuai semangat Yogyakarta 1979.
Orang boleh saja melakukan penilaian apa saja terhadap kepemimpinan Bhante Giri, tetapi yang jelas Bhante Giri memang merupakan figure seorang pemimpin. Sebagai tokoh yang pernah diangkat oleh Presiden menjadi anggota MPR (1972-1977), dan ketua umum Walubi terlama, Bhante Giri memang sosok pemimpin yang tentative dapat diterima oleh umat Buddha Indonesia.
Sehingga tidak berlebihanlah bila seorang pengusaha, donatur terkemuka umat Buddha dewasa ini, Siwie Honoris menyatakan tentang beliau, bhawa “beliau itu orangnya sangat tenang, bersifat kebapakan, dan mau mendengar pendapat dari orang lain. Mungkin itulah yang membuat beliau bisa sukses sebagai pemimpin umat Buddha di Indonesia yang disegani.”
Karya dharma Penjaga Gunung
Awal perkenalan beliau dengan agama Buddha terjadi di tahun 1956, ketika diundang panitia perayaan Buddha Jayanti yang berkedudukan di Watugong, Semarang untuk menghadiri perayaan Waisak 2500 di Borobudur. Sepuluh tahun kemudian beliau memantapkan dirinya menjadi Bhikkhu dengan nama Girirakkhito, meski sempat ditahun 1960 menjadi pandita dan tahun 1961 sebagai samanera sementara dan pada 12 Januari 1962 sebagai samanera tetap.
Di tahun 1962 ini pula beliau mendirikan Vihara Brahmavihara di Yeh Panas. Kemudian di Tahun 1971 mendirikan Vihara Bharmavihara Arama, Banjar yang diresmikan pada tahun 1976 oleh bapak Gubernur. Tetapi 6 hari kemudian Brahma Vihara Arana hancur dilanda gempa bumi. Dengan pantang menyerah dan tekad yang luar biasa bhante Giri bersama umat kemudian membangun kembali Brahmavihara Aram, Banjar yang hinga kini berdiri dengan megahnya menjadi salah satu buah karya utamanya.
Pada tanggal 15 November 1966 beliau ditahbiskan sebagai bhikkhu di Bangkok, Thailand, dengan nama upasampada Girirakkhito. Nama girirakhito berarti penjaga gunung. Giri berarti gunung, Rakkhito berarti penjaga. Nama ini diberikan oleh chakun Dhammakicisobon, Guru pembimbing dhamma dari Thailand, tahun 1966. Latar belakang beliau menjadi bhikkhu dikarenakan tertarik dengan jalan agama Buddha yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kedewasaan jiwa.
Jiwa seni yang umumnya mengalir disetiap anak Bali, termasuk Ida Bagus Giri, juga dibaktikan untuk mengembangkan Buddha Dahrma dengan menciptakan lagu-lagu Buddhis yang kini menjadi klasik, seperti misalnya Malam Suci Waisak, Enam Tahun Sengsara, Anicca, dukkha, Anatta dan lain sebagainya.”Motivasi mencipta lagu adalah karena ingin menyebar Dharma kepada orang banyak dan memungkinkan orang banyak dapat menyenagi untuk belajar Dharma.”, katanya.
Kecakapan Menyampaikan Dharma
Pada tanggal 12 Juni 1990 Bhikkhu Giri memperoleh gelar SADDHAMA KOVIDA VICITTA BHANAKA. Arti dari gelar tersebut adalah “ yang mahir didalam membabarkan Dhamma yang benar/sejati “Pemberian gelar mengambil tempat di Nigrodaketta Mahaparinena Gelioya, Srilanka, di peroleh dari Sangha Ramanna Nikaya Srilanka.
Kemudian sejenis dengan gelar tersebut, pada tahun 1996, tepatnya 28 Oktober Sangha Theravada Indonesia mempersembahkan gelar “Sasana Pasadaka Siri”, yaitu seorang yang mulia, yang membuat sasana, ajaran Buddhis ini bersinar dengan terang, sehingga banyak orang dapat menangkap dan mengerti Dhamma. Bagi Sangha Theravada Indonesia sendiri, bhikkhu Giri dianggap sebagai sesepuh, dan sebagimana diungkapkan bhante Pannavaro, sebagai bhikkhu yang tertua beliau selalu memberikan bimbingan, namun tidak pernah mengatur.
Pemberian gelar itu memang pantas diperoleh Bhikkhu Giri, sebab salah satu ciri khas Bhante Giri di dalam memberikan khotbah Dharma adalah dengan mempergunakan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan. Ciri khas ini merupakan kekuatan Bhante Giri dalam berkhotbah, sehinga beliau mampu menjelaskan Dhamma dari yang rendah sampai Dhamma yang tingi atau amat mendalam dengan cara yang amat tepat. Beliau mampu memiliki kata-kata yang amat jitu untuk menjelaskan Dhamma yang mendalam dan amat tinggi.
Dalam setiap pembabaran Dhamma, Bhante Giri sering mengungkapkannya dengan simbol-simbol, seperti misalnya perumpamaan burung untuk menjelaskan tentang orang yang tidak lagi melekat, yang betul-betul bersih, suci, tidak menampakkan bekas (bandingkan misalnya dnegan binatang darat harimau yang masih meningggalkan jejak), dan bila jatuh dari dahan misalnya, burung dapat bangkit dan terbang kembali (bandingkan misalnya dengan buah- buahan yang jatuh dari dahan, misalnya durian dan sebagainya yang tidak bisa bangkit kembali).
Menurut Bhikkhu Pannavaro, bhante Giri, yang tamat HIS (7 tahun) dan sekolah Tjiu Gakko (sekolah menengah Jepang 3 tahun) di Sukasada, Singa Raja memiliki kemampuan Nirutti Nyana. Nirutti Nyana adalah kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk memilih kata-kata yang tepat, yang jitu, untuk menjelaskan Dhamma yang mendalam, sehingga orang dapat mengerti Dhamma yang mendalam itu dengan terang, jelas, tanpa keraguan.
Gelar yang diberikan kepada Bhante Giri, yang sempat mengecap pendidikan Mulo selama satu tahun di Ujung Pandang, sebagai seorang bhikkhu yang pandai membabarkan Dhamma, juga disetujui oleh Bhikkhu Thitaketuko.
Menurut bhikkhu yang mendalami meditasi dan semula bernama bhikkhu Jinapiya ini, bhante Giri merupakan seorang yang pandai, ceramahnya sangat baik, memikat, bisa mengolah dan menyesuaikan kepada pendengarnya.
Dikutip dari:
Mutiara Dharma “Bhante Giri Dalam Kenangan”.