Kelompok Lima Sakka

Samyutta Nikaya – Khotbah-khotbah Berkelompok Sang Buddha
Diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Bhikkhu Bodhi
DhammaCitta Press

 

 

 

III. SUB BAB KE TIGA
(KELOMPOK LIMA SAKKA)

 

 

 

21 (1) Setelah Membunuh

Di Sāvatthī, di Hutan Jeta. Kemudian Sakka, raja para deva, mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, Sakka, raja para deva, berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

939. “Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih?  <509> Apakah satu hal ini, O, Gotama, Pembunuhan yang Engkau setujui?”

[Sang Bhagavā:]

224. “Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan  lelap; Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih;  Pembunuhan kemarahan, O, Vāsava, Dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang  bermadu: Adalah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.”

 

22 (2) Buruk Rupa

Di Sāvatthī, di Hutan Jeta. Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, satu yakkha cacat yang buruk rupa duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva.658 Kemudian, para deva Tāvatiṃsa mengetahui hal ini, menggerutu, dan mengeluhkan, dengan berkata: ‘Sungguh mengagumkan, Teman! Sungguh menakjubkan, Teman! Yakkha cacat yang buruk rupa ini duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva!’ <510> Tetapi semakin para deva Tāvatiṃsa itu menggerutu dan mengeluhkan hal ini, yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.” “Kemudian, Para bhikkhu, para deva Tāvatiṃsa itu mendatangi Sakka dan berkata kepadanya: ‘Di sini, Baginda, yakkha cacat yang buruk rupa telah menduduki tempat dudukmu…. Tetapi semakin para deva menggerutu … [238] yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.’—‘Dia pasti yakkha pemakan kemarahan.’” “Kemudian, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mendekati yakkha pemakan-kemarahan itu.659 Setelah mendekat, ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada yakkha itu, <511> ia menyebutkan namanya tiga kali: ‘Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva! Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva! Semakin Sakka menyebutkan namanya, yakkha itu menjadi semakin buruk dan buruk dan menjadi lebih cacat hingga ia lenyap dari sana.” “Kemudian, Para bhikkhu, setelah duduk di tempat duduknya sendiri, memberikan instruksi kepada para deva Tāvatiṃsa, Sakka, raja para deva, pada kesempatan itu melantunkan syair-syair ini:

941. “’Aku tidak terganggu dalam batin, Juga tidak mudah terpengaruh oleh pusaran kemarahan. Aku tidak pernah marah dalam waktu yang lama, Juga kemarahan tidak bertahan lama dalam diriku.660

942. “’Ketika aku marah, aku tidak mengucapkan kata-kata  kasar Dan aku tidak memuji kebajikanku. Aku menjaga diriku senantiasa terkendali baik <512> Demi kebaikanku.’”661

 

23 (3) Kegaiban

Di Sāvatthī. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau Vepacitti, raja para asura, sedang sakit, menderita, sangat sakit.662 Kemudian Sakka, raja para deva, mendekati Vepacitti untuk menanyakan tentang penyakitnya. Dari jauh, Vepacitti melihat kedatangan Sakka dan berkata kepadanya: ‘Sembuhkan aku, Raja para deva.’— [239] ‘Ajari aku, Vepacitti, kegaiban Sambari.’663 — ‘Aku tidak akan mengajarkannya, Baginda, hingga aku mendapat izin dari para asura.’” “Kemudian, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, bertanya kepada para asura: ‘Bolehkah aku mengajarkan Kegaiban Sambari kepada Sakka, Raja para deva?’ — ‘Jangan ajarkan Kegaiban Sambari kepadanya, Tuan.’”664 “Kemudian, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, berkata kepada Sakka, raja para deva, dalam syair: <513>

943. “’Seorang penyihir — O, Maghavā, Sakka, Raja para deva, Suami Sujā— Pergi ke neraka yang mengerikan, Bagaikan Sambara, selama seratus tahun.’”665

 

24 (4) Pelanggaran

Di Sāvatthī. Pada saat itu, dua bhikkhu bertengkar dan satu bhikkhu telah melakukan pelanggaran terhadap yang lainnya. Kemudian bhikkhu pertama mengakui pelanggarannya kepada bhikkhu lainnya, namun bhikkhu ke dua tidak memaafkannya.666 Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan kepada Beliau apa yang telah terjadi. <514> [Sang Bhagavā berkata:] “Para bhikkhu, ada dua jenis orang dungu: seorang yang tidak melihat suatu pelanggaran sebagai pelanggaran; dan seorang yang, ketika orang lain mengakui pelanggaran, tidak memaafkannya sesuai dengan Dhamma. Ini adalah dua jenis orang dungu.” “Ada, Para bhikkhu, dua jenis orang bijaksana: seorang yang melihat suatu pelanggaran sebagai pelanggaran; dan seorang yang, ketika orang lain mengakui pelanggaran, memaafkannya sesuai dengan Dhamma. Ini adalah dua jenis orang bijaksana.” “Suatu ketika di masa lampau, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, menasihati para deva Tāvatiṃsa di aula pertemuan Sudhamma, pada kesempatan itu, ia melantunkan syair ini: [240]

944. “’Bawalah kemarahan ke bawah kendalimu; Jangan biarkan persahabatanmu rusak. Jangan menyalahkan seseorang yang tidak bersalah; Jangan mengucapkan kata-kata yang bersifat memecah- belah. Bagaikan Gunung salju yang longsor Kemarahan menggilas orang-orang jahat.’”667

 

25 (5) Tanpa-kemarahan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana, Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, Sakka, raja para deva, menasihati para deva Tāvatiṃsa di aula pertemuan Sudhamma, pada kesempatan itu, ia melantunkan syair ini: <515>

945. “’Jangan biarkan kemarahan menguasaimu; Jangan marah pada mereka yang marah. Tanpa-kemarahan dan tidak-membahayakan selalu   berdiam Dalam [hati] para mulia. Bagaikan gunung salju yang longsor Kemarahan menggilas orang-orang jahat.’”668

 

<516> ~ Buku Syair-syair Selesai ~

 

 

 

 

Leave a Reply 0 comments