Selamat Jalan Bhikkhu Thitaketuko Mahathera Tercinta!
Kamis, 28 Juli 2011 | 03:50
Sunardi (Sun Fuk Jie)
DENPASAR, INDONESIA, Berita Agama Buddha – Perayaan Asadha 2555 BE kelabu bagi umat Buddhis di Bali. Bhikkhu Thitaketuko Mahathera tutup usia 88 tahun di RS Prima Medika mengidap stroke sejak 2002. Mendiang menghembuskan nafas terakhir Senin (25/7) pukul 05.20 WITA. Jenasah disemayamkan di vihara Buddha Sakyamuni, Denpasar.
Kemudian Selasa (26/7) diberangkatkan menuju Brahma Vihara Arama, Banjar Singaraja dan dikremasikan rabu (27/7) pukul 13.00 WITA.
Terik matahari berubah menjadi mendung ketika upacara penghormatan terakhir pada mendiang Bhikkhu Thitaketuko Mahathera. Untaian doa Avamanggala Sutta yang dipimpin Bhikkhu Pannavaro Mahathera bersama para bhikkhu dan ratusan umat Buddhis se Indonesia membahana di pelataran Brahma Vihara Singaraja.
Tanpa terasa tetesan airmata perlahan membasahi pipi menjelang prosesi ngaben tersebut. “Kehadiran para bhikkhu dan umat Buddhis disini merupakan legasi atas jasa kebajikan mendiang dalam mengajarkan meditasi dan membabarkan Buddha Dharma.
Beliau memakai kalimat sederhana meski agak kasar dengan konteks yang tepat sehingga melekat pada sanubari umat. Perkataan mendiang sangat sederhana yaitu Jangan manjakan jasmanimu dengan kekotoran batin yang selalu kau bawa kemana-mana bahkan sampai tidur pun. Sifat manusia yang menuntut mendapatkan pasangan hidup, tempat kerja, rumah dan teman yang baik. Namun kita tak pernah berpikir sudahkah diri kita berbuat baik kepada keluarga, saudara dan teman. Kita melupakan diri kita sendiri tapi menuntut orang lain untuk berbuat baik kepada kita. Jadi lebih baik memperbaiki diri sendiri sebelum memperbaiki orang lain” ujar Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera, ketua vihara Mendut Magelang.
“Sedih saat berpisah dengan orang yang dicintai merupakan hal yang wajar. Tapi jangan melekat pada kesedihan. Lepaskanlah orang yang kita cintai dengan memanjatkan paritta suci dan pelimpahan jasa agar mendiang terlahir kembali di alam kebahagiaan (Nibbana)” pesan Bhikkhu Dhammavijayo Mahathera, ketua vihara Padmagraha Malang.
“Beliau sosok guru dan orang tua yang mengayomi kami dengan cinta-kasih. Ketelatenan dalam membimbing meditasi sangat berkesan di hati kami. Semoga jasa kebajikan tersebut membawa beliau mencapai Nibbana” doa bhante Jayadhammo yang berdomisili di vihara Asokha Rama Denpasar.
Hadir pula Dirjen Bimas Buddha guna memberikan penghormatan pada mendiang. “Beliau adalah bhikkhu pertama Indonesia yang berguru di Myanmar. Pesan mendiang yang selalu diingat kalau hidup ini untuk menyelesaikan masalah sehingga jangan membuat banyak masalah yang akhirnya hidup terus dilanda banyak masalah. Jangan biarkan pikiranmu liar seperti monyet, tapi peliharalah pikiranmu seperti kura-kura” ungkap Irjen Pol Budi Setiawan, sobat karib mendiang.
Kesedihan mendalam dirasakan oleh para umat Buddhis. “Saya sangat mengagumi kesederhanaan mendiang dalam mendidik umat sangat sederhana dengan membantu umat yang tak mampu secara finansial serta mengembangkan kepedulian sosial antar umat sebagai praktek penerapan ajaran Buddha. Semoga kelak muncul regenerasi putra Bali yang berdedikasi baik” harap Erlina Kang Adiguna, ketua yayasan Buddha Sakyamuni yang juga pendiri Forum Ibu-ibu Buddhis Bali.
“Mendiang adalah pembimbing Dharma yang tekun dalam melatih meditasi, memiliki cinta-kasih universal, bijaksana dalam menganalisa permasalahan serta memiliki kepedulian sosial yang tinggi patut menjadi bhikkhu teladan. Saya sering menjenguk beliau saat sakit di vihara Dhammacakka jakarta” kata Yap Mien Lie, ketua bidang sosial Wandani Pusat 2005-2010.
Sekilas perjalanan hidup mendiang Bhikhu Thitatetuko Mahathera lahir 8 Agustus 1923 di Banjar Tegeh dengan nama kecil I Ketut Tangkas anak Ke 7 dari 8 bersaudara pasangan I Ketut Cetug yang terkenal sebagai dalang hebat dan Ni Luh Ketut Embung. ditahbiskan menjadi bhikkhu Jinapiya pada 3 juni 1959 diupasampada oleh bhikkhu Narada Mahathera. Lalu, pada 26 juli 1988 di vihara Wat Bovoranives Bangkok diupasampada oleh bhikkhu Somdet Nyanasamvara. Kemudian belajar meditasi vipassana dibimbing Sayadaw U Panditabhivamsa Myanmar dan pada 1994 kembali ke Indonesia membimbing meditasi.
Sumber :
http://news.manycome.com/3051.html
Diedit seperlunya oleh team Samaggi Phala.
Bhagavant.com,
Denpasar, Bali – Salah satu sesepuh berdirinya Sangha di Indonesia, Yang Mulia Thitaketuko Mahathera, telah wafat kemarin Senin 25 Juli 2011 pada pukul 05.20 WITA di Rumah Sakit Prima Medika, Denpasar, Bali. Sebelumnya, kondisi kesehatan beliau yang menurun drastis, membuatnya dirawat di rumah sakit.
Jenazah Bhante Thitaketuko disemayamkan di Vihara Buddha Sakyamuni, Jl. Gunung Agung, Denpasar, untuk memberikan kesempatan kepada para umat memberikan penghormatan terakhir.
Hari Selasa (26/7) siang ini, setelah makan siang, jenazah diberangkatkan menuju Brahma Vihara Arama, Banjar, Buleleng. Setelah itu direncanakan akan dikremasi pada Rabu (27/7) pukul. 13.00 WITA.
Wafatnya bhikkhu yang dikenal dengan nama Bhante Thita ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi umat Buddha di Indonesia, khususnya umat Buddha di Bali karena beliau adalah salah satu putera Indonesia yang menjadi bhikkhu di masa awal terbentuknya Sangha Indonesia dan merupakan putera Bali pertama yang menjadi bhikkhu.
Lahir di Banjar Tengah, Desa Gulingan, Mengwi, Badung, Bali pada tahun 1925 (?), Bhante Thitaketuko yang memiliki nama kecil I Ketut Tangkas ini hidup di keluarga yang sederhana. Kepribadian ayahnya, Pan Kompyang Sukri, yang merupakan seorang dalang yang disegani, menjadi panutan hidup baginya.
I Ketut Tangkas yang dalam masa hidupnya pernah menjadi seorang guru, pada sekitar tahun 1950-an mulai mendalami spiritual dan akhirnya memutuskan menjadi samanera setelah bertemu dengan Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan menggunakan nama Jinapiya sebagai nama Buddhis.
Tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Y.M. Narada Mahathera, salah satu Dhamma Duta dari Sri Lanka dan menjadi Bhikkhu Jinapiya. Dalam kehidupannya sebagai seorang bhikkhu, Bhikkhu Jinapiya telah banyak membabarkan Dhamma baik di dalam maupun di luar negeri. Dan karena peranan Bhikkhu Jinapiya, maka Ida Bagus Giri dari Banjar, Buleleng, Bali menjadi bhikkhu, yang kemudian hari dikenal dengan nama Bhikkhu Girirakkhito.
Pada tanggal 12 Februari 1976, karena hal-hal yang tidak memungkinkan, maka Bhikkhu Jinapiya terpaksa memutuskan untuk melepaskan jubahnya dan kembali menjadi umat awam kembali. Namun dengan dorongan Bhikkhu Girirakkhito, kembali beliau memasuki sangha. Pada 26 Juli 1988, beliau di-upasampada kembali di Wat Bovoranives Vihara (Wat Bowonniwet Vihara), Bangkok, Thailand, dan menjadi bhikkhu dengan nama Thitaketuko.
Perjalanan hidup Y.M. Thitaketuko Mahathera tidak lepas dari awal berdirinya sangha di Indonesia. Pada tahun 1959, dengan ditahbiskannya 3 calon bhikkhu Indonesia yang di antaranya adalah Samanera Jinapiya (sekarang menjadi Thitaketuko), sangha di Indonesia mulai lahir dengan nama Sangha Suci Indonesia.
Pada tahun 1963 Sangha Suci Indonesia kemudian berubah nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Dan dengan adanya perbedaan pandangan, pada 12 Januari 1972, diprakarsai oleh 5 orang bhikkhu yaitu Y.M. Bhikkhu Girirakkhito (ketua), Y.M. Bhikkhu Jinapiya, Y.M. Bhikkhu Jinaratana, Y.M. Bhikkhu Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato, maka terbentuklah Sangha Indonesia.
Namun, 2 tahun berselang, pada 14 Januari 1974, sangha di Indonesia kembali menjadi satu dengan nama Sangha Agung Indonesia (SAI/SAGIN) yang berdiri hingga sekarang. Bhikkhu Jinapiya Thera yang sekarang menjadi Y.M. Thitaketuko Mahathera pernah menjadi salah satu pimpinan di Sangha Agung Indonesia yang pertama sebagai Anu Nayaka I.
Seiring berjalannya waktu dimana Sangha Theravada Indonesia (STI) lahir, Bhante Thitaketuko menjadi anggota Sangha Theravada Indonesia dan berdomisili di Denpasar, Bali. Dalam keanggotaan Sangha Theravada Indonesia, beliau pernah menduduki posisi sebagai Upa Sanghanayaka (Wakil Ketua Umum) III pada tahun 1994, Thera Samagama (Dewan Sesepuh) masa bakti 2000-2005 dan dilanjutkan dengan masa bakti 2005-2010.
Sabbe Sankhara Anicca – Segala yang terbentuk dari perpaduan adalah tidak kekal. Terima kasih Bhante Thitaketuko atas jasa yang telah diberikan demi menyalanya kembali Dhamma di Indonesia. Semoga jasa yang telah engkau berikan membawa Bhante ke pencapaian tertinggi, Nibbana.[Bhagavant,26/7/11, Sum]
(?)Belum terkonfirmasi tahun kelahiran
Bhikkhu Thitaketuko Mahathera Meninggal Dunia
BHIKKHU kelahiran Bali, Bhikkhu Thitaketuko Mahathera, meninggal dunia Senin (25/7) kemarin pkl. 05.20 wita. Sebelumnya, almarhum sempat dirawat di ruma sakit karena kondisi kesehatan yang menurun drastis. Jenazah almarhum disemayamkan di Vihara Buddha Sakyamuni, Jl. Gunung Agung, Denpasar, untuk memberikan kesempatan kepada umat memberikan penghormatan. Selasa (26/7) siang ini, jenazah diberangkatkan menuju Brahma Vihara Arama, Banjar Buleleng, dan akan dikremasi Rabu (27/7) pkl. 13.00.
Berpulangnya bhikkhu senior ini menyisakan banyak kesan bagi umat Buddha di Bali. Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) merasa kehilangan tokoh panutan. Bhikkhu Thitaketuko Mahathera dilahirkan di Banjar Tengah, Desa Gulingan, Mengwi, Badung, tahun 1925 dengan nama I Ketut Tangkas. Sejak kecil almarhum sudah mendapat pengaruh dari karakter sang ayah, Pan Kompyang Sukri, yang dikenal sebagai seorang dalang yang disegani di Banjar Gulingan.
Baginya, kepribadian sang ayah adalah watak yang matang, terbuka, dan extrovert. Terlebih lagi sang ayah juga adalah dharma duta yang mengomunikasikan pesan-pesan kemanusiaan dari epik besar seperti Sutasoma, Ramayana, dan Mahabharata. Di kemudian hari, didikan dan panutan dari sang ayah banyak membentuk karakter I Ketut Tangkas yang kemudian memutuskan menjadi guru.
Awal tahun 1950-an, I Ketut Tangkas mulai mendalami masalah spiritual dan kian tertarik mempelajari teosofi. Perkenalan dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita yang merupakan bhikkhu pertama dari Indonesia, makin menguatkan ketertarikannya untuk mendalami masalah spiritual. Saat Bhikkhu Ashin melakukan perjalanan keliling Indonesia di tahun 1955, I Ketut Tangkas kian kuat bertekad memutuskan untuk menempuh jalan Dhamma sebagai siswa Sang Buddha dengan menjadi samanera. Hingga tahun 1959, ia di-upasampada sebagai bhikkhu di Pura Besakih oleh YM Narada Mahathera, dengan nama Bhikkhu Jinapiya.
Selama menjadi seorang samana, Bhikkhu Jinapiya banyak berkeliling daerah di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri terutama untuk mengajar meditasi dan yoga. Murid beliau juga banyak tersebar di seluruh dunia. Bahkan, Bhante Jinapiya pula yang mendorong Ida Bagus Giri dari Banjar Buleleng untuk menjadi bhikkhu, yang kemudian dikenal dengan nama Bhikkhu Girirakkhito. Dalam perjalanannya, karena situasi yang kurang mendukung, Bhikkhu Jinapiya dengan sangat terpaksa memutuskan untuk lepas jubah dan kembali menjadi umat awam, sebagai guru. Meski demikian, ia menyampaikan tekad satu saat akan kembali menjadi bhikkhu.
Tekad yang kuat tersebut menjadi kenyataan. Entah karena perjalanan karma, kali ini justru Bhikkhu Girirakkhito Mahathera yang mendorong I Ketut Tangkas kembali meneruskan pengabdian sebagai bhikkhu. Maka tahun 1989, Ketut Tangkas berangkat ke Thailand dan di-upasampada di Wat Bhawon (Vihara Kerajaan Thailand) di Bangkok, dengan nama Bhikkhu Thitaketuko. (r/*)
Sumber : Balipos.co.id