Pendahuluan

Pendahuluan

Sagathavagga disebut demikian karena semua sutta dalam buku ini mengandung syair, sedikitnya satu, tetapi biasanya lebih. Vagga tersebut dibagi menjadi sebelas samyutta yang seluruhnya berisi 271 sutta. Sebagian besar dari samyutta ini dibagi lagi menjadi beberapa vagga, yang masing-masing biasanya berisi 10 sutta. Di dalam empat samyutta (3,4,6,11), vagga yang terakhir mengandung hanya lima sutta, separuh dari jumlah standar, dan oleh karenanya disebut “kelompok lima” (pancaka). Empat samyutta tidak dibagi menjadi vagga yang terpisah (5, 8, 9, 10), dan dengan demikian bisa dianggap terbentuk dari vagga tunggal. Saya telah menomori sutta-sutta itu secara berurutan di dalam setiap samyutta mulai dari 1, dan nomor di dalam vagga diberikan dalam tanda kurung. Edisi PTS yang belakangan untuk Sagathavagga (Ee2), menomori sutta-sutta secara berurutan di seluruh koleksi, dari 1 sampai 271.

Jumlah syair bervariasi dari satu edisi ke edisi lain, bergantung atas perbedaan-perbedaan bacaannya dan atas cara-cara yang berbeda untuk pengelompokan pada atau baris menjadi bait; suatu urutan dua belas pada mungkin dibagi menjadi dua bait yang masing-masing terdiri atas enam baris atau tiga bait yang masing-masing terdiri atas empat baris. Ee2 merupakan satu-satunya yang menomori syair-syairnya, dan edisi ini memiliki 945; dari syair-syair ini saya tidak mencakupkan tiga (sy. 70, 138, 815), karena alasan alasan yang dijelaskan di dalam Catatan (Cat. 53, 96, 573). Banyak dari syair-syair ini yang muncul beberapa kali di dalam Samyutta Nikaya, biasanya di Sagathavagga, kadang-kadang di tempat lain, seperti yang dapat dilihat dari indeks 1 (A). Syair-syair itu juga memiliki banyak kesamaan di tempat lain di Kitab Pali. Sejumlah besar terdapat juga pada teks-teks seperti misalnya Thera- dan Therigatha, Suttanipata, Dhammapada, Jataka, dan juga di dalam Nikaya-Nikaya lain. Syair-syair itu juga dikutip di kitab-kitab yang berhubungan dengan Kitab Pali, seperti misalnya Milindapanha, Petakopadesa dan Nettippakarana. Sejumlah besar memiliki kesamaan di banyak literature Buddhis India non-Pali, seperti misalnya, Patna dan Dharmapadha Gandhari, Udanavarga, Mahatvastu, dan bahkan jauh di kemudian hari Yogacarabhumi. Semua kesamaan “eksternal” ini ditunjukkan di dalam Indeks 1 (B). Tak diragukan lagi, beberapa dari syair-syair itu bukanlah asli dari sutta-sutta di dalam koleksi kita melainkan masuk ke dalam kumpulan syair didaktik Buddhis yang mengalir bebas, yang dipilih oleh para pengumpul teks untuk dimasukkan ke dalam konteks-konteks khusus dengan cara memberinya lingkungan naratif seperti yang terdapat di Sagathavagga. Di antara sebelas samyutta di vagga ini, delapan samyutta berkisar di sekeliling pertemuan antara Sang Buddha (atau siswa-siswa Beliau) dengan para makhluk dari alam kehidupan lain. Kita akan berulang-kali bertemu dengan para makhluk dari alam bukan manusia di vagga-vagga yang lain juga. Karena itu, ringkasan pendek tentang gambaran Buddhis mengenai makhluk alam semesta akan membantu kita untuk mengindentifikasi mereka dan memahami tempat mereka di dalam kosmologi Buddhis awal. (Lihat Tabel 3, yang memberikan gambaran visual tentang kosmologi ini.)

Tabel 3

Tiga Puluh Satu Alam Kehidupan
menurut Kosmologi Theravada Tradisional
(lihat CMA 5:3 – 7)

Alam Tanpa-Bentuk (4 Tingkat)

(31) Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi
(30) Landasan kekosongan
(29) Landasan kesadaran yang tak-terbatas
(28) Landasan ruang yang tak-terbatas

Alam Bentuk (16 tingkat)

Alam Jhana keempat : Lima Kediaman Murni
(27) Alam Akanittha
(26) Alam Berpenglihatan-Jernih
(25) Alam Indah
(24) Alam Terang
(23) Alam yang Bertahan – Lama

Alam Jhana keempat biasa
(22) Makhluk-makhluk tanpa-persepsi
(21) Dewa-dewa dengan buah besar

Alam Jhana ketiga
(20) Dewa-dewa dengan aura yang tetap
(19) Dewa-dewa dengan aura yang tak terukur
(18) Dewa-dewa dengan aura minor

Alam Jhana kedua
(17) Dewa-dewa dengan kecemerlangan yang mengalir
(16) Dewa-dewa dengan kecemerlangan yang tak-terukur
(15) Dewa-dewa dengan kecemerlangan minor

Alam jhana pertama
(14) Alam Mahabrahma
(13) Mentri-mentri Brahma
(12) Dewan kelompok Brahma

Alam lingkup-indera (11 Tingkat)

Tujuh tempat tujuan yang baik

Enam alam surga lingkup – indera
(11) Dewa-dewa Paranimmitavasavatti
(10) Dewa-dewa Nimmanarati
(9) Dewa-dewa Tusita
(8) Dewa-dewa Yama
(7) Dewa-dewa Tavatimsa
(6) Empat Raja Besar

Alam manusia
(5) Alam Manusia

Empat tempat tujuan buruk
(4) Kelompok asura
(3) Alam makhluk halus (peta)
(2) Alam binatang
(1) Alam-alam neraka

Teks-teks Buddhis awal menggambarkan alam semesta dengan tiga deretan-bertingkat utama, yang dibagi lagi menjadi banyak tingkat. Deretan-bertingkat yang paling rendah adalah alam lingkup-indera (kamadhatu), yang disebut demikian karena tenaga pendorong di alam ini adalah nafsu-indera. Alam lingkup-indera (dalam kosmologi yang paling tua) berisi sepuluh tingkat: neraka-neraka (niraya), yaitu alam-lama dengan penyiksaan yang luar biasa; alam binatang (tiracchanayoni); alam makhluk halus (pettivisaya), yaitu makhluk halus seperti bayangan yang terkena berbagai jenis kesengsaraan; alam manusia (manussaloka): dan enam surga lingkup-indera (saga) yang dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk surgawi yang menikmati kebahagiaan, keelokan, kekuatan, dan kemuliaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang kita ketahuii di alam manusia. Belakangan, tradisi ini kemudian menambahkan asuravisaya-yaitu alam makhluk raksasa atau anti dewa- ke dalam tempat tujuan yang buruk, walaupun di dalam Nikaya para makhluk asura ini digambarkan menghuni suatu daerah yang berbatasan dengan surga Tavatimsa, dan dari sana mereka sering melancarkan serangan melawan para dewa.

Di atas alam lingkup –indera terdapat alam bentuk (rupadhatu). Di situ bentuk materi yang kasar telah lenyap. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lebih halus. Alam ini dibagi menjadi empat deretan-bertingkat utama dengan beberapa tingkat pada masing-masingnya. Penghuni alam-alam ini juga dewa, namun untuk membedakan mereka dengan dewa dari surga inderawi biasanya mereka disebut brahma. Masa hidup diberbagai alam brahma meningkat secara eksponensial, jauh lebih lama dari pada masa hidup di surga-surga inderawi. Di sini, nafsu-indera sudah banyak yang reda. Cara pengalaman yang lazim di sini bersifat meditative, bukannya melalui indera, karena alam-alam ini merupakan imbangan ontologis dari empat jhana atau pencerapan meditative. Alam-alam ini mencakup lima “kediaman Murni” (Suddhavasa), lingkup untuk tumimbal lahir yang dapat diakses hanya bagi Yang-Tidak-kembali-Lagi.

Di atas alam bentuk terdapat alam kehidupan yang bahkan jauh lebih tinggi lagi, yang disebut alam tanpa–bentuk (arupadhatu). Para makhluk di alam ini hanya terdiri atas pikiran semata, tanpa suatu landasan materi, karena bentuk fisik disini sepenuhnya tidak ada. Empat alam yang membentuk alam ini, yang secara berturut-turut makin halus, adalah imbangan ontology bagi empat aruppa atau pencapaian meditative tanpa-bentuk. Itulah sebabnya alam itu diberi nama demikian: landasan ruang yang tak-terbatas, landasan kesadaran yang tak-terbatas, dan landasan kekosongan, serta landasan bukan –persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.

Sutta-sutta sering memadatkan kosmologi yang panjang lebar ini menjadi skema sederhana dari lima tempat tujuan (pancagati): neraka-neraka, alam binatang, daerah kekuasaan makhluk halus, alam manusia, dan dunia dewa. Yang terakhir ini mencakup semua dari berbagai alam dewa di tiga alam. Tiga yang pertama disebut alam kesengsaraan (apayabhumi), alam bawah (vinipata), atau tempat-tempat tujuan yang buruk (duggati); alam manusia dan alam dewa secara kolektif disebut tempat-tempat tujuan yang baik (sugati). Kelahiran–ulang ke alam-alam kesengsaraan merupakan buah dari kamma yang tak-bajik, kelahiran ulang ke tempat-tempat tujuan yang baik adalah buah dari kamma yang bajik. Di luar semua dunia dan alam-alam kehidupan kehidupan itu adalah Yang Tak-Terkondisi, Nibbana, tujuan akhir dari Ajaran Sang Buddha.

1.  DEVATASAMYUTTA

Devata adalah suatu kata-benda abstrak dari kata deva, tetapi di dalam Nikaya-nikaya kata ini digunakan secara tidak berbeda untuk menunjuk pada makhluk-makhluk surgawi tertentu, persis seperti kata bahasa Inggris “deity” (dewa), yang pada mulanya merupakan kata-benda abstrak yang berarti sifat yang agung, yang secara normal digunakan untuk menunjuk pada Tuhan yang maha-tinggi di agama-agama Ketuhanan, atau dewa individu atau dewi dari keyakinan politheis. Walaupun kata devata itu feminine, gendernya ditentukan oleh akhiran abstrak –ta dan tidak perlu harus berarti bahwa para devata itu perempuan. Teks-teks jarang menunjukkan jenis kelamin mereka, walaupun tampaknya mereka mungkin saja berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan mungkin kadang-kadang ada di luar perbedaan jenis kelamin.

Bagi Buddhisme; dewa bukannya makhluk yang tidak bisa mati, yang memiliki peran kreatif di dalam proses kosmik. Mereka hanyalah makhluk yang tinggi, yang amat berbahagia dan bersinar, yang sebelumnya tinggal di alam manusia tetapi kemudian terlahir kembali di alam kehidupan surgawi sebagai buah dantindakan-tindakan berjasa mereka. Dengan hanya sedikit perkecualian, mereka juga seperti manusia, sama terbelenggunya di dalam kebodohan batin dan nafsu, dan mereka juga membutuhkan bimbingan dari Yang Tercerahkan. Sang Buddha adalah “guru para dewa dan manusia” (sattha devamanussanam), dan walaupun betul-betul telah mantap di lam manusia, Beliau berada di atas dewa-dewa yang paling tinggi karena kebijaksanaan Beliau yang luar biasa serta kemurnian Beliau yang sempurna.

Para dewa biasanya datang mengunjungi Sang Buddha di keheningan malam yang telah larut, sementara isi dunia lainnya terlelap dalam tidur. Devatasamyutta memberi kita catatan mengenai percakapan-percakapan mereka. Kadang-kadang, para dewa datang untuk mengucapkan syair-syair yang memuji Sang Guru, kadang-kadang untuk mengajukan pertanyaan, kadang-kadang meminta instruksi, kadang-kadang untuk mendapatkan persetujuan tentang pandangan-pandangan mereka, kadang-kadang bahkan menantang atau mengejek Beliau. Ketika menghampiri Sang Buddha, mereka hampir selalu membungkuk untuk menghormat, karena Beliau adalah pemimpin moral dan spiritual mereka. Tidak membungkuk di hadapan Beliau, seperti yang dilakukan beberapa dewa (lihat 1:35), merupakan provokasi, yang sengaja tidak memberikan hormat yang seharusnya diberikan.

Masing-masing dari empat Nikaya itu dibuka dengan sutta yang bermakna dalam. Walaupun sangant pendek, sutta pertama SN ini kaya akan implikasi. Di sini, satu devata datang kepada Sang Buddha untuk menanyakan bagaimana Beliau “menyeberangi banjir,” yaitu, bagaimana caranya Beliau mencapai pembebasan. Dalam jawabannya, Sang Buddha menunjuk pada “jalan tengah” sebagai kunci pencapaian Beliau. Jawaban ini mengandung semangat Dhamma yang hakiki, yang menghindari semua ekstrem dalam pandangan, sikap, dan perilaku. Kitab komentar menarik percabangan pernyataan Sang Buddha itu dengan daftar yang mencakup tujuh ekstrem, yang bersifat filosofi dan praktis, yang dilampaui oleh jalan tengah.

Sutta berikutnya di Samyutta ini melingkupi spectrum pokok bahasan yang luas, yang urutannya tidak memiliki logika khusus. Sutta sutta ini berkisar dari yang sederhana sampai yang mendalam, dari yang biasa sampai yang tinggi, dari yang penuh humor sampai yang tegass. Pertukaran-pertukaran tersebut membahas praktek-praktek etis seperti misalnya berdana, melayani makhluk lain, dan tidak-menyakiti; kesulitan-kesulitan meninggalkan keduniawian dan kehidupan meditasi; panggilan untuk berusaha sepenuh hati; kesengsaraan-kesengsaraan kehidupan manusia dan kebutuhan akan ketenang-keseimbangan Arahat, dan beberapa yang menyentuh tingkat transcendental Arahat. Di sebagian besar sutta, sekian banyak prosa itu tidak memiliki fungsi lain kecuali membentuk kerangka untuk percakapan, yang lambat laun memudar dan menyisakan hanya pertukaran syair-syair dengan identitas para pembicara yang sudah diketahui. Tetapi kadang-kadang kita menemukan cerita-cerita ringkas, seperti misalnya cerita tentang devata perempuan yang mencoba merayu bhikkhu Samiddhi (1:20), atau tentang “para dewa yang mencari-cari kesalahan” yang menuduh bahwa Sang Buddha itu munafik (1:35), atau tentang kunjungan sekelompok dewa yang mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau terluka oleh pecahan batu (1:38). Biasanya, identitas pribadi devata itu tidak diungkapkan, tetapi ada perkecualian, yaitu sepasang sutta dimana dua Kokanada bersaudara –putri-putri dewa cuaca Pajjunna – mengunjungi Sang Buddha dan memuji Beliau seta Dhamma Beliau (1:39-40). Kadang-kadang, syair-syair yang diucapkan oleh dewa yang tidak disebut namanya muncul lagi di tempat lain dengan identitas khusus; misalnya, syair 22 muncul lagi sebagai syair 461, yang dianggap berasal dari Mara Si jahat; syair 156-59 muncul lagi sebagai syair 312-15, yang dianggap berasal dari Anathapindika, yaitu reinkarnasi surgawi dari dermawan besar tersebut. Demikian juga, sutta-sutta jarang menunjuk dewa-dewa dari alam tertentu, tetapi ada perkecualian, seperti misalnya sutta-sutta tentang para dewa dari kelompok “yang memuji kebajikan” (satullapakayika deva; 1:31-34, dsb.) dan sutta tentang para dewa dari kediaman-kediaman Murni (suddhavasakayika deva; 1:37). Kitab komentar, yang dikutip di dalam catatan, sering memberikan lebih banyak informasi tentang latar belakangnya.

Ketika devata itu tidak memberikan pertanyaan melainkan menyampaikan suatu pendapat, biasanya ada perbedaan yang terjadi antara sudut pandangan dewa – yang biasanya absah dilihat dari dalam cakrawalanya yang terbatas – dengan sudut pandang Sang Buddha, yang melihat hal-hal jauh melebihi pemahaman para dewa itu (lihat, misalnya, syair 3-6). Kadang-kadang sekelompok dewa menyampaikan pendapat mereka, yang dilampaui oleh Sang Buddha dengan kostribusi Beliau sendiri yang jauh lebih mendalam (syair 78-84, 95-101). Di beberapa sutta, syair-syair itu tidak diucapkan dalam konteks percakapan melainkan mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi dari dewa tersebut, yang secara taktis didukung oleh Sang Buddha (syair 136-40), dan dua syair sekadar dendang puji-pujian sederhana kepada Yang Terberkahi (syair 147, 148). Bermula dengan syair 183, sutta-sutta mengambil format standar, dengan para dewa yang mengajukan serangkaian teka-teki yang dijawab oleh Sang Buddha sampai mereka puas. Suatu contoh yang dapat diingat mengenai hal ini adalah teka-teki tentang jenis pembunuhan yang disetujui oleh Sang Buddha. Jawaban Sang Buddha adalah pembunuhan kemarahan (syair 223-24). Di satu sutta, kita menemukan humor yang lembut: satu devata mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang maksudnya jelas-jelas bersifat duniawi, tetapi sebelum Yang Terberkahi menjawab, ada devata lain yang menyela dan memberikan jawabannya sendiri, yang tetap saja bertingkat duniawi. Kemudian Sang Buddha menjawab, dengan mengangkat dialog itu sampai ke tingkat yang transenden (syair 229-31). Karena isinya yang bervariasi dan syair-syairnya sungguh tajam, di dalam tradisi Theravada, setidak-tidaknya di Sri Langka, Devatasamyutta amat popular sebagai sumber teks yang diambil untuk khotbah-khotbah.

2. DEVAPUTTASAMYUTTA

Devaputta, atau “putra dewa,” adalah dewa muda yang baru saja muncul di alam-alam surgawi yang sesuai dengan mereka; devaduhita, “putri dewa,” juga disebutkan di dalam kitab komentar tetapi tak satu pun muncul di samyutta ini. Kitab komentar mengatakan bahwa para makhluk ini terlahir kembali secara spontan di pangkuan para dewa. Walaupun sebagian besar dewa di samyutta sebelumnya tetap tidak bernama, para dewa muda ini selalu disebutkan namanya. Sungguh mengherankan melihat bahwa beberapa dari mereka – atau setidak-tidaknya syair-syair mereka – sudah muncul di Devatasamyutta (lihat 2:3, 4,16,19, 20, 21, 24, 27). Hal ini menyiratkan bahwa garis pembagi diantara dua kelompok dewa itu bukanlah garis yang keras dan pasti, seperti halnya garis pembagi di antara dewasa dan remaja bukanlah garis yang keras dan pasti. Cukup banyak dari syair-syair di bab ini yang berfokus pada pelatihan monastic, relatif lebih banyak disbanding di Devatasamyutta. Teks-teks itu sendiri tidak menyiratkan petunjuk-petunjuk mengenai mengapa demikian; setidak-tidaknya, tidak ada satu pun yang tampak nyata.

Beberapa sutta mengungkapkan pokok-pokok yang menarik bila dilihat dari perspektif doktrin. Misalnya saja, kita bertemu dengan dewa muda Damali yang berpikir bahwa Arahat masih harus tetap “berjuang tanpa lelah”, sampai Sang Buddha memberitahu dia bahwa Arahat telah menyelesaikan tugasnya dan tiak perlu berjuang lebih jauh (2.5). Kitab komentar mengatakan sutta ini bisa dibilang unik karena di sini Sang Buddha tidak berbicara memuji usaha. Sekali lagi, kita bertemu Tayana, yang syair-syairnya mengenai perjuangan dipuji oleh Yang Terberkahi. Dan, hari berikutnya, syair-syair itu dipuji oleh Beliau di hadapan para bhikkhu (2:8). Kedua sutta mengenai penangkapan Candima –dewa bulan- dan Suriya –dewa matahari- mencakupkan syair-syair yang pasti berfungsi sebagai mantra untuk menghentikan gerhana bulan dan matahari (2:9, 10); di Sri Langka, kedua sutta itu dimasukkan ke dalam Maha Pirit Pota, “Buku Besar Perlindungan,” yang terbentuk dari sutta-sutta dan paritta-paritta lain yang diulang untuk perlindungan fisik maupun spiritual. Kita juga bertemu dengan Subrahma, yang syair tunggalnya merupakan salah satu ungkapan yang paling ringkas dan tajam di literature dunia mengenai kesedihan dhati dari kondisi manusia (2:17). Cerita mengenai Rohitassa, yang mencoba mencapai akhir dunia dengan cara berkelana, memperoleh dari Sang Buddha jawaban penting tentang dimana dunia dan ujungnya akhirnya dapat ditemukan (2:26). Di samyutta ini kita juga bertemu dengan dua dewa muda yang bernama Venhu dan Siva (di 2:12 dan 2:21), yang mungkin merupakan prototipe awal dari dewa India yaitu Visnu dan Siva (bentuk Sanskerta untuk nama mereka); tetapi teks kami rupanya bermula dari periode sebelum mereka menjadi dewa utama dalam Hinduisme bakti yang theistic. Sutta terakhir di dalam bab tersebut (2:30) memperkenalkan kita kepada sekelompok dewa muda yang tadinya adalah siswa-siswa saingan Sang Buddha di India, yaitu Purana Kassapa, Makkhali Gosala, dan Nigantha Nataputta, guru-guru yang pandangan-pandangannya secara tegas ditolak oleh Sang Buddha. Maka, sungguh membingungkan bila siswa-siswa mereka terlahir kembali di surga, khususnya karena dua guru yang pertama itu menyebarkan doktrin-doktrin seperti misalnya fatalisme dan anarkisme moral. Tetapi kesimpulan yang dicapai di sutta itu adalah bahwa guru-guru semacam itu sungguh amat berbeda dari tingkatan manusia suci sejati, bagaikan serigala berbeda dari singa.

3. KOSALASAMYUTTA

Bab ini memperkenalkan kita kepada Raja Pasenadi dari Kosala. Menurut teks-teks Buddhis, Pasenadi amat sangat berbakti kepada Sang Buddha dan sering meminta nasehat Beliau, walaupun tidak ada catatan mengenai dia mencapai tahap pencerahan apa pun (tradisi Sri Langka pertengahan menganggap bahwa Pasenadi adalah seorang bodhisatta, yang tidak mencapai pencerahan agar dia bisa terus menggenapi keluhuran sempurna yang memuncak dalam ke-Buddha-an). Pasenadi telah dibawa kepada Sang Buddha oleh istrinya, Ratu Mallika, yang memiliki bakti terhadap Sang Guru sehingga tadinya raja merasa jengkel. Cerita mengenai bagaimana Mallika meyakinkan raja tentang kebijaksanaan Sang Buddha dikisahkan di MN No. 87; MN No. 89 memberi kita suatu cerita yang menyentuh mengenai pertemuan terakhir raja dengan Sang Guru ketika mereka berdua berusia 80-an. Sutta pertama dari Kosalasamyutta jelas mencatat pertemuan pertama Pasenadi dengan yang Terberkahi, setelah keyakinannya dibangkitkan oleh kepintaran Mallika. Di sini Sang Buddha digambarkan masih muda, dan ketika raja mempertanyakan pertanyaan bahwa petapa muda seperti dapat tercerahkan secara sempurna, Sang Buddha menjawab dengan serangkaian syair yang menghalau keraguan raja tersebut dan memberinya insirasi untuk pergi berlindung.

Tidak seperti dua samyutta pertama, Kosalasamyutta menggunakan banyak latar belakang prosa pada syair-syairnya, dan seringkali bait-baitnya hanya sekadar mengulang secara metrik moral dari khotbah Sang Buddha. Walaupun topik-topik yang dibahas tidaklah sangat mendalam, hampir semuanya relevan untuk umat awam yang sibuk, yang menghadapi tantangan yang sulit dalam menjalani kehidupan moral di dunia. Khususnya, yang pantas dicatat adalah penekanan yang diberikan pada perlunya tanpa-henti terus setia pada jalan kebenaran di tengah godaan-godaan dunia. Beberapa sutta (3:4, 5) menunjukkan betapa mudahnya terjatuh dari standar-standar keluhuran, terutama di zaman Sang Buddha – seperti juga di zaman kita- persaingan yang tajam untuk kekayaan, posisi, dan kekuasaan mendorong nilai-nilai etis yang sangat dijunjung tinggi keluar dari sirkulasi. Obat untuk melawan godaan adalah ketekunan (appamada). Ketika Sang Buddha memuji ketekunan dihadapan raja, arti kata itu tidak sama seperti arti di dalam teks monastic, yaitu bakti yang terus-menerus kepada meditasi. Di situ, artinya adalah keuletan dalam melaksanakan tindakan-tindakan berjasa. Untuk manusia seperti Pasenedi, tujuan langsungnya adalah kelahiran-ulang yang bahagia – bukannya Nibbana.

Percakapan raja dengan Mallika, di mana mereka berdua mengakui bahwa mereka menghargai diri mereka sendiri lebih daripada orang lain (3:8), memperoleh dari Sang Buddha satu syair yang memberikan kecenderungan etis terhadap tesis metafisika yang terdapat di Brhadaranyaka Upanisad. Hal ini juga muncul dalam percakapan antara suami istri bahwa di antara semua hal, diri sendirilah yang paling berharga. Ini membangkitkan pertanyaan yang menarik apakah hubungan yang dekat di antara keduanya hanyalah kebetulan semata (bukannya tidak mungkin) atau akibat dari pengulangan yang disengaja oleh Sang Buddha tentang Upanisad lama. Pada kesempatan lain, kita melihat raja mempertunjukkan kurangnya ketajaman penglihatan dalam penilaiannya mengenai para petapa (3:11) – mungkin suatu petunjuk bahwa komitmennya kepada Dhamma bukannya tidak goyah – dan tanggapan Sang Buddha menawarkan nasihat yang bijak mengenai bagaimana menilai watak seseorang.

Di Samyutta ini kita bahkan mendapatkan, dari bibir emas Sang Guru, nasihat yang mencerahkan untuk mengurangi berat (3:12), sementara dua sutta yang lain memberikan perspektif sejarah mengenai konflik antara Kosala dan Magadha, dengan perenungan mengenai perang dan kedamaian (3:14, – 15). Yang menarik pada waktu itu adalah syair Sang Buddha yang menjelaskan kepada raja bahwa seorang perempuan dapat lebih baik daripada laki-laki (3:16). Di tempat lain, Sang Buddha menolak ide yang disebarkan oleh para brahmana, bahwa kelahiran merupakan criteria penting bagi nilai-nilai spiritual, yang justru menekankan bahwa tanda-tanda sejati untuk keagungan spiritual adalah kemurnian etika dan kebijaksanaan (3:24).

Suatu tema yang diulang diseluruh samyutta ini adalah kematian yang tak-terhindarkan dan jalannya hukum kamma yang tidak dapat ditawar-tawar, yang memastikan bahwa tindakan-tindakan yang baik dan buruk akan bertemu dengan imbalan yang pasti. Para makhluk berlalu dari keadaan-keadaan yang terang menuju gelap dan dari gelap menuju terang, bergantung pada tindakan-tindakan mereka (3:21). Apa yang kita bawa bersama kita ketika mati adalah tindakan-tindakan baik dan buruk kita. Karena itu, kita harus memastikan untuk mengumpulkan jasa-jasa kebajikan, karena di alam berikutnya jasa-jasa inilah yang merupakan “penopang bagi para makhluk hidup” (3:4, 20, 22). Di antara beberapa teks mengenai kematian yang tak terhindarkan, yang paling mengesankan adalah sutta terakhir di bab itu (3:25), dengan perumpamaan yang mengejutkan tentang gunung-gunung yang bergerak maju dari semua penjuru, menghancurkan segalanya di sepanjang perjalanan mereka.

4. MARASAMYUTTA

Mara adalah Si jahat di dalam Buddhisme, Penggoda dan Raja Sensualitas yang cenderung menggoda para pemula dari Jalan menuju pembebasan dan membuat mereka terperangkap dalam siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Kadang-kadang, teks-teks menggunakan kata “Mara” dalam pengertian kiasan, untuk mewakili penyebab-penyebab belenggu psikologis di dalam diri, seperti misalnya nafsu keserakahan dan nafsu jasmani (22:63-65), serta hal-hal di luar diri yang membelenggu kita, terutama lima kelompok khanda itu sendiri (23:11-12). Tetapi jelas bahwa dunia pemikiran sutta tidak menganggap Mara hanya sebagai personifikasi kelemahan moral umat manusia, melainkan sebagai dewa jahat sejati yang menghalangi usaha-usaha mereka yang ingin memenangkan tujuan akhir. Hal ini terbukti ketika Mara mengejar Sang Buddha dan para Arahat sesudah mereka mencapai pencerahan, yang tidak mungkin terjadi seandainya Mara hanya dianggap semata-mata sebagai proyeksi psikologis.

Marasamyutta dibuka disekitar Pohon Boddhi segera setelah Sang Buddha mencapai pencerahan tertinggi. Di sini, Mara menantang pernyataan Yang Terberkahi bahwa Beliau telah mencapai tujuan. Mara mengejek Sang Buddha karena telah meninggalkan jalan penyiksaan-diri (4:1), mencoba menakut-nakuti Beliau dengan cara berubah menjadi bentuk-bentuk yang mengerikan (4:2), dan mencoba mematahkan ketenang-seimbangan Beliau dengan cara menunjukkan bentuk-bentuk yang cantik dan seram (4:3). Bagi Sang Buddha untuk memenangkan pertandingan ini, Beliau hanya perlu menentang gertakan Mara, mengatakan bahwa musuh di hadapan Beliau ini tak lain adalah Si Jahat. Dengan demikian, Mara pasti lenyap, merasa frustasi dan berduka.

Mara juga muncul sebagai pengejek yang menyangkal bahwa makhluk yang tidak kekal dapat mencapai kemurnian sempurna (4:4, 15). Pada beberapa kesempatan, Mara mencoba mengacaukan para bhikkhu sementara mereka sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha, tetapi setiap kali Sang Buddha mengetahui hal itu (4:16, 17, 19). Pada kesempatan lain, Mara mencoba menggoda Sang Guru dengan iming-iming kekuasaan duniawi, tetapi Sang Buddha dengan tegas menolaknya (4:20). Yang sangat mengesankan adalah Godhika Sutta (4:23). Di situ, bhikkhu Godhika yang terkena penyakit yang menghalangi kemajuan meditasinya, berencana untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Mara mengajukan dirinya sendiri di hadapan Sang Buddha, memohon agar Beliau melarang siswanya melakukan ketololan semacam itu, tetapi Sang Guru memuji bakti untuk mencapai tujuan sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Di akhir sutta, Mara sia-sia mencari kesadaran-kelahiran –ulang Godhika. Dia tidak menyadari bahwa bhikkhu itu telah mencapai Nibbana dan padam “dengan kesadaran yang tidak terbentuk.”

Dua sutta terakhir di samyutta ini membawa kita kembali ke lokasi pencerahan. Di sini, pertama-tama kita melihat Mara dan kemudian tiga putrid Mara – yaitu Tanha, Arati, dan Raga (Keserakahan, Ketidak-puasan, dan Nafsu)-mencoba untuk mencari titik kelemahan dan Buddha yang baru saja tercerahkan. Tetapi usaha mereka sia-sia dan mereka harus pergi dengan kecewa (4:24, 25).

5. BHIKKHUNISAMYUTTA

Bhikkhunisamyutta adalah kumpulan dari sepuluh sutta pendek dalam gabungan prosa dan syair, yang tidak dibagi menjadi vagga. Semua pelaku utamanya adalah para bhikkhuni, biarawati Buddhis. Walaupun beberapa dari tiga puluh tujuh syairnya memiliki parallel di dalam Therighata (disebutkan di dalam Catatan dan Indeks 1 (B), banyak yang unik di dalam koleksi ini, walaupun seringkali variasinya di dalam versi yang secara kasar parallel pun sudah memiliki daya tarik sendiri. Setidaknya, ada satu bhikkhuni di Bhikkhunisamyutta, yaitu Vajira, yang sama sekali tidak muncul di dalam Therighata, sementara kasus bhikkhuni lain, yaitu Sela, bersifat problematis. Bila dua koleksi itu diperbandingkan, terlihat beberapa perbedaan yang pantas dicatat dalam hal asal-mula penulisan. Karena SN dan Therighata jelas ditransmisikan melalui garis pengulang yang berbeda, syair-syair itu mudah sekali menyeleweng dari tempat narasi asalnya dan bergabung dengan cerita latar belakang lain yang menghubungkan mereka dengan penyusun lainnya.

Sepuluh sutta itu semuanya dibentuk menurut pola yang sama, yaitu konfrontasi langsung antara Mara dan satu bhikkhuni individu. Struktur ini mungkin menjelaskan mengapa Bhikkhunisamyutta ditempatkan persis setelah Marasamyutta. Setiap sutta dari koleksi ini bermula dengan seorang bhikkhuni yang pergi sendirian untuk melewatkan hari itu dalam meditasi kesendirian. Kemudian Mara mendekatinya dengan suatu tantangan –yaitu pertanyaan provokatif atau ejekan- yang bertujuan agar dia tergelincir dari konsentrasinya. Apa yang tidak disadari oleh Mara adalah bahwa setiap bhikkhuni ini adalah Arahat yang telah melihat secara mendalam menembus kebenaran Dhamma sehingga beliau sama sekali tidak bisa terkena godaan mara. Jauh dari menjadi bingung karena tantangan Mara, Bhikkhuni tersebut secara tepat menerka identitas lawannya dan menghadapi tantangannya dengan jawaban yang tajam.

Didalam dialog yang mempertemukan Raja Sensualitas dengan seorang bhikkhuni yang sendirian, mungkin kita mengharapkan bahwa setiap tawaran Mara itu ditujukan untuk bujukan seksual. Hal ini benar hanya di beberapa sutta saja. Tema-tema khotbah yang sesungguhnya itu amat bervariasi dan membuka kepada kita serangkaian luas perspektif mengenai sikap dan kebijaksanaan dalam kehidupan orang yang meninggalkan keduniawian. Perbedaan yang menyolok antara daya pikat dan kesengsaraan dari kenikmatan indera merupakan tema di 5:1, 4, dan 5. Di tiga kasus itu, para bhikkhuni semuanya secara tajam menegur Mara dengan syair-syair yang mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak mengacuhkan permintaan-permintaan Mara.

Dialog Mara dengan Soma (5:2) mengungkapkan prasangka India kuno bahwa perempuan memiliki “hanya kebijaksanaan dua-jari” sehingga tidak dapat mencapai Nibbana. Balasan Soma merupakan peringatan yang sangat kuat bahwa pencerahan tidak bergantung pada gender tetapi pada kemampuan pikiran untuk konsentrasi dan kebijaksanaan-sifat-sisat yang dapat dimiliki manusia mana pun yang tekun berjuang untuk menembus kebenaran. Di 5:3, Mara mendatang Kisagotami, pahlawan perempuan pada perumpamaan terkenal tentang benih sawi, yang mencoba untuk membangkitkan insting keibuannya untuk memperoleh putra lagi. Maka, seruan Mara menyentuh pada sensualitas hanya secara tidak langsung, karena permohonan utamanya ditujukan pada keinginan perempuan untuk memperoleh anak.

Dua sutta terakhir merupakan karya besar filosofis, yang memadat menjadi beberapa bait ketat, tentang kebijaksanaan dengan kedalaman yang luar biasa dan implikasi yang luas. Ketika Mara menantang Sela dengan pertanyaan mengenai asal mula kehidupan pribadi, Sela menjawab dengan puisi mengagumkan yang memadatkan seluruh ajaran mengenai sebab-akibat yang saling bergantungan menjadi tiga bait empat-baris yang dihiasi kiasan-kiasan yang mencerahkan (5:9). Mara mengajukan masalah serupa kepada Vajira, yang menjawab dengan penjelasan rinci yang mencengangkan mengenai ajaran tentang tanpa-diri, yang menggambarkan sifat gabungan dari identitas seseorang dengan perumpamaan terkenal mengenai kereta kencana (5:10).

Walaupun dibentuk dengan latar belakang mitologi dalam dunia kuno yang adat kebiasaan dan norma-normanya tampak begitu jauh dari dunia kita sendiri, syair-syair para bhikkhuni kuno ini masih berbicara kepada kita dewasa ini melalui kesederhanaan yang luar biasa dan kejujurannya yang tak kenal kompromi. Syair-syair itu tidak membutuhkan ornamen atau tipu-daya untuk menyampaikan pesannya, karena syair-syair itu sendiri saja sudah cukup mengejutkan kita dengan kejernihan kebenaran yang polos.

6. BRAHMASAMYUTTA

Brahma adalah dewa tertinggi dari Brahmanisme awal, yang dipahami sebagai pencipta alam semesta dan dipuja oleh para brahmana dengan berbagai kurban dan ritual. Kadang-kadang, konsep Brahma ini tetap ada di dalam Kitab Buddhis, namun dipakai sebagai target untuk kritik dan sindiran ketimbang sebagai artikel keyakinan. Di dalam konteks-konteks semacam itu, kata “brahma” digunakan sebagai nama-diri, sering ditambah menjadi Mahabrahma, “Brahma Yang Agung.” Buddha menginterprestasikan kembali ide mengenai brahma dan mengubah satu dewa tunggal yang maha-kuasa dari para brahmana ini menjadi suatu kelompok dewa tinggi yang berdiam di alam bentuk (ruphadatu) jauh di atas surga-surga lingkup-indera. Kediaman mereka diacu sebagai `alam brahma,` yang ada banyak dengan berbagai dimensi dan tingkat kekuasaan. Di dalam dunia mereka, para brahma berdiam secara berkelompok, dan Mahabrahma (atau kadang-kadang brahma dengan nama yang lebih pribadi) dilihat sebagai penguasa kelompok itu, lengkap dengan para menteri dan dewannya. Seperti halnya semua makhluk hidup, para brahma itu pun tidak kekal, masih terikat pada lingkaran kelahiran-ulang, walaupun kadang-kadang mereka melupakan hal ini dan menganggap bahwa mereka tidak bisa mati.

Jalan untuk bisa terlahir – ulang di alam brahma adalah penguasaan atas jhana-jhana, yang masing-masingnya secara ontology sesuai dengan tingkat alam bentuk tertentu (lihat table 3). Kadang-kadang Sang Buddha menyebutkan empat “kediaman agung” (brahmavihara) sebagai sarana untuk kelahiran-ulang di alam brahma. Empat hal ini adalah meditasi-meditasi “yang tak-terukur” dengan objek cinta kasih, kasih sayang, sukacita altruis, dan ketenang-seimbangan (metta, karuna, mudita, upekkha).

Nikaya-nikaya menawarkan evaluasi yang saling bertentangan mengenai brahma, seperti yang dapat dilihat dari samyutta sekarang ini. Pada satu sisi, brahma-brahma tertentu digambarkan sebagai pelindung yang gagah berani untuk ajaran Sang Buddha dan merupakan pengikut Sang Guru yang penuh bakti. Tetapi justru karena amat panjangnya usia mereka dan tingginya tingkat mereka dalam hirarki kosmik, para brahma cenderung memiliki kebodohan dan kesombongan; sesungguhnya, mereka kadang-kadang membayangkan bahwa mereka merupakan pencipta yang maha-kuasa dan penguasa alam semesta. Mungkin dua evaluasi ini mencerminkan sikap Sang Buddha yang saling bertentangan terhadap para brahmana: kekaguman terhadap ideal spiritual kuno dari kehidupan brahmana (seperti yang masih bertahan di dalam ungkapan brahmacariya dan brahmavihara) yang dibarengi dengan penolakan terhadap kepura-puraan para brahmana kontemporer tentang superioritas yang didasarkan atas kelahiran dan garis keturunan.

Yang paling menonjol dari antara brahma yang penuh bakti kepada Sang Buddha adalah Brahma Sahampati, yang muncul beberapa kali di SN. Segera setelah pencerahan itu, brahma Sahampati turun dari kediamannya yang agung dan muncul dihadapan Yang Terberkahi untuk memohon kepada Beliau agar mengajarkan Dhamma kepada dunia (6:1). Dia menghargai penghormatan Sang Buddha kepada Dhamma (6:2), memuji seorang bhikkhu Arahat yang mengumpulkan dana makanan (6:23), mencela Devadatta yang jahat (6:12), dan, muncul lagi pada waktu Sang Buddha parinibbana, dimana dia mengucapkan syair pujian tentang Sang Buddha yang sudah mangkat (6:15). Dia juga muncul di bebrapa samyutta lain ( di 11:17, 22:80, 47:18, 43; dan 48:57).

Para brahma yang bodoh batinnya dilambangkan oleh Brahma Baka, yang menganggap bahwa dirinya kekal sehingga Sang Guru harus melepaskannya dari ilusi ini (6:4). Pada kesempatan lain, brahm lain yang tidak disebut namanya menganggap bahwa dia lebih tinggi daripada para Arahat. Sang Buddha dan empat siswa agung Beliau mengunjungi dunianya untuk membuatnya mengubah pandangan-pandangannya (6:5). Kita juga menyaksikan kontes antara brahma yang lalai, yang kaku dengan kesombongan, dan dua rekannya, yang merupakan pengikut Sang Buddha, yang menghalau ilusi-ilusinya (6:6). Sutta yang kedua dari belakang menunjukkan seorang siswa dari Buddha Sikhi lampau yang membuat seluruh kelompok brahma yang sombong menjadi terkagum-kagum karena dia mempertunjukkan kesaktian-kesaktian gaibnya (6:14). Samyutta inimjuga mengisahkan erita sedih mengenai bhikkhu Kokalika, pengikut Devadatta, yang mencoba menjatuhkan siswa-siswa utama yaitu Sariputta dan Mogallana dan harus menuai akibat kamma yaitu terlahir-ulang dineraka (6:9-10). Sutta terakhir dalam koleksi ini, yang dicakupkan di sini hanya karena syair tunggal Brahma Sahampati, merupakan parallel dari peristiwa kematian di Mahaparinibbana Sutta yang panjang di Digta Nikaya.

7. BRAHMANASAMYUTTA

Samyutta ini mencatat percakapan Sang Buddha dengan para brahmana dan berisi dua vagga, masing-masing dengan tema penyatu yang berbeda. Di vagga pertama, semua brahmana yang datang kepada Sang Buddha – yang sering marah (7:1-4) atau mencemooh (7:7-9) – amat merasa tergugah oleh kata-kata beliau sehingga mereka minta ditasbihkan ke dalam Sangha dan “tidak lama sesudahnya” mencapai tingkat Arahat. Sutta-sutta ini menunjukkan Sang Buddha sebagai perwujudan kesabaran dan kedamaian, yang mampu bekerja, di dalam diri mereka yang menyerang Beliau, suatu mukjizat tranformasi hanya karena ketenang-seimbangan Beliau yang tak tergoyahkan serta kebijaksanaan Beliau yang tak –tercela. Di dalam vagga ini kita juga melihat bagaimana Sang Buddha memberikan penilaian pada pernyataan brahmana bahwa status superior itu didasarkan atas kelahiran. Di sini, Beliau menginterprestasikan kata ‘brahmana’ dengan arti aslinya, sebagai orang suci, dan dengan landasan ini Beliau mengidentifikasi-ulang brahmana sejati sebagai Arahat. Tiga Kitab Veda yang dihormati dan tekun dipelajari oleh [para brahmana digantikan oleh tiga vijja atau tiga pengetahuan yang dimiliki oleh Arahat: pengetahuan tentang kelahiran lampau, tentang hukum kamma, dan tentang hancurnya noda-noda (7:8). Sutta yang terakhir menambahkan sentuhan humor, yang masih dapat dikenali sekarang ini, dengan menggambarkan perbedaan menyolok antara urusan kehidupan berumah-tangga yang menekan dan kebebasan yang terinjak-injak dari kehidupan meninggalkan keduniawian (7:10).

Di dalam vagga kedua, para brahmana datang untuk menantang Sang Buddha dengan cara yang berbeda lagi, dan dalam kesempatan itu sekali lagi Sang Buddha melejit dengan kecerdikan dan kebajikan Beliau yang tak ada habisnya. Tetapi di dalam vagga ini, walaupun Sang Buddha memberikan inspirasi pada lawan-lawan Beliau dengan keyakinan yang baru saja dimenangkan, para brahmana yang telah berubah itu tidak menjadi bhikkhu. Namun mereka menyatakan diri sebagai pengikut awam ‘yang telah pergi untuk perlindungan seumur hidup.’

8. VANGISASAMYUTTA

Bhikkhu Vangisa dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang terkemuka di antara mereka yang berbakat berkhotbah dengan penuh inspirasi (patibhanavantanam, di AN I 24,21). Judul ini mengacu padanya karena ketrampilannya menyusun syair secara spontan. Syair-syairnya membentuk bab yang paling panjang di Theragatha, yang tujuh puluh satu syairnya (th 1209-79) berhubungan dekat dengan syair-syair yang ada di samyutta ini tetapi tidak memiliki kerangka prosa. Puisi lain olh Vangisa, yang terdapat di SN II, 12, tidak dimasukkan ke dalam kumpulan ini tetapi memang memiliki imbangannya di dalam Theragatha.

Syair-syair Vangisa bukan sekadar aforisme metris (seperti begitu banyak syair di dalam koleksi ini) melainkan juga komposisi puisi yang secara ahli disusun sehingga dapat dengan baik memperoleh tempat yang terhormat di dalam puisi India awal. Syair-syair itu juga mengungkapkan, dengan kejujuran yang tuntas, berbagai cobaan dan godaan yang dihadapi pengarang di dalam karirnya sebagai bhikkhu. Karena memiliki kecondongan estetis dalam karakter dan aspirasi alami tentang keindahan sensual, vangisa pasti telah mlewati perjuangan yang sulit di masa awalnya sebagai bhikkhu yang menyesuaikan diri dengan disiplin ketat yang dituntut dari seorang bhikkhu, dengan pelatihan dalam pengendalian – indera dan penguasaan pikiran yang gigih. Sutta-sutta awal dalam bab ini (8:1-4) berbicara tentang perjuangannya melawan nafsu jasmani, kelemahannya menghadapi daya pikat lawan jenis, dan tekadnya yang kuat untuk pantang menyerah dan dengan berani terus berjalan di sepanjang jalan yang ditunjukkan oleh Gurunya. Sutta-sutta itu juga menceritakan kecenderungannya untuk angkuh, yang pasti berlanaskan atas bakat alamnya sebagai seorang penyair, dan tentang usahanya untuk menjinakkan kelemahan karakter ini. Nantinya, di dalam karirnya sebagai bhikkhu, jelas setelah memperoleh tingkat penguasaan diri yang lebih besar, dia sering memuji Sang Buddha melalui syair, dan pada satu kesempatan Yang Terberkahi memintanya unutk mencipta syair-syair langsung tanpa persiapan sebelumnya (8:8). Di dalam puisi-puisi lain, dia memuji siswa siswa agung yaitu Sariputta, Moggallana, dan Kondanna (8:6, 9, 10). Syair yang terakhir di samyutta ini, yang sebagian bersifat otobiografi, menutup dengan pernyataan bahwa pengarangnya telah menjadi Arahat yang dilengkapi dengan tiga pengetahuan sejati dan kekuatan-kekuatan spiritual lainnya (8:12).

9. VANASAMYUTTA

Samyutta ini terdiri atas empat belas sutta yang sebagian besar dibentuk sesuai dengan pola stereotype. Seorang bhikkhu sedang hidup sendiri di hutan yang lebat. Seharusnya, dia bermeditasi dengan rajin, tetapi kelemahan manusia menguasainya dan menyebabkan dia berbelok dari tugas-tugas keagamaannya. Kemudian, devata yang berdiam di hutan itu berbelas kasihan kepadanya dan menegurnya dengan syair untuk menyadarkan rasa kemendesakannya. Rupanya para devata ini bukanlah makhluk surgawi, seperti yang kia temui di devatasamyutta, melainkan bidadari hutan atau peri, dan tampaknya mereka perempuan. Pada beberapa kesempatan devata itu salah menilai perilaku tersebut. Maka, di 9: 2 devata tersebut datang untuk menegur bhikkhu karena tidur siang, tanpa menyadari bahwa bhikkhu itu sudah mencapai tingkat Arahat, dan di 9:8 karena bhikkhu itu bergaul terlalu dekat dengan seporang wanita, sekali lagi tanpa menyadari bahwa bhikkhu itu sudah mencapai tingkat Arahat (menurut kitab komentar). Di 9:6, devata perempuan dari surga Tavatimsa mencoba membujuk Y.M. Anuruddha untuk beraspirasi menuju kelahiran-ulang di alam, tetapi beliau menyatakan telah mengakhiri proses kelahiran – ulang dan tidak akan pernah mengambil kehidupan yang lain. Sutta terakhir dalam bab tersebut (9:14) juga muncul di Jataka. Yang menarik, di sini peran Boddhisatta di ambil oleh bhikkhu itu.

10. YAKKHASAMYUTTA

Yakkha adalah makhluk halus galak yang menghuni daerah-daerah terpencil, seperti misalnya hutan, bukit, dan gua yang telah ditinggalkan. Mereka digambarkan berwajah mengerikan dan berwatak pemarah. Tetapi jika diberi persembahan dan penghormatan tertentu, mereka menjadi jinak dan bisa melindungi manusia, bukannya mencelakakan mereka. Banyak kuli di berbagai daerah perdesaan India utara dibangun untuk menghormati para yakkha dan memastikan bantuan mereka. Walaupun hidup dalam kesengsaraan, para yakkha memiliki potensi untuk terjaga dan dapat mencapai jalan-jalan serta buah-buah kehidupan spiritual.

Sutta-sutta di bab ini mencakup berbagai macam topik. Yang menyatukannya bukanlah isi dari syair-syair itu melainkan fungsi propaganda yang menunjukkan Sang Buddha sebagai petapa yang tak-terkalahkan. Melalui sarana ketrampilannya, Beliau dapat menjinakkan dan mengubah bahkan raksasa yang paling ganas dan menakutkan sekalipun, seperti misalnya Suciloma (10:3) dan Alavaka (10:12). Samyutta ini juga mencakup dua kisah yang menarik mengenai yakkha-yakkha perempuan – makhluk-makhluk halus kepalaran – yang menghantui pinggiran Hutan Jeta. Karena amat tersentuh oleh khotbah-khotbah Sang Buddha dan pembacaan paritta para bhikkhu, mereka berubah menjadi pengikut awam yang saleh (10: 6, 7). Di Samyutta ini kita juga mendapatkan cerita mengenai pertemuan pertama Anathapindika dengan Sang Buddha, yang diiringi nasihat penuh persahabatan dari yakkha yang tenang (10:8). Di dalam tiga sutta, para yakkha menyampaikan syair-syair yang memuji para bhikkhuni (10:9-11).

11. SAKKASAMYUTTA

Di dalam pemujaan Buddhis awal, Sakka adalah penguasa para dewa di surga Tavatimsa, dan juga pengikut Sang Buddha. Percakapan panjang antara Sakka dan Sang Buddha, yang memuncak dalam pencapaian Sakka sebagai Pemasuk-Arus, dikisahkan di Sakkapanha Sutta (DN No. 20). Samyutta ini tidak mencatat perjumpaan Sang Buddha sendiri dengan Sakka, tetapi memberikan (dalam kata-kata Sang Buddha) penjelasan mengenai tindakan-tindakan dan percakapan –percakapan Sakka. Maka, Sutta-sutta tersebut disajikan sebagai fabel, tetapi fabel yang selalu menyimpan pesan moral. Samyutta ini juga mencakup Dhajagga Sutta yang terkenal (11:3). Di situ, Sang Buddha memuji perenungan para bhikkhu mengenai Tiga Permata – yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha – sebagai obat penawar rasa takut.

Di dalam legenda Buddhis, dewa-dewa Tavatimsa terus menerus diserang oleh asura – para raksasa, makhluk yang besar kekuatan fisiknya dan kasar ambisinya. Para asura berusaha menaklukkan para dewa dan menguasai tempat kediaman mereka. Sakkasamyutta berulang-ulang mengadu Sakka dalam pertempuran melawan pemimpin asura, Vepacitti dan Verocana. Dua sisi terserbut dapat dibaca sebagai symbol filosofi politik alternatif. Para pemimpin asura lebih suka menguasai melalui kekerasan dan pembalasan terhadap musuh; mereka merasionalkan penyerangan dan memuji etika ‘kekuatan membuat benar.’ Sebaliknya, Sakka mewakili penguasaan melalui keluhuran, kesabaran terhadap penyerang, dan perlakuan welas asih terhadap pelaku kesalahan (11:4, 5, 8). Sakka dan dewa-dewa menghormati para petapa dan orang-orang suci, sedangkan para asura menghina mereka. Dengan demikian, para petapa membantu para dewa tetapi mengutuk para asura (11:9, 10).

Di Samyutta ini Sakka muncul sebagai pengikut awam yang ideal. Dia memperoleh tempatnya sebagai pengusa para dewa, sementara dia masih sebagai manusia, dengan cara memenuhi tujuh sumpah yang mencakup standar-standar perumah-tangga yang luhur (11:11). Pemahamannya tentang keunggulan Sang Buddha lebih rendah dibanding pemahaman Brahma Sahampati (11:17). Tetapi di dalam tiga sutta, Sakka secara mengesankan menyatakan alasan-alasan untuk baktinya terhadap Sang Buddha, Sangha, dan bahkan perumah tangga yang penuh bakti (11:18 – 20). Di dalam tiga sutta terakhir, Sang Buddha mengangkat kesabaran dan sikap pemaaf Sakka sebagai model untuk para bhikkhu (11:23 – 25).