Munika Jataka

MUṆIKA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Maka jangan iri pada Muṇika yang malang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai godaan dari seorang wanita muda yang kasar. Kisah ini berhubungan dengan Buku Ketiga Belas, dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka65.

Sang Guru bertanya kepada bhikkhu itu dengan berkata, “Benarkah, Bhikkhu, seperti yang mereka katakan, bahwa engkau merasa gelisah karena hasratmu?” “Benar, Bhante,” jawabnya. “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia adalah kutukan untukmu. Di kehidupan yang lampau, engkau bahkan menemui ajalmu dan dijadikan makanan pembuka untuk para undangan di hari pernikahannya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan, yang bernama Mahālohita, ia tinggal di tanah milik seorang penjaga sebuah desa kecil. Bodhisatta mempunyai seorang adik yang bernama Cūḷalohita. Dua bersaudara ini melakukan semua pekerjaan tarik menarik barang bagi tuan tanah mereka. Penjaga desa itu memiliki seorang anak perempuan, yang telah dilamar untuk menikah dengan anak lelaki dari seorang pria yang tinggal di kota. Orang tua gadis itu, bermaksud menyediakan makanan pilihan [197] bagi para undangan pernikahan putri mereka, mulai menggemukkan seekor babi yang bernama Muṇika.

Melihat hal itu, Cūḷalohita berkata kepada abangnya, “Semua barang yang harus ditarik untuk keperluan rumah tangga ini selalu dilakukan oleh aku maupun kamu. Namun semua usaha kita hanya dihargai dengan memberikan sedikit rumput dan jerami sebagai makanan kita. Sementara babi itu diberi makan nasi! Apa yang menyebabkan dia mendapatkan makanan seistimewa itu?”

Abangnya berkata, “Adikku, jangan iri padanya; ia hanyalah seekor babi yang sedang menikmati makanan terakhirnya. Ia mendapat makanan seperti itu untuk dijadikan makanan pembuka untuk para undangan saat pernikahan putri mereka. Hanya itu alasan mereka memberikan makanan seperti itu kepada babi tersebut. Tunggulah beberapa saat lagi hingga tamu-tamu berdatangan. Maka kamu akan melihat babi itu berakhir dalam empat potong sesuai dengan jumlah kakinya, ia akan dibunuh dan akan diproses menjadi kari.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :

Maka, jangan iri pada Muṇika yang malang;
itu adalah makanan terakhir yang sedang ia nikmati.
Dedakmu yang sederhana ini mengandung janji dan
jaminan akan hari-hari yang masih panjang.

Tidak lama kemudian para undangan pun tiba. Muṇika dibunuh dan dimasak menjadi berbagai jenis hidangan. Bodhisatta berkata kepada Cūḷalohita, “Apakah kamu telah melihat Muṇika, Adikku?” “Tentu saja saya telah melihatnya, Abangku, pesta yang diselenggarakan dari daging Muṇika. Makanan sederhana seperti yang kita makan, lebih baik seratus kali, tidak, seribu kali, walaupun itu hanya rumput, jerami dan dedak;— karena makanan kita tidak akan membahayakan jiwa kita, dan merupakan sebuah janji bahwa hidup kita tidak akan dipersingkat.”

____________________

Setelah menyelesaikan uraian mengenai akibat yang diterima oleh bhikkhu itu di kehidupan yang lampau, yang mendapatkan malapetaka karena wanita muda itu, ia dijadikan makanan pembuka bagi para undangan [198], Beliau membabarkan Dhamma. Saat khotbah berakhir, bhikkhu yang merasa gelisah karena hasratnya itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Bhikkhu yang merasa gelisah akan hasratnya ini adalah Muṇika di masa itu, wanita muda saat ini adalah anak gadis dari penjaga desa itu, Ānanda adalah Cūḷalohita, dan Saya sendiri Mahālohita.”

[Catatan : Lihat Pañca-Tantra karya Benfey, hal.228, dimana perpindahan kisah yang populer ini ditemukan. Lihat juga Jātaka No.286 dan 477.]

Catatan kaki :

65 No.477.

Leave a Reply 0 comments