Satipatthana Sutta

SATIPATTHANA SUTTA

Sumber: Aneka Sutta, Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma,
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992

Demikianlah telah kudengar:

Pada suatu hari Sang Bhagava berada di antara suku Kuru di kota Kammassadhamma. Ketika itu Beliau bersabda kepada para bhikkhu: “O bhikkhu, terdapat jalan untuk membuat manusia menjadi suci; terbebas dari kesedihan, duka-cita dan melenyapkan penderitaan dan kesengsaraan dengan menempuh jalan yang benar sehingga dapat merealisasi Nibbana. Jalan ini dengan melaksanakan EMPAT PERHATIAN BENAR.
Apakah yang dinamakan empat perhatian benar itu?

  • Dalam hal ini seorang bhikkhu harus melakukan perenungan terhadap TUBUH (kayanupassana), dengan tekun, selalu sadar dan penuh perhatian mengamat-amati ketamakan dan kesedihan dalam dirinya.
  • Ia harus melakukan perenungan terhadap PERASAAN (vedananupassana), dengan tekun, selalu sadar dan penuh perhatian mengamat-amati ketamakan dan kesedihan dalam dirinya.
  • Ia harus melakukan perenungan terhadap KESADARAN (cittanupassana), dengan tekun, selalu sadar dan penuh perhatian mengamat-amati ketamakan dan kesedihan dalam dirinya.
  • Ia harus melakukan perenungan terhadap BENTUK-BENTUK PIKIRAN (dhammanupassana), dengan tekun, selalu sadar dan penuh perhatian mengamat-amati ketamakan dan kesedihan dalam dirinya.

I. PERHATIAN TERHADAP TUBUH

O bhikkhu, bagaimana caranya seorang bhikkhu merenung tentang tubuhnya sendiri? Di sini seorang bhikkhu yang berdiam di hutan atau di bawah pohon atau di tempat yang sunyi harus duduk bersila, badan tegak, mengembangkan perhatian benar.

Dengan penuh kesadaran ia menarik napas panjang, ia tahu: ‘Aku menarik napas panjang.’ Apabila ia mengeluarkan napas panjang, ia tahu: ‘Aku mengeluarkan napas panjang.’

Apabila ia menarik napas pendek, ia tahu: ‘Aku menarik napas pendek.’ Apabila ia mengeluarkan napas pendek, ia tahu: ‘Aku mengeluarkan napas pendek.”

Ia melatih diri dengan berpikir: ‘Aku akan menarik napas dengan menyadari seluruh gerak pernapasanku.’ Ia melatih diri dengan berpikir: ‘Aku akan mengeluarkan napas dengan menyadari seluruh gerak pernapasanku.’

Ia melatih diri dengan berpikir: ‘Aku akan menarik napas dengan seluruh badanku relax.’ Ia melatih diri dengan berpikir: ‘Aku akan mengeluarkan napas dengan seluruh badanku relax.’

Dapat diumpamakan sebagai seorang pesenam di atas besi palang, ketika sedang melakukan ayunan panjang ia mengetahui dengan jelas:

‘Aku melakukan ayunan yang panjang.’ Atau apabila ia melakukan ayunan yang pendek ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku melakukan ayunan yang pendek.’

Hal yang sama harus dilakukan oleh seorang bhikkhu bila menarik napas panjang, ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku menarik napas panjang’; … atau, bila menarik napas pendek ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku menarik napas pendek’.

Ia melatih diri dengan berpikir: ‘Aku akan menarik napas dengan menyadari seluruh gerak pernapasanku.’ … aku akan mengeluarkan napas dengan menyadari seluruh gerak pernapasanku.’

Dengan cara demikian ia merenung dengan melihat ke dalam tubuhnya sendiri, melihat tubuhnya dari luar dan melihat ke dalam tubuhnya sendiri lalu melihat tubuhnya dari luar secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan tubuh ini; atau ia merenung tentang hancurnya kembali tubuh ini, atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan hancurnya kembali tubuh ini secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah sebuah tubuh’, dan perhatiannya itu diberikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Selanjutnya, O bhikkhu, apabila ia berjalan, ia harus mengetahui: ‘Aku berjalan’: atau apabila ia berbaring, ia mengetahui: ‘Aku berbaring.’ Dengan demikian gerakan apapun juga yang dilakukan tubuhnya, harus disadari dan diketahui.

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya dengan melihat ke dalam, melihat dari luar dan melihat dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan tubuh ini; atau … berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan hancurnya kembali tubuh ini secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah sebuah tubuh’, dan perhatiannya itu diberikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar tentang tubuhnya.

Kemudian, O bhikkhu, bhikkhu itu harus mengetahui dengan jelas, apabila ia bergerak maju atau bergerak mundur; apabila ia melihat ke depan atau menoleh ke kiri dan ke kanan … apabila ia menekuk tangannya atau membentangkan tangannya … apabila ia memakai jubah luar, jubah dalam atau membawa mangkuk untuk mengumpulkan makanan … apabila ia sedang makan, minum, mengunyah, menelan … apabila ia sedang melakukan kebutuhan biologisnya (buang air besar dan kecil) ….. apabila ia berjalan, berdiri, duduk, berbaring, bangun dari tidur, berbicara, diam; semua itu harus diketahuinya dengan jelas.

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya dengan melihatnya ke dalam, melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan tubuh ini; atau … berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali tubuh ini secara bergantian.

Dan ia berpikir: ‘Ini adalah tubuh’, dan perhatiannya itu diberikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

‘Kemudian, O bhikkhu, bhikkhu itu harus mengamat-amati tubuhnya sendiri yang terdiri dari berbagai macam unsur yang kotor dibungkus oleh kulit; dari telapak kaki ke atas dan dari pucuk rambut ke bawah; tubuh ini yang terdiri dari rambut di kepala, rambut di badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat-urat, tulang-belulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput, limpa, paru-paru, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, ludah, cairan tubuh, air seni.’

O bhikkhu, seperti juga sebuah karung dengan dua lobang yang diisi dengan berbagai macam padi-padian seperti gabah, padi, ketan, kacang, jemawut, beras; dan seorang yang mempunyai penglihatan tajam menuang karung itu dan segera dapat mengenal benda-benda yang keluar dari karung: ‘Ini gabah, ini padi, ini ketan, ini kacang, ini jemawut dan ini beras.’

Demikian pula halnya dengan seorang bhikkhu yang mengamat-amati tubuhnya sendiri yang terdiri dari berbagai macam unsur yang kotor yang dibungkus oleh kulit; dari telapak kaki ke atas … air seni.’

Dan ia berpikir: ‘Ini adalah sebuah tubuh.’ … berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Kemudian, O bhikkhu, bhikkhu itu harus mengetahui dengan jelas susunan tubuhnya mengenai unsur-unsur yang menjadikannya dengan berpikir: ‘Tubuh ini terdiri dari unsur padat, unsur cair, unsur panas dan unsur angin (gerak).’

O bhikkhu, seperti juga seorang jagal, setelah menyembelih seekor lembu dan memperlihatkan bangkainya sambil duduk di persimpangan jalan, demikian pula seorang bhikkhu harus merenung tentang unsur-unsur yang menjadi bagian dari tubuhnya: ‘Di tubuhku juga terdapat unsur padat, unsur cair, unsur panas dan unsur angin (gerak).’

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya dengan melihatnya ke dalam, melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan tubuh ini, atau … berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali tubuh ini secara bergantian.

Dan ia berpikir: ‘Ini adalah sebuah tubuh’, dan perhatiannya itu diberikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Setelah itu, O bhikkhu, ia mungkin melihat mayat di kuburan, meninggal satu hari berselang, dua hari atau tiga hari berselang; sudah membengkak, berwarna kebiru-biruan dan mulai membusuk. Kemudian ia mengamat-amati tubuhnya sendiri sambil merenung: ‘Tubuh ini pun sifat dan kondisinya sama dan tidak dapat terhindar dari hal yang serupa.”

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya … dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Setelah itu, O bhikkhu, ia mungkin melihat mayat di sebuah kuburan, dicabik-cabik dan dilahap oleh burung-burung pemakan bangkai, anjing hutan atau oleh belatung-belatung. Kemudian ia mengamat-amati tubuhnya sendiri sambil merenung: ‘Tubuh ini pun sifat dan kondisinya sama dan tidak dapat terhindar dari hal yang serupa.

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya … dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Setelah itu, O bhikkhu, ia mungkin melihat mayat di kuburan yang berupa sebuah tengkorak dengan sedikit daging dan kulit tetapi masih terangkai oleh urat-urat; … tanpa daging dan berlumuran darah, yang masih terangkai oleh urat-urat; … tanpa daging dan darah namun masih terangkai oleh urat-urat; … atau tulang belulang yang berserakan; di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang belakang, di sini tengkorak kepala.
Kemudian ia mengamat-amati tubuhnya sendiri … Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya … dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

Dan kemudian, O bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin melihat sebuah tengkorak yang dilempar di kuburan; tulang-belulang yang sudah memutih seperti kulit keong … setumpuk tulang-belulang yang kering berusia satu tahun … tulang-belulang yang sudah rapuh dan menjadi abu.
Kemudian ia memusatkan pikirannya kepada tubuhnya sendiri sambil merenung: ‘Tubuh ini pun sifat dan kondisinya sama dan tidak dapat terhindar dari hal yang serupa.’

Dengan demikian ia merenung tentang tubuhnya dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan tubuh ini; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali tubuh ini, atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan hancurnya kembali tubuh ini secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah sebuah tubuh’, dan perhatiannya ia berikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada tubuhnya itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap tubuhnya.

II. PERHATIAN TERHADAP PERASAAN

Dan sekarang, O bhikkhu, bagaimanakah seorang bhikkhu harus merenung dengan perhatian benar terhadap perasaannya?

Di sini, O bhikkhu, apabila ia mengalami perasaan menyenangkan ia harus mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan yang menyenangkan’; apabila ia mengalami perasaan yang tidak menyenangkan ia juga harus mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan yang tidak menyenangkan.’ Apabila ia mengalami perasaan yang netral (bukan menyenangkan dan juga bukan tidak menyenangkan) ia harus mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan yang netral.’

Apabila ia mengalami perasaan yang menyenangkan terhadap suatu benda yang berbentuk … menyenangkan terhadap benda yang tidak berbentuk … ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan yang menyenangkan terhadap benda yang berbentuk … benda yang tidak berbentuk.’

Apabila ia mengalami perasaan yang tidak menyenangkan terhadap suatu benda yang berbentuk … tidak menyenangkan terhadap benda yang tidak berbentuk … ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan yang tidak menyenangkan terhadap benda yang berbentuk … benda yang tidak berbentuk.’

Apabila ia mengalami perasaan yang netral ia mengetahui dengan jelas: ‘Aku mengalami perasaan netral.’

Dengan demikian ia merenung tentang perasaannya dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan perasaan itu; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali perasaan itu; atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali perasaan itu secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah perasaan’, dan perhatiannya ia berikan hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagian pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada perasaan itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap perasaannya.

III. PERHATIAN TERHADAP KESADARAN

Dan sekarang, O bhikkhu, bagaimanakah seorang bhikkhu harus merenung dengan perhatian benar terhadap kesadarannya?

Di sini, O bhikkhu, bhikkhu itu secara intuisi dapat menyadari adanya keserakahan (lobha) sebagai kesadaran yang diliputi keserakahan … tidak adanya keserakahan (alobha) sebagai kesadaran yang tidak diliputi keserakahan.
Secara intuisi bhikkhu itu dapat menyadari adanya kebencian (dosa) sebagai kesadaran yang diliputi kebencian … tidak adanya kebencian sebagai kesadaran yang tidak diliputi kebencian (adosa).

Secara intuisi bhikkhu itu dapat menyadari adanya kegelapan batin (moha) sebagai kesadaran yang diliputi kegelapan batin … tidak adanya kegelapan batin sebagai kesadaran yang tidak diliputi oleh kegelapan batin (amoha).

Secara intuisi bhikkhu itu dapat menyadari adanya kebingungan sebagai kesadaran yang diliputi kebingungan. … dapat menyadari adanya kemalasan sebagai kesadaran yang diliputi kemalasan. … dapat menyadari adanya cita-cita besar sebagai kesadaran yang diliputi cita-cita besar. … dapat menyadari tidak adanya cita-cita besar sebagai kesadaran yang tidak diliputi cita-cita besar. … dapat menyadari adanya cita-cita yang kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah sebagai kesadaran yang kadang-kadang diliputi cita-cita tinggi dan kadang-kadang diliputi cita-cita rendah. … dapat menyadari adanya ketenangan sebagai kesadaran yang diliputi ketenangan. … dapat menyadari adanya ketidaktenangan sebagai kesadaran yang diliputi ketidaktenangan. … dapat menyadari adanya kebebasan sebagai kesadaran yang diliputi kebebasan. … dapat menyadari adanya ketidakbebasan sebagai kesadaran yang diliputi ketidakbebasan.

Dengan demikian ia merenung tentang kesadaran dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan kesadaran itu; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali kesadaran itu; atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali kesadaran itu secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah kesadaran’, dan perhatiannya ia berikan hanya sampai pada tingkat mengetahui, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada kesadaran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap kesadaran.

IV. PERHATIAN TERHADAP BENTUK-BENTUK PIKIRAN

Dan sekarang, O bhikkhu, bagaimanakah seorang bhikkhu melakukan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran?

Di sini, O bhikkhu, bhikkhu itu melakukan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Lima Rintangan (Nivarana).

Apabila terdapat nafsu keinginan dalam dirinya (kamacchanda), bhikkhu itu harus mengetahui dengan jelas bahwa dalam dirinya terdapat nafsu keinginan; atau apabila dalam dirinya tidak terdapat nafsu keinginan, ia pun mengetahui dengan jelas bahwa dalam dirinya tidak terdapat nafsu keinginan.

Apabila nafsu keinginan yang belum ada dalam dirinya timbul, bhikkhu itu juga mengetahuinya dengan jelas. Demikian pula apabila suatu nafsu keinginan lenyap dari dirinya, hal inipun diketahui dengan jelas oleh bhikkhu tersebut. Begitu pula apabila suatu nafsu keinginan di kemudian hari tidak akan timbul kembali ia pun dapat mengetahuinya dengan jelas.

Apabila suatu keinginan tidak baik (vyapada) ada dalam dirinya, ia mengetahui dengan jelas bahwa keinginan tidak baik ada dalam dirinya. … atau apabila kemalasan dan kelesuan (thinamiddha) ada dalam dirinya, ia mengetahuinya dengan jelas. … atau apabila kegelisahan dan kecemasan (uddhacca-kukkucca) ada dalam dirinya, ia mengetahuinya dengan jelas.
Atau apabila keragu-raguan (vicikiccha) ada dalam dirinya, ia mengetahuinya dengan jelas. Dan apabila keragu-raguan tidak ada dalam dirinya, ia mengetahuinya dengan jelas. Demikian pula apabila suatu keragu-raguan timbul dalam dirinya, yang sebelumnya tidak pernah ada, hal inipun diketahuinya dengan jelas.
Begitu pula dengan lenyapnya keragu-raguan dalam dirinya ia mengetahuinya dengan jelas. Selanjutnya bahwa di kemudian hari tidak lagi akan muncul keragu-raguan, inipun dapat ia ketahui dengan jelas.

Dengan demikian ia merenung tentang bentuk-bentuk pikiran dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar dan melihatnya dari sudut kedua-duanya secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk pikiran; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali bentuk-bentuk pikiran itu; atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya bentuk-bentuk pikiran itu secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah bentuk-bentuk pikiran’, dan perhatiannya hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada bentuk pikiran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Lima Rintangan.

Dan beginilah seorang bhikkhu melakukan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Lima Khanda (Lima Kelompok Kegemaran).

Di sini bhikkhu itu berpikir: ‘Beginilah benda-benda yang berbentuk (rupa); beginilah benda itu timbul dan beginilah benda itu lenyap kembali.

Beginilah perasaan (vedana); beginilah perasaan itu timbul dan beginilah perasaan itu lenyap kembali.

Beginilah pencerapan (sanna); beginilah pencerapan itu timbul dan beginilah pencerapan itu lenyap kembali.

Beginilah pikiran (sankhara); beginilah pikiran itu timbul dan beginilah pikiran itu lenyap kembali.

Beginilah kesadaran (vinnana); beginilah kesadaran itu timbul dan beginilah kesadaran itu lenyap kembali.

Dengan demikian ia merenung tentang bentuk-bentuk pikiran … dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada bentuk-bentuk pikiran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Lima Khandha.

Dan beginilah seorang bhikkhu melakukan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Enam Landasan Indriya.

Di sini bhikkhu itu tahu tentang adanya mata dan obyek yang dapat dilihat oleh mata serta belenggu yang dapat ditimbulkan oleh mata dan obyeknya itu; dan ia tahu timbulnya belenggu yang sebelumnya tidak ada, dan ia tahu lenyapnya kembali belenggu yang telah timbul, dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Ia tahu tentang adanya telinga dan suara yang dapat didengar oleh telinga serta belenggu … dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Ia tahu tentang adanya hidung dan bebauan yang dapat dicium oleh hidung serta belenggu … dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Ia tahu tentang adanya lidah dan rasa yang dapat dikecap oleh lidah serta belenggu … dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Ia tahu tentang adanya badan jasmani yang dapat merasa sentuhan-sentuhan serta belenggu … dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Ia tahu tentang adanya pikiran yang dapat menangkap obyek-obyek mental serta belenggu … dan ia tahu belenggu yang lenyap itu di kemudian hari tidak akan timbul kembali.

Dengan demikian ia merenung tentang bentuk-bentuk pikiran … dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada bentuk-bentuk pikiran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Enam Landasan Indriya.

Dan selanjutnya, O bhikkhu, seorang bhikkhu harus merenungkan bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Tujuh Faktor Penerangan Agung.

Di sini bhikkhu itu tahu bila Perhatian Benar (sati) sebagai faktor Penerangan Agung ada dalam dirinya; begitu juga ia dapat mengetahui dengan jelas apabila faktor Perhatian Benar itu tidak ada dalam dirinya; selanjutnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor perhatian Benar itu yang sebelumnya tidak ada, timbul; akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Perhatian Benar telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Menyelidiki Dhamma timbul dalam dirinya; … akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apa-bila faktor Menyelidiki Dhamma telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Semangat (viriya) timbul dalam dirinya; … akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Semangat telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Kegiuran (piti) timbul dalam dirinya; … akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Kegiuran telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Ketenangan (passaddhi) timbul dalam dirinya; … akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Ketenangan telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Konsentrasi Benar (samadhi) timbul dalam dirinya; … akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Konsentrasi Benar telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Bhikkhu itu kemudian dapat mengetahui dengan jelas, bila faktor Keseimbangan Batin (upekkha) ada dalam dirinya; begitu juga ia dapat mengetahui dengan jelas apabila faktor Keseimbangan Batin tidak ada dalam dirinya; selanjutnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas bila faktor Keseimbangan Batin itu yang sebelumnya tidak ada, timbul; akhirnya ia pun dapat mengetahui dengan jelas, apabila faktor Keseimbangan Batin telah berkembang dengan sempurna dalam dirinya.

Dengan demikian ia merenung tentang bentuk-bentuk pikiran dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar, dan kadang-kadang melihat dari dalam dan kadang-kadang melihatnya dari luar secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk pikiran; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali bentuk-bentuk pikiran itu, atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali bentuk-bentuk pikiran itu secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah bentuk-bentuk pikiran’, dan perhatiannya hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada bentuk-bentuk pikiran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Tujuh Faktor Penerangan Agung.

Dan selanjutnya, O bhikkhu, seorang bhikkhu harus merenungkan bentuk-bentuk pikiran dalam hubungannya dengan Empat Kesunyataan Mulia.

Di sini bhikkhu itu harus merenungkan hal yang nyata dan tidak dapat dibantah lagi: ‘Hidup dalam bentuk apapun juga adalah Dukkha.’

Ia harus merenungkan hal yang nyata dan tidak dapat dibantah lagi: ‘Tanha yang menyebabkan timbulnya Dukkha.’

Ia harus merenungkan hal yang nyata dan tidak dapat dibantah lagi: ‘Inilah (Nibbana) akhir dari Dukkha.’

Selanjutnya ia harus merenungkan hal yang nyata dan tidak dapat dibantah lagi: ‘Inilah Jalan menuju lenyapnya Dukkha.’

Dengan demikian ia merenung tentang bentuk-bentuk pikiran dengan melihatnya ke dalam dan melihatnya dari luar, dan kadang-kadang melihat dari dalam dan kadang-kadang melihatnya dari luar secara bergantian.

Atau ia berdiam dalam perenungan tentang apa yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk pikiran; atau ia merenung tentang lenyapnya kembali bentuk-bentuk pikiran itu; atau ia berdiam dalam perenungan tentang timbulnya dan lenyapnya kembali bentuk-bentuk pikiran itu secara bergantian.

Atau ia berpikir: ‘Ini adalah bentuk pikiran’, dan perhatiannya hanya sampai pada tingkat menyadari, hanya sebagai pengenalan belaka; dan ia meneruskan perenungannya dengan tidak menggantungkan diri atau melekat kepada bentuk pikiran itu. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu yang berdiam dalam perenungan dengan perhatian benar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang ada hubungannya dengan Empat Kesunyataan Mulia.

O bhikkhu, siapa saja yang melaksanakan perenungan Empat Perhatian Benar ini selama tujuh tahun, dapat mengharapkan akan memperoleh salah satu dari dua hasil ini: Ia akan memperoleh Penerangan Sempurna sekarang juga atau, apabila masih terdapat sisa keinginan untuk terlahir di alam dewa yang tinggi, ia akan mencapai tingkat kesucian Anagami (Orang suci yang tak akan terlahir lagi sebagai manusia di dunia ini).

O bhikkhu, sebenarnya tidak usah selama tujuh tahun. Mereka yang melaksanakan perenungan Empat Perhatian Benar ini selama enam tahun, lima tahun, empat tahun, tiga tahun, dua tahun, satu tahun; mereka juga dapat mengharapkan salah satu dari dua hasil ini: Ia akan memperoleh Penerangan Sempurna sekarang juga atau, apabila masih terdapat sisa keinginan untuk terlahir di alam dewa ia akan mencapai kesucian Anagami.

O bhikkhu, sebenarnya tidak usah satu tahun. Mereka yang melaksanakan perenungan Empat Perhatian Benar ini selama tujuh bulan; ia juga dapat mengharapkan salah satu dari dua hasil ini: Ia akan memperoleh Penerangan Sempurna sekarang juga atau, apabila masih terdapat sisa keinginan untuk terlahir di alam dewa ia akan mencapai tingkat kesucian Anagami.

O bhikkhu, sebenarnya tidak usah setengah bulan, mereka yang melaksanakan perenungan Empat Perhatian Benar selama tujuh hari akan memperoleh Penerangan Sempurna sekarang juga atau, apabila masih terdapat sisa keinginan untuk terlahir di alam dewa ia akan mencapai tingkat kesucian Anagami.

Apa yang diuraikan di atas ada hubungannya dengan sabda-Ku:
‘Ini adalah satu-satunya Jalan untuk memperoleh Kehidupan Suci dan melenyapkan kesedihan dan ratap-tangis, penderitaan dan kesengsaraan; Jalan yang benar untuk merealisasikan Nibbana. Yang dimaksud adalah pelaksanaan dari Empat Perhatian Benar.'”