No. 450
BIḶĀRI-KOSIYA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Ketika tidak ada makanan,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang mengabdikan dirinya dalam pembagian dana.
Diceritakan bahwa bhikkhu ini mencurahkan dirinya dalam pembagian dana, menjadi sangat ingin mulai dari waktu setelah ia selesai mendengar khotbah Dhamma dan mengamalkannya. Ia tidak pernah habis memakan semangkuk nasi kalau tidak dibagi dengan yang lain, bahkan ia juga tidak akan minum air kalau ia tidak membaginya dengan yang lain; demikian larutnya ia dalam pembagian.
Kemudian mereka mulai membicarakan sifat baiknya itu di dhammasabhā.
Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberitahukan Beliau.
Setelah meminta orang memanggil bhikkhu itu, Beliau bertanya kepadanya, “Apakah benar apa yang saya dengar, bhikkhu, bahwa Anda begitu mengabdikan diri dalam pembagian dana, sangat ingin berdana?” Ia menjawab, “Ya, Bhante.” Sang Guru berkata lagi, “Di masa lampau, para bhikkhu, laki-laki ini adalah orang yang tidak memiliki keyakinan dan kepercayaan, ia tidak akan memberikan setetes air di ujung sehelai rumput kepada siapapun; kemudian saya membuatnya sadar, mengubah cara berpikirnya dan juga membuat dirinya menjadi rendah hati, mengajarkannya tentang hasil dari memberikan dana. Dan hatinya yang demikian dermawan ini tidak hilang dari dirinya bahkan sampai di kehidupannya yang lain.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah masa lampau35.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga orang kaya. Setelah beranjak dewasa, ia mendapatkan harta bagiannya; dan setelah ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang saudagar.
Suatu hari ketika ia melihat kembali harta kekayaannya, ia berpikir, “Harta kekayaan ada di sini, [63] tetapi dimana orang-orang yang mengumpulkannya? Saya harus membagikan harta kekayaanku ini, dan memberikan derma.” Maka ia membangun sebuah dānasālā.
Semasa hidup, ia memberikan banyak derma dan ketika hari-harinya di dunia sudah hampir habis, ia menugaskan putranya untuk tetap melakukan pemberian derma. Setelah meninggal, ia tumimbal lahir menjadi Dewa Sakka di alam tiga puluh tiga dewa (Tavatimsa). Dan putranya, yang juga memberikan derma sama seperti ayahnya, terlahir menjadi Canda, sang Bulan, di antara para dewa.
Dan putra dari Canda terlahir menjadi Suriya, sang Matahari; putra dari Suriya terlahir menjadi Mātali (Matali), si Penunggang Kereta36; putra dari Matali terlahir menjadi Pañcasikha, salah satu dari Gandhabba atau pemain musik di alam Surga. Akan tetapi generasi yang keenam adalah orang yang tidak memiliki keyakinan, berhati keras, tidak memiliki cinta kasih, sangat kikir. Ia menghancurkan dānasālā, memukuli para pengemis dan mengusir mereka untuk melakukan pekerjaan mereka masing-masing, ia bahkan tidak akan memberikan setetes air di ujung sehelai rumput kepada siapapun.
Kemudian Sakka, raja para dewa, melihat kembali perbuatannya di masa lampau sambil ingin mencari tahu, “Apakah tradisi pemberian derma masih berlanjut atau tidak?” Sewaktu memikirkan hal tersebut, ia mengetahui ini: “Putraku tetap melanjutkan pemberian dermanya dan sekarang ia telah menjadi Canda; putranya menjadi Suriya, dan putranya menjadi Matali, dan putranya menjadi Pañcasikha; tetapi keturunan yang keenam telah menghancurkan tradisi ini.”
Kemudian terlintas dalam pikirannya, ia akan membuat laki-laki yang berdosa ini menjadi sadar dan mengajarkannya tentang pahala dari pemberian derma. Maka ia memanggil Canda, Suriya, Matali, Pañcasikha, dan berkata, “Para dewa, keturunan keenam dari keluarga kita telah menghancurkan tradisi keluarga kita; ia telah membakar dānasālā, mengusir para pengemis dan tidak memberikan apapun kepada siapapun. Mari kita menyadarkan dirinya!” Maka dengan mereka akhirnya ia menuju ke kota Benares.
Pada waktu itu, saudagar tersebut telah pergi menunggui raja. Sekembalinya dari istana, ia berjalan lewat di pintu menara37 ketujuh sambil melihat ke arah jalan. Sakka berkata kepada yang lainnya, “Kalian tunggu di sini ketika saya maju dan kemudian satu per satu mengikutiku.” Setelah berkata demikian, ia maju dan berdiri di hadapan saudagar kaya tersebut, ia berkata, “Hai, Tuan! Berikan saya makanan!”—“Tidak ada yang dapat dimakan olehmu di sini, brahmana; pergilah ke tempat lain.”—“Hai, Tuan yang agung! Ketika brahmana meminta makanan, [64] janganlah menolaknya!”—“Di rumahku, brahmana, tidak masak makanan ataupun makanan yang dipersiapkan untuk dimasak; pergilah!”—“Tuan yang agung, saya akan membacakan satu bait puisi,—Dengar.” “Saya tidak menginginkan puisimu; pergilah, jangan hanya berdiri di sini.”
Tetapi Sakka mengucapkan dua bait kalimat ini tanpa menghiraukan perkataannya:
“Ketika tidak ada makanan di dalam tempayan,
yang baik pasti akan mendapatkan, tanpa diragukan lagi:
Dan Anda yang memasak! Bukanlah suatu hal yang bagus
jika Anda tidak menyediakan makanan sekarang.“Ia yang lalai dan kikir, akan diragukan:
Tetapi ia yang menyukai kebajikan, akan memberi,
dan ia memiliki pikiran yang bijaksana.”
Ketika laki-laki ini mendengar hal ini, ia menjawab, “Baiklah, masuk dan duduklah. Anda akan mendapatkan sedikit makanan. Selesai mengucapkan bait-bait tersebut, Sakka masuk ke dalam dan duduk.
Kemudian Canda datang dan meminta makanan. “Tidak ada makanan untukmu,” kata laki-laki itu, “Pergilah!” “Tuan yang agung, ada seorang brahmana di dalam sana, menurutku pasti ada makanan gratis buat brahmana itu, maka saya juga akan ikut masuk.” “Tidak ada makanan gratis bagi seorang brahmana!” kata laki-laki itu, “Pergilah Anda!”
Kemudian Canda berkata, “Tuan besar, tolong dengarkan satu atau dua bait kalimat berikut:
[65] Setelah mendengar perkataan ini juga, laki-laki itu berkata, “Baiklah, masuk dan makanlah sedikit.” Ia pun bergerak masuk dan duduk dengan Sakka.(Kapan saja orang kikir yang mengerikan
tidak memberikan apa-apa,
hal yang paling ia takuti akan muncul padanya
karena ia tidak memberikan apa-apa:)—“Ketika rasa takut akan kelaparan dan kehausan
membuat jiwa orang yang kikir menjadi takut,
Di dalam kehidupan ini atau berikutnya
orang bodoh ini akan membayarnya.“Oleh karena itu belajarlah memberikan derma,
bebaskan diri dari keserakahan, hilangkan benih keserakahan,
Di kehidupan yang akan datang perbuatan bajik orang yang demikian
akan menuntunnya kepada kepastian.”
Setelah menunggu beberapa lama, Suriya datang dan meminta makanan dengan mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Hal ini sulit dilakukan sebagaimana yang dilakukan orang baik,
yaitu memberi apa yang dapat mereka beri,
Orang yang jahat tidak dapat mencontoh
kehidupan yang dijalani oleh orang baik.“Dan demikian, ketika yang baik dan yang jahat
meninggalkan bumi ini,
Yang jahat akan terlahir di alam Neraka,
dan yang baik akan terlahir di alam Surga.”38
Laki-laki kaya tersebut yang tidak melihat ada bantahan dalam hal tersebut, berkata kepadanya, “Baiklah, masuk dan duduk bersama dengan para brahmana ini. Anda akan mendapatkan jatah makanan sedikit.”
Kemudian Matali muncul setelah menunggu beberapa lama dan meminta makanan.
Ketika ia diberitahu bahwa tidak ada makanan, ia langsung mengucapkan bait kedelapan berikut ini:
“Sebagian orang memberi mulai dari jumlah yang sedikit,
sebagian lagi tidak memberi meskipun mempunyai
simpanan yang banyak:
Barang siapa yang memberi mulai dari jumlah kecil,
lama-lama akan menjadi banyak.”
` [66] Laki-laki itu juga berkata kepadanya, “Baiklah, masuk dan duduklah.”
Kemudian setelah menunggu beberapa lama, Pañcasikha datang dan meminta makanan. “Tidak ada makanan lagi, pergilah,” itulah balasan yang terdengar. Ia berkata, “Betapa banyak tempat yang telah saya kunjungi! Pasti ada makanan gratis bagi para brahmana di sini .”
Dan ia mulai berkata kepadanya dengan mengucapkan bait kedelapan berikut ini:
“Bahkan ia yang hidup dengan memakan
makanan sisa akan berbuat baik,
Memberikan sedikit yang dimilikinya,
meskipun ia sendiri memiliki anak;Uang ratusan ribu yang diberikan
oleh harta kekayaan,
Tidak dapat menandingi pemberian kecil
dari orang yang demikian.”
Laki-laki kaya itu berpikir sejenak sewaktu mendengar khotbah dari Pañcasikha. Kemudian ia mengucapkan bait kesembilan berikut untuk meminta penjelasan atas nilai dari pemberian kecil tersebut:
[67] Dalam menjawabnya, Pañcasikha mengucapkan bait terakhir berikut ini:“Mengapa pemberian yang kaya dan dermawan
Tidak sebanding dengan pemberian yang benar,
Bagaimana uang ribuan, yang diberikan oleh orang kaya,
Tidak sebanding dengan pemberian orang yang miskin
meskipun sedikit jumlahnya?”
“Sebagian orang menjalani hidup
dengan jalan yang salah
Menindas, dan menganiaya,
kemudian baru memberikan kenyamanan:
Pemberian mereka yang keji dan pahit itu tidak bernilai
Dibandingkan dengan pemberian yang benar.
Demikian uang ribuan dari orang kaya
tidak dapat Menandingi pemberian dari orang demikian
meskipun sedikit jumlahnya.”
Setelah mendengar nasehat dari Pañcasikha, laki-laki itu membalasnya dengan berkata, “Baiklah, masuk ke dalam dan duduklah. Anda akan mendapatkan jatah makanan sedikit.”
Dan ia juga masuk ke dalam, duduk dengan yang lainnya.
Kemudian saudagar kaya tersebut, Biḷārikosiya, memanggil pelayan wanitanya dan berkata, “Berikan para brahmana yang ada di sana segenggam beras sekam.” Ia membawakan nasinya dan mendekat kepada mereka, meminta mereka memasaknya sendiri dan makan.
Mereka berkata, “Kami belum pernah menyentuh beras sekam.—“Tuan, mereka mengatakan bahwa mereka belum pernah menyentuh beras sekam!”—“Baiklah, berikan mereka beras sekam.” Ia pun membawakan mereka beras dan meminta mereka membawanya. Mereka berkata, “Kami tidak menerima makanan yang belum dimasak.”—“Tuan, mereka mengatakan bahwa mereka tidak menerima makanan yang belum dimasak!”—“Kalau begitu, masak makanan sapi di dalam panci dan berikan itu kepada mereka.” Ia memasak makanan sapi di dalam panci dan membawakannya kepada mereka.
Mereka berlima mengambil satu suap dan memasukkannya ke dalam mulut, tetapi makanannya tersangkut di tenggorokan; kemudian mata mereka seperti berputar-putar, menjadi pingsan dan berbaring seolah-olah mereka mati.
Pelayan wanita yang menyajikan makanan tersebut yang melihat kejadian ini berpikir bahwa mereka pasti sudah mati dan menjadi sangat takut, kemudian memberitahu saudagar itu dengan mengatakan, “Tuan, para brahmana itu tidak dapat menelan makanan sapi, [68] dan sekarang mereka sudah meninggal!” Saudagar itu berpikir, “Sekarang orang-orang akan mencela diriku dengan mengatakan, orang jahat ini memberikan setumpuk makanan sapi kepada para brahmana yang baik tersebut, yang tidak dapat mereka telan dan akibatnya mereka meninggal!”
Kemudian ia berkata kepada pelayannya, “Cepat ambil makanan itu dari patta mereka dan masak nasi yang terbaik untuk ditaruh di dalamnya.” Pelayan itu mengerjakan apa yang diperintahkan. Saudagar tersebut membawa beberapa orang yang berjalan lewat ke dalam rumahnya, dan setelah mereka terkumpul agak banyak, ia berkata, “Saya memberikan makanan kepada para brahmana ini sama dengan apa yang saya makan, mereka makan dengan terlalu serakah dan memakan dengan suapan yang besar sehingga saat mereka sedang makan, ada makanan yang tersangkut di tenggorokan dan mereka meninggal. Saya membawa Anda sekalian kemari agar dapat menyaksikan bahwa saya tidak bersalah.”
Para brahmana itu bangkit di hadapan kerumunan orang banyak tersebut dan berkata, “Lihatlah kebohongan yang dibuat saudagar ini! Katanya ia memberikan kami apa yang dimakannya! Pada awalnya ia memberikan kami setumpuk makanan sapi dan kemudian di saat kami terbaring tak sadarkan diri, baru ia memasak makanan ini.” Dan mereka mengeluarkan makanan yang mereka makan dari dalam mulut dan menunjukkannya.
Kerumunan orang itu mencela saudagar tersebut, sambil meneriakkan, “Orang buta yang dungu! Anda telah menghancurkan tradisi keluargamu; Anda telah membakar dānasālā; Anda menyeret leher para pengemis dan mengusir mereka; dan sekarang ketika memberikan makanan kepada para brahmana ini, Anda memberikan setumpuk makanan sapi! Di saat Anda meninggal, menurutku, Anda akan membawa pergi semua harta kekayaan di dalam rumahmu dengan mengikatnya di lehermu!”
Pada waktu itu, Sakka bertanya kepada kerumunan orang tersebut, “Apakah kalian tahu milik siapa harta kekayaan ini semuanya?” “Kami tidak tahu.” “Kalian pernah mendengar tentang seorang saudagar agung dari kota Benares, yang hidup di kota ini sebelumnya dan membangun dānasālā tersebut serta banyak memberikan derma?” “Kami pernah mendengarnya.” “Saya adalah saudagar tersebut, dan dikarenakan jasa kebajikan tersebut sekarang saya tumimbal lahir menjadi Sakka, raja para dewa; dan putraku, yang tidak menghancurkan tradisi, menjadi seorang dewa, Canda; putranya adalah Suriya; putranya adalah Matali; dan putranya adalah Pañcasikha; Yang di sana adalah Canda, itu adalah Suriya, dan ini adalah Matali si Penunggang Kereta dan yang ini lagi [69] adalah Pañcasikha, seorang pemusik di alam Surga, yang juga dalam kehidupan awamnya adalah ayah dari orang yang jahat di sana! Demikianlah pahala dari memberikan derma. Oleh karena itu, orang yang bijak harus melakukan kebajikan.”
Setelah berbicara demikian, untuk menghilangkan keraguan orang-orang tersebut, mereka melayang di udara dan tetap berada di sana. Dengan kekuatan mereka yang besar terdapat sinar yang melingkari badan mereka sehingga membuat kota kelihatan seperti sedang terbakar.
Kemudian Sakka berkata kepada kerumunan orang tersebut, “Kami meninggalkan kejayaan surgawi untuk datang kemari, dan kami datang dikarenakan pendosa ini Biḷārikosiya, keturunan terakhir dari keluarganya, si penghancur semua keluarganya. Kami datang karena mengasihaninya, karena kami tahu bahwa pendosa ini telah menghancurkan tradisi keluarga, membakar dānasālā, mengusir para pengemis dengan menyeret leher mereka, dan melanggar adat keluarga kami. Dengan memberhentikan pemberian derma itu akan menyebabkan dirinya tumimbal lahir di alam Neraka.”
Demikianlah ia berbicara kepada kerumunan orang banyak tersebut dengan mengatakan tentang pahala dari pemberian derma. Biḷārikosiya merangkupkan kedua tangannya memohon dan mengucapkan sumpah; “Tuanku, mulai saat ini saya tidak akan melanggar adat tradisi keluarga, saya akan memberikan derma. Dan dimulai dari hari ini juga, saya tidak akan makan tanpa membagikan makananku kepada orang lain, bahkan air minum dan pembersih gigi yang saya gunakan.”
Setelah Sakka demikian membuatnya sadar, membuatnya berjanji kepada diri sendiri dan membuatnya mematuhi Pancasila (Buddhis), ia kembali ke tempat kediaman sendiri dengan membawa keempat dewa itu bersamanya. Akhirnya saudagar itu memberikan derma sepanjang hidupnya dan terlahir di alam Tavatimsa.
____________________
Sang Guru berkata setelah menyampaikan uraiannya, “Demikianlah, para bhikkhu, upasaka ini dulunya tidak memiliki keyakinan dan tidak pernah memberi kepada siapapun meskipun secuil. Akan tetapi, saya membuatnya sadar dan mengajarkannya tentang pahala dari pemberian derma, dan pikiran itu tidak meninggalkannya, bahkan sampai di kehidupan yang selanjutnya.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, upasaka yang dermawan ini adalah laki-laki kaya tersebut, Sariputta adalah Canda, Mogallana adalah Suriya, Kassapa adalah Matali, Ananda adalah Pañcasikha dan saya sendiri adalah Dewa Sakka.”
____________________
Catatan kaki :
35 Sebagian cerita ini muncul di No. 313, Vol. III.
36 Kereta dari Dewa Sakka atau dewa Indra.
37 Bandingkan Hardy’s Manual, hal. 270.
38 Bait kalimat ini muncul di Vol. II. hal. 86.