No. 488
BHISA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Semoga kuda dan sapi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyimpang ke jalan salah.
Situasi kejadian ini akan diuraikan di dalam Kusa-Jātaka191.
[305] Di sini Sang Guru bertanya kembali—“Apakah benar, bhikkhu, bahwa Anda telah menyimpang ke jalan yang salah?” “Ya, Guru, itu benar.” “Dikarenakan apa?” “Dikarenakan dosa, Guru.”“Bhikkhu, mengapa Anda menyimpang ke jalan salah setelah memeluk suatu keyakinan demikian seperti ini yang menuntun ke penyelamatan, dan semuanya dikarenakan dosa? Di masa lampau, sebelum munculnya Sang Buddha, orang bijak yang menjalani kehidupan suci, bahkan ketika berada di luar pagar, mengambil sumpah, dan meninggalkan suatu pendapat yang berhubungan dengan godaan dan nafsu keinginan!”
Setelah berkata demikian, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi putra dari seorang brahmana terkenal yang memiliki harta kekayaan sebanyak delapan ratus juta rupee. Nama yang diberikan kepadanya adalah Mahā-Kañcana, Tuan besar Emas.
Di saat ia baru saja dapat berjalan sendiri, brahmana itu mendapatkan seorang putra lagi dan mereka menamainya dengan Upā-Kañcana, Tuan kecil Emas. Demikian seterusnya secara berturut-turut brahmana itu mendapatkan tujuh orang putra, dan untuk yang paling bungsu ia mendapatkan seorang putri, yang diberi nama Kañcana-devī, Nona Emas.
Ketika dewasa, Mahā-Kañcana belajar di Takkasila tentang semua ilmu sastra dan pengetahuan, dan kembali ke rumah. Kemudian orang tuanya berkeinginan untuk membuatnya hidup berumah tangga sendiri. “Kami akan membawakanmu seorang wanita yang berasal dari sebuah keluarga yang cocok untukmu dan Anda akan mempunyai kehidupan rumah tangga sendiri,” kata mereka.
Tetapi ia berkata, “Ayah dan Ibu, saya tidak ingin berumah tangga. Bagiku tiga alam keberadaan192 itu mengerikan seperti api yang membara, terikat dengan rantai seperti rumah penjara, menjijikan seperti tempat tumpukan kotoran. Saya tidak pernah mengetahui tentang perbuatan yang demikian, bahkan tidak di dalam mimpiku. Anda masih memiliki putra-putra yang lain, mintalah mereka untuk menjadi kepala keluarga dan biarkan diriku sendiri.” Walaupun berkali-kali mereka memohon kepadanya, meminta teman-temannya datang dan membujuknya, tetapi ia tetap tidak bersedia melakukannya.
Kemudian teman-temannya bertanya, “Apa yang Anda inginkan, teman baikku, sehingga Anda tidak menginginkan cinta dan nafsu keinginan?” Ia memberitahu mereka tentang bagaimana ia telah meninggalkan kehidupan duniawi.
Ketika orang tuanya mengerti akan hal ini, mereka meminta hal yang sama kepada putra-putranya yang lain, tetapi tidak seorangpun bersedia mendengarkannya, bahkan juga Putri Kañcana. Dengan berlalunya waktu, orang tua mereka meninggal dunia. Mahā-Kañcana yang bijak melakukan upacara pemakaman bagi kedua orang tuanya itu. Dengan harta karun sebanyak delapan ratus juta rupee, ia membagikan derma yang banyak sekali kepada para pengemis dan pengembara yang berjalan kaki.
Kemudian dengan membawa keenam saudara laki-lakinya, adik perempuannya, seorang pembantu laki-laki dan wanita, serta seorang sahabat, [306] ia meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi ke daerah pegunungan Himalaya. Di sana di sebuah tempat yang menyenangkan dekat dengan sebuah kolam teratai, mereka membuat sebuah tempat petapaan dan menjalani kehidupan suci dengan memakan buah-buahan dan akar tetumbuhan yang ada di dalam hutan.
Ketika masuk ke dalam hutan, mereka jalan berpencar dan jika salah satu dari mereka melihat buah-buahan atau daun, maka ia akan memanggil yang lainnya. Di sana dengan menceritakan semua yang telah dilihat dan didengar, mereka memungut apa yang ada di sana—terlihat seperti pasar desa.
Tetapi Sang Guru, petapa Mahā-Kañcana, berpikir dalam dirinya, “Kami telah membagikan harta sebanyak delapan juta rupee dan menjalani kehidupan suci, tidak pantas untuk pergi mencari buah-buahan dengan serakah seperti ini. Mulai saat ini saya sendiri yang akan mencari buah-buahan.” Sekembalinya ke tempat petapaannya di sore hari, ia mengumpulkan semuanya dan memberitahukan mereka tentang pemikirannya.
“Kalian tetap di sini saja,” katanya, “dan latihlah kehidupan suci. Saya yang akan mencari buah-buahan untuk kalian.” Upā-Kañcana dan yang lainnya menyela, “Kami menjadi petapa di bawah bimbinganmu, seharusnya Anda yang tetap berada di sini dan melatih kehidupan suci. Biarkan adik kita tetap di sini juga bersama dengan pelayannya. Kami berdelapan yang akan mencari buah-buahan secara bergantian dan kalian bertiga tidak perlu mendapat giliran itu.” Ia menyetujuinya.
Mulai saat itu, mereka berdelapan secara bergantian mencari buah-buahan satu orang dalam satu hari, sedangkan yang lainnya akan mendapatkan jatah mereka masing-masing dan membawanya ke tempat tinggal masing-masing serta tetap di berada di dalamnya. Dengan demikian mereka tidak dapat berkumpul bersama tanpa alasan. Ia yang gilirannya mencari buah akan membawa makanan itu (ada sebuah pagar), meletakkannya di atas batu yang rata, membagi menjadi sebelas bagian, dan setelah membuat bunyi gong, ia mengambil bagiannya dan kembali ke tempat tinggalnya. Sedangkan yang lainnya akan datang setelah mendengar bunyi gong, tidak dengan berdesak-desakan, tetapi dengan teratur dan tertib mengambil jatah buah yang telah disediakan dan kembali ke tempat tinggal masing-masing, memakannya, kemudian kembali bermeditasi dan menjalankan kesederhanaan kehidupan suci. Setelah beberapa waktu, mereka mengumpulkan serat teratai dan memakannya. Mereka tinggal di sana menyiksa diri dalam panas yang amat sangat dan siksaan lainnya, semua panca indera mereka telah mati rasa, berusaha keras untuk mencapai jhana.
Dikarenakan perbuatan mereka ini, tahta Dewa Sakka bergetar. “Apakah orang-orang ini hanya terbebas dari nafsu keinginan,” katanya, “ataukah mereka orang suci? [307] Apakah mereka orang suci? Saya akan mencari tahu jawabannya.”
Maka dengan kekuatan gaibnya, selama tiga hari Sakka membuat jatah Sang Mahasatwa menghilang. Di hari pertama sewaktu melihat tidak ada jatahnya, ia berpikir, “Jatahku pasti terlupakan.” Di hari kedua, “Pasti ada yang salah denganku. Ia tidak menyediakan jatahku dengan cara yang penuh hormat.” Di hari ketiga, “Mengapa mereka tidak menyediakan jatah untukku? Jika ada yang salah dengan diriku, saya akan memperbaikinya.” Maka di sore harinya ia membunyikan gong. Mereka semuanya datang bersama dan menanyakan siapa yang membunyikan gong. “Saya yang melakukannya, Mārisā.” “Ada apa, guru yang baik?” “Mārisā, siapa yang mencari buah-buahan tiga hari yang lalu?” Salah satu dari mereka bangkit dan berkata, “Saya,” berdiri dengan penuh hormat. “Di saat Anda membagi jatah makanan, apakah Anda memisahkan jatah untukku?” “Ya, jatah untuk yang paling senior. Ada apa guru?” “Dan siapa yang mencari makanan semalam?” Yang lainnya bangkit dan berkata, “Saya,” kemudian berdiri dengan hormat sambil menunggu. “Apakah Anda mengingat jatahku?” “Saya membuatkan jatah untukmu, jatah untuk yang paling senior.” “Hari ini, siapa yang mencari makanan?” Yang satunya lagi bangkit dan berdiri dengan hormat sambil menunggu. “Apakah Anda mengingat saya sewaktu membagi jatah makanan?” “Saya menyisihkan jatah untuk yang paling senior untukmu.” Kemudian ia berkata, “Mārisā, hari ini adalah hari ketiga saya tidak mendapatkan jatah makanan. Di hari pertama ketika saya tidak melihat jatahku, saya berpikir, pasti orang yang membagi jatah makanan telah melupakan bagianku. Di hari kedua, saya berpikir pasti ada yang salah denganku. Tetapi hari ini saya telah mengambil keputusan bahwa jika ada kesalahan dengan diriku, saya akan memperbaikinya. Oleh karena itu, saya memanggil kalian dengan bunyi gong itu. Kalian mengatakan bahwa kalian ada membagikan jatah makanan serat teratai untukku, tetapi saya tidak mendapatkannya. Saya harus menemukan orang yang mencuri dan memakannya. Ketika seseorang telah meninggalkan keduniawian dan semua nafsu keinginan, mencuri adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan meskipun benda itu hanya tangkai bunga teratai.” Ketika mendengar perkataan ini, mereka semua berkata dengan keras, [308] “Oh, betapa suatu perbuatan yang kejam!” dan mereka semua menjadi sangat gelisah.
Saat itu dewa yang berdiam di sebuah pohon yang dekat dengan gubuk mereka, pohon yang tertua di dalam hutan, keluar dan duduk di tengah-tengah mereka. Demikian juga ada seekor gajah yang cacat dalam menjalani latihan penenangannya dan menghancurkan tonggak tempat ia diikat, melarikan diri ke dalam hutan; dari waktu ke waktu ia biasanya datang dan memberi hormat kepada kumpulan orang suci. Saat itu ia datang dan berdiri di satu sisi. Ada juga seekor kera, yang dulu biasanya bermain-main dengan ular dan berhasil kabur dari cengkeraman pawang ular ke dalam hutan. Ia tinggal di dalam tempat petapaan itu dan pada hari itu ia juga datang menyapa kumpulan petapa tersebut dan berdiri di satu sisi. Dewa Sakka, yang bertekad untuk menguji para petapa tersebut, juga berada di sana dalam rupa yang tidak kasat mata di samping mereka.
Waktu itu, adik Bodhisatta, petapa Upā-Kañcana, bangkit dari duduknya dan memberi salam hormat kepada Sang Buddha, membungkuk memberi hormat kepada yang lainnya, dan berkata sebagai berikut: “Guru, dengan mengesampingkan yang lain, bolehkah saya membersihkan diri dari tuduhan ini?” “Boleh, Mārisa.” Dengan berdiri di tengah-tengah orang suci tersebut, ia berkata, “Jika saya yang memakan jatah makananmu, saya akan begini,” sambil mengambil sumpah yang khidmat dalam perkataannya di bait pertama berikut ini:
“Semoga kuda dan sapi menjadi miliknya, semoga perak,
Emas, seorang istri yang penuh kasih sayang, dimilikinya,
Semoga ia mempunyai banyak putra dan putri,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu193.”
Mendengar ini, para petapa yang lain mengangkat tangannya dan berkata dengan keras, “Tidak, tidak, Tuan, sumpah itu terlalu berat!” Dan Bodhisatta juga berkata, “Mārisa, sumpahmu itu sangat berat. Anda tidak memakan makanan itu, duduklah kembali di tempatmu.” Setelah demikian membuat sumpahnya dan duduk kembali, petapa yang kedua bangkit dari duduknya, memberi salam hormat kepada Sang Mahasatwa, dan mengucapkan bait kedua berikut untuk membersihkan dirinya:
[309] “Semoga ia memiliki anak dan pakaian semaunya,
Kalung bunga dan cendana yang manis mengisi tangannya,
Hatinya menjadi bergejolak dengan nafsu dan kehendak,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”
Setelah ia duduk, yang lainnya masing-masing secara bergiliran mengucapkan bait kalimatnya untuk mengungkapkan perasaannya:
[312] Setelah sumpah telah diambil dalam tiga belas bait kalimat ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Mungkin mereka mengira saya sedang berbohong dan mengatakan bahwa makanan itu tidak ada yang seharusnya ada.” Maka ia membuat sumpahnya dalam bait kalimat keempat belas berikut:“Semoga ia memiliki banyak, baik ketenaran dan tanah,
Anak, rumah, harta benda, semuanya ada atas perintahnya,
Semoga ia tidak mengerti akan tahun yang terus berganti,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”“Semoga ia dikenal sebagai seorang ksatria yang perkasa,
Sebagai raja dari segala raja yang duduk di tahta yang berjaya,
Ia memiliki bumi dan keempat penjurunya,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”“Semoga ia menjadi seorang brahmana, dengan nafsu keinginan yang tidak ditundukkan,
Dengan keyakinan dalam bintang-bintang dan hari-hari keberuntungan yang diberikan,
Terhormat dengan rasa terima kasih raja yang agung,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”“Seorang siswa di dalam hutan Vedic membaca,
Biarkan semua orang memuja kepala sucinya,
Dan dipuja oleh orang-orang,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”“Semoga ia mendapatkan sebuah desa sebagai anugerah dari dewa Indra,
[310] “Seorang kepala desa, dengan teman-temannya di sekeliling,
Kaya, pilihan, memiliki keempat jenis benda194,
Dan semoga ia meninggal dengan nafsu keinginan yang tidak terkendali,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”
Kesukaannya adalah tarian dan lantunan musik yang manis;
Semoga simpati raja berlimpah berada di pihaknya:
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu195.”“Semoga ia (wanita) menjadi yang paling cantik di antara semua wanita,
Semoga raja pemimpin dunia yang maha tinggi menjadikannya
Ratu di antara sepuluh ribu lainnya di dalam pikirannya,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu196.”“Di saat semua pelayan wanita bertemu,
Semoga ia tidak malu duduk di tempat duduknya,
Bangga akan pencapaiannya, dan semoga makanannya enak,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu197.”“Semoga beranda Kajañgal yang megah menjadi tanggung jawab perawatannya,
Dan semoga ia memperbaiki bagian yang rusak,
Dan setiap hari membuat sebuah jendela yang baru di sana,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu198.”“Semoga ia tertangkap dan diikat kuat dengan enam ratus ikatan,
Dibawa dari dalam hutan ke kota,
Dipukul dengan kayu dan tombak penjaga, menjadi terganggu kejiwaannya,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu199.”“Kalung bunga di leher, anting-anting timah di telinga,
Tergantung, biarkan ia berjalan di jalan yang banyak penyamunnya, dengan ketakutan,
Dan dilengkapi dengan kayu untuk didekati oleh hewan melata200,
Brahmana, yang mencuri jatah makananmu.”
“Barang siapa yang bersumpah makanannya hilang tetapi ternyata tidak,
Maka biarkan ia menikmati nafsu keinginan dan akibatnya,
Semoga kematian dunia mendatangi dirinya.
Sama halnya dengan kalian, Saudaraku, jika kalian mencurigaiku.”
Ketika orang-orang suci itu telah mengucapkan sumpah mereka, Sakka berpikir sendiri, “Jangan takut. Saya membuat jatah makanan daun teratai itu menghilang untuk menguji orangorang tersebut, dan mereka semua mengucapkan sumpah dengan tidak menyukai perbuatan itu seolah-olah itu adalah air ludah yang hina. Sekarang saya akan menanyakan mengapa mereka membenci keinginan dan nafsu keinginan.” Pertanyaan ini ditanyakannya kepada Bodhisatta dalam bait kalimat berikut ini setelah kembali ke bentuk yang kasat mata:
“Apa pula yang dicari orang dengan datang kemari
Benda yang bagi banyak orang adalah menawan dan bernilai,
Yang didambakan, menyenangkan dalam kehidupan ini: mengapa, kalau begitu,
Apakah orang-orang suci tidak menyukai benda yang didambakan manusia ini?”
Dalam menjawab pertanyaan ini, Sang Mahasatwa mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Nafsu keinginan adalah pukulan mematikan dan rantai yang mengikat,
Di dalamnya kita menemukan penderitaan dan ketakutan,
Ketika tergoda oleh nafsu keinginan berkuasa seperti raja201
Akan terlena melakukan hal-hal yang keji dan berdosa.“Para pendosa ini akan terus melakukan dosa, mereka masuk alam Neraka
Di saat hancurnya bingkai ketidakkekalan.
[313] Karena penderitaan dari nafsu keinginan mereka tahu202
Oleh karena itu orang-orang suci tidak memuji nafsu keinginan, hanya mencelanya.”
Ketika mendengar penjelasan Sang Mahasatwa, dengan sangat terharu hatinya, Sakka mengucapkan bait kalimat berikut:
“Diriku sendiri untuk menguji orang-orang suci ini mengambil
Makanan itu, yang saya letakkan di tepi danau.
Mereka benar-benar adalah orang suci, murni dan baik.
O manusia yang menjalani kehidupan suci, lihatlah makananmu!”
Mendengar ini, Bodhisatta mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Kami bukanlah badut, untuk dipermainkan oleh Anda,
Bukan sanak keluarga, kami ini juga bukan teman Anda.
Lalu, mengapa, O raja surga, O mata seribu,
Anda berpikir orang suci harus menjadi permainanmu?”
Dan Sakka mengucapkan bait kedua puluh berikut ini untuk berdamai dengannya:
[314] Kemudian Sang Mahasatwa memaafkan Sakka, raja para dewa, dan di sisinya sendiri untuk berdamai dengan kumpulan orang suci yang lain, ia mengucapkan bait kalimat berikut ini:“Anda adalah guru saya, dan ayah saya,
Dari kesalahan saya biarlah itu menjadi pelindungku sekarang.
Maafkan saya atas kesalahanku, O orang suci yang bijak!
Mereka yang bijak tidak pernah mengamuk dalam kemarahan.”
“Bahagia bagi orang-orang suci di dalam satu malam,
Ketika dewa Indra terlihat oleh kita.
Dan, Saudara sekalian, berbahagialah dalam hati untuk melihat
makanan yang dulu dicuri, dikembalikan kepadaku sekarang.”
Setelah memberi salam hormat kepada rombongan resi (orang suci), Dewa Sakka kembali ke alam Dewa. Rombongan resi pun membangkitkan kesaktian melalui pencapaian meditasi jhana, kemudian muncul di alam Brahma.
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, orang bijak di masa lampau mengucapkan sumpah dan meninggalkan dosa.”
Setelah ini dikatakan, Beliau memaparkan kebenarannya. Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyimpang itu mencapai tingkat kesucian sotapanna.
Untuk mempertautkan kisah kelahiran ini, Beliau mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Sariputta, Moggallana, Puṇṇa, Kassapa, dan saya,
Anuruddha dan Ananda, adalah tujuh bersaudara itu.
“Uppalavaṇṇā adalah adik perempuan, dan Khujjuttarā adalah pelayan wanita,
Sātāgira adalah dewa pohon, Citta adalah pelayan laki-laki,
“Gajah adalah Pārileyya, Madhuvāseṭṭha adalah kera,
Kāḷudāyi adalah Sakka saat itu.
Sekarang Anda mengerti tentang kelahiran ini.”
____________________
Catatan kaki :
191 No. 531.
192 Kāma-loka, rūpa-loka, arūpa-loka.
193 Maksudnya adalah seseorang yang hatinya tercurahkan pada benda-benda ini akan merasa sakit berpisah dengannya, dan oleh karena itu tidak cocok untuk mati dari sudut pandang agama Buddha. Oleh karena itu, bait kalimat ini adalah sebuah kutukan.
194 Para ahli menjelaskan kata ini sebagai: berlimpah ruah, kaya dalam hal biji-bijian, dalam kayu, dalam air. Bait kalimat ini diucapkan oleh petapa yang baik hati.
195 Diucapkan oleh pelayan laki-laki.
196 Diucapkan oleh Kañcanā
197 Diucapkan oleh pelayan wanita.
198 Diucapkan oleh dewa pohon itu. Kajañgala, para ahli memberitahukan kita, adalah sebuah kota dimana bahan-bahan bangunan sulit didapatkan. Di sana, di masa Buddha Kassapa, seorang dewa mendapatkan pekerjaan yang sulit untuk memperbaiki bagian yang rusak dari vihara tua tersebut.
199 Diucapkan oleh gajah.
200 Kera itu yang mengucapkan ini: tugasnya dulu adalah bermain dengan ular. Lihat kembali ke atas.
201 Pemimpin manusia, ‘sebuah kiasan bagi Dewa Sakka ’.
202 Sutta Nipāta, 50.