BUKU II – DUKANIPĀTA
RĀJOVĀDA-JĀTAKA1
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[1] “Yang kasar dengan kasar,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang bagaimana seorang raja dinasihati.Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Tesakuṇa-Jātaka2.
Diceritakan bahwasanya pada suatu hari Raja Kosala telah menjatuhkan hukuman untuk sebuah kasus yang rumit menyangkut perbuatan salah 3 . Sehabis bersantap, dengan tangannya yang belum kering, dia bergegas naik kereta kerajaannya untuk mengunjungi Sang Guru, memberi hormat kepada-Nya, kaki-Nya indah bagaikan bunga teratai yang mekar, dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Guru menyapanya dengan kata-kata berikut: “Mengapa, Paduka, apa yang membawa Anda ke sini pada jam seperti ini?” “Bhante”, raja berkata, “saya telat karena saya (tadi) menyidangkan sebuah kasus yang rumit, menyangkut perbuatan salah; sekarang saya telah menyelesaikannya dan telah bersantap, dan di sinilah sekarang saya berada, dengan tangan yang belum kering, untuk melayani-Mu.” “Paduka,” jawab Sang Guru, “menghakimi sebuah kasus dengan adil dan tanpa berpihak adalah hal yang benar; itu adalah jalan menuju ke surga. Saat ini, ketika Anda terlebih dahulu telah mendapatkan nasihat dari seorang yang sangat bijaksana seperti diri-Ku, itu tidaklah luar biasa jika Anda mampu menghakimi kasus dengan adil dan tanpa berpihak; tetapi adalah suatu hal yang luar biasa jika raja yang hanya mendapatkan nasihat dari orang pintar yang tidak bijaksana, mampu memutuskan dengan adil dan tanpa berpihak, menghindari empat perbuatan salah dan menjalankan sepuluh kualitas seorang raja 4 . Setelah dengan adil demikian menjalankan pemerintahan, dia menjadi penghuni alam surga di kelahiran berikutnya.” Kemudian, atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
[2] Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dikandung oleh permaisurinya. Setelah upacara-upacara yang sesuai dengan keadaannya telah dilakukan dengan benar5, dia kemudian melahirkan dengan selamat. Pada hari pemberian nama, nama yang diberikan oleh mereka kepadanya adalah Pangeran Brahmadatta.Seiring berjalannya waktu, pangeran pun beranjak dewasa, dan pada usianya yang keenambelas, dia pergi ke Takkasilā (Takkasila)6 untuk memperoleh pendidikannya; tempat dia menguasai semua ilmu pengetahuan. Sepeninggal ayahnya, dia menjadi raja sebagai penggantinya dan memerintah dengan adil dan tanpa berpihak, memberikan keadilan tanpa dikaitkan dengan kemauan dan kehendaknya sendiri. Dan karena dia memerintah dengan adil, menteri-menterinya juga bertindak adil dalam tugas mereka. Dengan demikian, ketika semuanya dilakukan dengan adil, maka tidak ada satu pun yang membawa perkara salah ke pengadilan. Tidak lama kemudian, tidak ada kasus penuntutan di daerah sekitar kerajaan; seharian penuh, menteri-menteri itu duduk di bangku dan pergi tanpa melihat seorang penuntut pun. Pengadilan-pengadilan pun menjadi kosong.
Kemudian Bodhisatta berpikir dalam dirinya sendiri, “Disebabkan oleh pemerintahan saya yang adil, tidak seorang penuntut pun datang untuk mengajukan perkara di pengadilan; kebisingan-kebisingan sekarang menjadi kesunyian; pengadilan hukum menjadi kosong. Sekarang saya harus mencari (tahu) apakah saya mempunyai kesalahan dalam diri saya sendiri; jika saya menemukannya, saya akan menghindarinya dan menjalani kehidupan yang baik di kehidupan berikutnya.” Sejak saat itu, dia mencoba berulang-ulang kali untuk menemukan seseorang yang akan memberitahukannya sebuah kesalahan, tetapi dari semua yang bertemu dengannya dalam pengadilan, dia tidak dapat menemukan satu orang pun; Tidak ada yang didengarkannya, selain kebaikan tentang dirinya sendiri. “Mungkin,” dia berpikir, “mereka semua sangat takut padaku sehingga mereka tidak mengatakan yang buruk tentang diriku, hanya yang baik,” dan kemudian dia pergi untuk mencoba orang-orang yang berada di luar istananya, tetapi dengan cara ini, hasilnya tetap sama.
Kemudian dia menanyakannya kepada seluruh penduduknya secara umum, dan di luar kota, dia bertanya kepada orang orang yang tinggal di pinggiran kota, di keempat pintu gerbang. Masih saja tidak ada seorang pun yang menemukan kesalahannya; tidak ada apa pun, kecuali pujian yang dapat dia dengarkan. Pada akhirnya, dengan tujuan untuk mencoba di daerah perkampungan (perdesaan), dia mempercayakan semua pemerintahan kepada menteri-menterinya, dan setelah menaiki keretanya, hanya membawa seorang kusir bersamanya, dia meninggalkan kota dengan menyamar. Semua desa dilintasinya, bahkan sampai ke bagian perbatasan; [3] tetapi tidak ditemukan seorang pun yang memberitahukan kesalahannya, semua yang didapatkannya hanyalah pujian tentang dirinya. Maka dari itu, dia berbalik dari perjalanannya dan pulang dengan melewati jalan raya.
Pada saat yang bersamaan, Mallika, Raja Kosala, melakukan hal yang sama. Dia juga adalah seorang raja yang adil, dan dia telah mencari kesalahan-kesalahannya, tetapi di antara semua orang yang ditanyanya, tidak ada satu pun yang memberitahukan kesalahannya; dan tidak ada apa pun yang terdengar, kecuali pujian. Dia telah bertanya ke seluruh perdesaan, kemudian kembali ke tempat yang sama.
Kedua orang ini bertemu, di jalan tempat kereta (Raja Benares) terperosok di antara kedua sisinya, dan tidak ada ruang bagi satu kereta untuk mendahuluinya.
“Bawalah kereta Anda keluar dari jalan!” kata kusir dari Raja Mallika kepada kusir dari Raja Benares.
“Tidak, tidak, Kusir,” katanya, keluarlah dari jalan dengan keretamu! Ketahuilah bahwa yang duduk di dalam kereta ini adalah Raja Bramadatta yang sangat agung, raja dari Kerajaan Benares!”
“Tidak begitu, Kusir!” balas kusir yang satunya lagi, “yang duduk di dalam kereta ini adalah Raja Mallika yang agung, raja dari Kerajaan Kosala! Itu adalah tugas Anda untuk keluar dari jalan dan memberi jalan kepada kereta raja kami!”
“Mengapa demikian, di sini juga adalah seorang raja,” pikir kusir Raja Benares. “Apa yang harus dilakukan?” Kemudian dia mendapatkan sebuah ide, dia akan bertanya tentang umur dari kedua raja, sehingga yang lebih muda seharusnya memberi jalan kepada yang lebih tua. Dan dia bertanya kepada kusir yang lain, berapakah umur rajanya, tetapi dia mendengar bahwa mereka berdua memiliki umur yang sama. Maka dari itu, dia menanyakan sejauh mana kekuasaan, kekayaan dan kemuliaan rajanya, serta semua hal mengenai kasta, suku, dan keluarganya. Dia kemudian mengetahui bahwa mereka berdua sama-sama memiliki sebuah kerajaan dengan luas tiga ratus yojana dan bahwasanya mereka sama dalam kekuasaan, kekayaan dan kemuliaan, serta kasta, suku, dan keluarga mereka. Kemudian dia berpikir bahwa tempat itu seharusnya diberikan kepada orang yang lebih baik; Maka dia meminta kepada kusir yang lain untuk menjelaskan kebajikan dari tuannya. Kusir Raja Kosala membalas dengan bait pertama dari syair berikut, dengan memaparkan kesalahan-kesalahan rajanya seolah-olah sebagai kebajikan-kebajikannya.—
[4] “Oh,” kata kusir Raja Benares, “inikah semua yang dapat Anda katakan tentang kebajikan raja Anda?” “Iya,” kata yang lainnya.—“Jika semua ini adalah kebajikannya, bagaimana dengan keburukannya?” “Keburukannya akan dijelaskan nanti,” katanya, “jika Anda memintanya; tetapi (sekarang) biarlah kami dengar seperti apakah kebajikan raja Anda!” “Kalau begitu, dengarkanlah,” dia menghubungkannya dengan yang pertama, dan mengulangi bait kedua berikut:—Yang kasar dengan kasar, Raja Mallika mengatasi yang halus dengan halus,
mengatasi yang baik dengan kebaikan, dan yang buruk dengan keburukan.
Berikanlah jalan, berikanlah jalan, wahai Kusir!
Demikianlah jalan raja ini!
Dia menaklukkan amarah dengan cinta kasih,
mengalahkan kejahatan dengan kebajikan,
mengalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan mengalahkan kebohongan dengan kejujuran7.
Berikanlah jalan, berikanlah jalan, wahai Kusir!
Demikianlah jalan raja ini!
Setelah mendengar kata-kata ini, Raja Mallika dan kusirnya turun dari kereta mereka, melepaskan kuda-kudanya, dan bergerak dari tempatnya, untuk memberi jalan kepada Raja Benares. Kemudian Raja Benares memberikan nasihat yang baik kepada Raja Mallika, dengan berkata, “Demikianlah [5] yang harus Anda lakukan.” Setelah itu, dia kembali ke Benares. Kemudian dia memberikan derma (dana), melakukan kebajikan sepanjang hidupnya, yang akhirnya membuat dia terlahir kembali di alam surga. Raja Mallika selalu mengingat nasihatnya di dalam hati, dan setelah menjelajahi panjang dan lebar dari tanah kerajaannya, dia tidak menemukan siapa pun yang memberitahukan kesalahannya, kemudian kembali ke kerajaannya sendiri, tempat dia memberikan derma dan melakukan kebajikan sepanjang hidupnya sampai akhirnya dia terlahir kembali di alam surga.
____________________
Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraian ini, yang dimulai-Nya untuk memberikan nasihat kepada Raja Kosala, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Moggallāna adalah kusir Raja Mallika, Ānanda adalah rajanya, Sāriputta adalah kusir Raja Benares, dan diri-Ku sendiri adalah rajanya.”
____________________
Catatan Kaki :
1 Fausbøll, Ten J., hal. 1 and 57; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, hal. XXII. Debat yang sama antara dua pemusik terjadi di Kalevala (terjemahan Crawford, I. hal. 30). Pemusik yang lebih muda dengan galaknya bergerak ke arah pemusik yang lebih tua, yang berkata–“Anda seharusnya memberi jalan kepadaku, karena saya lebih tua.” “Apakah hubungannya?” kata yang lebih muda; “Biarkan yang kurang bijak memberi jalan.” Di sana mereka berdiri dan masing-masing menceritakan kisah-kisahnya sebagai cara untuk memutuskan masalah tersebut.
2 No. 521.
3 Teks di bahasa Pali tertulis agatigataṁ.
4 dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
5 “perlindungan terhadap embrio”, pastinya adalah upacara-upacara gaib.
6 Kota Universitas yang terkenal di India; berada di Punjab (Τάξιλα).
7 Dhammapada, syair 223.