Puppharatta Jataka

PUPPHARATTA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Saya tidak menanggapi rasa sakit ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai seorang bhikkhu yang menyesal. Saat ditanya oleh Sang Guru, ia mengakui tentang kelemahannya, menjelaskan bahwa ia merindukan istrinya di masa masih merupakan perumah tangga, “Karena, Bhante,” katanya, “ia begitu manis, saya tidak bisa hidup tanpanya.”

“Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia berbahaya bagimu. Di kehidupan yang lampau ia merupakan penyebab engkau dipancang di kayu sula; karena meratapinya saat engkau meninggal maka engkau terlahir kembali di neraka. Mengapa sekarang engkau menginginkannya lagi?” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

___________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai dewa angin. Di Benares diselenggarakan perayaan malam Kattikā; kota dihiasi seperti sebuah kota dewa, dan semua orang libur. Di kota itu terdapat seorang lelaki miskin yang hanya mempunyai sepasang kain kasar yang telah ia cuci dan peras hingga kain-kain itu menyerupai seratus, tidak, seribu lipatan.

Istrinya berkata kepadanya, “Suamiku, saya menginginkan sepotong kain dengan warna bunga kusumba226 untuk dipakai di bagian luar dan satu lagi untuk dipakai di bagian dalam saat saya menghadiri perayaan itu dengan tanganku yang merangkul lehermu.”

“Bagaimana orang miskin seperti kita bisa memperoleh bunga kusumba?” tanyanya. “Pakailah pakaian yang bagus dan bersih saja, dan ikutlah dalam perayaan.”

“Jika saya tidak bisa mendapatkan mereka dicelup dengan bunga kusumba, saya tidak akan pergi sama sekali,” kata istrinya. “Cari wanita lain saja untuk pergi bersamamu ke perayaan itu.”

“Mengapa engkau menyiksaku seperti ini? Bagaimana kita bisa mendapatkan bunga kusumba?”

“Jika ada keinginan, pasti ada jalan,” jawab istrinya dengan ketus. “Bukankah ada bunga kusumba di taman raja?” [500] “Istriku,” katanya, “taman raja itu seperti kolam yang dihuni oleh raksasa. Tidak mungkin masuk ke dalam, dengan penjagaan yang begitu ketat. Lupakan khayalan itu, dan berpuashatilah dengan apa yang engkau miliki.”

“Saat malam tiba dan telah gelap,” kata istrinya, “apa yang bisa menghentikan seorang lelaki untuk pergi ke tempat yang ia inginkan?”

Sementara ia bersikeras dengan permohonannya itu, rasa cinta membuat suaminya menyerah dan berjanji bahwa istrinya akan mendapatkan apa yang ia inginkan.

Dengan mengambil risiko kehilangan nyawanya sendiri, ia berjalan-jalan di kota saat malam tiba dan masuk ke dalam taman raja dengan merusak pagarnya. Suara yang ia timbulkan saat merusak pagar membangunkan para penjaga, yang segera keluar untuk menangkap pencuri. Dalam waktu singkat ia tertangkap , setelah memukul dan memakinya, mereka menempatkannya dalam kurungan.

Paginya, ia dibawa ke hadapan raja, yang segera memerintahkan agar ia dipasung hidup-hidup. Ia diseret keluar, dengan kedua tangan terikat di punggungnya, dan dibawa keluar dari kota menuju tempat pelaksanaan hukuman diiringi bunyi genderang yang menandakan pelaksanaan hukuman mati, kemudian dipasung hidup-hidup.

Penderitaannya sangat hebat, dan seakan untuk menambahnya, gagak-gagak hinggap di kepalanya dan mematuk matanya dengan paruh mereka yang setajam pisau. Walaupun begitu, tidak peduli pada rasa sakitnya, ia memikirkan istrinya, lelaki ini menggumam sendiri, “Aduh, saya tidak bisa pergi ke perayaan bersamamu yang memakai baju bunga kusumba, dengan tanganmu merangkul di leherku.” Setelah berkata demikian, ia mengucapkan syair berikut ini:—

Saya tidak menanggapi rasa sakit ini,
dipasung di sini; oleh gagak, saya dicabik.
Tetapi hatiku hanya merasa sakit akan hal ini,
bahwa istri saya tidak akan merayakan liburan
dengan memakai pakaian celupan berwarna merah.

Saat bergumam demikian tentang istrinya, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di neraka.

____________________

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Suami istri ini adalah suami istri di masa itu, dan Saya sendiri adalah dewa angin yang membuat cerita mereka dikenal.”

Catatan kaki :

226 Kusumbha; Carthamus tinctorius, “Safflower”.

Leave a Reply 0 comments