No. 168
SAKUṆAGGHI-JATAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari makan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang Sakuṇovāda Sutta.
Pada suatu hari, Sang Guru memanggil para bhikkhu dan berkata, ”Para Bhikkhu, pada saat kalian mencari sedekah, tetaplah di daerahmu sendiri.” Dan mengulangi sutta itu dari Mahāvagga yang sesuai dengan kejadian ini, [39] Beliau menambahkan, “Tetapi tunggu sebentar: di masa lampau, yang lain bahkan dalam wujud hewan pun menolak untuk menetap di daerah masing-masing, dan dengan memburu tempat makan orang lain, mereka jatuh di tangan musuh mereka, dan berhasil bebas dari tangan musuh melalui kecerdasan diri dan akal mereka.” Dengan ini, Sang Guru menceritakan kisah di masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dunia ini sebagai burung puyuh. Dia mendapatkan makanan dengan melompat-lompat di atas gumpalan-gumpalan tanah yang sudah dibajak.
Suatu hari, burung puyuh berpikir dia akan meninggalkan lahan makanannya dan mencoba yang lain; maka terbanglah dia ke tepi hutan. Pada saat burung puyuh sedang memungut makanannya, ada seekor elang melihatnya, menyerang dengan ganasnya dan menangkapnya dengan cepat.
Ditangkap oleh elang ini, burung puyuh mengeluarkan rintihannya: “Ah, betapa malangnya diriku! Betapa sedikitnya pengertianku! Saya sedang memburu tempat makan orang lain! Oh kalau saja saya tetap di tempatku, di mana leluhurku berada, maka tentu saja elang ini tidak mungkin bisa menandingiku, maksudku kalau dia berkelahi!”
“Mengapa, Puyuh, elang berkata, “seperti apakah tempatmu, di mana leluhurmu diberi makan?”
“Ladang yang telah dibajak dan penuh gumpalan-gumpalan tanah!”
Pada saat ini, elang melepaskan tenaganya, “Pergilah burung puyuh! Anda tidak akan lepas dariku meskipun di sana!”
Burung puyuh terbang kembali ke tempat asalnya dan bertengger di atas gumpalan tanah yang besar, dan dia berdiri di sana, memanggil—“Kemarilah sekarang, Elang!”
Menegangkan semua urat dan menyeimbangkan kedua sayap, elang menyambar ke bawah dengan ganas terhadap burung puyuh, “Dia datang dengan membawa dendam!” pikir burung puyuh; dan pada saat burung puyuh melihat elang dengan gerakan cepat, dia membalik dan membiarkan elang menyerang penuh ke gumpalan tanah. Elang tidak bisa menahan dirinya, dan menghantam dadanya ke tanah; dan dia jatuh mati dengan matanya yang terbuka.
____________________
Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari makan,
ketika menyambar dari ketinggian,
seekor elang datang;
tetapi dia jatuh dan menghadapi kematian seketika.
Ketika dia telah binasa, burung puyuh pun keluar, berseru, “Saya telah melihat kekuatan musuhku!” dan bertengger di atas dada musuhnya, dia mengeluarkan suara yang sangat gembira dengan kata-kata yang ada di bait kedua:—
Sekarang saya gembira akan kesuksessanku:
rencana yang cerdik kudapatkan.
Untuk melenyapkan musuhku dengan tetap berada di tempat sendiri.
____________________
Di akhir uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kesimpulan kebenaran-kebenarannya, banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian:—“Pada masa itu, Devadatta adalah elang, dan burung puyuh adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
42 Mara adalah kematian, dan digunakan oleh Sang Buddha untuk Yang Terjahat.
43 Jalan yang sudah rusak; tertulis ‘ cakkhu-adi-vinneya’.