No. 463
SUPPARAKA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Laki-laki dengan ujung pisau,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang kesempurnaan pengetahuan.
Dikatakan bahwa pada suatu sore hari, para bhikkhu sedang menunggu kedatangan Sang Tathagata untuk memberikan khotbah kepada mereka, dan di saat mereka sedang duduk di dhammasabhā, mereka berbicang satu sama lain, “Sesungguhnya, Āvuso, Sang Guru memiliki kebijaksanaan yang agung! kebijaksanaan yang luas! kebijaksanaan yang siap, kebijaksanaan yang cepat! kebijaksanaan yang tajam! kebijaksanaan yang menembus batas! Kebijaksanaan-Nya yang tepat muncul di saat tepat pula; seluas dunia, seperti samudera yang tidak terduga luasnya, seperti luasnya alam Surga yang terbentang: di seluruh India tidak ada orang bijak yang dapat menandingi Dasabala. Seperti ombak di lautan yang tidak dapat mencapai daratan, walaupun dapat mencapai daratan, ia akan hancur; [137] jadi tidak ada manusia yang dapat menandingi kebijaksanaan Dasabala, walaupun ada, ia akan kalah di bawah kaki Sang Guru.”
Sang Guru masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan, para bhikkhu?” Mereka memberitahu beliau.
Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini Sang Tathagata penuh dengan kebijaksanaan, tetapi juga di masa lampau di saat pengetahuannya belum masak, ia sudah menjadi bijak. Walaupun ia buta pada waktu itu, tetapi ia dapat mengetahui dari tanda-tanda lautan bahwa di sana ada permata yang tersembunyi.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, seorang raja yang bernama Bharu berkuasa di kerajaan Bharu.
Ada sebuah kota pelabuhan yang disebut Bharukaccha, atau Rawa dari kerajaan Bharu.
Waktu itu, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang kapten kapal di sana; ia adalah orang yang ramah dan memiliki warna kulit coklat keemasan. Mereka memberinya nama Suppāraka-kumāra. Ia tumbuh besar dengan keistimewaan yang besar pula, bahkan ketika ia berusia tidak lebih dari enam belas tahun, ia telah menguasai semua ilmu bahari.
Setelah ayahnya meningggal, ia menjadi kapten kapal dan melakukan panggilan tugas seorang pelaut. Ia adalah orang yang bijak dan pandai. Dengan adanya ia di atas kapal, tidak ada kapal yang rusak.
Satu waktu ia kehilangan indera penglihatannya karena terjadi insiden yang tidak diduga dan ia terluka oleh air laut yang asin. Setelah kejadian ini, ia tidak melakukan perdagangan laut meskipun ia masih menjadi kepala pelaut; tetapi ia memutuskan untuk melayani raja dan ia pun mendekati raja untuk tujuan itu. Dan raja memberikannya kedudukan di bagian juru taksir atau penilai. Mulai saat itu, ia menilai harga dari gajah, kuda, mutiara dan permata pilihan.
Suatu hari, seekor gajah dibawa kepada raja, yang berwarna hitam, untuk dijadikan sebagai gajah kerajaan. Raja menatapnya sekali dan kemudian memerintahkan untuk menunjukkannya kepada laki-laki bijak tersebut. Mereka pun membawa gajah itu ke hadapannya. Laki-laki itu meletakkan tangannya di badan gajah dan berkata, “Gajah ini tidak cocok untuk menjadi gajah kerajaan. Gajah ini memiliki cacat di belakangnya. Di saat induknya ingin membawanya, ia tidak dapat menahan beban anaknya ini di atas bahunya sehingga ia menjatuhkannya ke tanah, dan karena itulah ia mengalami cacat di kaki belakangnya.” Mereka menanyakan kepada orang yang membawa gajah ini; dan mereka mengatakan bahwa laki-laki bijak itu mengatakan hal yang sebenarnya. [136] Ketika raja mendengar ini, ia menjadi senang dan memerintahkan untuk memberikan delapan keping uang kepadanya.
Di hari berikutnya, seekor kuda dibawa kepada raja untuk dijadikan sebagai kuda kerajaan. Kuda tersebut juga dikirimkan kepada laki-laki bijak itu. Ia menyentuh kuda dengan tangannya, kemudian berkata, “Ini tidak cocok untuk menjadi kuda kerajaan. Di saat ia lahir, induknya mati. Dan karena kekurangan air susu dari ibunya, ia tidak tumbuh dengan sehat.” Perkataannya kali ini juga benar. Ketika raja mendengar ini, ia menjadi senang dan memberikannya hadiah berupa delapan keping uang lagi.
Hari berikutnya, sebuah kereta kuda dibawa untuk dijadikan sebagai kereta kuda kerajaan. Raja juga mengirimkannya kepada laki-laki tersebut. Ia menyentuhnya dengan tangan, kemudian berkata, “Kereta ini dibuat dari kayu yang keropos. Oleh karenanya, ia tidak cocok dijadikan kereta untuk raja.” Perkataannya ini juga benar, sama seperti yang sebelumnya. Ketika raja mendengar ini, ia juga menjadi senang dan kembali memberikannya delapan keping uang.
Kemudian mereka membawakan sebuah permadani yang mahal harganya, yang kemudian dikirim oleh raja kepada laki-laki bijak tersebut. Ia menyentuh permadani dengan tangannya dan berkata, “Ada satu lubang di sini yang digigit oleh tikus.” Mereka memeriksanya dan menemukan lubang tersebut, dan kemudian memberitahu raja tentang hal ini. Raja kembali menjadi senang dan memerintahkan untuk memberikannya delapan keping uang.
Waktu itu, laki-laki tersebut berpikir, “Hanya uang delapan keping untuk penglihatan luar biasa semacam ini! Ini adalah hadiah seorang tukang pangkas, raja ini pastinya adalah anak dari seorang tukang pangkas. Mengapa saya harus melayani raja seperti ini? Saya akan kembali ke rumahku sendiri.” Maka ia kembali ke pelabuhan Bharukaccha dan tinggal di sana.
Beberapa saudagar telah menyiapkan kapal dan sedang mencari seorang nahkoda. “Suppāraka yang pintar itu adalah orang yang bijak dan ahli. Dengan adanya ia di atas kapal, tidak ada kapal yang rusak. Meskipun buta, Suppāraka yang bijak adalah yang terbaik,” pikir mereka.
Maka mereka mendatanginya dan memintanya untuk menjadi nahkoda kapal. Ia berkata, “Teman, saya ini buta, bagaimana bisa saya mengendarai kapal kalian?” “Anda memang buta, Tuan, tetapi Anda adalah yang terbaik.” Karena mereka terus-terusan memuji dirinya, akhirnya ia menyetujuinya: Ia berkata, “Karena kalian yang terus-terusan meminta, saya akan menjadi nahkoda kapal kalian.” [139] Kemudian ia naik ke kapal mereka.
Mereka pun berlayar di laut luas. Selama tujuh hari kapal itu berlayar tanpa mengalami halangan apapun: kemudian tiba-tiba angin yang tidak sesuai musimnya datang berhembus. Selama empat bulan kapal itu terombang-ambing di tengah samudera sampai akhirnya tiba di Laut Khuramāla84. Di laut ini, ikan memiliki badan seperti manusia dan mulut setajam pisau, mereka melompat masuk dan keluar dari laut. Para saudagar yang melihat hal ini bertanya kepada Sang Mahasatwa apa nama laut tersebut dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Manusia dengan mulut yang setajam pisau
melompat masuk dan keluar dari laut!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Mendengar pertanyaan ini, Sang Mahasatwa mencari jawaban di dalam pikirannya tentang ilmu kelautan, dan kemudian memberikan jawaban dengan mengucapkan bait kedua berikut ini:
“Para saudagar dari Bharukaccha,
yang datang mencari kekayaan,
Ini adalah laut Khurāmali,
tempat kapal kalian tersesat.”
Sebenarnya di lautan ini banyak ditemukan batu berlian. Sang Mahasatwa mengetahui bahwa jika ia memberitahu mereka bahwa itu adalah lautan berlian, mereka akan membuat kapal ini tenggelam karena keserakahan mereka untuk mengumpulkan berlian sebanyak mungkin. Jadi ia tidak memberitahukan apa-apa kepada mereka.
Akan tetapi, karena sudah terlanjur membawa kapalnya ke sana, ia mengambil tali dan seakan-akan seperti ingin menangkap ikan, ia juga melemparkan jaring. Dengan ini, ia mendapatkan hasil tangkapan berupa berlian dan kemudian menyimpannya di dalam kapal. Ia juga memerintahkan untuk membuang barang-barang yang tidak berharga dari kapal tersebut.
Kapal itu akhirnya melewati lautan ini dan masuk ke lautan yang lainnya lagi yang disebut Aggimāla. Laut ini mengeluarkan sinar seperti api yang membara atau matahari di tengah hari. Para saudagar itu bertanya kepadanya dalam bait kalimat ini:
“Lo! sebuah laut seperti api yang membara,
seperti matahari, kami lihat!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Sang Mahasatwa menjawab mereka dalam bait kalimat berikut ini:
[140] “Para saudagar dari Bharukaccha,
yang datang mencari kekayaan,
Ini adalah laut Aggimāli110,
tempat kapal kalian tersesat.”
Di lautan ini sebenarnya terdapat banyak emas. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya, ia mendapatkan hasil tangkapan berupa emas dan menyimpannya di dalam kapal.
Setelah melewati laut ini, kapal itu kemudian sampai ke lautan Dadhimāla, bercahaya seperti susu atau dadih susu. Para saudagar itu menanyakan namanya dengan mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Lo! sebuah laut yang putih dan seperti susu,
seputih dadih susu, kelihatannya yang sedang kami lihat!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Sang Mahasatwa menjawab mereka dalam bait kalimat berikut ini:
“Para saudagar dari Bharukaccha,
yang datang mencari kekayaan,
Ini adalah laut Dadhimāli110,
tempat kapal kalian tersesat.”
Terdapat banyak perak di dalam lautan ini. Ia mendapatkan perak dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan menyimpannya di atas kapal.
Kapal terus berlayar dan melewati laut ini, kemudian sampai di laut berikutnya yang disebut Nīlavaṇṇakusa-malā, yang memiliki bentuk penampilan seperti rumput kusa85 yang hitam, atau seperti ladang jagung. Para saudagar itu menanyakan namanya dalam satu bait kalimat berikut ini:
“Lo! sebuah lautan hijau dan berumput,
seperti tanaman jagung, kelihatannya yang kami lihat!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Ia menjawab dalam bait berikut ini:
“Para saudagar dari Bharukaccha,
yang datang mencari kekayaan,
Ini adalah laut Kusamāli,
tempat kapal kalian tersesat.”
Di dalam lautan ini terdapat banyak batu permata jamrud yang berharga. Sama seperti sebelumnya, ia menyimpan batu jamrud itu di kapal.
Setelah melewati lautan ini, kapal itu tiba di laut yang berikutnya yang disebut Nalamalā, yang seperti tempat tumbuhnya buluh atau hutan bambu86. [141] Para saudagar tersebut menanyakan namanya dalam satu bait kalimat berikut:
“Lo! sebuah laut seperti tempat merah,
seperti hutan bambu, kelihatannya yang kami lihat!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Sang Mahasatwa menjawabnya dalam bait berikut ini:
“Para saudagar dari Bharukaccha,
yang datang mencari kekayaan,
Ini adalah laut Nalaṃāli,
tempat kapal kalian tersesat.”
Di lautan ini penuh dengan batu karang yang memiliki warna seperti kayu bambu 87 . Ia mengambilnya juga dan menyimpannya di kapal.
Setelah melewati laut Nalaṃāli, mereka sampai di laut yang disebut Vaḷābhamukha. Di sini airnya seperti terhisap ke dalam dan kemudian muncul di setiap sisi; terhisap dari semua sisi dan kemudian muncul tebing yang curam, meninggalkan apa yang terlihat sebuah galian yang dalam. Ombak muncul di satu sisi seperti dinding: suara auman yang menakutkan terdengar, yang kelihatan seperti akan meledakkan telinga dan menghancurkan jantung.
Melihat kejadian ini, para saudagar itu menjadi ketakutan dan menanyakan namanya dalam bait berikut:
“Mendengar suara menakutkan dari laut aneh yang luas!
Lo! sebuah lubang, dan airnya berada di dalam landaian yang curam!
Katakan, Suppāraka, beritahu kami
apa nama dari laut ini?”
Bodhisatta menjawabnya dalam bait kalimat berikut ini, “Para saudagar,” dan seterusnya, diakhiri dengan—“Ini adalah laut Valabhāmukhi,” dan seterusnya.
Ia melanjutkan perkataannya, [142] “Teman, jika sebuah kapal masuk ke dalam laut Valabhāmukha, tidak ada yang dapat kembali. Jika kapal sampai ke sana, kapal itu akan tenggelam dan karam.”
Waktu itu ada sekitar tujuh ratus jiwa yang berada di atas kapal tersebut dan mereka semuanya takut akan kematian. Mereka mengeluarkan suara tangisan yang amat menyedihkan, seperti tangisan dari mereka yang ada di alam Neraka terendah (avici).
Sang Mahasatwa berpikir, “Tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka selain diriku. Saya akan menyelamatkan mereka dengan pernyataan kebenaran.”
Kemudian ia berkata dengan keras, “Teman-teman, cepat mandikan diriku dengan air yang harum, dan pakaikan pakaian yang baru kepadaku, siapkan sebuah patta yang berisi penuh, dan tempatkan saya di depan kapal ini.”
Mereka pun dengan cepat melakukan itu semua. Sang Mahasatwa membawa patta yang berisi penuh itu di kedua tangannya, dan dengan berdiri di bagian depan kapal ia mengucapkan bait kalimat terakhir berikut untuk melakukan sebuah pernyataan kebenaran:
“Sejauh yang saya ingat,
sejak kepintaranku berkembang,
Yang saya tahu saya tidak pernah mengambil nyawa
satu makhluk hidup pun:
Semoga kapal ini kembali dengan selamat
jika perkataan khidmatku ini benar!”
Empat bulan, kapal besar itu telah berlayar sampai ke tempat yang jauh; dan waktu itu seakan-akan seperti memiliki kekuatan supranatural, kapal itu kembali ke kota pelabuhan Bharukaccha dalam waktu satu hari, bahkan terus maju di daratan sampai ke rumah nahkoda tersebut, mengarungi jarak sejauh delapan usabha.
Sang Mahasatwa membagikan emas, perak, permata, batu karang, dan berlian itu kepada para saudagar tersebut dengan berkata, [143] “Harta karun ini cukup untuk kalian semua. Jangan melakukan pelayaran di laut lagi.”
Kemudian ia memberikan ajaran kepada mereka dan setelah membagikan harta tersebut dan melakukan kebajikan sepanjang hidupnya, ia tumimbal lahir di alam Surga.
____________________
Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini dan berkata, “Waktu itu, Sang Tathagata adalah yang paling bijak, sama seperti sekarang ini,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, rombongan Sang Buddha adalah rombongan para saudagar tersebut dan saya sendiri adalah Suppāraka yang bijak.”
____________________
Catatan kaki :
84 Ada sebuah cerita tentang laut-laut mitos yang terdapat di dalam Hardy, Manual of Buddhism, hal. 12 ff.
85 Poa Cynosuroides.
86 Ahli menjelaskan bahwa laut ini berwarna merah, seperti buluh dalam ‘buluh kalajengking’ atau ‘buluh kepiting’, yang berwarna merah. Kata terjemahan ‘bambu’ (velu) dikatakannya mungkin berarti ‘batu karang’. Ia menambahkan bahwa hasil yang didapatkannya di sini adalah batu karang, yang juga nantinya merupakan kata yang akan digunakan di akhir cerita (pavāḷo). Kata terjemahannya di sini adalah veluriyaṁ, yang ditafsirkan Childers sebagai ‘sejenis batu berharga, mungkin lapis lazuli’.
87 Lihat Hardy, Manual, hal. 13. Benda itu sejenis yang cekung seperti cawan.