Campeyya Jataka

No. 506

CAMPEYYA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Siapakah itu yang seperti,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang laku uposatha.

Sang Guru berkata, “Adalah hal yang sangat bagus, para Upasaka, Anda melaksanakan laku uposatha. Orang bijak di masa lampau juga sama halnya, bahkan meninggalkan kejayaan sebagai seekor raja naga dan hidup dalam laku ini.”

Kemudian atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala, ketika Aṅga menjadi raja di kerajaan Aṅga dan Magadha menjadi raja di kerajaan Magadha, di antara kerajaan Aṅga dan Magadha tersebut terdapat sebuah sungai Campā, yang merupakan tempat tinggal para naga. Dan di tempat ini seekor raja naga (nāgārājā), Campeyya, yang memegang kekuasaan.

Kadang-kadang raja Magadha menyerang negeri Aṅga, kadang-kadang juga raja Aṅga menyerang negeri Magadha.

Suatu hari setelah bertempur dengan Aṅga dan mengalami kekalahan yang terburuk, raja Magadha menaiki kudanya dan melarikan diri dengan dikejar oleh para ksatria kerajaan Aṅga. Di saat Magadha sampai di sungai Campā, sungai berada dalam keadaan banjir. Ia berkata, “Lebih baik mati tenggelam di sungai ini daripada mati di tangan musuh-musuhku!” Kemudian sang penunggang dan kudanya tersebut masuk ke dalam sungai.

Waktu itu raja naga Campeyya telah membuat sebuah paviliun yang dihias permata di bawah air. Saat itu, ia sedang berpesta dengan ular-ular lainnya. Raja dan kudanya yang mencebur masuk ke dalam sungai itu jatuh tepat di depan raja naga tersebut. Melihat raja yang agung ini, ular itu menjadi suka kepada dirinya. Bangkit dari tempat duduknya, ia mempersilahkan raja duduk di atas tahtanya sendiri, memintanya untuk jangan takut akan apapun dan menanyakan mengapa ia mencebur masuk ke dalam air.

Raja menceritakan semua sebagaimana adanya. Kemudian ular itu berkata, “Jangan takut, O raja agung! Saya akan menjadikanmu sebagai pemipin dari kedua kerajaan tersebut.” Demikian ia menghibur dirinya, dan selama tujuh hari ia menunjukkan kehormatan yang tinggi kepadanya.

Pada hari ketujuh, ia bersama dengan raja Magadha meninggalkan istana ular itu. Kemudian dengan kekuatan dari raja naga tersebut, raja Magadha mendapatkan kekuasaan dari raja Aṅga, membunuhnya, dan memerintah kedua kerajaan itu bersamaan. Mulai dari saat itu, ada suatu perjanjian yang kokoh antara raja dan raja naga.

[455] Tahun demi tahun, raja membuatkan sebuah paviliun berhiaskan permata di tepi sungai Campā dan memberikan upeti yang banyak kepada raja naga: Raja naga kemudian akan datang dengan pengikut dari istananya untuk mengambil upeti tersebut, dan semua orang menyaksikan kejayaan dari raja naga.

Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir di dalam salah satu keluarga yang miskin dan ia terbiasa pergi ke tepi sungai tersebut bersama dengan anak buah raja.

Di sana ketika melihat kejayaan raja naga, ia menjadi serakah untuk mendapatkannya. Dan dalam keinginan ini ia meninggal, tujuh hari setelah ia meninggal, Bodhisatta, yang telah memberikan dana dan menjalani kehidupan yang bajik semasa hidupnya, terlahir kembali menjadi makhluk ini di dalam istana raja naga di tahta megahnya: badannya berbentuk seperti kalung bunga melati.

Ketika melihat ini, ia diliputi dengan rasa penyesalan. “Sebagai akibat dari perbuatan baikku,” katanya, “saya seharusnya memiliki kekuatan terlahir di enam alam menyenangkan 275 ,  seperti hasil panen yang seharusnya tersimpan di dalam lumbung. Akan tetapi lihat, saya terlahir di alam Binatang ini dalam wujud hewan melata; Apalah gunanya hidupku ini?” Dan demikianlah ia memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Tetapi seekor ular betina muda, bernama Sumanā, yang melihatnya, memimpin ular-ular lainnya, “Ini pasti adalah Dewa Sakka, yang memiliki kekuatan besar, dilahirkan di sini untuk kita!” Kemudian mereka semua datang dan memberikan persembahan kepadanya, dengan memegang segala jenis alat musik di tangan mereka. Istana ularnya itu menjadi seperti istana Sakka, pikiran akan kematian itu pun meninggalkan dirinya: ia menerima wujudnya sebagai hewan melata dan duduk di tempat duduknya dengan mengenakan pakaian dan hiasan yang luar biasa.

Mulai dari saat itu, kejayaannya menjadi besar dan ia memimpin ular-ular tersebut. Di waktu yang lain ia menyesalinya kembali, dengan berpikir, “Apa gunanya wujud hewan melata ini bagiku? Saya akan hidup melaksanakan laku uposatha, dan dari alam Tiracchāna ini saya akan membebaskan diriku, saya akan pergi ke alam Manusia mempelajari Dhamma dan saya akan membuat penderitaan (dukkha) ini berakhir.” Tetapi setelah itu, ia tetap tinggal di dalam istana yang sama, memenuhi laku uposatha.

Dan ketika ular-ular betina muda itu datang mengelilinginya dengan mengenakan hiasan yang indah, secara umum ia melanggar aturan sila-nya. Setelah itu, ia pergi keluar dari istananya menuju ke taman, tetapi mereka juga mengikutinya ke sana dan sumpahnya juga dilanggar, sama seperti sebelumnya. Kemudian ia berpikir, “Saya harus meninggalkan istana ini, pergi ke tempat manusia dan tinggal di sana dengan melaksanakan laku uposatha.”

[456] Maka kemudian pada hari Uposatha, ia meninggalkan istananya dan berbaring di atas sebuah sarang ular di dekat jalan raya, tidak jauh dari satu desa perbatasan. Ia berkata, “Mereka yang menginginkan kulitku atau bagian apa saja dari diriku, biarlah mereka mengambilnya; atau jika ada yang ingin membuatku sebagai seekor ular penari, maka biarlah ia melakukannya.” Demikianlah ia menyerahkan tubuhnya sebagai pemberian dana dan ia berbaring di sana melaksanakan laku uposatha dengan menutup tudung kepalanya.

Orang-orang yang melintas di jalan raya itu dan melihatnya, memberikan pemujaan dengan dupa dan minyak wangi. Dan para penduduk desa perbatasan yang mengangapnya sebagai seekor raja naga yang memiliki kekuatan besar, membuatkan sebuah paviliun untuknya, menaburkan pasir di depannya, memberikan pemujaan dengan minyak wangi dan benda-benda yang berbau harum lainnya. Kemudian orang-orang mulai meminta anak dengan bantuannya setelah memiliki keyakinan kepada Sang Mahasatwa dan memujanya.

Sang Mahasatwa tetap berada di sana dengan melaksanakan laku uposatha pada hari keempat belas dan kelima belas di pertengahan bulan, dengan berbaring di atas sarang ular tersebut. Pada hari pertama di pertengahan bulan, ia biasanya kembali ke istananya. Waktu pun berlalu seiring dengan dirinya yang demikian menjalankan sumpahnya.

Pada suatu hari, pasangannya—Sumanā—berkata kepadanya: “Tuanku, biasanya Anda pergi ke alam Manusia untuk melaksanakan laku uposatha-mu. Alam manusia itu berbahaya, penuh dengan rasa takut. Jika ada bahaya menimpa dirimu, katakan padaku sekarang dengan tanda apa saya dapat mengetahuinya.” Kemudian Sang Mahasatwa membawanya ke sisi sebuah kolam keberuntungan dan berkata, “Jika ada orang yang memukulku atau melukaiku, air di dalam kolam ini akan menjadi keruh. Jika seekor burung garuda membawaku pergi, air ini akan habis. Jika seorang pawang ular menangkapku, warna air akan berubah menjadi warna darah.” Setelah tiga tanda ini dijelaskan kepadanya, raja naga itu keluar dari istananya untuk melaksanakan laku uposatha pada hari keempat belas, berbaring di atas sarang ular itu, menerangi tempat tersebut dengan sinar dari tubuhnya. Tubuhnya berwarna putih seperti gulungan perak murni, kepalanya terlihat seperti gulungan benang wol merah: di dalam kisah jataka ini, badan Bodhisatta tebal seperti sebuah mata bajak, dalam Bhūridatta-Jātaka 276 badannya setebal sebuah paha, dalam Saṅkhapāla-Jātaka277 bulat sebesar palung kano dengan kerangka perahunya.

Pada waktu itu, ada seorang brahmana muda dari Benares yang datang ke Takkasila untuk belajar di bawah bimbingan seorang guru yang sangat terkenal, yang darinya [457] ia mempelajari mantra yang dapat memerintah semua hewan. Pulang dari sana dengan melewati jalan tersebut, ia melihat Sang Mahasatwa. “Saya akan menangkap ular ini,” pikirnya, “dan saya akan berkeliling di seluruh kota, desa, dan kerajaan dengan membuatnya menari dan mengumpulkan banyak keuntungan.” Kemudian ia mengambil tanaman ajaib dan mendekati ular itu sambil melafalkan mantranya.

Tidak lama setelah mendengar mantra ajaib tersebut, kemudian Sang Mahasatwa merasa telinganya seperti ditusuk oleh pecahan batu yang tajam, kepalanya seperti pecah terkena tusukan pedang. “Ada apa ini!” pikirnya, sambil mengembangkan tudung kepalanya, ia melihat pawang ular tersebut. Kemudian ia berpikir, “Racun saya sangat kuat dan jika saya marah kemudian mengeluarkan nafas dari lubang hidungku278, maka badannya akan remuk dan tercerai berai seperti dedak dalam satu kepalan tangan, kemudian saya pula akan menjadi melanggar sila. Saya tidak akan melihat dirinya.” Kemudian setelah menutup matanya, ia pun menutup kembali tudung kepalanya.

Brahmana tersebut memakan sebuah tanaman obat, melafalkan mantranya, dan meludahi ke arahnya. Dengan kekuatan dari tanaman dan mantra tersebut, dimana saja air ludah itu menyentuhnya akan timbul bintik bisul. Kemudian laki-laki tersebut menangkap ekornya, menyeretnya, membaringkannya sampai seluruh panjang tubuhnya terbentang. Dengan tongkat yang terbuat dari kaki kambing, ia menekannya sampai lemas, kemudian memegang kepalanya dengan erat, meremukkannya dengan keras. Sang Mahasatwa membuka lebar mulutnya, brahmana itu memasukkan air ludah ke dalamnya, dikarenakan tanaman dan mantranya tersebut, gigi ular itu hancur semuanya; mulutnya penuh dengan darah.

Tetapi Sang Mahasatwa tetap merasa takut ia akan melanggar sila-nya sehingga ia menahan semua siksaan ini dan tidak pernah membuka mata menatap brahmana  tersebut. Kemudian ia berkata, “Saya akan membuat ular besar ini menjadi lemah!” Dari ekor sampai kepala, ia menekan badan ular itu seolah-olah seperti akan menghancurleburkan setiap tulang-tulangnya. Kemudian ia membungkusnya di dalam benda yang mereka sebut sebagai kain pembungkus, memberinya apa yang mereka sebut sebagai penggosok tali, memegang ekornya dan memberinya pukulan kapas, sebagaimana mereka menyebutnya demikian 279 . Seluruh badan Sang Mahasatwa berlumuran darah dan ia sangat menderita sekali.

Melihat ular itu telah menjadi lemah, [458] laki-laki tersebut membuat sebuah keranjang bambu yang di dalamnya diletakkan ular itu. Kemudian ia membawanya ke desa dan membuatnya tampil di hadapan orang banyak. Hitam atau biru atau apapun, bentuk bulat dan persegi, kecil atau besar—apa saja yang brahmana itu inginkan, akan dilakukan oleh Sang Mahasatwa, menari, mengembangkan tudungnya seolah-olah sampai beratus atau beribu kali lipat280. Orang-orang yang melihatnya menjadi senang sehingga memberikan banyak uang. Dalam satu hari ia bisa mendapatkan seribu rupee dan benda-benda lainnya yang bernilai seribu rupee juga.

Awalnya laki-laki tersebut berniat untuk melepaskan ular itu setelah ia mendapatkan seribu keping uang; tetapi ketika ia mendapatkan uang sejumlah itu, ia berpikir kembali, “Dari sebuah desa perbatasan yang kecil ini saja saya telah mendapatkan semuanya ini, betapa banyak kekayaan yang dapat saya peroleh dari para raja dan pejabat istana!” Jadi ia membeli sebuah kereta sapi dan sebuah kereta kuda, ia kemudian memasukkan barang-barangnya ke dalam kereta dan duduk di dalamnya. Demikianlah ia melintasi kota dan desa diikuti dengan rombongan pembantu, membuat Sang Mahasatwa tampil beraksi dan terus melanjutkan perjalanan dengan tujuan untuk menunjukkannya di hadapan raja Uggasena di Benares, baru kemudian akan melepaskan raja naga tersebut.

Brahmana tersebut biasanya membunuh kodok dan memberikannya kepada sang raja naga. Akan tetapi, ular itu selalu menolak untuk makan karena ia tidak mau ada yang dibunuh demi dirinya. Kemudian laki-laki tersebut memberikan madu dan jagung bakar kepadanya. Tetapi Sang Mahasatwa juga tidak mau makan makanan ini juga karena ia berpikir, “Jika saya menerima makanannya, saya pasti akan berada di dalam keranjang ini sampai mati.”

Dalam waktu satu bulan, brahmana tersebut sampai ke Benares. Di sana, ia mendapatkan banyak uang dengan membuat ular itu tampil beraksi di desa-desa yang berada di belakang gerbang kerajaan. Raja juga memanggil dirinya dan memerintahkannya untuk menampilkan aksi ular itu. Laki-laki tersebut berjanji kepada raja akan melakukannya pada keesokan harinya, yang merupakan hari terakhir dari pertengahan bulan. Kemudian raja meminta para pengawal untuk membunyikan drum di seluruh kota dengan mengumumkan bahwa pada hari esok seekor raja naga akan menari di halaman istana, dan mengundang penduduk berkumpul bersama untuk menyaksikannya bersama-sama.

Keesokan harinya, halaman istana dihias dan brahmana itu pun dipanggil datang. Ia membawa Sang Mahasatwa di dalam keranjang permata beralaskan karpet yang berwarna cerah, yang kemudian diletakkannya di bawah dan setelahnya ia pun mengambil tempat duduk. Raja turun dari lantai atas istananya dan duduk di tempat duduk kebesarannya di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Sang brahmana mengeluarkan Sang Mahasatwa dan membuatnya menari. Orang-orang tidak bisa berdiri diam: beribu-ribu sapu tangan dilambaikan di udara, taburan permata sebanyak tujuh jenis menghujani pun diri Bodhisatta.

Sekarang ini lamanya sudah satu bulan penuh sejak ular itu ditangkap, dan selama itu pula ia tidak makan. [459] Sumanā mulai berpikir—“Suamiku tercinta sudah lama berdiam diri. Satu bulan telah berlalu sejak terakhir kalinya ia kembali. Ada apa gerangan?” Maka ia pergi dan melihat di kolam tersebut: Lo, airnya berwarna merah seperti darah! Ia pun tahu bahwa suaminya telah ditangkap oleh seorang pawang ular. Ia pergi keluar dari dalam istananya menuju ke sarang ular itu; Sewaktu melihat tempat dimana suaminya ditangkap dan tempat dimana suaminya disiksa, ia menangis. Kemudian ia pergi ke desa perbatasan dan bertanya. Setelah mengetahui kejadian sebenarnya, ia melanjutkan kepergiannya ke Benares.

Di tengah-tengah kumpulan orang banyak, di atas halaman istana melayang di udara sekarang ia berdiri sambil meratap sedih. Sewaktu menari, Sang Mahasatwa melihat ke atas langit dan melihat dirinya, dan karena merasa malu, ia masuk kembali ke dalam keranjangnya dan berbaring di sana. Ketika ular itu masuk ke dalam keranjang, raja berteriak, “Apa masalahnya sekarang?” Melihat ke arah sana dan sini, raja melihat ular betina itu yang berdiri melayang di udara dan mengucapkan bait pertama berikut:

“Siapakah itu yang bersinar seperti kilat
atau seperti bintang yang menyala terang?
Dewi atau Titan?
Menurutku Anda bukanlah manusia.”

Percakapan mereka dituliskan dalam bait-bait berikut:

“Saya bukan dewi, bukan juga Titan
maupun manusia, raja yang agung!
Saya adalah seekor ular betina
yang datang dengan satu maksud tertentu.”

“Kelihatannya Anda penuh dengan
kemarahan dan keinginan yang kuat,
Dari matamu menetes keluar air mata:
Katakan ada apa atau keinginan apa yang
Membawamu kemari, Saudari? Saya ingin mengetahuinya.”

“Ular yang merayap, ganas seperti kobaran api!
Demikian orang-orang menyebut dirinya:
Paduka, seseorang datang ke tempat itu
dan menangkapnya untuk keuntungan dirinya:
Saya datang menuntut kebebasan bagi suamiku!”

 

“Bagaimana seorang manusia yang lemah dapat
Menangkap makhluk yang penuh kuasa itu?
Putri ular, katakanlah,
Bagaimana cara memahami ular dengan benar?”

[460] “Demikianlah kekuatannya, yang bahkan kota ini
Dapat dibakarnya habis menjadi abu.
Akan tetapi ia menyukai jalan kehidupan suci,
Dan mencari ketenaran yang sederhana.”

Kemudian raja menanyakan bagaimana laki-laki itu menangkapnya. Ular betina itu menjawabnya dalam bait kalimat berikut:

“Pada hari-hari suci281 raja naga ini
Biasanya menjalankan sumpah suci:
Seorang pawang ular menangkapnya pada waktu itu.
Bebaskanlah suamiku demi diriku!”

Setelah perkataannya di atas, ia menambahkan lagi dua bait kalimat berikut untuk memohon pembebasan suaminya:

“Lo, enam belas ribu wanita yang indah
berhias dengan permata dan cincin,
Di bawah air menganggapnya
sebagai tempat berlindung dan raja mereka.

“Dengan adil, dengan lembut, bebaskanlah dirinya,
Belilah kebebasan ular itu,
Dengan emas, seratus ekor sapi, sebuah desa:
Perbuatan itu akan membuahkan hasil yang baik bagimu.”

[461] Kemudian raja mengucapkan tiga bait kalimat ini:

“Sekarang lihatlah, dengan adil dan dengan lembut
Saya membeli kebebasan ular itu
Dengan emas, seratus ekor sapi, sebuah desa,
Perbuatan itu akan membuahkan hasil yang baik bagiku.”

“Saya berikan kepadamu sebuah anting pertama,
seratus dram emas,
Satu tahta indah seperti bunga rami
dengan bantal alas duduk di empat sisi!282

“Seekor sapi, seratus ekor ternak, dua orang istri
yang memiliki status kelahiran yang sama dengamu:
Bebaskanlah ular suci tersebut;
perbuatan itu akan menjadi sangat berjasa.”

Pemburu itu menjawabnya:

“Saya tidak menginginkan hadiah, Yang Mulia,
Tetapi saya akan membebaskan ular itu sekarang.
Demikianlah sekarang saya membebaskannya:
Perbuatan itu akan menjadi sangat berjasa.”

Setelah mengucapkan perkataan tersebut, ia mengeluarkan Sang Mahasatwa dari dalam keranjangnya. Raja naga itu keluar dan merayap ke satu bunga, dimana ia mengubah wujudnya dan muncul kembali dalam wujud seorang pemuda yang berpakaian mewah; ia berdiri di sana seolah-olah seperti baru membelah bumi dan keluar dari dalamnya. Dan Sumanā turun dari langit, berdiri di sampingnya. Raja naga itu berdiri merangkupkan tangannya dengan penuh hormat di hadapan raja.

[462] Untuk menjelaskan semua ini, Sang Guru mengucapkan dua bait kalimat berikut:

“Raja naga Campeyya yang sekarang telah bebas, menyapa raja:
‘O raja Kasi, pemimpin yang mendidik, segala hormat kepada Anda!
Saya memberikan hormat kepada Anda,
sebelum saya kembali melihat rumahku.’ ”

“ ‘Orang-orang mengatakan makhluk yang memiliki kekuatan super
sulit untuk dipercayai.
Jika Anda mengatakan kebenarannya, O ular,
Dimanakah istanamu? Tunjukkanlah jalannya.’ ”

Tetapi Sang Mahasatwa mengucapkan suatu sumpah dalam dua bait berikut ini untuk membuatnya percaya:

“Seandainya pun angin dapat memindahkan gunung,
Bulan dan bintang jatuh dari langit,
Air sungai mengalir ke hulu,
Saya tidak akan pernah bisa berbohong, O raja!

“Meskipun langit terbelah, lautan mengering,
Ibu pertiwi yang pemurah menjadi kacau balau
Menggumalkan gulungan, mengangkat Gunung Meru.
O raja, saya tidak bisa berbohong!”

Tetapi karena tidak dapat menerima keyakinan ini, ia masih tidak mempercayai Sang Mahasatwa dan berkata—

“Orang-orang mengatakan makhluk yang memiliki kekuatan super sulit untuk dipercayai.
[463] Jika Anda mengatakan kebenarannya, O ular,
Dimanakah istanamu?
Tunjukkanlah jalannya.”

Raja mengucapkan bait kalimat yang sama, sambil menambahkan, “Anda harusnya berterima kasih atas kebajikan yang kulakukan: apakah saya harus mempercayai bahwa Anda ini adalah benar atau tidak benar, saya yang memutuskannya.” Ia memperjelas hal ini dalam bait berikutnya:

“Memiliki bisa yang mematikan, berkekuatan penuh,
Cepat dalam pertempuran, bersinar dengan terang,
Anda terbebas dari kurungan karena diriku:
Kalau begitu adalah hakku untuk mendapatkan rasa terima kasih.”

Sang Mahasatwa membuat sumpah demikian ini untuk mendapatkan keyakinannya:

“Ia yang tidak mengucapkan terima kasih,
Tidak akan pernah mengetahui kebahagiaan:
Ia seharusnya mati di dalam keranjang kurungan,
Ia juga seharusnya terbakar di alam Neraka yang mengerikan!”

Sekarang raja percaya dengan dirinya dan berterima kasih demikian kepadanya:

“Jika sumpahmu itu benar,
Hilangkanlah kemarahan dan kebencian:
Seperti kita yang menjauhkan api di musim panas,
Semoga burung garuda juga menjauhkan dirinya darimu!”

Sang Mahasatwa juga mengucapkan satu bait kalimat lagi dengan tujuan berterima kasih kepada raja:

“Seperti seorang ibu yang berbuat
Kepada anak satu-satunya yang sangat dicintainya,
Anda berbaik hati kepada semua hewan melata:
Kami akan mengabdi kepadamu, semuanya.”

[464] Sekarang raja ingin mengunjungi tempat ular tersebut, memberi perintah kepada pasukannya agar bersiap untuk pergi, dalam bait kalimat berikut:

“Tunggang kereta kerajaan dan siapkan
Bagal-bagal yang terlatih,
Gajah-gajah dengan tali emas:
Kita akan mengunjungi kerajaan ular!”

Bait berikutnya adalah bait dari kebijaksanaan yang sempurna:

“Pukul tamborin dan drumnya,
Tiup Kerang dan bunyikan simbalnya,
Berjaya di antara serombongan wanita
Lihatlah, raja Uggasena datang.”

Pada waktu ia meninggalkan kota tersebut, Sang Mahasatwa dengan kekuatannya menampakkan istana ular yang memiliki dinding yang terbuat dari tujuh benda berharga, gerbang menara, dan semua jalan yang menuju ke tempat tinggal ular itu dihiasnya dengan megah. Melewati jalan ini, raja beserta rombongannya masuk ke dalam istana dan melihat tempat yang menyenangkan yang terdapat gedung-gedung besar di dalamnya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

“Raja Kasi melihat tanah yang dihiasi pasir emas,
Bunga-bunga indah dengan batu karang bertaburan di sekitarnya,
menara emas di setiap sisi.

“Kemudian raja masuk ke dalam aula surgawi Campeyya,
Yang menyerupai halilintar tembaga283
atau matahari yang bersinar kemerah-merahan.

“Ke dalam aula surgawi Campeyya, raja masuk:
Seribu wewangian menyebar harum di udara,
seribu pepohonan memberikan tempat teduh.

“Di dalam istana Campeyya, raja melangkah maju sekali,
Harpa surgawi dimainkan,
wanita-wanita ular itu mulai menari.”

[465] “Ia dipersilahkan duduk di tempat duduk emas
Diberi alas kayu cendana yang harum,
Dimana rombongan wanita cantik itu
Memasuki aula dengan kaki yang berjejal-jejal.”

Tidak lama setelah ia duduk di sana, kemudian mereka menghidangkan makanan surgawi dengan berbagai pilihan rasa, dan mereka juga memberikannya kepada keenam belas ribu wanita itu dan rombongan lainnya. Selama tujuh hari, raja bersama dengan rombongannya mendapatkan hidangan makanan dan minuman surgawi itu, dan menikmati segala jenis kesenangan.

Duduk di tempat duduknya yang indah, raja memuji kejayaan Sang Mahasatwa. “O raja naga,” katanya, “mengapa Anda meninggalkan semua kebesaran ini, berbaring di satu sarang ular di alam Manusia dan melaksanakan laku uposatha?” Raja naga itu kemudian menjelaskannya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

“Di sana, raja tinggal dalam kesenangan.
Kemudian kepada Campeyya, ia berkata:
‘Gedung-gedung besar yang Anda miliki ini!
Mereka bersinar kemerah-merahan seperti matahari.
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?

“ ‘Para gadis ini berdiri dengan cantik dan bagusnya,
Yang dengan jari tangan yang runcing memegang minuman
di kedua tangannya yang dicat warna merah.
Dada dan badan diikat dengan emas.
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?

[466] “ ‘Sungai, kolam ikan, cantik seperti kaca,
Masing-masing dengan tempat berpijak yang dibuat dengan bagus,
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?

“ ‘Burung bangau, merak, dan angsa surgawi,
Suara kicauan burung tekukur yang seperti ini,
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?

“ ‘Pohon manga, sala, dan tilak tumbuh,
Bunga Cassia284, bunga terompet285 bermekaran,
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?

“ ‘Lihat danaunya! Udara di atasnya
Memiliki keharuman surgawi di setiap pantainya:
Yang demikian ini tidak ada di bumi:
Mengapa Anda ingin menjadi seorang petapa?’

“ ‘Bukan demi nyawa atau anak atau uang
Saya bergumul dengan diriku sendiri;
Ini adalah keinginanku, jika saya bisa,
Untuk terlahir kembali sebagai manusia.’ ”

Untuk menjawabnya, raja mengatakan:

“Berpakaian gagah berani, mata merah dan berkaca
Berbahu lebar, kepala botak, dan berjanggut,
Seperti seorang raja dewa yang menyapa
Seluruh dunia, dengan menaburkan cendana.

“Besar dalam kekuasaan, hebat dalam kekuatan,
Pemimpin dari semua keinginan, raja naga,
Jelaskanlah pertanyaan saya—
Bagaimana alam kami dapat melebihi alammu?”

[467] Ini dijawab oleh raja naga sebagai berikut:

“Terdapat pengendalian dan pembersihan ketika
Seseorang berada di alam Manusia,
Hanya di sana: sekali terlahir sebagai manusia, saya
Tidak akan pernah melihat kelahiran atau kematian lagi.”

Raja mendengarnya dan menjawab dengan demikian:

“Pastinya adalah hal yang bagus untuk menghormati orang bijak
Yang memiliki kebijaksanaan tinggi dan pikiran mulia.
Ketika saya melihat Anda dan semua wanita ini,
Saya akan banyak melakukan kebajikan.”

Kepadanya, raja naga itu berkata:

“Pastinya adalah hal yang bagus untuk menghormati orang bijak
Yang memiliki kebijaksanaan tinggi dan pikiran mulia.
Ketika Anda melihat saya dan semua wanita ini,
Anda akan banyak melakukan kebjikan.”

Setelah perbincangan ini, Uggasena berkeinginan untuk pergi dan berpamitan dengan mengatakan, “Raja naga, saya sudah tinggal lama di sini, saya harus pergi sekarang.” Sang Mahasatwa menunjuk pada harta karunnya dan menawarkan kepadanya apapun yang ingin diambilnya, sambil mengatakan,

“Saya meninggalkan ini, emas yang tak terhitung jumlahnya,
Tiga tumpukan perak yang tinggi, lihatlah!
Ambil dan buatlah dinding perak,
Ambil dan buatlah rumah dari emas untukmu.

[468] “Mutiara, lima ribu banyaknya, saya rasa,
Dengan batu karang di sekelilingnya,
Ambil dan taburkanlah di dalam istana Anda
Sampai tanah maupun kotoran tidak dapat terlihat.

“Gedung besar demikian seperti yang saya katakan
Bangun dan tinggallah di sana, O raja!
Kota Benares akan menjadi kaya:
Pimpinlah dengan bijak, pimpinlah dengan baik.”

Raja menyetujui saran ini. Kemudian Sang Mahasatwa membuat pengumuman di seluruh kota dengan membunyikan drum: “Biarlah semua pengawal raja mengambil apa yang mereka inginkan dari kekayaanku, emas dan emas murni!” Dan ia mengirimkan harta karun tersebut kepada raja dalam muatan beberapa ratus kereta. Setelahnya, raja meninggalkan dunia ular beserta dengan rombongan besarnya dan kembali ke Benares. Mulai saat itu, kata mereka, tanah di seluruh India menjadi bertaburan emas.
____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Demikianlah orang bijak di masa lampau meninggalkan kejayaan dari dunia ular, untuk melaksanakan laku uposatha.” Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah pawang ular, Ibu Rahula adalah Sumanā, Sariputta adalah Uggasena, dan saya sendiri adalah raja naga Campeyya.”
____________________

Catatan kaki :

275 Enam alam Dewa (devalokā).

276 No. 543.

277 No. 524.

278 Dianggap sebagai racun.

279 Kata-kata ini adalah istilah teknis.

280 Ini terjadi dikarenakan kecepatannya.

281 Yang disebutkan adalah hari keempat belas dan kelima belas.

282 Dua baris syair ini dan setengah dari syair berikutnya muncul di atas, [422].

283 Halilintar perunggu, yang berbentuk seperti benda yang dipegang oleh dewa Zeus di dalam lukisan Yunani, yang masih digunakan di India utara sebagai azimat.

284 Cassia Fistula.

285 Bignonia Suaveolens.

Leave a Reply 0 comments