Nama-nama Buddhis – P
PUTTIGATTATISSA – Arahatta :
Karena luka-lukanya yang bernanah dan berdarah sehingga tubuhnya berbau busuk, maka Tissa Thera dikenal dengan sebutan Puttigattatissa. Pada saat Sang Buddha memandang dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera yang sedih karena ditinggal murid-muridnya tampak dalam penglihatan Sang Buddha. Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa, dan Beliau mendidihkan air lalu datang ke tempat Tissa berbaring. Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya dan mengangkat mendekati tempat pancaran api lalu dibasuh dan dimandikan. Sesudah dimandikan maka Tissa Thera menjadi segar dan batinnya mencapai satu titik konsentrasi
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibiarkan saja, tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.
( Dhammapada III , 9 )
Tissa Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
PANDITA – Arahatta :
Pada saat berusia tujuh tahun, Pandita menjadi seorang Samanera. Pada hari kedelapan setelah menjadi Samanera, ia mengikuti Sariputta Thera berpindapatta. Ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya, beberapa pembuat anak panah meluruskannya dengan api-api dan beberapa tukang kayu sedang memotong dan menggergaji kayu untuk dibuat roda kereta. Kemudian ia merenung, semua yang ia lihat dapat dilakukan, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang. Kemudian ia minta ijin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai obyek perenungan. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian Anagami. Waktu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera, Sang Buddha mencegah supaya tidak memasuki kamar samanera. Kemudian Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian Arahatta pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera.
Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :
Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluluskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bijaksana mengendalikan dirinya.
( Dhammapada VI , 5 )
PATACARA – Arahatta :
Patacara adalah putri seorang kaya dari Savatthi yang sangat cantik, ia menikah dengan pelayan dari keluarganya. Mereka pergi dan menetap di sebuah desa. Ketika ia sedang hamil tua, ia ingin pergi ke rumah orang tuanya, tapi di tengah perjalanan ia melahirkan seorang anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan ia pulang bersama suaminya. Hal tersebut diatas berulang kembali saat ia hamil lagi, tetapi saat persalinan datang, hujan turun sangat deras. Suaminya mencarikan tempat yang sesuai untuk persalinan istrinya. Ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit seekor ular berbisa, ia meninggal saat itu juga. Ketika Patacara mencari suaminya, ia mendapatkan suaminya sudah meninggal, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya. Karena hujan tak henti-hentinya, Sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga ia tidak dapat membawa kedua anaknya bersama-sama. Ia meninggalkan anaknya yang tertua di tepi sungai sebelah sini, ia menyeberang dengan anaknya yang kecil. Lalu ia meletakkan bayinya ditepi sungai seberang, kemudian menyeberang untuk menjemput anaknya yang pertama, ketika ia berada di tengah sungai, seekor elang besar turun dan mematuk anaknya yang kecil, ia melambai-lambai dengan maksud menakut-nakuti elang tersebut, tapi itu sia-sia dan pada saat itu anaknya yang tertua melihat ibunya berteriak sambil melambai-lambai dikiranya memanggil dirinya, maka ia menuju arah ibunya, tapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya dan juga suaminya. Ia menangis dan meratap dengan keras, dan ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan ia menanyakan tentang kedua orang tuanya. Laki-laki itu menjawab bahwa kedua orang tua dan tiga saudaranya telah meninggal karena badai kemarin. Mendengar semua itu, ia menjadi gila. Ia berlari-lari hampir telanjang di sepanjang jalan dan berteriak-teriak. Ketika Sang Buddha berkhotbah, Beliau melihat Patacara dan membiarkan Patacara masuk kemudian seseorang memberinya secarik kain untuk menutupi dirinya. Kemudian Patacara menghadap Sang Buddha dan berkata bahwa ia telah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Sang Buddha menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya dan seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasi Nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian ia menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari ia merenung tentang air yang mengalir, Sang Buddha mengetahuinya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
( Dhammapada VIII , 14 )
Patacara mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
PILOTIKATISSA – Arahatta :
Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba dan mengajak pemuda tersebut menjadi samanera. Pemuda tersebut kemudian meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Pada suatu hari ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu, ia ingin kembali sebagai umat biasa. Kemudian ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya. Ketika sampai disana, timbul pertanyaan dalam hatinya “Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk ? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?’. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara. Kejadian tersebut berulang beberapa kali. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain bertanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberi tahu bahwa ia pergi mencari gurunya. Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai obyek meditasi, ia menyadari hakekat dari corak kenyataan kelompok kehidupan (sebagai tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak ada aku ), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian Arahatta. Kemudian ia tidak pergi lagi ke pohon “guru”. Melihat hal itu bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepada Pilotikatissa, mengapa ia tidak pergi menemui gurunya lagi. Kepada mereka Pilotikatissa menjawab, bahwa ia sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya. Saat mendengar jawaban tersebut, para bhikkhu membawa Pilotikatissa kepada Sang Buddha, dan mengatakan bahwa ia telah mengaku dirinya telah mencapai tingkat kesucian Arahatta. Akan tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa Pilotikatissa tidak berbohong.
Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :
Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, yang senantiasa waspada, bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.
Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, walaupun sekali saja merasakan cambukan segera menjadi bersemangat dan berlari cepat; demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, yang memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar, dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran, akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.
( Dhammapada X , 15 – 16 )
PUNNA – Sotapatti :
Uttara adalah putri Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada Sumana di Rajagaha. Suatu hari Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera yang baru saja mencapai nirodha samapatti (pencerapan mental yang dalam) Akibat perbuatan baiknya ia mendadak kaya karena menemukan emas di tanah yang ia bajak. Suatu kesempatan Punna dan keluarganya berdana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu selama tujuh hari dan pada hari ke tujuh setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian Uttara menikah dengan anak Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak bahagia di rumah suaminya. Uttara menceritakan kepada ayahnya tentang hal tersebut. Punna menjadi menyesal dan ia segera memberikan uang sebesar 15.000 kepada Uttara. Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya. Dia memilih Sirima, pelacur yang sangat cantik untuk menggantikan sebagai seorang istri selama 15 hari. Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Pada hari ke 15 ia sibuk menyiapkan makanan di dapur, dan suaminya melihat dari balik jendela kamarnya. Melihat itu Sirima cemburu pada Uttara, ia lupa bahwa ia hanya istri sewaan. Karena cemburu yang tak terkendali, segera ia pergi ke dapur mengambil mentega panas untuk disiram ke kepala Uttara. Ia menyadari bahwa Sirima datang hendak menuangkan mentega panas kepadanya, iapun berseru, ” Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima, biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku.” Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhdap Sirima, mentega panas yang disiramkan menjadi dingin. Sirima tidak puas, ia ingin mengambil mentega panas yang lain dan hendak menuangkan kepada Uttara, para pelayan Uttara menyerang dan memukulnya keras-keras, Uttara menghentikan para pelayannya. Akhirnya Sirima ingat akan kedudukannya, lalu ia meminta maaf kepaada Uttara. Uttara pun berkata bahwa ia harus bertanya kepada Sang Buddha apakah ia harus menerima permintaan maafnya. Sirima pun mohon untuk bertemu Sang Buddha. Pada hari berikutnya direncanakan Sirima akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Setelah bersantap, Sang Buddha diberi tahu perihal Sirima dan Uttara. Uttara berkata, “Bhante, karena saya telah berhutang budi pada Sirima, saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya.”
Pada kejadian ini Sang Buddha mnembabarkan syair :
Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan. Kalahkan kekikirian dengan kemurahan hati, dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.
( Dhammapada XVII , 3 )
Sirima mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
Cerita PUNNA yang lain – Sotapatti :
lihat cerita Candapaduma.
Cerita PUNNA yang lain – Sotapatti :
Suatu malam, Punna seorang budak wanita sedang menumbuk padi. Saat beristirahat karena lelah, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa bhikkhu berjalan menuju vihara setelah mereka mendengarkan Dhamma. Punna merenung, kalau ia terjaga hingga larut malam karena miskin dan harus bekerja keras, tapi orang-orang baik itu mengapa masih terjaga padahal waktu sudah larut malam. Esok paginya, Punna mengambil sedikit beras hancur dan diolah menjadi roti. Dan dibawanya roti tersebut untuk dimakan di tepi sungai. Pada saat itu ia melihat Sang Buddha datang dan sedang berpindapatta. Ia bermaksud hendak mendanakan rotinya kepada Sang Buddha, Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah. Sang Buddha duduk di atas tikar dan memakan roti yang diberikan oleh Punna. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada Punna untuk menjawab pertanyaan yang membuat Punna semalam bingung, “Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin dan harus bekerja keras. Begitu pula anak-anak-Ku, para bhikkhu, mereka tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan sadar.”
Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :
Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.
( Dhammapada XVII , 6 )
Punna mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
POTTHILA – Arahatta :
Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha dan ia sering mengajarkan Dhamma kepada 500 orang bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangannya itu, maka kapanpun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan ‘Potthila tak berguna’. Saat Potthila mendengar panggilan itu , ia menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tak serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian. Potthila Thera kemudian pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat ini terdapat 30 orang bhikkhu. Pertama ia mendatangi bhikkhu yang paling senior untuk menjadi penasehatnya, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, demikian seterusnya sehingga ia pergi menghadap seorang samanera arahanta berusia 7 tahun dan diterima sebagai muridnya dengan catatan Potthila harus mengikuti semua petunjuk dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk, Potthila benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam meditasi. Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kemampuan batin Beliau.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan ; tanpa meditasi keijaksanaan akan pudar. Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan kemerosotan batin, hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya berkembang.
( Dhammapada XX, 10 )
Potthila Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
PATACARA – Sotapatti :
Patacara kehilangan suami dan kedua orang putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, ” Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana.”
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah maupun sanak saudara. Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya lagi.
Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju nibbana.
( Dhammapada XX, 16 – 17 )
Patacara mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.