Mora Jataka

Np. 159

MORA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Di sanalah dia bangkit, raja dari semua penglihatan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal. Bhikkhu ini dibimbing oleh beberapa yang lain ke hadapan Sang Guru, yang kemudian bertanya, “Benarkah, Bhikkhu, seperti yang Aku dengar, bahwa Anda menyesal?” “Ya, Bhante.” “Apa yang membuatmu berbuat demikian?” “Seorang wanita yang mengenakan pakaian yang bagus sekali.” Kemudian kata Sang Guru, “Tidaklah mengherankan jika wanita membawa masalah bagi orang seperti dirimu! Bahkan orang bijak, yang selama tujuh ratus tahun tidak melakukan perbuatan buruk (sehubungan dengan nafsu/kilesa), dengan hanya mendengar suara wanita membuat dirinya melakukan pelanggaran dengan segera; bahkan seorang yang suci menjadi tidak suci; bahkan mereka yang telah mencapai kehormatan tertinggi kemudian mendapat aib—apalagi orang biasa!” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dunia ini sebagai seekor merak. Cangkang telur tempat dia berada, memiliki kulit yang berwarna kuning seperti kuncup kaṇikāra26; dan ketika telurnya pecah, dia menjadi seekor merak emas, cantik dan indah, dengan garis-garis indah berwarna merah di bawah sayapnya.

Dalam kehidupannya sehari-hari, dia melewati tiga barisan perbukitan, dan pada bukit keempat dia berdiam, di dataran tinggi sebuah bukit emas di Gunung Daṇḍaka. Ketika hari mulai subuh, saat dia duduk di bukit, sambil memandang terbitnya matahari, dia melafalkan mantra brahma untuk melindungi dirinya agar selamat di lahan makanannya sendiri;

Di sanalah dia bangkit,
Raja dari semua penglihatan
membuat semua benda terang dengan sinar emasnya.
Anda yang saya puja, makhluk yang agung dan mulia
membuat semua benda terang dengan sinar emasmu
Jagalah saya agar selamat,
saya berdoa, melewati hari-hari yang akan datang.

Setelah memuja matahari dengan cara seperti ini dengan mengucapkan mantra yang dibacakan di atas, dia mengulang yang lain untuk memuja Buddha-Buddha yang telah lewat, dan semua kebajikan mereka:

Semua orang suci, yang berbudi luhur,
bijaksana dalam ilmu dan pengetahuan yang mulia,
saya benar-benar menjunjung tinggi, dan
memohon dengan sangat akan bantuan dari mereka:
Semua junjungan kepada yang bijak, untuk
menjunjung tinggi kebijaksanaan, untuk kebebasan,
dan untuk semua yang telah dibebaskan.

Setelah memanjatkan mantra ini untuk melindungi dirinya dari bahaya, sang merak pun pergi makan.

Kemudian setelah terbang selama seharian penuh, dia kembali pulang di saat senja dan duduk di atas bukit untuk melihat terbenamnya matahari; kemudian sambil bermeditasi, dia mengucapkan mantra lain untuk melindungi dirinya dan menjauhkannya dari yang jahat:

Di sanalah dia berada,
Raja dari semua penglihatan,
dia yang membuat semua benda terang dengan sinar emasnya.
Anda yang saya puja, makhluk yang agung dan mulia,
membuat semua benda terang dengan sinar emasmu.
Melewati malam, seperti melewati siang,
jagalah saya supaya aman, saya berdoa.

Semua orang suci, yang berbudi luhur,
bijaksana dalam ilmu dan pengetahuan yang mulia,
saya benar-benar menjunjung tinggi, dan
memohon dengan sangat akan bantuan dari mereka:
Semua junjungan kepada yang bijak, untuk
menjunjung tinggi kebijaksanaan, untuk kebebasan,
dan untuk semua yang telah dibebaskan.

Setelah memanjatkan mantra ini untuk menjaga dirinya dari bahaya, sang merak pun jatuh tertidur.

Kala itu, seorang pemburu jahat tinggal di sebuah desa pemburu liar dekat Benares. Di saat mengembara di sekitar Himalaya, dia melihat Bodhisatta bertengger di bukit emas Gunung Daṇḍaka, dan memberitahukannya kepada putranya.

Secara kebetulan, pada suatu hari, salah satu istri Raja Benares, yang bernama Khemā (Khema), melihat dalam sebuah mimpi seekor merak emas sedang memberikan wejangan. Hal ini diberitahukannya kepada raja, mengatakan bahwa dia ingin sekali untuk mendengarkan wejangan dari merak emas.

Sang raja bertanya kepada anggota istananya tentang ini; dan anggota istananya berkata, “Para brahmana pasti mengetahui tentang ini.” Para brahmana berkata: “Ya, ada merak emas.” Ketika ditanya di manakah mereka berada, mereka menjawab, “Para pemburu pasti mengetahuinya.” Raja memanggil para pemburu dan menanyakannya kepada mereka. Kemudian pemburu ini menjawab, “Oh Paduka, ada sebuah bukit emas di Daṇḍaka; dan ada seekor merak emas hidup di sana.” “Kalau begitu, bawalah dia ke sini–jangan dibunuh, bawalah dia dalam keadaan hidup.”

Pemburu itu mulai memasang perangkap di lahan makanan sang merak. Tetapi bahkan ketika sang merak berpijak di sana, perangkapnya tidak mau menutup. Pemburu ini mencoba untuk tujuh tahun lamanya, tetapi dia tidak sanggup menangkapnya sendirian; dan di sanalah dia meninggal. Ratu Khema pun meninggal tanpa mendapatkan impiannnya.

Raja sangat gusar karena ratunya mati karena seekor merak. Dia memerintahkan agar sebuah pesan ditulis di atas papan emas: “Di antara pegunungan Himalaya terdapat sebuah bukit emas di Gunung Daṇḍaka. Di sana hidup seekor merak emas; dan barang siapa yang memakan dagingnya akan menjadi awet muda dan abadi.” Ini diletakkannya di dalam sebuah peti.

Setelah dia meninggal, raja berikutnya membaca papan ini; dan berpikir, “Saya akan menjadi awet muda dan abadi;” kemudian dia mengutus pemburu yang lain. Seperti yang pertama, pemburu ini gagal untuk menangkap sang merak, dan meninggal dalam pencariannya. Dengan cara yang sama, kerajaan tersebut mengalami kejadian yang sama oleh enam raja-raja penerusnya.

Kemudian yang ketujuh pun bangkit, dia juga mengirim seorang pemburu. Sang pemburu mengamati bahwa ketika sang merak emas datang ke perangkap, perangkap tidak tertutup, dan juga dia mengucapkan mantra sebelum keluar mencari makanan. Kemudian dia pergi, dan menangkap seekor merak betina, yang dilatih untuk menari ketika dia menepuk tangannya dan dengan jentikan jarinya dia membuatnya bersuara. Kemudian, dia membawanya bersamanya, menyiapkan perangkap, meletakkan dengan benar di tanah, saat pagi-paginya, sebelum sang merak mengucapkan mantranya. Kemudian dia membuat merak betina untuk bersuara. Suara yang tidak diinginkan ini—suara (merak) betina—menimbulkan hasrat di dalam hati sang merak; meninggalkan mantra tanpa terucap, dia datang menuju merak betina; dan tertangkap di dalam perangkap. Kemudian sang pemburu membawanya dan menyerahkannya kepada Raja Benares.

Sang Raja sangat senang dengan keindahan sang merak; dan memerintahkan untuk meletakkan sebuah kursi untuk sang merak. Duduk di atas kursi yang telah disediakan, Bodhisatta bertanya, “Mengapa Anda menangkapku, Paduka?”

“Karena mereka berkata bahwa yang memakan dirimu akan menjadi awet muda dan abadi. Maka dari itu, saya berharap untuk menjadi awet muda dan abadi dengan memakan dirimu,” kata raja.

“Kalau begitu — katakanlah benar semua yang memakanku akan menjadi awet muda dan abadi. Tetapi di satu sisi yang lain, saya harus mati!”

“Tentu saja,” jawab raja
“Baiklah—dan jika saya mati, bagaimana bisa dagingku memberikan keabadian bagi yang memakannya?”
“Warnamu adalah emas; Maka dari itu konon mereka yang memakan dagingmu akan menjadi muda dan hidup selama-lamanya27.”

“Paduka,” balas sang burung, “ada alasan yang sangat bagus untuk warna emasku. Dahulu kala, saya mempunyai kekuasaan di seluruh dunia, memerintah tepat di kota ini sebagai seorang Cakkavati28; Saya menjalankan lima latihan moralitas, dan membuat semua orang untuk melakukan yang sama. Untuk itu saya terlahirkan kembali, setelah kematian, di Alam Tāvatiṁsā; di sana saya hidup, tetapi di kelahiran berikutnya saya menjadi seekor merak sebagai hasil dari perbuatan buruk; walaupun demikian, saya berwarna emas karena sebelumnya saya telah menjalankan latihan-latihan moralitas tersebut.”

“Apa? Sangat menakjubkan! Anda adalah seorang raja dunia, yang menjalankan latihan moralitas, dan terlahirkan dengan warna emas sebagai hasilnya! Silakan buktikan!”

“Saya punya satu, Paduka.”
“Apakah itu?”
“Baiklah, Paduka, ketika saya memerintah, saya selalu berjalan di udara dengan kendaraan yang berhiaskan permata, yang sekarang terkubur di bumi, di bawah air danau kerajaan. Galilah dari dasar danau, dan itu akan menjadi bukti.”

Raja menyetujui rencananya; dia memerintahkan untuk mengeringkan danaunya dan menggali keluar kereta kerajaannya, dan kemudian memercayai Bodhisatta. Kemudian Bodhisatta berkata demikian kepadanya: “Paduka, selain nibbana yang abadi, semua benda lain, yang sifatnya merupakan hasil uraian, adalah tidak kekal, semuanya akan selalu berubah, dan akan hidup dan mati.”

Sambil menguraikan tentang pembahasan ini, dia membuat raja menjadi kukuh di dalam latihan moralitas. Kedamaian menyelimuti hati sang raja, dia melimpahkan kerajaannya kepada Bodhisatta, dan menunjukkan penghormatan tertingginya. Bodhisatta mengembalikan pemberiannya dan setelah persinggahannya selama beberapa hari, kemudian dia terbang ke udara dan kembali ke bukit emas di Gunung Daṇḍaka, dengan nasihat perpisahan–“Oh Paduka, selalu waspada!“ Dan raja menuruti nasihat dari Bodhisatta; dan setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan berbuat kebajikan lainnya, dia meninggal untuk menuai hasil sesuai dengan perbuatannya.
____________________

Uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan Kebenarankebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu menjadi mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan diri-Ku sendiri adalah sang merak emas.”

____________________

Catatan kaki :

26 Pterospermum acerifolium.

27 Mungkin karena mereka hidup selama umur emas. Sama prinsipnya dengan batu lumut yang diletakkan dalam peti mati bangsa Cina, untuk melindungi arwah orang yang meninggal. Groot, pada suatu karya tentang kepercayaan Cina, mengutip seorang penulis Cina dari abad ke-4, yang berkata: “Dia yang menerima emas akan hidup selama umur emasnya; Dia yang menerima batu lumut akan hidup selama umur batu lumutnya,” dan menganjurkannya demikian kepada orang-orang (cp. Groot, Religious Systems of China, I. hal 271, 273).

28 Nama yang diberikan secara khusus kepada seorang penakluk dunia. Secara harfiah kata ini berarti “Pemutar roda”, dan ‘roda (cakka)’ dikenal sebagai lambang kerajaan di India. Lihat keterangan selengkapnya di DPPN, Appendix, halaman 1343.

Leave a Reply 0 comments