Nama-Nama Orang Suci : S

Nama-nama Buddhis – S

SARIPUTTA ( UPATISA ) – Arahatta :

Lihat cerita MOGGALANA .

SUDDHODANA – Sotapatti :

Ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu, untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Disana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaraNya. Pada pagi hari Raja Suddhodhana makanan untuk 20.000 bhikkhu, tetapi ia tidak mengundang resmi Sang Buddha, sehingga Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha. Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum Beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan. Ia memberi tahu Raja Suddhodana dan raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha, dan memberi tahu Beliau bahwa seorang keluarga Kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagun ! Jangan Lengah ! Tempuhlah kehidupan benar. Barang siapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidups esuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

( Dhammapada XIII , 2 – 3 )

Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Cerita SUDDHODANA yang lain – Sakadagami :

Lihat cerita NANDA .

SUMANADEVI – Sakadagami :

Dekat Savatthi, di rumah Anathapindika, 2000 bhikkhu memperoleh pelayanan makanan setiap hari. Pengaturan makanan dilakukan oleh ketiga anak perempuannya, termasuk anaknya yang termuda Sumanadevi. Kedua anak Anathapindika mencapai tingkat kesucian Sotapatti dengan mendengarkan Dhamma. Sumanadevi melakukan lebih baik dan ia mencapai tingkat kesucian Sakadagami. Suatu ketika Sumanadevi sakit, ia mengharapkan kehadiran ayahnya, dan kepada ayahnya ia memanggil “Adik laki-laki”, kemudian ia meninggal dunia, isitlah panggilan ini membuat ayahnya khawatir dan ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, kemudian Sang Buddha menjelaskan bahwa putrinya dalam kesadaran penuh saat ia meninggal dunia dan ia memanggil ayahnya dengan panggilan itu karena ia telah mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi dari ayahnya, karena ia adalah seorang Sakadagami sedangkan ayahnya seorang Sotapanna, dan diberitahukan oleh Sang Buddha bahwa Sumanadevi telah terlahir di surga Tusita.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Di dunia ini ia bahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebnajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir , ” Aku telah berbuat bajik”, dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia.

( Dhammapada I , 18 )

Cerita SUMANADEVI yang lain Sotapatti :

Lihat cerita CANDAPADUMA.

SAMAVATI – Sakadagami :

Lihat cerita BRAHMIN .

SAMGHARAKKHITA BHAGINEYYA – Sotapatti :

Seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita mempunyai kakak perempuan yang melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita pada waktu itu juga memasuki pasamuan sangha. Ketika bhikkhu muda tinggal di vihara desa, ia diberi 2 buah jubah. Dan ia bermaksud untuk memberikan satu jubahnya kepada pamannya, tapi pamannya tidak mau sehingga ia merasa tersinggung dan sakit hati. Kemudian ia meninggalkan pasamuan sangha dan hidup sebagai perumah tangga dan hidup sebagai perumah tangga. Ia meninggalkan jubahnya lalu menikah. Istrinya melahirkan seorang anak laki-laki. Ia membawa anak dan istrinya mengunjungi pamannya ke vihara, dalam perjalanan ia bertengkar dengan istrinya masalah anaknya, dalam perebutan, anaknya terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul istrinya, pada saat itu ia membelakangi pamannya dan tanpa sengaja ia memukul kepala pamannya. Karena malu, ia melarikan diri, lalu para bhikkhu muda mengejarnya dan membawanya kehadapan Sang Buddha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidqk berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.

( Dhammapada III , 5 )

Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

SOREYYA – Arahatta :

Pada saat pemuda Soreyya beserta teman dan beberapa pembantu pergi untuk membersihkan diri, dia melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera dan terlintas dalam pikirannya, “Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti itu.” Karena muncul keinginan seperti itu maka kelaminnya berubah menjadi wanita. Dengan malu ia berlari menuju ke arah Taxila. Dengan memberikan cincin sebagai ongkos jalan, ia menumpang kereta sampai ke Taxila. Di Taxila ia bertemu dengan pemuda kaya, lalu pemuda itu menikahinya. Perkawinannya membuahkan dua anak laki-laki; dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreya pada waktu sebagai pria. Pada suatu hari ia mengenali seseorang yang diutus teman lamanya, lalu ia mengundang utusan itu ke tempatnya. Kemudian ia menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Laki-laki utusan itu menasehatinya agar ia minta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang perempuan Soreyya, kepada Mahakaccayana Thera dia menceritakan semua yang telah dialaminya. Kemudian Mahakaccayana Thera menjawab, “Bangunlah, saya memaafkanmu.” Setelah kata-kata tersebut diucapkan, maka perempuan tersebut berubah kelamin menjadi laki-laki. Soreyya merenung tentang keberadaan diri yang satu dengan yang lain, lalu ia memutuskan untuk meninggalkan berumah tangga dan memasuki pasamuan sangha dibawah bimbingan Mahakaccayana Thera. Sesudah itu ia sering ditanyai, “Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai istri?” Ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya lebih besar. Dengan pertanyaan ini ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani. Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai kesucian tingkat Arahatta bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan lagi, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada suatu yang khusus.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bukan dengan pertolongan ibu, ayah ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

( Dhammapada III , 11 )

SIRIGUTTA – Sotapatti :

Lihat cerita GARAHADINNA.

SUPPABUDDHA – Sotapatti :

Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta, karena pada salah satu kelahirannya yang lampau ia pernah meludahi seorang Pacceka Budddha. Suatu ketika ia mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, lalu ia mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dan ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya. Sakka, raja para dewa ingin menguji keyakinan Suppabuddha dan mempengaruhinya, tetapi Suppabuddha tidka terpengaruh sama sekali. Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dalam perjalanan pulang dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati diseruduk seekor sapi yang sesungguhnya adalah raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi dan raksasa itu tidak lain adalah seorang pelacur yang pada kehidupan lampau telah dibunuh oleh Suppabuddha. Ketika berita kematian ini oleh para disampaikan kepada Sang Buddha, maka diterangkan oleh Sang Buddha bahwa Suppabuddha telah terlahir di surga Tavatimsa.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.

( Dhammapada V , 7 )

SUDHAMMA – Arahatta :

Lihat cerita CITTA .

SAMKICA – Arahatta :

Lima ratus orang perampok tinggal ditengah-tengah hutan, mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Dan pada saat itu, 30 orang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha pergi ke sebuah vihara desa yang tidak jauh dari hutan itu. Ketika perampok itu pergi ke vihara desa, untuk minta agar salah seorang bhikkhu diserahkan sebagai korban, semua bhikkhu bersedia untuk pergi, termasuk samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera, karena samanera tersebut walaupun berusia 7 tahun tetapi sudah mencapai kesucian tingkat Arahatta. Kemudian Samkicca pergi bersama perampok. Para perampok membuat persiapan untuk acara pengorbanan, setelah siap mereka mendekati samanera yang sedang duduk dengan pikiran terpusat pada konsentrasi jhana. Pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebas kepala Samkicca, tapi mata pedangnya bengkok. Pimpinan perampok meluruskan mata pedangnya, lalu menebaskan lagi ke kepala Samkicca, kali ini pedangnya bengkok sampai ke pangkalnya. Melihat hal ini pimpinan perampok menjatuhkan pedangnya dan berlutut mohon ampun kepada Samkicca. Para perampok menyesali perbuatannya dan bertekad menjadi bhikkhu.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

( Dhammapada VIII , 11 )

SAPPADASA – Arahatta :

Suatu saat ada seorang bhikkhu yang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai bhikkhu tetapi ia malu kalau kembali ke kehidupan sebagai perumah tangga. Maka ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada suatu kesempatan ia memasukkan tangannya ke dalam pot yang berisi ular. Tetapi ular itu tidak menggigitnya, karena pada kehidupan lampau ular tersebut adalah budaknya. Karena kejadian tersebut maka bhikkhu itu dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain ia mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya. Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran dan kebahagiaan. Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang, maka tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian Arahatta. Setelah kembali ke vihara, ia menceritakan kepada teman-temannya bahwa semula ia bermaksud hendask bunuh diri tapi batal, karena telah memotong semua kekotoran batinnya dengan pengetahuan pandangan terang. Para bhikkhu menanyakan kepada Sang Buddha, apakah untuk mencapai tingkat kesucian Arahatta bisa dengan jalan demikian singkat? Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seseorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke -arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dengan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.

( Dhammapada VIII , 13 )

SANTATI – Arahatta :

Raja Pasenadi mengadakan pesta selama tujuh hari dengan gadis-gadis penari muda belia untuk memberi kegembiraan pada Menteri Santati yang telah berhasil menumpas pemberontakan di perbatasan. Pada hari ke tujuh dengan menunggang gajah kerajaan, Santati pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta, Santati menghormat kepada Sang Buddha. Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari dan sore harinya pesta berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari. Gadis penari mencoba untuk menyenangkan hati Menteri Santati, tetapi saat menari dia terserang kejang-kejang dan pingsan, akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan ia kecewa berat. Pada saat itu ia memerlukan perlindungan, kemudian ia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikutnya dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah kematian gadis penarinya. Dia berkata, ” Bhante, tolonglah hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku.” Kepadanya Sang Buddha berkata, “Istirahatlah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudra.”

Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini :

“Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi “Kebebasan Mutlak’ (nibbana).”

Setelah mendengar syair ini, Menteri Santati mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, maka ia minta ijin kepada Sang Buddha untuk merealisasi ‘ Kebebasan Akhir’ dan Sang Buddha merestuinya. Maka ia terbang setinggi tujuh pohon palm, di angkasa ia bermeditasi dengan obyek perwujudan api, sampai akhirnya merealisasi ‘ Kebebasan Akhir’ (parinibbana), tubuhnya berkobar, darah dan dagingnya menguap terbakar dan tulangnya menjadi relik beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha. Pada suatu pertemuan dengan Sang Buddha, para bhikkhu menanyakan apakah Menteri Santati yang telah mencapai parinibbana itu seorang samana atau brahmana ? Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walau digoda dengan cara bagaimanapun, tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.

( Dhammapada X , 14 )

SUKHA – Arahatta :

Sukha menjadi samanera pada waktu ia berusia tujuh tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera .Setelah delapan hari menjadi samanera , ia pergi berpindapatta bersama Sariputta Thera. Ia melihat petani mengairi sawahnya, pemanah meluruskan anak panah, tukang kayu membuat roda pedati dan sebagainya. Maka ia bertanya kepada Sariputta Thera apakah hal-hal itu dapat diarahkan ke suatu tujuan tertentu, atau dapat dibuat sesuai keinginan seseorang, dan dijawab bahwa memang demikian. Maka ia memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya. Kemudian ia minta ijin kepada Sariputta Thera untuk kembali ke vihara dan bermeditasi, Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan menjaga ketenangan suasana di vihara. Pada hari kedelapan, Sukha mencapai tingkat kesucian Arahatta. Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian Arahatta.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pembuat saluran air mengatur jalannya air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bajik mengendalikan dirinya sendiri

( Dhammapada X , 17 )

SAMMAJJANA -Arahatta :

Sammajjana Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu Revata Thera juga tinggal di vihara dan mempergunakan sebagian besar waktunya untuk bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Sammajjana mengira bahwa para bhikkhu itu bermalas-malasan saja. Suatu hari Sammajjana menemui Revata Thera dan berkata bahwa Revata sangat malas, tidak mau bersih-bersih. Revata Thera menjawab bahwa seorang bhikkhu tidak seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia harus pagi-pagi sekali menyapu, kemudian pergi menerima dana makanan. Sambil merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan atau membaca buku-buku pelajaran sampai malam tiba dan ia dapat melakukan pekerjaan menyapu jika ia menginginkannya. Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian Sammajjana mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Barang siapa yang sebelumnya pernah malas, tetapi kemudian tidak malas, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

( Dhammapada XIII . 6 )

SIRIMA – Sotapatti :

Lihat cerita PUNNA.

SUBHADDA – Arahatta :

Seorang pertapa pengembara yang bernama Subhadda mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama lain, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Maka ia bergegas pergi ke hutan pohon sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengijinkannya bertemu Sang Buddha, karena kondisi Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu : 1. Apakah ada jalan di langit ? 2. Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci di luar Ajaran Sang Buddha ? 3. Apakah ada suatu hal yang berkondisi yang abadi ? Jawaban Sang Buddha adalah ‘tidak ada’.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para Tathagata tetap bebas dari semua itu.

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi. Tidak ada keragu-raguan bagi Para Buddha.

( Dhammapada XVIII , 20 – 21 )

Pada saaat khotbah Dhamma berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian Anagami dan atas permohonannya Sang Buddha menerimanya sebagai anggota pasamuan bhikkhu ( Sangha). Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama, akhirnya Subhadda mencapai tingkat kesucian Arahatta.

SANU – Arahatta :

Suatu hari samanera Sanu naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut “Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati pula oleh ibu dan ayah saya ” Ketika dewa-dewa dan raksasa yang pada kehidupan lampau pernah menjadi ibu Samanera Sanu telah mendengar pengulangannya, raksasa tersebut sangat gembira dan cepat berteriak, “Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik, putraku sangat baik ! Sangat baik ! (Sadhu ! Sadhu ! ) ” Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa tersebut diberi tempat yang utama dalam perkumpulan mereka. Saat Samanera Sanu tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa, tapi ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha, juga raksasa yang pernah menjadi ibunya pada masa lampau tidak ingin Sanu meninggalkan Sangha, karena ia akan malu dan menjadi tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Dia mencoba untuk menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha, lalu ia merasuki Sanu. Sanu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak karuan dengan air liur berlelehan dari mulutnya. Kemudian raksasa itu berkata, “Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha.” Setelah berkata demikian raksasa tersebut meninggalkan tubuh Sanu dan Sanu menjadi normal kembali. Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan semua yang telah terjadi pada anaknya dan menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam dan meninggalkan Sangha adalah kebodohan. Sesungguhnya, meskipun ia hidup seperti orang mati. Samanera Sanu menyadari kesalahannya. Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan diterima sebagai seorang bhikkhu. Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, “Anak-Ku, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara kemana-mana, tidak dapat menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Dahulu pikiran ini mengembara, pergi kepada obyek-obyek yang disukai, diingini, dan kemana yang dikehendaki. Sekarang aku akan mengendalikannya dengan penuh perhatian, seperti seorang penjinak gajah mengendalikan gajah dengan kaitan besi

( Dhammapada XXIII , 7 )

SATAKAYA – Arahatta :

Santakaya Thera pada kehidupan lampau hidup sebagai singa. Singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan dan berisitirahat seminggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Dan dalam kehidupan sekarang ia juga mempunyai kebiasaan seperti singa, ia bergerak sangat sedikit, sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal ini kepada Sang Buddha, maka Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran yang tenang dan terpusat, yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia adalah orang yang benar-benar damai.

( Dhammapada XXV , 19 )

Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

SUNDARASAMUDDA – Arahatta :

Sundarasamudda adalah anak seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha untuk berlatih meditasi. Suatu hari ayahnya menangis memikirkannya, ketika ayahnya sedang menangis, seorang pelacur datang dan menanyakan kenapa ia menangis dan apa yang bisa dibantunya. Ayah Sundarasamudda menceritakan tentang anaknya dan akan menjadikan pelacur itu kaya kalau bisa membujuk anaknya pulang. Pelacur tersebut pergi ke Rajagaha dan disana ia menyewa sebuah rumah bertingkat di rute perjalanan dimana Sundarasamudda biasa berpindapatta. Pada beberapa hari pertama ia memberikan dana makanan kepada Sundarasamudda di pintu rumahnya. Pada suatu hari ia memberi uang kepada beberapa anak-anak untuk bermain di luar rumahnya pada saat kira-kira Sundarasamudda datang, sehingga hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman kotor dan berisik, sehingga si pelacur tersebut mengundang Sundarasamudda masuk ke rumahnya dan naik ke lantai atas untuk menerima dana makanan. Setelah Sang Thera memasuki ruang atas, si pelacur menutup pintu dan mulai menggoda Sundarasamudda. Ketika mendengar semua rayuan si pelacur, tiba-tiba ia menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri : “Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar”. Pada saat itu Sang Buddha memperhatikan dari kuti harum Beliau apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Sang Buddha kemudian mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau berkata : “Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu keinginan.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa-rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

( Dhammapada XXVI , 33 )

Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat kesucian Arahatta dan dengan kemampuan batin luar biasanya, ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang Buddha.