No. 485
CANDA-KINNARA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Menurutku ini kepergianku,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam diri di Nigrodha Arama dekat Kapilapura, tentang Ibu Rahula di saat ia berada di dalam istana.
Kisah jataka ini harus diceritakan mulai dari masa Sang Buddha di masa dūrenidānato174. Tetapi kisah tiga periode ini telah diceritakan sebelumnya di dalam Apaṇṇaka-Jātaka 175 , sejauh auman singa Kassapa 176 yang ada di Uruvela, di Laṭṭhivana 177 , VeỊuvana, Mulai dari poin itu, Anda dapat membaca di dalam Vessantara-Jātaka 178 kelanjutan kisahnya sampai pada bagian kedatangan ke Kapilavatthu. Sang Guru, duduk di dalam rumah ayahnya, sewaktu makan, mengisahkan tentang Mahā-Dhammapāla-Jātaka 179 , dan setelah selesai makan, Beliau berkata,—“Saya akan memuji sifat-sifat mulia dari Ibu Rahula di dalam rumahnya sendiri, dengan mengisahkan Canda-Kinnara-Jātaka.” Kemudian setelah memberikan patta-Nya kepada raja, dengan dua orang siswa utama-Nya, Beliau pergi ke rumah Ibu Rahula.
Waktu itu ada empat puluh ribu penari wanita yang tinggal melayani Ibu Rahula, dan seribu sembilan puluh dari mereka adalah wanita dari kasta ksatria. Di saat Ibu Rahula mendengar tentang kedatangan Sang Tathagata, ia menyuruh mereka semua memakai jubah kuning, dan mereka pun melakukannya. [283] Sang Guru datang dan duduk di tempat yang telah disiapkan untuk-Nya.
Kemudian semua wanita tersebut meneriakkan kata yang sama dan muncullah suara ribut akan ratapan yang keras. Setelah menangis dan mengesampingkan rasa sedihnya, Ibu Rahula menyambut Sang Guru, duduk dengan penuh rasa hormat seperti halnya kepada seorang raja. Kemudian raja memulai cerita dari kebaikan Ibu Rahula: “Dengarkan saya, Bhante. Ia mendengar bahwa Anda memakai jubah kuning sehingga ia juga memakai jubah kuning; kalung bunga dan benda-benda tertentu harus dilepaskan, dan ia telah melepaskan kalung bunga, dan duduk di tanah. Ketika Anda menjalankan kehidupan suci, ia menjadi seorang janda, dan selalu menolak hadiah pemberian yang dikirim oleh raja-raja lain. Betapa setia hatinya kepada Anda.” Demikianlah raja memberitahukan tentang kebaikannya dengan berbagai cara.
Sang Guru berkata, “Itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, Paduka! bahwa di dalam kelahiranku yang terakhir ini, wanita tersebut mencintaiku, memiliki hati yang setia, dan dituntun olehku seorang. Bahkan ketika terlahir sebagai hewan, ia juga demikian setia dan menjadi milikku seorang.”
Kemudian atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Sang Mahasatwa terlahir di daerah pegunungan Himalaya sebagai seorang peri180. Istrinya bernama Candā. Keduanya ini tinggal bersama di sebuah gunung perak yang disebut Candapabbata, atau Gunung Bulan.
Waktu itu, raja Benares telah menyerahkan kerajaan kepada para menteri istananya, dan sendirian dengan mengenakan dua jubah kuning dan dengan membawa lima jenis senjata, ia pergi ke pegunungan Himalaya.
Sewaktu sedang memakan daging rusa buruannya, ia teringat dimana ada aliran sungai yang kecil, dan mulai mendaki bukit. Waktu itu, peri-peri yang tinggal di Gunung Bulan selama musim hujan tetap tinggal di gunung dan hanya turun gunung di saat cuaca panas.
Ketika itu, peri Canda ini bersama pasangannya turun gunung, berkeliaran ke sana kemari, membasahi dirinya sendiri dengan minyak wangi, memakan tepung sari bunga, mengenakan bunga untuk pakaian luar dan dalam, berayun dengan senangnya di tanaman merambat, bernyanyi dengan suara yang merdu. Pasangannya juga datang ke aliran sungai tersebut, dan di satu tempat peristirahatan ia menuju ke sana bersama dengan istrinya, sambil menebarkan bunga di sekeliling dan bermain di air. Kemudian mereka mengenakan kembali pakaian dari bunga itu, dan di tempat berpasir yang putih seperti piring perak mereka membentangkan tempat duduk dari bunga dan duduk di sana. [284] Dengan memungut sebatang bambu, peri laki-laki mulai bermain dengannya dan bernyanyi dengan suara yang merdu, sedangkan pasangannya mengayun-ayunkan tangannya menari sesuai dengan iringan lagu tersebut.
Raja mendengar suara nyanyian ini dan ia mendekat dengan suara langkah kaki yang tidak terdengar karena melangkah dengan pelan, dan berdiri di tempat yang tersembunyi untuk melihat kedua peri tersebut. Tidak lama kemudian, ia jatuh cinta kepada peri wanita itu. “Saya akan menembak suaminya,” pikir raja, “membunuhnya, dan saya akan tinggal di sini bersama dengan istrinya.”
Kemudian ia menembak peri Canda, yang kemudian meratap sedih karena kesakitan dan mengucapkan empat bait kalimat berikut:
“Menurutku ini kepergianku, dan
darahku mengucur, mengucur,
Saya akan kehilangan pegangan dalam hidup,
O Candā! nafasku mulai sesak!“Ini yang masuk ke dalam, saya merasakan sakit,
jantungku terbakar, terbakar:
Tetapi ini adalah untuk penderitaanmu,
Candā, hatiku merindukanmu.“Seperti rumput, seperti sebuah pohon saya mati,
seperti sungai tak berair saya kering:
Tetapi ini adalah untuk penderitaanmu,
Candā, hatiku merindukanmu.“Seperti hujan di danau di bawah kaki gunung
adalah air mata yang berasal dari mataku:
Tetapi ini adalah untuk penderitaanmu,
Candā, hatiku merindukanmu.”
Demikianlah empat bait kalimat yang diratapi oleh Sang Mahasatwa. Ia terbaring di kursi bunga, kehilangan kesadaran, dan memalingkan kepalanya. Raja tetap berdiri di tempatnya semula. Akan tetapi, pasangan peri itu tidak tahu bahwa Sang Mahasatwa terluka, bahkan tidak tahu saat ia mengucapkan ratapannya, karena dimabukkan oleh kesenangannya sendiri. [285] Melihatnya berbaring di sana dengan memalingkan kepalanya dan tidak bergerak, ia mulai bertanya-tanya apa yang telah terjadi dengan suaminya.
Sewaktu memeriksanya, ia melihat darah mengalir dari tempat luka. Karena tidak mampu menahan rasa sakit akan kehilangan suami tercintanya, ia pun menjerit dengan suara yang keras. “Peri itu pasti telah mati,” pikir raja, dan ia berjalan keluar menunjukkan dirinya. Ketika melihatnya, Candā berpikir, “Ia pasti penjahat yang telah membunuh suamiku tercinta!” dan dengan gemetaran ia berlari. Setelah berdiri di puncak bukit, Candā mencela raja dalam lima bait kalimat berikut:
“Pangeran jahat yang ada di sana-
ah, diriku menderita!– suamiku terluka,
Yang sekarang sedang terbaring di tanah
di bawah pohon di dalam hutan.“O pangeran! penderitaan yang melanda diriku
semoga dibayar oleh ibu Anda sendiri,
Penderitaan yang melanda diriku
melihat periku mati hari ini!“Ya, pangeran! penderitaan yang melanda diriku
semoga dibayar oleh istri Anda sendiri,
Penderitaan yang melanda diriku
melihat periku mati hari ini!“Dan semoga ibu Anda berkabung untuk suaminya,
dan semoga istri Anda berkabung untuk putranya,
Yang dikarenakan nafsu melakukan perbuatan ini
terhadap suamiku yang tidak berdosa.
“Dan semoga istri Anda dapat menyaksikan
dan melihat kehilangan suami dan anak,
Karena dikarenakan nafsu, Anda melakukan
perbuatan ini terhadap suamiku yang tidak bersalah.”
Ketika Candā selesai mengucapkan rintihannya di dalam lima bait kalimat tersebut, raja berusaha menenangkan dirinya dengan berdiri di puncak gunung mengucapkan satu bait kalimat berikut:
[286] “Apa yang telah Anda katakan ini?” teriak Candā ketika mendengar perkataannya, dan dengan suara sekeras auman seekor singa, Candā mengucapkan bait kalimat berikutnya:“Jangan menangis ataupun bersedih:
saya rasa kegelapan di dalam hutan
telah membutakan matamu.
Sebuah rumah yang megah
akan memberikan Anda kerhormatan,
dan Anda akan menjadi ratuku.”
“Tidak! Saya pasti akan bunuh diri!
Saya tidak akan menjadi milikmu,
Orang yang telah membunuh suamiku yang tidak berdosa
dan semuanya dikarenakan nafsu kepada diriku.”
Ketika mendengar bahwa cintanya ini tidak terbalas, raja mengucapkan bait kalimat berikut:
“Tetaplah hidup jika Anda mau,
O Engkau yang takut! Pergilah ke Himalaya:
Makhluk yang memakan tumbuh-tumbuhan
dan menyukai pohon di dalam hutan181, saya tahu.”
Setelah mengucapkan perkataan itu, mau tidak mau raja pergi. Segera setelah mengetahui kepergiaan raja, Candā mendatangi dan memeluk Sang Mahasatwa, membawanya ke puncak bukit, dan membaringkannya di tanah yang rata di sana. Dengan meletakkan kepalanya di atas pangkuannya, ia mengucapkan rintihannya dalam dua belas bait kalimat berikut:
“Di sini di gua bukit dan gunung,
di banyak lembah dan ngarai
Apa yang harus kulakukan, O periku!
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Hewan buas berburu mangsa,
dedaunan tersebar di berbagai tempat yang indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Hewan buas berburu mangsa,
[287] “Sungai-sungai mengalir menuruni perbukitan dengan jernihnya,
bunga-bunga yang cantik tersebar di berbagai tempat yang indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?
dengan bunga-bunga yang tumbuh cepat:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang Anda meninggalkanku sendirian?“Biru warna bukit Himalaya, mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Emas warna ujung bukit Himalaya,
mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Bukit Himalaya berkilau merah,
mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Puncak Himalaya adalah tajam,
mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Puncak gunung Himalaya bercahaya putih,
mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Gunung Himalaya berwarna pelangi,
mereka terlihat sangat indah:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Bukit yang harum182 semerbak adalah kesukaan bagi para yakkha;
tanaman menutupi semua tempat
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?“Para peri suka dengan bukit yang harum,
tanaman menutupi semua tempat:
Apa yang harus kulakukan, O periku,
di saat sekarang saya tidak bisa melihatmu lagi?”
Demikianlah ia membuat rintihannya. Kemudian sewaktu meletakkan tangan Sang Mahasatwa di dadanya, Candā merasakan bahwa tangannya itu masih hangat. “Canda masih hidup!” pikirnya: “Saya akan mencemooh para dewa183 sampai saya dapat menghidupkannya kembali!” Kemudian ia berteriak dengan keras dengan mencemooh mereka, “Apakah tidak ada satu dewa pun yang memimpin dunia ini? [288] Apakah mereka semuanya sedang berada dalam suatu perjalanan? atau mati sebelum petualangan mereka sehingga tidak dapat menyelamatkan suamiku!” Disebabkan oleh kekuatan dari penderitaannya, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Setelah menyelidiki, ia mengetahui penyebabnya.
Dengan mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, ia mendekat, dan dari sebuah kendi air ia mengambil air yang kemudian dipercikkan ke Sang Mahasatwa. Pada waktu itu juga, racun berhenti bereaksi, warna tubuhnya kembali menjadi normal, ia tidak tahu banyak hal tentang apa yang terjadi selain tentang dimana letak lukanya. Sang Mahasatwa berdiri dengan cukup baik. Melihat suami tercintanya sembuh, Candā bersujud di kaki Dewa Sakka dan melantunkan pujiannya di dalam bait kalimat berikut ini:
“Terpujilah, brahmana suci!
yang telah memberikan kepada istri yang tidak berdaya ini
Suami tercintanya, dengan memercikkan
air kehidupan kepadanya.
Kemudian Sakka memberikan nasehat berikut ini: “Mulai dari sekarang, jangan turun dari Gunung Bulan dan pergi ke tempat yang dihuni manusia, tetaplah di sini.” Dua kali ia mengucapkan ini dan kemudian kembali ke tempat kediamannya sendiri. Dan Candā berkata kepada suaminya, “Mengapa kita harus tetap di sini berada dalam bahaya? Ayo, mari kita pergi ke Gunung Bulan,” sambil mengucapkan bait terakhir berikut ini:
“Mari kita pergi kembali ke gunung itu,
dimana terdapat sungai-sungai indah yang mengalir,
Sungai-sungai yang ditumbuhi dengan bunga:
Tetap tinggal di sana seumur hidup,
di saat angin sepoi-sepoi
Berbisik pada ribuan pohon
Menyenangkan dengan perbincangan waktu yang bahagia.”
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, wanita itu mengabdi dan setia kepada diriku.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu Anuruddha adalah raja, Ibu Rahula adalah Candā, saya sendiri adalah peri laki-laki.”
____________________
Catatan kaki :
174 Kisah kelahiran Sang Buddha dibagi ke dalam tiga periode: dūrenidānaṁ (Periode Lampau), avidūre (Periode Menengah) dan santike (Periode Mutakhir). Dūrenidānaṁ berlangsung mulai dari saat Beliau jatuh di kaki Dīpaṅkara atas kelahiran-Nya di alam Tusita; Avidūre dimulai dari saat itu sampai Beliau mencapai penerangan sempurna (menjadi Buddha); Santike, sampai pada masa maha parinibbana-Nya.—Lihat Rhys David’s Buddhist Birth Stories, hal. 2, 58; Warren, Buddhism in Translations, hal. 38, 82.
175 No. 1. Nidāna-Kathā adalah cerita pembuka dalam kumpulan cerita ini, yang tidak diterjemahkan di dalam edisi ini, tetapi diterjemahkan di dalam Rhys David’s Buddhist Birth Stories.
176 Salah satu dari tiga brahmana bersaudara yang tinggal di Uruvela, yang dirubah oleh Sang Buddha.
177 Dekat Rājagaha.
178 No. 547
179 No. 447
180 Kinnara.
181 Dua di antaranya bernama Corypha Taliera dan Tabernaemontana Coronarie.
182 Gandha-mādana.
183 Ujjhānakammaṁ katvā, misalnya dengan ‘menghasut’ Sakka untuk menolong. Pembaca akan dikejutkan dengan kemiripan dari cemoohan Elijah, 1 Kings xviii. 27: ‘Teriaklah dengan keras, karena ia adalah dewa. Mungkin ia sedang berbicara, atau sedang mengejar sesuatu, atau sedang dalam suatu perjalanan, atau tertidur dalam petualangannya, dan ia harus dibangunkan.’