Devadhamma Jataka

DEVADHAMMA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Barang siapa seperti dewa yang sebenarnya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Bhagawan di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang kaya.

Dikisahkan, setelah kematian istrinya, seorang pengawal Sawatthi bergabung menjadi anggota Sanggha. Pada saat ia bergabung, ia membangun sebuah bilik dengan ruang perapian dan gudang persediaan, menumpuk persediaan gi (mentega cair), beras dan lainnya. Bahkan setelah menjadi seorang bhikkhu, ia selalu meminta pelayannya memasakkan makanan yang disukainya. Ia selalu berlimpah dalam penyediaan kebutuhannya 25 , jubah lengkap pengganti untuk malam dan keesokan paginya; dan tinggal jauh di pinggiran wihara.

Suatu hari, saat sedang mengeluarkan jubah dan alas tidurnya untuk dijemur di luar biliknya, sejumlah bhikkhu dari desa yang sedang melakukan pindapata dari wihara ke wihara26, tiba dalam perjalanan mereka ke biliknya dan melihat semua harta bendanya.

“Milik siapakah barang-barang ini?” tanya mereka. “Milikku, Bhante,” jawabnya. “Apa?” seru mereka, “Jubah atas ini dan itu; jubah dalam ini dan itu; dan alas tidur itu juga — semua kepunyaanmu?” “Ya, semuanya adalah milikku.” “Bhante,” kata mereka, “Bhagawan hanya mengizinkan tiga potong jubah; dan bagaimanapun, Bhagawan, yang ajaran-Nya engkau jalankan, hidup sangat sederhana dalam berkeinginan, sementara engkau menimbun sejumlah besar persediaan. Mari, kami harus membawamu menghadap Bhagawan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka membawanya menemui Bhagawan.

Bhagawan yang mengetahui kedatangan mereka berkata, [127] “Wahai Bhikkhu, mengapa kalian membawa seorang bhikkhu yang datang bukan atas kehendaknya.” “Bhante, bhikkhu ini hidup serba berkecukupan dan menimbun persediaan dalam jumlah besar.” “Wahai Bhikkhu, benarkah seperti yang mereka katakan, engkau hidup berkecukupan?” “Benar, Bhagawan.” “Mengapa, Bhikkhu, engkau menimbun harta benda ini? Tidakkah Bhagawan memuji kebajikan dengan sedikit berkeinginan, merasa puas, dan lainnya, hidup menyendiri dan penuh ketekunan?”

Merasa marah mendengar perkataan Bhagawan, ia berkata, “Kalau begitu, mulai saat ini saya akan bertindak dengan cara seperti ini!” Ia berdiri di tengah-tengah para bhikkhu, menanggalkan jubah luarnya dan hanya mengenakan pakaian sebatas pinggang.

Untuk memberikan dukungan moral kepadanya, Sang Guru berkata, “Wahai Bhikkhu, bukankah engkau di kelahiran lampau menjaga rasa malu dan takut berbuat jahat, bahkan di saat engkau terlahir sebagai siluman air yang hidup selama dua belas tahun, tetap menjaga rasa malu dan takut berbuat jahat. Bagaimana engkau bisa, setelah mengucapkan janji untuk memenuhi satu permintaan ratu sebagai anugerah untuk bayi tersebut. Namun ratu menyatakan bahwa ia akan meminta janji tersebut jika waktunya telah tiba. Setelah Pangeran Matahari dewasa, ratu berkata pada raja, “Paduka, saat Pangeran Matahari lahir, engkau menganugerahkan satu permohonan padaku untuk kepentingannya. Maka, jadikanlah ia raja.”

“Tidak bisa,” jawab raja, “masih ada dua pangeran lain yang bersinar laksana cahaya api; saya tidak bisa menyerahkan kerajaan ini pada putramu.” Namun, melihat ratu tidak pernah menyerah terhadap penolakannya, tetap memintanya memenuhi permohonan itu, [128] raja yang merasa khawatir ratu akan menyusun rencana jahat menghadapi kedua pangeran itu, meminta mereka menghadapnya dan berkata, “Anak-anakku, saat Pangeran Matahari lahir, saya berjanji untuk memenuhi satu permohonan ratu. Sekarang, ia meminta saya menyerahkan kerajaan ini pada putranya. Saya telah menolaknya, namun terkadang wanita dapat melakukan hal-hal yang sangat jahat, dan ia dapat saja mengatur rencana licik untuk mencelakai kalian. Lebih baik kalian mengungsi ke hutan dan kembali setelah saya meninggal untuk memimpin kota ini sebagai penerusku” Setelah mengucapkan kata-kata itu, dengan berlinang air mata dan penuh ratapan, ia mencium kening kedua putranya dan mengirim mereka pergi.

Setelah mengucapkan salam perpisahan pada ayah mereka, kedua pangeran itu meninggalkan kerajaan. Tiada seorang pun selain Pangeran Matahari yang sedang bermain di halaman istana, melihat kepergian mereka. Segera setelah mengetahui penyebab perginya kedua saudaranya, Pangeran Matahari memutuskan untuk mencari mereka, ia pun meninggalkan kerajaan.

Ketiga pangeran berkelana hingga tiba di Pegunungan Himalaya. Setelah menepi dan duduk di bawah pohon, Bodhisatta berkata kepada Pangeran Matahari, “Matahari Adikku, pergilah ke kolam yang ada di sana, minum dan mandilah di kolam itu; lalu bawakan sedikit air minum untuk kami dengan menggunakan daun teratai.” (Kolam tersebut telah diberikan kuasa oleh Vessavaṇa27 kepada siluman air dengan berkata, “Kecuali mereka yang mengetahui tentang dewa yang sebenarnya, semua yang masuk ke dalam kolam ini boleh engkau lahap. Mereka yang tidak masuk ke dalam kolam, tidak diizinkan untuk kau sentuh.” Maka siluman air itu selalu menanyai mereka yang masuk ke dalam kolam, apa yang mereka ketahui tentang dewa yang sebenarnya, kemudian melahap mereka yang tidak mengetahui jawabannya.)

Saat Pangeran Matahari memasuki kolam, tanpa terduga, ia ditangkap oleh siluman air itu, yang kemudian bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu siapa dewa yang sebenarnya?” “Ya, saya tahu,” jawabnya, “Matahari dan Bulan.” “Kamu tidak tahu jawabannya,” kata siluman itu, kemudian menariknya masuk ke dalam kolam dan menahan pangeran itu di kediamannya di dalam kolam. Menyadari adiknya masih belum kembali setelah pergi begitu lama, Bodhisatta mengirim Pangeran Bulan ke sana. Ia juga mengalami kejadian yang sama, ditangkap oleh siluman air dan ditanyai dengan pertanyaan yang sama. “Ya, saya tahu,” jawabnya, “Empat penjuru surga.” “Kamu tidak tahu jawabannya,” kata siluman air itu, kemudian membawa korban keduanya ke tahanan yang sama.

Menyadari Pangeran Bulan juga belum kembali setelah pergi begitu lama, Bodhisatta merasa yakin sesuatu telah terjadi pada mereka. Ia segera menyusul dan menemukan jejak kaki mereka menuruni kolam itu. [129] Seketika itu juga ia menyadari bahwa kolam itu pasti dihuni oleh siluman air, ia mengeluarkan pedangnya untuk bersiap-siap, memegang busur dan menunggu. Saat siluman itu menyadari Bodhisatta tidak berniat masuk ke dalam kolam, ia mengubah wujudnya menjadi penjaga hutan, lalu menyapa Bodhisatta, “Kamu tentu letih dengan perjalanan ini, teman. Mengapa tidak masuk ke kolam, mandi dan minum, lalu hiasi dirimu dengan teratai? Setelah itu kamu dapat meneruskan perjalanan dengan lebih nyaman.” Seketika setelah mengenalinya sebagai siluman, Bodhisatta bertanya, “Apakah engkau yang telah menawan kedua adikku?” “Benar,” jawabnya. “Mengapa?” “Karena saya berhak atas semua orang yang masuk ke kolam ini.” “Apa, semua orang?” “Tidak bagi mereka yang tahu tentang dewa yang sebenarnya; di luar itu, semua adalah milikku.” “Apakah kamu ingin tahu mengenai dewa yang sebenarnya itu?” “Ya, saya ingin tahu.” “Kalau begitu, saya akan memberitahumu mengenai dewa yang sebenarnya.” “Lakukanlah, saya akan mendengarkannya.”

“Akan saya mulai,” kata Bodhisatta, “namun saya kotor karena perjalanan ini.” Siluman air itu memandikan Bodhisatta, menyajikan makanan dan air minum, mempereloknya dengan bunga-bungaan serta memercikkan wewangian padanya. Kemudian ia meletakkan sebuah bantalan duduk di tengah sebuah paviliun yang mewah. Setelah duduk di bantalan dan mempersilakan siluman air duduk di dekat kaki beliau, Bodhisatta berkata, “Dengarkan baik-baik, kamu akan mendengar tentang dewa yang sebenarnya.” Ia membacakan syair ini:

Barang siapa seperti dewa yang sebenarnya,
takut dan malu akan kejahatan;
barang siapa yang memiliki batin yang tenang,
gemar akan kebajikan.

[132] Saat siluman itu mendengarkan syair ini, ia merasa

gembira, lalu berkata pada Bodhisatta, “Manusia yang bijaksana, saya merasa puas dengan jawabanmu, akan saya kembalikan salah seorang saudaramu. Saudara manakah yang kamu inginkan?” “Yang muda.” “Manusia yang bijaksana, walaupun kamu mengerti dengan jelas mengenai dewa yang sebenarnya, kamu tidak bertindak demikian.” “Mengapa demikian?” “Mengapa kamu memilih membebaskan yang muda daripada yang tua, tanpa melihat kedudukan mereka.” “Siluman, saya tidak hanya mengerti mengenai dewa yang sebenarnya, saya juga melaksanakannya. Karena dia lah, kami mencari perlindungan di hutan, untuk dia lah, ibundanya meminta kerajaan dari ayah kami dan ayah kami yang menolak permintaan itu, menyetujui kepergian kami untuk mencari perlindungan di hutan. Dia datang kepada kami, tidak berniat untuk kembali ke kerajaan lagi. Tidak akan ada satu makhluk pun yang percaya jika saya mengatakan dia telah dimangsa siluman di hutan; kekhawatiran akan timbulnya kebencian memaksa saya untuk memintanya darimu.”

“Luar biasa! Luar biasa! Oh, manusia yang bijaksana,” seru siluman itu menyetujui perkataan Bodhisatta; “Kamu tidak hanya tahu, tetapi juga bertindak seperti dewa yang sebenarnya.” [133] Sebagai bentuk kesenangan dan kepuasannya, ia membawa kedua saudaranya dan mengembalikan mereka kepada Bodhisatta.

Kemudian Beliau berkata kepada siluman itu, “Teman, akibat perbuatan jahat yang engkau lakukan di masa lalu, sekarang engkau terlahir sebagai siluman yang hidup dari daging dan darah makhluk lain, bahkan di kehidupan ini engkau masih meneruskan perbuatan jahat. Perbuatan jahat ini akan menghalangimu terlepas dari kelahiran kembali di alam neraka dan alam rendah lainnya. Karena itu mulai sekarang, tinggalkanlah kejahatan dan hidup dalam kebajikan.”

Setelah berhasil mengubah perilaku siluman itu, Bodhisatta tetap bersemayam di tempat itu di bawah perlindungannya, hingga suatu hari ia melihat pertanda di langit bahwa ayahnya telah wafat. Dengan membawa siluman air itu bersamanya, ia kembali ke Kota Benares dan mengambil alih kerajaan, menobatkan Pangeran Bulan menjadi Raja Muda dan Pangeran Matahari sebagai Panglima (Militer). Ia menyediakan tempat tinggal yang nyaman untuk siluman air itu, menjamin ia mendapatkan untaian bunga maupun makanan pilihan. Ia sendiri memerintah dengan adil, hingga akhirnya meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.



Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru melanjutkan dengan pembabaran Dhamma. Saat Dhamma selesai dibabarkan, bhikkhu itu mencapai Buah dari tingkat kesucian Sotāpanna. Setelah menyampaikan dan mempertautkan kedua kisah ini, Buddha Yang Mahatahu mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang hidup serba berkecukupan ini adalah siluman air di masa itu, Ānanda adalah Pangeran Matahari, Sāriputta adalah Pangeran Bulan dan Saya sendiri adalah saudara laki-laki sulung, Pangeran Mahiṃsāsa.”

[Catatan : Lihat Dhammapada karya Fausböll, hal.302, dan Ten Jātakas, hal.88.]

Catatan kaki :

25 Yakni : Sebuah patta, tiga potong kain jubah, sebuah ikat pinggang, sebuah pisau cukur, sebatang jarum dan sebuah penyaring air.

26 Saya artikan sebagai Senāsana-cārikā, berlawanan dengan cārikā biasa yang tidak mempunyai tujuan tertentu dan menerima persembahan dana dari umat awam.

27Nama lain dari Kuvera, Plutus Hindu, saudara laki-laki seayah lain ibu dari Rāvana, raja raksasa dari Sri Lanka di kisah Ramāyana. Seperti yang muncul di Jātaka no.74, Vessavaṇa menguasai siluman pohon dan siluman air, mendapatkan kekuasaan itu dari Sakka.

Leave a Reply 0 comments