Bodhigiri, Saat Malam Menjadi Berkah
“Mau ke mana?” tanya penjual bakso dan es degan di depan stasiun. Waktu itu saya baru turun dari kereta api yang membawa saya dari Surabaya. Tengah hari, terik menggigit, jadi saya rehat sambil menyeruput segelas es degan.
“Balerejo, Bu,” saya jawab. “Naik apa ya?”
“Ngojek saja. Tapi sekarang ojeknya mahal, sebab ada karnaval.”
Saya masih belum ngeh maksudnya. Rupanya Sabtu siang itu bertepatan dengan karnaval 17 Agustus. Padahal hari itu tanggal 29 Agustus. Karnaval 17-an di Kota Wlingi, Blitar, memang terlambat karena tanggal 17 berbarengan dengan banyak orang menggelar hajatan. Jadi karnavalnya mengalah, pesta kawin duluan.
Akhirnya saya mendapat tukang ojek juga, yang menjadi tukang parkir di depan toko kelontong. “Biar saya ojeki saja Mbak. Tapi bayar 30 ya,” katanya. Biasanya tarif ojek Rp.25.000. Tanpa menawar, saya iyakan. Motor yang saya kendarai lalu meliuk-liuk, melawan arus calon penonton karnaval yang jumlahnya ribuan, menuju Desa Balerejo.
Saya hendak ke Vihara Bodhigiri atau biasa dikenal Panti Semedi Balerejo. Sebulan lalu saya mendaftar lewat email untuk belajar meditasi dengan Bhante Uttamo. Saya diijinkan dengan jadwal 29 Agustus sampai 6 September. Namun ada syaratnya, saya harus mampu bermeditasi 15 jam sehari. Kalau tidak, saya akan dipulangkan.
Ternyata jalan menuju Bodhigiri berkelak-kelok dari satu bukit menuju bukit lain. Jadi ingat jalan menuju Munduk dari Seririt. Untung saya tidak nekad berjalan kaki seperti biasa. Setengah jam kemudian sampailah saya di gerbang vihara. Saya meminta tukang ojek yang tidak saya kenal nama atau tidak saya ketahui no HP-nya untuk menjemput saya hari Minggu, 6 September, pukul 10.00 di vihara. (Entah mengapa saya sok yakin akan lolos meditasi kali ini, padahal biasanya saya cuma rajin meditasi jalan, bukan duduk :P).
Di vihara, saya disambut Cindy -kebetulan Bhante Uttamo ada acara di luar- yang membawa saya ke sebuah ruangan, mungkin dapur, menjelaskan tatacara yang berlaku di vihara, beserta membagikan tas kain berwarna biru berisi buku catatan plus pulpen, digital alarm, topi untuk meditasi jalan di siang hari, kalung dengan badge bertuliskan ‘saya sedang diam’, kunci kamar sekaligus loker untuk menyimpan piranti makan.
Beberapa saran Cindy yang saya ingat adalah :
1. Meditasi sebaiknya dilakukan pada malam hari, karena ‘aura’ Bodhigiri bagus di malam hari.
2. Sebelum chanting pagi dan diskusi bersama pukul 06.00-08.00, peserta meditasi sebaiknya sudah mendapat 6 jam meditasi.
3. Dalam 15 jam meditasi, dibagi menjadi 5 sesi. Tiap sesi berlangsung 3 jam yang dibagi menjadi 6×30 menit.
4. Setiap peserta dibekali timer yang akan berbunyi setiap 30 menit. Jika timer berbunyi, peserta harus memencetnya, mencatat waktu meditasi, lalu melanjutkan meditasi berikutnya, entah duduk atau berjalan. Peserta bisa mengatur misalnya 30 menit meditasi duduk dilanjutkan 30 menit meditasi berdiri dan berjalan, atau 30 menit meditasi duduk, lalu 30 menit lagi meditasi duduk, dan seterusnya. Jadi peserta sendiri yang menentukan meditasi apa yang dipilihnya, tergantung kondisinya.
5. Setelah mencapai 15 jam baru peserta boleh masuk kamar dan tidur. Namun peserta boleh makan atau minum atau ke toilet di sela-sela sesi meditasi.
6. Tak ada jadwal khusus untuk makan, vihara hanya menyediakan makan besar -nasi, sayur dan lauknya- mulai pukul 11.00 hingga 18.00, sedang jika mau minum kopi, makan kudapan, atau mi instan, tersedia di ruang makan selama 24 jam. Namun saya jamin kita tidak bakalan sempat ber-leha-leha dengan makanan, karena mengejar target waktu meditasi. Waktu jadi terasa amat berharga di Bodhigiri.
Pada malam pertama saya mulai meditasi pukul 5 sore, setelah 2 jam tidur, mandi, dan makan. Meditasi baru berakhir pukul 11.00 keesokan harinya. Mungkin karena malam pertama, saya banyak lengah, melawan kantuk dan kedinginan. Saya tidak mengira kalau Balerejo sedingin itu, bisa mencapai 20 bahkan 18 derajad C. Saya pikir hawanya biasa saja, jadi hanya membawa bekal kaos tipis, celana kain tipis, dan satu kaos panjang yang tipis pula. Serba untuk beriklim tropis pantai. Salah saya sendiri. 😀
Malam kedua pun sama, masih berkutat dengan kantuk dan dingin. Untuk mengatasinya, saya banyak melakukan meditasi jalan. Berbeda dengan meditasi jalan yang biasa saya ikuti pada retreat meditasi di tempat lain, di Bodhigiri meditasi jalan lebih ditekankan merasakan sensasi pada telapak kaki, baik sensasi fisik (kasar, halus, panas, dingin) maupun sensasi batin. Mungkin ada 9 jam saya bermeditasi jalan, dibanding 6 jam meditasi duduk. Ketika bersua Bhante Uttamo keesokan paginya, saya baru mencapai 13 jam meditasi. Dari Bhante Uttamo baru saya tahu kalau hal yang saya alami amatlah biasa. Melawan kantuk di hari pertama kedua, mirip adaptasi sekaligus persiapan fisik untuk melanjutkan meditasi di hari-hari berikutnya.
Oya, di malam-malam awal hanya sedikit peserta meditasi, mulanya 5 orang, lalu 3 orang. Sempat terbersit rasa ngeri harus meditasi di malam hari di tempat seluas itu, sunyi pula. Entah rasa ngeri atau apa, berkali-kali, setiap meditasi duduk, saya merasa semriwing, kadang seolah ada orang yang duduk di samping saya. Mulanya saya cuek saja, lalu terdengar bau-bauan semisal bau semangka, atau suara. Dari Bhante Uttamo baru saya pahami kalau itu adalah bentuk pikiran yang mencoba keluar dari penjara ‘pengamatan’ kita, pikiran yang mencoba menggagalkan usaha meditasi kita.
Di malam ketiga saya mulai bisa memusatkan pikiran, setidaknya 6 jam pertama bisa konsentrasi penuh. Kalau tubuh serasa membesar, mengecil, atau menghilang saat meditasi duduk, itu hal yang biasa. Tidak menakutkan saya. Jam-jam mengantuk pun bergeser padai pukul 02.00-05.00, kadang hanya sebentar saja. Kalau kantuk menyerang, saya pilih berjalan sepanjang pelataran vihara, menginjak pasir kasar atau plesteran yang menyobek-nyobek telapak kaki. Akibatnya, jempol kaki pun mati rasa -bahkan sampai sekarang- walau masih bisa merasai denyut saraf di dalamnya.
Pada malam kelima, saya mulai merasakan proses ‘mbengkeli’, yaitu perbaikan sel-sel tubuh. Bekas jahitan operasi kanker di perut 6 tahun lalu terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Lalu berganti ke bagian dubur. Oya, saya sempat kena ambeien parah selama 2 bulan, dan baru hilang benjolannya setelah 60 hari minum rebusan daun ungu. Rasa sakit kemudian berpindah ke bagian tubuh lain. Jadi sepanjang malam saya mengamati rasa sakit, berselang-seling dengan pengamatan pernafasan.
Tiga malam terakhir saya berjuang dengan sakit kepala. Padahal saya tidak memiliki sejarah migren atau sakit kepala yang lain. Pernah dulu saya terkena insomnia parah, tapi mulai sembuh sejak mengenal meditasi akhir 2012. Mulanya saya pikir karena kurang tidur. Jam tidur saya menurun drastis sejak malam pertama. Semula butuh 3 jam tidur, lalu 2,5 jam, 2 jam. Bahkan tiga malam terakhir saya tidak merasa mengantuk tapi tetap saja tidur. Eman-eman diberi kamar bersih yang ditempati sendiri tapi kok tidak dinikmati meskipun hanya 2-3 jam.
Ritme hidup saya pun berubah semakin singkat. Kalau sebelumnya meditasi dimulai pukul 5 sore dan pukul 11 keesokan harinya baru tidur. Kini, bisa meditasi awal pukul 14.30 dan masuk kamar pukul 10.00. Seharusnya saya menambah jadwal meditasi tak lagi 15 jam tapi lebih seperti teman-teman lain. Apalagi pada jam 9-10 pagi konsentrasi mulai naik lagi. Tapi saya terlalu malas, ingin menikmati kasur walau tidak mengantuk. Tahun depan kalau sambang Bodhigiri lagi saya akan meditasi lebih panjang dan sungguh-sungguh..
Oya, kita dilarang menyalakan HP -peserta diminta dengan kesadaran mematikan dan menyimpan HP-nya- dan tidak berkomunikasi kepada sesama peserta meditasi atau orang lain, baik berbicara maupun melakukan kontak mata. Jika kita melanggar, bhante akan tahu karena kamera CCTV ada di mana-mana. Vihara memang dilengkapi dengan fasilitas canggih.
Sempat ada kawan bertanya, apakah retreat meditasi berbayar? Tidak, namun kalau berkenan peserta bisa menyumbang secara sukarela (berdana) kepada vihara langsung atau bisa transfer ke rekening vihara. Jadi mirip dengan retreat meditasi pada umumnya.
Ada dua manfaat yang saya rasakan selama mengikuti meditasi di Bodhigiri, manfaat langsung dan tidak langsung.
Manfaat langsung segera saya rasakan ketika menjalani meditasi, di antaranya adalah :
1.Tubuh menjadi ringan sejak malam pertama meditasi. Bukannya lelah, pegal-pegal, atau lungrah, semakin berjalannya waktu meditasi, semakin ringan dan segar tubuh. Mungkin saya mengalami kelainan.
2.Saya menjadi sangat menghargai waktu, efisien, enggan bermalas-malasan. Setiap saat terasa berharga. Itu sebabnya saya enggan kehilangan waktu dengan berkali-kali ke kamar atau ruang makan. Cukup sekali ke kamar saat mau tidur, dan dua kali ke ruang makan saat makan besar dan minum atau makan makanan ringan di tengah malam. Selain jaraknya agak jauh juga menanjak. Rasanya sayang kehilangan 5-10 menit hanya untuk makan atau minum.
Sedang manfaat tidak langsung saya rasakan usai meninggalkan Bodhigiri, di antaranya :
1.Sebelum meditasi saya sempat terkena alergi parah jika digigit nyamuk, seluruh tubuh jadi mirip blentong-blentong dan dipenuhi ruam kasar. Sehari di rumah usai meditasi saya tidak merasa gatal usai di gigit nyamuk, beberapa hari kemudian paling hanya muncul ruam lokal jika kulit saya garuk. Bisa jadi meditasi meningkatkan kekebalan tubuh saya.
2.Terkait manajemen waktu, saya mulai membenahi naskah-naskah tulisan yang sebelumnya saya abaikan. Hampir setahun saya vakum menulis buku, kini saya geluti lagi. Rasanya waktu begitu berharga untuk disia-siakan sekarang, walau waktu itu khayal.
3.Ini mungkin efek terus-menerus mengikuti meditasi sejak 3 tahun lalu, yaitu efek kasih sayang. Dulu begitu takut dengan binatang, kini rasanya mudah bergaul dengan binatang entah anjing, kera, ayam, dll. Cukup menatap mata mereka -istilahnya menyamakan frekuensi- saya bisa berdialog dengan mereka. Saya juga semakin sayang dengan tanaman. Mereka mirip manusia juga di mata saya, punya nafas, punya ruh.
4.Fokus meningkat. Mungkin ini efek bermeditasi di Bodhigiri yang kadang sunyi kadang riuh oleh suara gamelan dari desa-desa di bukit sebelah yang sampai pukul 2-3 pagi. Ini terkait dengan pemecahan masalah di sekitar saya. Kalau menghadapi orang yang susah, menjengkelkan, kini saya bisa tersenyum, lalu pergi. Sebelumnya pakai acara ‘misuh’ dulu, baru pergi. Kini, tidak lagi. Yang penting tetap fokus pada tujuan. Semisal saya hendak meneliti tentang tanaman obat atau membuat sabun, lalu dihina kawan, biasanya saya marah besar. Kini cuma tersenyum sambil bilang, “lha kan ngirit. Kalau bisa buat kenapa beli. Biar nggak jadi antek kapitalis” . Padahal saya sendiri tidak tahu makna sebetulnya kapitalis hehe..
5.Yang ini mungkin bersifat sementara. Makan saya semakin sedikit, seperlunya. Tidak pernah kenyang atau benar-benar kenyang, dan tidak rewel menyantap makanan, asal ada sayuran dan kerupuk.
Masih banyak lagi manfaat bermeditasi di Bodhigiri. Misalnya menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Beberapa peserta malah bisa sembuh dari penyakit kronis seperti vertigo, kanker. Namun sembuh dari penyakit bukan tujuan meditasi, melainkan efek samping meditasi.
Oya, buat yang tertarik bermeditasi di Bodhigiri bisa baca blognya https://samaggi-phala.or.id/vihara-bodhigiri/sekilas/ . Di situ lengkap info tentang Bodhigiri atau cara bermeditasi di Bodhigiri,
Ada yang berpendapat meditasi hanya buat para Buddhist saja. Saya sendiri bukan berasal dari keluarga Buddhist. Kini pun saya lebih mirip menjadi penikmat segala agama, dengan mempelajari dan memahami filosofi di balik semua agama yang mampu dan bisa saya pelajari. Saya begitu senang bisa mendalami meditasi seperti yang diajarkan Sang Buddha sehingga bisa membuat hidup lebih bermanfaat buat sesama, juga lebih berarti buat saya. Istilah hidup itu fana, maya, bisa saya pahami sekarang, bukan sekedar teori atau hanya menempel di pikiran. Itu sebabnya pelan-pelan saya mulai melepas kemelekatan duniawi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia,
Salam Metta,
Penulis : Ary Amhir
Sumber : https://othervisions.wordpress.com/2015/09/16/bodhigiri-saat-malam-jadi-berkah/