TITTIRA-JĀTAKA

No. 319.
TITTIRA-JĀTAKA.

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

[64] “Hidup yang bahagia,”dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Badarikārāma dekat Kosambī(Kosambi), tentang RāhulaThera (Rahula Thera).

Kisah pembukanya diceritakan secara lengkap dalam Tipallattha-Jātaka46. Dalam kisah ini, para bhikkhu di dalam balai kebenaran melantunkan pujian terhadap Yang Mulia Rahula, orang yang gemar belajar (melatih diri), cermat, dan sabar dalam memberikan nasihat. Sang Guru berjalan masuk dan mendengar pembicaraan ini, kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Rahula adalah orang yang gemar belajar, cermat, dan sabar dalam memberikan nasihat.” Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasilā (Takkasila) dan melepaskan keduniawian dengan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi. Di sana, ia menikmati kebahagiaan dalam jhana, ia tinggal di dalam hutan belantara, dan dari sana ia berkeliling untuk mendapatkan garam dan cuka sampai di suatu desa perbatasan. Ketika orang-orang melihatnya, mereka menjadi pengikut ajarannya dan membangun sebuah gubuk daun untuknya, menyediakan semua keperluannya (sebagai petapa), membuat sebuah tempat tinggal bagi dirinya di sana. Pada saat itu, seorang penangkap unggas (burung) di desa ini menangkap seekor burung ketitir47, ia melatihnya sebagai pengumpan dan memeliharanya di dalam sebuah sangkar. Kemudian ia membawanya ke hutan, dan dengan suara burung ketitir itu, mengumpan burung ketitir lainnya untuk datang mendekat.

Burung ketitir pengumpan berpikir, “Karena diriku, banyak saudaraku yang lain menghadapi kematian mereka. Ini adalah sebuah perbuatan yang buruk bagiku.” Maka ia pun tidak bersuara lagi. Ketika mengetahui ia tidak bersuara, sang majikan memukul kepalanya dengan sebatang bambu. Karena merasa sakit, ia pun kembali bersuara dan pemburu itu kembali mendapatkan buruannya. Kemudian burung ketitir berpikir lagi, “Baiklah, anggap mereka mati. Tidak ada niat buruk dalam diriku.
Apakah ada akibat yang buruk disebabkan oleh perbuatanku ini? Ketika saya tidak bersuara, mereka tidak datang, tetapi mereka datang ketika saya bersuara. Dan mereka semua yang datang itu akan ditangkap dan dibunuh oleh orang ini. Apakah ada perbuatan buruk dalam hal ini dari diriku, atau tidak? Siapakah yang benar-benar dapat memberikan jawaban atas keraguanku ini?” Demikianlah seterusnya pemikiran burung ketitir tersebut.

[65] Dan ia pun mencari orang bijak yang demikian untuk dapat memberikan jawaban kepadanya. Pada suatu hari, pemburu ini berhasil menjerat banyak burung ketitir, memasukkan mereka ke dalam keranjangnya dan datang ke tempat Bodhisatta untuk meminta sedikit air minum. Setelah meletakkan keranjang yang dibawanya, ia meminum air, berbaring di tanah dan tertidur.
Melihatnya sedang tertidur, burung ketitir pengumpan itu berpikir, “Saya akan bertanya kepada petapa ini mengenai keraguanku, dan jika ia tahu jawabannya, ia akan memecahkan permasalahanku. Dengan tetap berada di dalam sangkarnya, ia mengulangi bait pertama berikut dalam bentuk pertanyaan:

Hidup yang bahagia kujalani sehari-hari,
makanan berlimpah tersedia untukku:
Yang Mulia, saya berada di suatu jalan
yang berbahaya, bagaimanakah masa depanku?

Bodhisatta menjawab pertanyaan ini dengan mengucapkan bait kedua berikut:

Jika tidak ada niat buruk di dalam pikiranmu
yang mengarah ke perbuatan buruk,
jika kamu hanya memainkan satu peran yang pasif,
maka kesalahan tidak berada pada dirimu.

Burung ketitir itu mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengar jawabannya:

‘Ah, saudaraku,’ demikian mereka berujar,
dan dengan berkelompok mereka datang melihatku.
Apakah saya bersalah, seharusnyakah mereka mati?
Tolong jawablah keraguan ini untukku.

[66] Mendengar perkataan ini, Bodhisatta mengulangi bait keempat berikut:

Jika tidak ada niat buruk di dalam pikiranmu,
maka perbuatanmu itu tidaklah buruk.
Ia yang memainkan satu peran yang pasif,
bebas dari segala kesalahan.

Demikianlah Sang Mahasatwa meyakinkan burung ketitir tersebut. Dan karena dirinya, burung ketitir itu terbebas dari perasaan bersalah. Kemudian penangkap unggas itu bangun, memberi hormat kepada petapa, membawa keranjangnya dan pergi.

 

 

Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka sesudah menyelesaikan uraian-Nya: “Pada masa itu, burung ketitir adalah Rāhula(Rahula), dan saya sendiri adalah petapa.

 

 

Catatan Kaki :

46  Vol. I, No.16.

47 Tittira. Pali-English Dictionary (PED) mendefinisikan kata ini sebagai pheasant atau partridge. KBBI mendefinisikan kata ‘ketitir’ sebagai burung kecil yang suaranya nyaring dan panjang, biasa dipertandingkan suaranya; perkutut

 

 

Leave a Reply 0 comments