No. 426
DĪPI-JĀTAKA233
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[479] “Bagaimana kabarmu, Paman,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seekor kambing betina.
Suatu ketika, Yang Mulia Moggallāna tinggal di suatu tempat yang memiliki satu pintu, di tempat yang berpagar di pegunungan, yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Tempatnya untuk berjalan mondar-mandir berada di dekat pintu.
Beberapa penggembala kambing berpikir bahwa tempat yang berpagar di gunung itu adalah tempat yang cocok bagi kambing-kambing gembala, maka mereka membawa kambing-kambingnya ke sana dan membiarkan mereka berada di sana sesukanya.
Suatu sore, para penggembala itu datang untuk membawa pulang gembalaannya, tetapi ada seekor kambing betina yang berkeliaran jauh dan ditinggal karena tidak terlihat ketika kambing-kambing lainnya telah dibawa pulang.
Kemudian ketika ia hendak pulang sendiri, seekor panter (macan tutul) melihatnya dan berdiri di pagar, dengan berpikiran untuk memakannya. “Macan itu ada di sana karena ia ingin membunuhku dan memakan dagingku,” pikir kambing betina, “Jika saya kembali dan lari, saya pasti mati. Saya harus menghadapinya,” maka ia pun mengarahkan tanduknya dan melompat ke arah macan itu dengan semua kekuatannya. Kambing betina itu lolos dari cengkeraman panter yang sangat ingin menangkapnya sampai gemetaran.
Setelah berhasil melarikan diri, kambing betina itu berlari dengan kecepatan penuh dan akhirnya dapat menyusul kambing-kambing lainnya.
Sang thera mengawasi bagaimana hewan-hewan itu bertindak. Keesokan harinya, beliau pergi dan memberi tahu Sang Tathāgata, “Demikianlah, Bhante, kambing betina itu melakukan sebuah tindakan yang hebat dengan kesiapannya menggunakan senjatanya, dan lolos dari panter itu.”
Sang Guru menjawab, “Moggallāna, panter itu gagal menangkapnya kali ini, tetapi suatu kali, di kehidupan masa lampau, ia berhasil membunuh kambing betina itu meskipun ia menjerit dengan kuat, dan memangsanya.” Kemudian atas permintaan Moggallāna, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Bodhisatta terlahir di sebuah desa di Kerajaan Magadha, di dalam sebuah keluarga yang kaya.
Ketika dewasa, ia meninggalkan kesenangan indriawi dan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa, dan memperoleh kesaktian melalui meditasi jhana.
Setelah tinggal lama di pegunungan Himalaya, ia pergi ke Rajagaha untuk memperoleh garam dan cuka, dengan tinggal di sebuah gubuk daun yang dibuatnya sendiri di dalam tempat yang berpagar.
Sama seperti cerita pembuka di atas, para penggembala kambing itu menggiring kambing-kambingnya ke sana, dan dengan cara yang sama, pada suatu hari, seekor kambing betina berkeliaran lebih jauh daripada yang lainnya, seekor panter (macan tutul) menantinya di depan, bermaksud untuk memangsanya.
Ketika melihat panter itu, kambing betina berpikir, “Nyawaku menjadi taruhannya. Dengan suatu cara, saya akan berbicara dengan baik-baik dan melemahkan hatinya, [480] serta menyelamatkan nyawaku.”
Untuk memulai pembicaraan yang ramah dengannya, kambing betina itu mengucapkan bait pertama berikut:—
Bagaimana kabarmu, Paman?
apakah baik-baik saja?
Ibuku mengirimkan salam terbaiknya;
dan saya adalah teman sejatimu.
Mendengarnya berkata demikian, panter berpikir, “Kambing betina ini mencoba memperdayaku dengan memanggilku ‘paman’. Ia tidak tahu betapa kerasnya diriku ini,” dan demikian ia mengucapkan bait kedua berikut:—
Kamu telah menginjak ekorku, kambing betina,
dan melukai diriku:
dan kamu pikir dengan memanggilku ‘paman’,
kamu bisa bebas begitu saja dariku.
Ketika mendengarnya berkata demikian, kambing betina berkata, “Wahai Paman, janganlah berbicara seperti itu,” dan mengucapkan bait ketiga berikut:—
Ketika datang, saya berdiri menghadapmu, Tuan,
sedangkan kamu duduk menghadap diriku:
Ekormu berada di belakang:
bagaimana saya bisa menginjaknya?
Panter menjawab, “Apa yang Anda katakan, wahai kambing? Apakah ada tempat di mana ekorku tidak boleh berada?” dan kemudian mengucapkan bait keempat berikut:—
[481] Sejauh empat benua besar
dengan lautan dan pegunungan yang tersebar luas,
ekorku berada di sana:
bagaimana mungkin kamu tidak melihat
ekorku dan menginjaknya?
Ketika mendengar ini, kambing betina berpikir, “Panter yang keji ini tidak tertarik dengan kata-kata lembut. Saya akan menjawabnya sebagai seorang musuh,” dan demikian ia mengucapkan bait kelima berikut:—
Ekormu yang jahat itu panjang, saya tahu,
karena saya telah mendapatkan peringatan:
Orang tua dan saudaraku telah memberitahuku demikian;
saya berjalan melewati udara.
Kemudian panter berkata, “Saya tahu kamu datang melalui udara, tetapi di saat datang, kamu mengacaukan mangsaku dengan cara kedatanganmu itu,” dan demikian mengucapkan bait keenam berikut:—
Melihatmu, kambing betina,
berada tinggi di atas sana,
Sekelompok rusa menjadi ketakutan:
demikian kamu telah mengacaukan mangsaku.
Setelah mendengar perkataannya, kambing itu yang merasa takut akan kematian tidak dapat mengutarakan alasan lainnya lagi, hanya meneriakkan, “Paman, jangan lakukan kekejian yang demikian, ampunilah nyawaku.” Tetapi walaupun ia berteriak menangis, panter itu mencengkeram bahunya, membunuhnya dan memangsanya.
____________________
Demikian kambing betina itu
berteriak memohon,
tetapi hanya darah yang dapat memuaskan
hewan buas yang mencengkeram lehernya;
Makhluk yang jahat tidak akan menunjukkan kasih sayang.Perbuatan yang baik maupun yang benar,
tidak akan ditunjukkan oleh ia yang jahat:
Ia membenci kebaikan; untuk menghadapinya,
yang terbaik adalah bertarung dengannya.
Kedua bait kalimat ini diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.
____________________
[482] Seorang petapa melihat semua kejadian mengenai dua ekor hewan tersebut.____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, kambing betina dan panter adalah kambing betina dan panter yang ada di kehidupan ini, petapa itu adalah saya sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
233 Bandingkan Tibetan Tales, No. 29, dan Folk-lore Journal, Vol. IV. hal. 45.