No. 253
MAṆI-KAṆṬHA-JĀTAKA191
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Makanan dan minumanku berlimpah,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Cetiya Aggāḷava dekat Āḷavī, tentang peraturan latihan yang harus diperhatikan dalam membuat kediaman berkamar tunggal (kuti/pondok).
Sebagian bhikkhu yang tinggal di Āḷavī dengan cara meminta (bahan) menyuruh membangun pondok untuk diri mereka sendiri. Mereka berulang-ulang meminta dan berulangulang memberi isyarat, “Berilah orang, berilah tenaga kerja, dan sebagainya192.” Orang-orang menjadi terganggu dengan permintaan dan pengisyaratan (demikian); begitu terganggunya mereka sehingga ketika melihat para bhikkhu, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri.
Kemudian waktu itu Yang Mulia Mahakassapa tiba di Āḷavī, dan berkeliling di sana untuk berpindapata. Ketika melihat sang thera, orang-orang melarikan diri sama seperti sebelumnya. Setelah melakukan pindapata, sehabis makan, saat balik kembali dari pindapata, beliau berkata kepada para bhikkhu, “Āvuso, sebelumnya Āḷavī adalah tempat yang berlimpah ruah untuk makanan. Mengapa sekarang tempat ini menjadi demikian miskin?” Mereka memberitahukan alasannya kepada sang thera.
Kala itu Yang Terberkahi berdiam di Cetiya Aggāḷava (setelah berdiam di Rajagaha). Sang thera menghampiri Yang Terberkahi dan memberitahukan semuanya kepada Beliau. Sang Guru mengadakan pertemuan Sangha Bhikkhu sehubungan dengan masalah ini. [283] “Benarkah, Para Bhikkhu, bahwasanya kalian membangun pondok untuk diri sendiri dan meminta bantuan orang-orang sampai mereka menjadi ketakutan?” Mereka mengiyakannya.
Kemudian Sang Guru mengecam mereka, dan menambahkan kata-kata berikut, “Bahkan di alam hewan saja, Para Bhikkhu, yang memiliki tujuh batu berharga, permintaan seperti ini merupakan hal yang mengganggu bagi para nāga (naga), apalagi bagi manusia yang darinya sulit untuk mendapatkan uang satu keping, sama sulitnya untuk melepaskan satu batu permata!”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra seorang brahmana kaya. Ketika dia tumbuh besar, telah mampu berlari sendiri, ibunya melahirkan seorang makhluk bijak yang lainnya lagi. Kedua saudara tersebut, ketika dewasa, merasa begitu sedih di saat kedua orang tua mereka meninggal sehingga mereka menjadi petapa dan tinggal di dalam gubuk daun yang mereka bangun sendiri di dekat Sungai Gangga. Saudara yang lebih tua membangun gubuknya di bagian hulu sungai, dan saudara yang lebih muda membangun gubuknya di bagian hilir sungai.
Suatu hari, seekor raja nāga (naga) yang bernama Maṇikaṇṭha193 (Manikantha) pergi meninggalkan kediamannya, dan dengan mengubah wujudnya menjadi seorang manusia, berjalan di sepanjang tepi sungai sampai akhirnya tiba di pertapaan petapa yang lebih muda itu. Dia menyapa sang tuan rumah dan duduk di satu sisi. Mereka saling beruluk salam dan kemudian menjadi sahabat, tidak ada yang (dapat) memisahkan mereka.
Semakin sering Raja Naga Manikantha mengunjungi petapa muda itu, duduk, berbincang-bincang dengannya; dan ketika hendak pulang, saking mengasihi petapa itu, Manikantha akan mengubah dirinya kembali ke wujud semula, melilit petapa muda itu sebanyak tujuh belitan, memeluknya dengan membuat tudungan besar di atas kepalanya; demikian dia berdiri sejenak sampai rasa cintanya terpuaskan, kemudian dia melepaskan tubuh temannya itu, berpamitan kepadanya dan kembali ke kediamannya.
Dikarenakan takut kepada sang naga, petapa muda itu menjadi kurus, jelek, kusam, pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas. Suatu hari dia pergi mengunjungi saudaranya. “Mengapa, Yang Terkasih194,” tanyanya, “Anda menjadi kurus, jelek, kusam, pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhmu tampak jelas?” Dia pun menceritakan semuanya kepada saudaranya itu.
“Kalau begitu,” kata petapa yang lebih tua itu, “apakah Anda menghendaki dia datang lagi atau tidak?” [284] “Tidak.” “Baiklah, perhiasan apa yang dipakai sang raja naga ketika datang mengunjungimu?” “Sebuah batu permata.” “Kalau begitu, ketika dia datang lagi nanti, sebelum dia duduk, mintalah batu permata itu kepadanya, maka dia akan pergi tanpa memelukmu dalam belitannya terlebih dahulu; pada hari berikutnya, berdirilah di depan pintu dan mintalah batu permata itu kepadanya; dan pada hari ketiga, persis ketika dia keluar ulangi itu di saat dia keluar dari sungai. Dia tidak akan datang mengunjungimu lagi.”
Petapa muda itu mengatakan dia akan melakukan hal itu demikian, dan kembali ke gubuknya. Keesokan harinya, ketika sang raja naga datang, di saat dia sedang berdiri di sana, petapa muda berkata, “Berikanlah kepadaku batu permatamu yang indah itu!” Sang naga bergegas pergi (meskipun) belum sempat duduk.
Pada hari berikutnya, petapa muda berdiri di depan pintu dan, ketika sang naga datang, berkata, “Kemarin Anda tidak memberikan batu permatamu itu kepadaku! Sekarang, Anda harus memberikannya kepadaku!” Dan sang naga pun segera pergi kembali (meskipun) belum sempat masuk ke dalam gubuknya.
Pada hari ketiga, ketika sang naga baru saja keluar dari dalam sungai, petapa muda berkata,—“Hari ini adalah hari ketiga bagi diriku untuk meminta batu permata itu darimu: Ayo, berikan permata itu kepadaku!” Dan sang naga, yang membalas dari tempatnya (yang sedang berada di sungai), menolak, dengan menggunakan kata-kata dalam dua bait berikut:
Makanan dan minumanku berlimpah dikarenakan
batu permata (akik) yang Anda minta ini.
Takkan kuberikan ini kepadamu, Peminta Lewat Batas;
dan takkan kudatangi lagi pertapaanmu.Seperti pemuda yang menunggu dengan
sebilah pisau tajam di tangan,
Anda menakutkan saya
dengan meminta batu permata ini.
Takkan kuberikan ini kepadamu, Peminta Lewat Batas;
dan takkan kudatangi lagi pertapaanmu.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, raja naga menyelam masuk ke dalam air, kembali ke kediamannya, dan tidak pernah kembali lagi. Lalu, karena tidak lagi melihat sang raja naga yang memikat, petapa muda menjadi semakin kurus, jelek, kusam, pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas.
Saudaranya yang lebih tua terpikir untuk mengunjungi petapa muda itu dan mengetahui bagaimana kabarnya. Dia pun datang mengunjunginya dan melihat bahwa saudaranya menjadi semakin kurus dibandingkan sebelumnya. “Ada apa ini? Mengapa Anda menjadi semakin buruk?” tanyanya. Saudaranya membalas, “Dikarenakan saya tidak lagi melihat sang raja naga yang memikat.” “Petapa ini,” kata petapa yang lebih tua itu, setelah mendengar jawabannya, “tidak bisa hidup tanpa raja naga itu,” dan dia mengucapkan bait ketiga berikut:—
Janganlah minta kepada makhluk, benda yang disenangi
walaupun mendambakannya; permintaan lewat batas
menimbulkan kebencian.
Naga yang diminta batu permatanya oleh sang brahmana
langsung menghilang tak tampak lagi.
Kemudian dia menasihati saudaranya untuk tidak bersedih lagi, dan sesudah itu, pergi meninggalkannya dan kembali ke pertapaannya sendiri. Setelah kejadian itu, [286] kedua petapa tersebut mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, kemudian terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Sang Guru menambahkan, “Demikianlah, Para Bhikkhu, bahkan di alam kehidupan seekor naga (alam hewan), tempat terdapatnya tujuh batu permata yang berlimpah ruah, meminta-minta (batu permatanya) adalah hal yang tidak disukai oleh para naga, apalagi manusia!” Setelah memberikan pelajaran demikian kepada mereka, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Ānanda adalah petapa muda, dan petapa yang lebih tua itu adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
191 Kisah jātaka inilah yang mungkin direpresentasikan pada Stupa Bharhut.
192 Cerita pembukanya muncul di dalam Vinaya, Suttavibhaṅga, Saṅghādisesa VI.
193 Yang lehernya berhiaskan batu permata (akik cintamani).
194 bho; ini adalah bentuk vokatif dari bhavant, dapat diartikan sebagai kata sapaan akrab untuk orang yang sederajat atau lebih rendah; tuan, sobat, rekan, yang terkasih, Anda.