Arca Buddha
(Buddharupang)
Tak selayaknya karena marah dan benci mengharap yang lain celaka
Salah satu baris dari bait Mettasutta – Sutta tentang Cinta Kasih
Tipitaka, Sutta Pitaka, Khuddakanikaya, Khuddakapatha
Adalah hal yang sering terlihat dalam masyarakat, kebanyakan umat maupun simpatisan Buddhis di rumah maupun di tempat kerja memiliki arca Buddha atau sering disebut sebagai Buddharupang. Secara bebas dapatlah dikatakan bahwa Buddharupang berarti gambar atau perwujudan lain dari Sang Buddha.
Agar mempersempit lingkup pembahasan, maka dalam kesempatan ini hanya diulas Buddharupang yang diartikan sebagai arca Sang Buddha. Sepintas arca Sang Buddha memiliki bentuk yang hampir sama yaitu duduk bersila di atas bunga teratai yang sedang mekar penuh. Namun, apabila diperhatikan lebih seksama, pada arca Sang Buddha terdapat perbedaan posisi tangan. Setiap posisi tangan, dimaknai secara khusus oleh pembuat atau pemahatnya. Terdapat arca Sang Buddha dengan posisi tangan meditasi, mengajarkan Dhamma, bertekad kuat dsb.
Bentuk Buddharupang sebenarnya lebih menunjuk pada kualitas kebaikan manusia daripada melambangkan wajah Sang Buddha pada saat Beliau masih hidup. Oleh karena itu, sangat wajar kalau wajah dan bentuk tubuh Buddharupang berbeda dari satu negara dibandingkan dengan negara lain. Buddharupang model Borobudur di Indonesia jelas tampak berbeda dibandingkan dengan Buddharupang dari Thailand, Myanmar, Srilanka, Jepang, Tiongkok dan berbagai negara Buddhis lainnya.
Adanya perbedaan wajah dan bentuk tubuh Buddharupang dari berbagai penjuru dunia ini tidak mengurangi penghormatan para umat maupun simpatisan Buddhis saat mereka melihat Buddharupang. Mereka tetap memberikan penghormatan yang layak di manapun mereka melihat maupun bertemu dengan arca Sang Buddha.
Dalam masyarakat Buddhis dikenal adanya beberapa jenis penghormatan yang dapat dilakukan oleh umat Buddha terhadap Buddharupang. Penghormatan yang dimaksud antara lain adalah anjali yaitu merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. Selain itu, apabila berada di tempat yang memungkinkan, umat Buddha juga biasa melakukan penghormatan kepada Buddharupang dengan bersujud pada lima titik tumpu yaitu kedua lutut, kedua siku dan dahi bersentuhan dengan tanah. Posisi sujud ini biasa disebut sebagai namakara.
Anjali maupun sujud (namakara) adalah merupakan bagian dari tradisi India tempat Sang Buddha Gotama berasal. Sujud dilakukan sebagai lambang perhormatan. Penghormatan atas kualitas kebajikan, kasih sayang, kebijaksanaan Sang Buddha Gotama yang luar biasa. Perilaku sujud ini juga menjadi salah satu bentuk penghormatan di negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Sudah sangat umum bila generasi muda menghormat orangtua atau mereka yang dihormati dengan cara bersujud. Kadang, penghormatan terhadap Buddharupang dengan cara bersujud sesuai tradisi ini sering disalahartikan sebagai menyembah. Sering terdengar umat Buddha dikatakan ‘menyembah berhala’, padahal perilaku yang sesungguhnya bukanlah demikian.
Salah satu kualitas kebajikan yang telah dilakukan Sang Buddha Gotama sehingga Beliau layak mendapat penghormatan dari para umat maupun simpatisan Buddhis dengan cara anjali maupun bersujud adalah karena Beliau selama hidupNya selalu menyelesaikan permasalahan dengan cara penuh kedamaian serta membawa kebahagiaan untuk semua makhluk.
Sebagai salah satu contoh, pada suatu ketika, Sang Buddha Gotama seperti biasa sedang berjalan ke suatu daerah untuk membabarkan Dhamma kepada umatNya. Beliau diiringi oleh murid-muridNya, yang penuh cinta kasih dan pengabdian yang besar kepada Sang Buddha, Sang Guru Agung.
Melihat Sang Buddha yang dicintai oleh murid-muridNya, menyebabkan Devadatta iri dan berpikir : “Adalah suatu kenyataan, bahwa tidak ada satu mahlukpun yang dengan melihat Kesempurnaan Manusia Gotama mampu dan berani untuk menyentuhNya. Tetapi raja gajah Nalagiri adalah binatang yang amat galak dan liar, ia tidak mengetahui kesucian Buddha, Dhamma serta Sangha. Ia akan saya lepaskan untuk menghancurkan Bhikkhu Gotama.”
Kemudian Devadatta pergi menemui Raja Ajatasattu dan membicarakan masalah ini. Raja terpengaruh oleh penjelasannya dan memanggil penjaga gajah, lalu memberi perintah : “Penjaga, besok kamu harus memberi minuman keras kepada Nalagiri. Dan lepaskanlah Nalagiri di jalan raya saat Bhikkhu Gotama sedang berjalan.”
Devadatta bertanya kepada penjaga itu berapa banyak air yang biasa diberikan kepada gajah itu, penjaga itu menjawab : “Delapan guci.”
Devadatta lalu berkata : “Besok, berikan kepada Nalagiri enam belas guci minuman keras dan lepaskan dia ke arah jalan raya yang akan dilalui oleh Bhikkhu Gotama.”.
“Baiklah,” jawab penjaga itu.
Raja lalu menabuh tambur di seluruh kota dan mengumumkan : “Besok gajah Nalagiri akan menjadi mabuk karena minum minuman keras dan akan dilepas ke dalam kota. Penduduk di kota ini dapat melakukan semua pekerjaannya hanya pada pagi hari, sesudah itu tidak boleh ada satu orangpun yang berada di jalan raya.”
Devadatta lalu turun dari istana dan mendatangi kandang gajah Nalagiri, ia mendekati penjaga gajah itu dan berkata : “Saya katakan kepadamu, kita mampu untuk menghancurkan seseorang dari posisinya yang tinggi ke posisi yang rendah. Dan menaikkan posisi seseorang yang rendah menjadi posisi yang tinggi. Kalau kamu menginginkan kehormatan, besok pagi-pagi sekali, berikan Nalagiri enam belas guci minuman keras dan ketika Bhikkhu Gotama melewati jalan itu, lukailah gajah itu dengan tongkat berduri. Karena gajah yang kesakitan itu akan marah, ia akan menerobos kandangnya dan berlari keluar, arahkanlah ia ke jalan raya di mana Bhikkhu Gotama sedang berjalan. Maka gajah itu akan menghancurkanNya.”
Keduanya setuju dengan rencana jahat seperti itu. Berita ini bergema ke seluruh kota. Pengikut Sang Buddha mendengar berita buruk ini menjadi amat khawatir, lalu mereka mendatangi Vihara dan meminta Sang Buddha untuk tidak masuk ke kota pada keesokan harinya, karena ada bahaya besar yang menghadang Beliau. Mereka berjanji akan membawakan semua kebutuhan yang diperlukan oleh Sang Guru beserta murid-muridNya. Namun Sang Buddha menyatakan tetap akan menjalankan tugasNya seperti biasa. Para pengikutNya melihat bahwa mereka tidak akan mampu mengubah rencana Sang Guru Agung akhirnya mereka meninggalkan Vihara dengan perasaan amat khawatir.
Setelah mereka pergi, Sang Buddha merenungkan semua keluargaNya yang sudah mengerti akan Kebenaran. Beliau juga melihat dengan mata batinNya apabila Nalagiri berhasil ditaklukkanNya, maka delapan puluh ribu mahluk akan mendapatkan pengertian yang jelas tentang Dhamma Yang Mulia.
Keesokan paginya, Beliau memanggil Ananda, dan berkata untuk memberitahukan kepada para bhikkhu di delapan belas vihara yang berada di sekitar Rajagaha untuk menyertaiNya masuk ke kota. Bhikkhu Ananda melaksanakan apa yang diminta oleh Sang Guru, dan semua bhikkhu berkumpul di Vihara Veluvana.
Sang Buddha dengan disertai oleh semua murid-muridNya, berjalan memasuki Rajagaha. Penjaga gajah itu bekerja sesuai dengan instruksi Devadatta dan banyak orang berkerumun di sekitar jalan raya. Para pengikut Sang Buddha berpikir : “Hari ini mungkin akan terjadi pertempuran antara Sang Guru Agung dan gajah liar itu. Kami akan menyaksikan kekalahan gajah Nalagiri dari Sang Buddha yang tiada bandingannya.”
Penduduk lalu menaiki atap-atap rumah, gudang-gudang yang ada di sekitar jalan raya itu. Tetapi ada pula pertapa lain yang berpikir : “Nalagiri adalah gajah yang amat galak, binatang liar dan tidak mengetahui kebaikan dan cinta kasih yang besar dari seorang Buddha. Hari ini ia akan menghancurkan tubuh Bhikkhu Gotama dan Beliau akan meninggal. Hari ini kami akan melihat apa yang terjadi denganNya.”
Para pertapa lalu berdiri di atas sebuah gudang dan di tempat-tempat yang tinggi. Gajah Nalagiri melihat Yang Maha Sempurna berjalan menghampiriNya, penduduk yang ada di sana amat ngeri melihat gajah tersebut. Gajah yang amat kesakitan itu berlari dengan liarnya, ia menghancurkan pagar rumah-rumah dan mengangkat belalainya tinggi-tinggi, serta menginjak-injak kereta menjadi hancur berantakan. Dengan kuping dan ekornya yang terangkat, ia berlari dengan kencangnya seperti gunung yang tinggi menghampiri Yang Maha Sempurna.
Para bhikkhu yang melihat gajah Nalagiri berlari mendatangi Sang Buddha, memberitahu Sang Guru Agung : “Yang Mulia, gajah Nalagiri berlari di sepanjang jalan ini, ia adalah binatang yang amat galak dan liar, ia pembunuh manusia. Kami mohon Yang Mulia balik kembali.”
“O….Para Bhikkhu datanglah ke sini, jangan takut; tidak ada satu mahlukpun yang dapat menghancurkan Sang Tathagata dengan suatu serangan. Tathagata mencapai Parinibbana bukan karena suatu serangan.”
Para bhikkhu, tetap memperingatkan Sang Guru sampai tiga kali. Yang Mulia Sariputta lalu meminta Sang Buddha dengan berkata : “Yang Mulia, apabila ada satu persembahan yang harus diberikan kepada seorang ayah, maka beban itu terletak pada anak sulungnya. Saya akan mengalahkan binatang ini.”
Sang Buddha lalu berkata : “Sariputta, kekuatan seorang Buddha adalah satu hal dan pengikutnya adalah hal yang lain.” Beliau menolak tawaran itu, dan berkata : “Sariputta, tetaplah tinggal di sini.”
Para bhikkhu lainnya juga meminta ijin untuk mengalahkan gajah liar itu, tetapi Sang Guru menolak permintaan mereka. Kemudian Yang Mulia Ananda, pembantu Sang Buddha yang mempunyai pengaruh besar terhadap Sang Buddha, tidak mampu bersikap diam dalam menghadapi masalah ini, ia lalu berteriak : “Biarkan gajah itu membunuh saya terlebih dahulu.”
Yang Mulia Ananda berdiri di depan Sang Buddha, siap untuk mengorbankan hidupnya untuk Sang Tathagata. Tetapi Sang Buddha berkata kepadanya : “Bergeserlah Ananda, jangan berdiri di hadapanKu.”
Yang Mulia Ananda berkata : “Yang Mulia, gajah ini amat galak dan liar, ia dapat membunuh orang, seperti nyala api pada permulaan suatu lingkaran. Biarkanlah ia membunuh saya terlebih dahulu dan sesudah itu ia baru dapat menghampiri Yang Mulia.”
Yang Mulia Ananda memohon tiga kali, dan Beliau tetap berdiri di depan Sang Tathagata, Beliau tidak mau mundur. Kemudian Sang Buddha dengan kekuatan kesaktianNya membuat Yang Mulia Ananda berada di belakang Beliau dan menempatkanNya di tengah-tengah para bhikkhu yang tengah berkerumun.
Pada waktu itu ada seorang ibu, terlihat oleh pandangan gajah Nalagiri, ibu itu amat ketakutan, ia ingin berlari karena ketakutan, tetapi anaknya terjatuh ketika ia ingin menggendong anak itu di pinggangnya. Posisinya berada di antara Sang Tathagata dan gajah Nalagiri, ibu itu berusaha berlari. Gajah itu mengejar ibu tersebut, ibu tersebut terpaku berdiri di tempatnya dengan amat ketakutan bersama anaknya yang menjerit sekeras-kerasnya.
Sang Buddha dengan penuh cinta kasih yang terpancar dengan kuatnya (odissakametta) dan dengan suaraNya yang penuh kelembutan seperti suara Dewa Brahma, memanggil Nalagiri : “Hoi..! Nalagiri…! Siapa yang membuatmu menjadi gila dengan enam belas guci minuman keras? Kamu tidak diperintahkan untuk menyerang orang lain, tetapi diarahkan untuk menyerangKu. Jangan keluarkan kekuatanmu dengan merusak tanpa tujuan, datanglah kepadaku.”
Mendengar suara Sang Buddha, Nalagiri membuka matanya dan melihat tubuh Sang Buddha yang bersinar terang. Ia menjadi gelisah dan dengan kekuatan cinta kasih Sang Buddha yang amat besar, maka pengaruh minuman keras yang amat kuat itupun hilang seketika. Dengan menurunkan belalainya dan mengoyang-goyangkan kupingnya ia mendatangi dan berlutut di kaki Sang Tathagata. Kemudian Sang Tathagata berkata : “Nalagiri, engkau adalah gajah jahat, Aku adalah Gajah Buddha, tidak jahat dan liar, tidak membunuh manusia, tetap mengembangkan cinta kasih.”
Sambil berkata demikian Sang Tathagata lalu mengulurkan tangan kananNya dan mengelus-elus kepala gajah itu dan mengajarkan Dhamma kepadanya dengan bersabda :
“Jangan menyerang Sang Buddha, O, gajah..! Dengan pikiran akan melukaiNya, akan membuatmu menderita. Pembunuh seorang Buddha tidak akan memperoleh alam kehidupan yang baik setelah kematiannya.”
“Bebaskanlah dirimu dari mabuk-mabukkan dan melakukan perbuatan bodoh. Karena mereka yang bodoh tidak akan dapat pergi ke alam yang baik. Kamu harus melakukan perbuatan baik sehingga kamu dapat menuju ke alam bahagia.”
Seluruh badan gajah itu bergetar karena diliputi oleh kebahagiaan yang amat besar, dan ia sekarang bukan hanya binatang berkaki empat biasa lagi, tetapi ia telah mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna).
Penduduk yang melihat keajaiban ini berseru dengan gembira dan bertepuk tangan dengan riang. Dengan penuh kebahagiaan, mereka menutupi badan gajah itu dengan hiasan-hiasan. Kemudian Nalagiri terkenal dengan nama Dhanapalaka (pemilik kekayaan) dan ia menjadi amat jinak dan tidak menyakiti siapapun.
Setelah Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ini, Beliau berpikir adalah tidak patut untuk mencari dana di tempat yang sama. Sesudah mengalahkan para pertapa tersebut, dengan diiringi oleh murid-muridNya, Beliau melangkah menuju ke kota seperti orang yang telah memenangkan suatu pertempuran dan pulang kembali ke Vihara Jetavana. Para penduduk menuju Vihara Jetavana, berdana makanan berupa nasi, minuman dan makanan enak lainnya kepada Sang Guru Agung beserta murid-muridNya. Penduduk kota itu telah menanam kebajikan yang besar sekali.
Kisah Sang Buddha yang sangat menyentuh perasaan ini, paling tidak, bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, bahwa kekuatan cinta kasih yang dimiliki oleh Sang Buddha dapat mengatasi kemarahan seekor gajah. Oleh karena itu, para umat dan simpatisan Buddhis yang biasa menghormat Buddharupang, hendaknya ia dalam kehidupan sehari-hari selalu berusaha meniru perilaku penuh kasih Sang Buddha dengan mengembangkan pikiran, ucapan dan perilaku cinta kasih kepada semua makhluk yang berada di sekitarnya. Ia haruslah selalu berusaha menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi tanpa menggunakan kekerasan sehingga dapat membawa kebahagiaan untuk semua fihak. Jangan karena kemarahan maupun kebencian, ia mengharapkan fihak lain menderita. Sesungguhnya, hanya cinta kasih yang selalu dapat mengalahkan kebencian. Bahkan, sedemikian cinta kasih Sang Buddha kepada semua makhluk, sehingga dalam kisah di atas dapat diketahui bahwa Beliau juga berkenan menolong ibu yang sangat ketakutan saat ia dan anaknya terjebak di tengah kemarahan gajah tersebut.
Hal kedua yang layak diteladani dari kisah di atas adalah kesetiaan para murid Sang Buddha yang terdiri dari para umat maupun bhikkhu. Mereka semua rela mengorbankan diri demi keselamatan dan kesejahteraan Sang Buddha. Kerelaan dan kesetiaan seperti inilah yang hendaknya para umat serta simpatisan Buddhis mampu latih dan lakukan untuk sesama mahluk di sekitarnya, khususnya kepada mereka yang dicintai. Dengan banyak mengembangkan kesetiaan serta kerelaan, seseorang sesungguhnya termasuk telah menanam kebajikan. Kebajikan semacam inilah yang nantinya akan dapat menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya sesuai dengan harapan yang ia miliki.
Kisah hidup Sang Buddha Gotama yang sedemikian mengesankan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab para umat maupun simpatisan Buddhis sering menempatkan Buddharupang di altar dan menghormatinya dengan merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada maupun bersujud.
Namun, kiranya para umat maupun simpatisan Buddhis tidak hanya cukup sampai pada penghormatan terhadap Buddharupang saja, melainkan ia juga harus selalu berusaha meneladani serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya perilaku baik yang layak diteladani adalah dengan mengembangkan cinta kasih ketika menghadapi permusuhan maupun kebencian. Jangan karena marah dan benci mengharap fihak lain menderita atau celaka. Sesungguhnya, kebencian hanya akan berakhir dengan pengembangan pikiran dan perilaku penuh cinta kasih.
Seorang umat Buddha yang baik, sudah seharusnya semakin lama ia mengenal Ajaran Sang Buddha, semakin sering pula ia melaksanakan pengembangan cinta kasih dan tidak lagi mengharapkan para musuh dan mereka yang dibenci mendapat penderitaan maupun kesulitan. Ia hanya mengharapkan semua makhluk hidup yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan selalu mendapatkan kebahagiaan, kedamaian serta terbebas dari permusuhan maupun kecemasan.
Apabila perilaku penuh cinta kasih ini dapat selalu dilaksanakan oleh para umat dan simpatisan Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, maka perilaku baik ini akan mengkondisikan munculnya kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup bersama dalam masyarakat.
Semoga uraian tentang salah satu perilaku baik Sang Buddha ini dapat mendorong semangat para umat dan simpatisan Buddhis untuk terus berusaha memperbaiki perilaku, ucapan dan cara berpikirnya agar semakin lama mengenal Dhamma, semakin baik pula perilakunya.
Semoga semua makhluk selalu hidup berbahagia, bebas dari kebencian dan permusuhan.