ITIVUTTAKA
(Sumber: Itivuttaka, Kitab Suci Agama Buddha,
Alih Bahasa Pali ke Bahasa Inggris : John D. Ireland,
Alih Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia : Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati,
Diterbitkan Oleh : Lembaga Anagarini Indonesia, Gg. Dharma No. 1 RT01/RW 01,
Kp. Cigalukgug Ds. Cibodas, Maribaya-Lembang, Bandung 40391, 1998)
Kitab ini merupakan salah satu bagian dari Kitab Suci Tipitaka Pali, mazhab Theravada, yang berada di antara Udana dan Sutta Nipata. Awalnya, Itivuttaka diterjemahkan oleh F.L. Woodward dan diterbitkan bersama dengan terjemahan Kitab Udana dalam Minor Anthologies of the Pali Canon, Vol. II (London, 1935).
Menurut Kitab Komentar, sutta-sutta atau khotbah-khotbah Itivuttaka dikumpulkan oleh Khujjuttara – seorang wanita awam (upasika)- dari khotbah-khotbah yang disampaikan Sang Buddha, pada waktu Beliau bersemayam di Kosambi. Khujjuttara adalah pelayan Ratu Samavati, istri Raja Udena. Dia mencapai tingkat kesucian Sotapanna setelah bertemu dengan Sang Buddha. Kemudian dia memperkenalkan Ajaran Sang Buddha kepada para wanita istana yang dipimpin oleh Ratu Samavati. Secara teratur Khujjuttara pergi mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha, dan kemudian mengulang apa yang didengarnya kepada wanita-wanita lain. Itulah yang kemudian dikumpulkan dan menjadi Kitab Suci Itivuttaka. Dikatakan bahwa kalimat penegasan di awal dan akhir masing-masing khotbah – yang di buku ini ditulis hanya di bagian pertama dan terakhir – dibuat oleh Khujjuttara untuk menegaskan bahwa khotbah itu merupakan kata-kata Sang Buddha, bukan kata-katanya sendiri.
Apakah kisah ini benar atau tidak, Itivuttaka adalah satu-satunya buku dalam Tipitaka Pali yang memperkenalkan dan menuliskan khotbah-khotbah dengan cara demikian. Dari kalimat pembuka itulah judul buku ini diperoleh: “Demikian telah dikatakan (vuttam) oleh Sang Buddha … demikian (iti) yang telah saya dengar". Maka Itivuttaka berarti ‘Demikian telah dikatakan’ atau ‘Ucapan-ucapan’.
‘Ucapan-ucapan’ ini dikelompokkan menjadi empat bagian yang tidak sama. Seperti Anguttara Nikaya, semuanya diatur sesuai dengan jumlah tema Dhamma yang terkandung, dari satu sampai empat bagian. Selain empat bagian ini Kelompok Satu, Kelompok Dua, Kelompok Tiga, dan Kelompok Empat – kitab ini juga dibagi lagi menjadi beberapa vagga, kelompok yang secara kasar terdiri dari sepuluh khotbah. Tetapi agar lebih sederhana, dalam terjemahan ini pengelompokan kecil tersebut diabaikan. Hanya empat bagian utama saja yang dipertahankan, dan khotbah-khotbah itu dinomori dari 1 sampai 112, seperti dalam edisi PTS. Meskipun beberapa khotbah dan puisi juga terdapat di bagian-bagian lain Sutta Pitaka, terutama Anguttara Nikaya, namun banyak yang hanya ada dalam kumpulan ini.
Pada saat menerjemahkan Itivuttaka, saya berusaha mengikuti teks asli sedekat mungkin dan menghasilkan terjemahan yang tepat dan harafiah. Namun untuk bagian puisi, walaupun tetap berpegang pada artinya, saya kadang-kadang merasa perlu menyimpang dari sintaksis bahasa Pali. Saya tidak mencoba menghasilkan terjemahan yang memiliki metrik –dengan cara mengubah baris dan kata serta mengontrol jumlah suku kata dalam setiap barisnya- namun saya berusaha menghasilkan terjemahan bahasa Inggris yang ritmik dan enak dibaca, seperti puisi asli Pali.
Dalam terjemahan Itivuttaka ini, seperti halnya terjemahan Udana (The Udana: Inspired Utterances of The Buddha, BPS 1990), beberapa kata tetap tidak diterjemahkan. Dhamma adalah ‘Kebenaran Sejati’, ‘Ide yang Terpenting’, dan ‘Tujuan’ Ajaran Sang Buddha. Ketika Dhamma dibabarkan, orang yang memahaminya dapat mencapai Tujuan Akhir Ajaran: mengatasi penderitaan dan merealisasi Nibbana, Tujuan Tertinggi.
Kata bhikkhu sering diterjemahkan menjadi ‘viharawan (biarawan)’, tetapi pada zaman Sang Buddha, kata itu tidak digunakan dengan arti yang sedemikian umum. Seorang bhikkhu dapat didefinisikan sebagai ‘orang yang hidupnya bergantung pada persembahan kebutuhan hidup dari orang lain’ (lihat khotbah 91 dan 107), sedangkan arti harafiah dari kata ‘bhikkhu’ adalah ‘penerima sedekah’ atau ‘pengemis’. Dan arti ini akan sangat menyesatkan pemahaman karena tidak menyiratkan status terhormat yang diberikan kepada bhikkhu. Wanitanya disebut bhikkhuni, viharawati (biarawati) Buddhis, yang hanya kadang-kadang saja disebutkan dalam kitab ini. Oleh orang awam, para pengikut Sang Buddha disebut ‘pertapa’ (samana), yang lebih sesuai dengan apa yang kita pahami sebagai ‘biarawan’ atau orang yang hidup selibat. Seorang samana adalah orang yang telah benar-benar meninggalkan kehidupan berumah-tangga yang terkungkung dan sempit. Tetapi di kemudian hari, ketika Sangha komunitas bhikkhu – telah kokoh terbentuk, dikenal dan mantap, istilah umum ini cenderung lebih jarang digunakan. Pada masa paling awal, Sang Buddha biasanya menggunakan kata ‘bhikkhu’ ketika menyapa para pengikutnya, para samana. Kata yang sama digunakan pula oleh para biarawan di antara mereka sendiri dan di kalangan perumah-tangga yang setia serta sudah mantap dalam Dhamma. Pada mulanya, kepada mereka inilah Itivuttaka dan khotbah-khotbah dalam Kitab Suci Pali ditujukan.
Di sini juga disebutkan adanya para dewa. Mereka adalah penghuni alam-alam surga, namun mereka pun makhluk yang bisa meninggal, dan terkena pelapukan apabila buah karma baik yang menyebabkan mereka berada di alam itu telah habis (lihat Khotbah 83). Di atas para dewa adalah para brahma, dewa-dewa tinggi yang bahkan lebih sakti daripada dewa biasa, tetapi tetap saja masih dikuasai ketidakkekalan. Pemimpinnya adalah Maha Brahma, ‘Brahma Agung’, yang kadang-kadang secara bodoh menganggap dirinya sebagai pencipta yang maha kuasa.
Buku ini merupakan terjemahan dari Itivuttaka edisi Pali Text Society. Namun edisi-edisi teks lainnya, terutama edisi Chatthasangayana Burma, digunakan sebagai acuan lain untuk beberapa bagian yang meragukan dan untuk menjernihkan kesalahan dan bagian-bagian yang dihilangkan di dalam teks. Berbeda dengan Udana edisi PTS, buku ini tidak mengandung banyak kesalahan. Pada waktu mengumpulkan catatan, Kitab Komentar Paramatthadipani yang ditulis Acariya Dhammapala juga sering digunakan. Untuk memahami suatu teks, bila ada penggunaan suatu kata atau frasa yang membingungkan, Kitab Komentar sangat diperlukan untuk menentukan arti dan makna otentiknya.
Judul-judul khotbah diambil dari edisi teks Burma. Edisi PTS tidak menuliskannya, walaupun judulnya dapat disimpulkan dari ringkasan-ringkasan yang terdapat di akhir setiap vagga. Woodward juga tidak memberikan judul dalam terjemahannya. Penggunaan judul di bagian awal sebenarnya merupakan perubahan modern dalam buku cetakan kali ini. Tradisi dalam literatur Pali memberikan nama di bagian belakang – sering ada beberapa pilihan untuk karya yang penting – atau mencantumkan ringkasan di akhir vagga, dengan menggunakan satu atau beberapa kata-kunci dari setiap khotbah. Pada mulanya ringkasan-ringkasan itu berfungsi sebagai alat bantu untuk mengingat dalam tradisi lisan yang kurang diperlukan apabila sudah dibukukan.