
No. 532.
SONA-NANDA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Dewakah atau gandhabbakah,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya. Kejadian yang membawa sampai ke kisah ini sama seperti yang terdapat di dalam Sāma-Jātaka169. Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, janganlah mencemooh bhikkhu ini. Orang bijak di masa lampau, meskipun ditawarkan satu kekuasaan untuk memimpin seluruh Jambudīpa, menolaknya dan (memilih untuk) menghidupi orang tua mereka.

Konon, dahulu kala Kota Bārāṇasī (Benares) dikenal dengan nama Brahmavaḍḍhana. Kala itu, seorang raja yang bernama Manoja170 berkuasa di kota itu. Terdapatlah seorang brahmana hartawan yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta tetapi tidak memiliki seorang putra, dan istrinya memohon untuk mendapatkan seorang putra atas permintaan suaminya. Bodhisatta, yang beranjak meninggalkan alam brahma ketika itu, terkandung di dalam rahimnya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Sona. Di saat ia mampu berlari, seorang makhluk lain lagi beranjak meninggalkan alam brahma dan ia juga terkandung di dalam rahim istrinya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Nanda. Segera setelah Weda diajarkan kepada mereka dan mereka menguasai seluruh ilmu pengetahuan, sang brahmana yang memperhatikan betapa rupawan kedua putranya berkata kepada istrinya, “Istriku, bagaimana jika kita mengikat putra kita, Sona, dalam ikatan perkawinan?” Sang istri menyetujuinya dan memberitahukan masalah ini kepada putranya. [313] Ia membalas, “Saya sudah merasa cukup dengan kehidupan duniawi sekarang ini. Selama Anda masih hidup, saya akan menjagamu, dan setelah Anda meninggal nanti, saya akan pergi ke Himalaya dan meninggalkan keduniawian menjadi seorang petapa.” Sang istri kemudian mengulangi perkataan ini kepada suaminya, dan ketika mereka telah berkali-kali berbicara kepadanya tetapi tidak berhasil membujuknya, mereka beralih kepada Nanda, dengan berkata, “Putraku, jalanilah kehidupan berkeluarga.” Ia menjawab, “Saya tidak akan menerima sesuatu yang ditolak oleh abangku, benda yang seolah-olah seperti dahak (yang dikeluarkan). Saya juga akan mengikuti tindakan abangku menjadi seorang pabbajita sepeninggal kalian.” Kedua orang tua tersebut berpikir, “Meskipun masih belia, mereka telah meninggalkan kesenangan indriawi. Jika mereka ini saja memiliki keinginan menjalani kehidupan seorang petapa, bagaimana pula dengan kami?” dan mereka berkata, “Mengapa harus menunggu kami meninggal baru meninggalkan keduniawian? Kami akan meninggalkan kehidupan berumah tangga sekarang (menjalankan kehidupan petapa).” Dan setelah memberitahukan kepada raja tentang niat mereka tersebut, mereka mendermakan seluruh kekayaan, menjadikan pelayan mereka budak yang bebas dan membagikan apa yang benar dan pantas diberikan kepada saudara-saudara mereka, dan mereka berempat meninggalkan Brahmavaḍḍhana
menuju ke Himalaya. Mereka membuat satu tempat pertapaan di dalam hutan yang menyenangkan, di dekat sebuah danau yang ditumbuhi oleh lima jenis teratai, dan di sana mereka tinggal sebagai petapa. Dua bersaudara itu menjaga kedua orang tua mereka. Pada setiap awal pagi hari, mereka menyiapkan seratserat kayu untuk sikat gigi dan air untuk cuci muka. Mereka menyapu bagian luar dari tempat pertapaan, bagian kamar, dan semuanya, menyediakan air untuk mereka minum, membawakan buah-buahan manis untuk mereka makan, menyediakan baik air dingin maupun air panas untuk mandi, merapikan rambut beranyam mereka, membasuh kaki mereka, dan melakukan pelayanan lain sejenisnya. Setelah beberapa lama berlalu dengan keadaan demikian, Yang Bijak Nanda berpikir, “Saya berkewajiban menyediakan buah-buahan untuk ayah dan ibuku,” jadi buah apa saja yang dapat dikumpulkannya di sekitar tempat itu baik pada waktu kemarin maupun dua hari sebelumnya, akan dibawanya pada awal pagi dan diberikannya kepada orang tuanya untuk dimakan. Mereka kemudian memakannya dan, setelah mencuci mulut, melakukan puasa Uposatha. Sedangkan Yang Bijak Sona pergi jauh untuk mengumpulkan buah-buahan yang manis dan masak, dan mempersembahkannya kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Anakku, awal pagi hari ini kami sudah memakan apa yang dibawakan oleh adikmu.
Sekarang kami melakukan puasa Uposatha. Kami tidak memerlukan buah-buahan ini sekarang. Jadi buah-buahannya tidak dimakan dan juga tidak diterima mereka. Hari berikutnya juga terjadi hal yang sama, dan begitu seterusnya. [314]
Demikianlah, dengan lima kesaktian yang dimilikinya, ia pergi ke tempat jauh untuk mengumpulkan buah-buahan, tetapi mereka tidak memakannya. Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ibu dan ayahku adalah orang lembut, dan Nanda membawakan buah-buahan baik yang belum masak maupun setengah masak untuk mereka makan. Dan bila keadaannya terus begini, mereka tidak akan dapat hidup untuk waktu yang lama. Akan kuhentikan perbuatannya.” Maka untuk memberitahunya, ia berkata, “Mulai hari ini, jika Anda hendak membawakan buah-buahan untuk mereka, Anda harus menunggu sampai saya kembali terlebih dahulu, baru kemudian kita berdua akan memberikannya kepada mereka untuk dimakan.” Meskipun diberitahu demikian, tetapi karena menginginkan jasa kebajikan untuk dirinya sendiri, ia tidak mengindahkan perkataan saudaranya. Sang Mahasatwa kemudian berpikir, “Nanda tidak menghiraukan perkataanku, melakukan perbuatan yang salah. Akan kuusir dirinya.” Dengan memiliki pemikiran bahwa ia sendiri yang akan menjaga kedua orang tuanya, ia pun berkata, “Nanda, Anda tidak mengindahkan perkataanku, tidak berbuat sesuai apa yang dinasihatkan oleh yang bijak. Saya adalah putra sulung. Ibu dan ayah adalah tanggung jawabku: Akan kujaga mereka sendirian. Anda tidak lagi boleh tinggal di tempat ini, pergilah ke tempat lain,” dan ia menjentikkan jarinya. Setelah diusir demikian, Nanda tidak lagi boleh berada di hadapan saudaranya, dan setelah mengucapkan perpisahan dengannya, ia menghampiri kedua orang tuanya dan memberitahu mereka apa yang terjadi. Setelah menuju ke gubuk daunnya sendiri, Nanda melatih meditasi kasiṇa dan kemudian dari hari itu ia mengembangkan lima kesaktian dan delapan pencapaian (meditasi). Ia berpikir, “Aku dapat mengambil pasir permata dari kaki Gunung Sineru dan dengan menaburkannya di kamar abangku, kudapat memohon maaf darinya, dan jika itu tidak berhasil, akan kuambilkan air dari Danau Anotatta dan kemudian memohon maaf darinya. Jika itu tidak berhasil, dan jika abangku akan memaafkanku setelah kudatangkan makhlukmakhluk dewata, maka akan kubawa empat maharaja dan juga Dewa Sakka, kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini juga tidak berhasil, akan kubawa raja termasyhur di seluruh India, Manoja, berikut dengan para raja lainnya, dan kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini dilakukan, ketenaran dari abangku akan tersebar ke seluruh India dan bersinar terang seperti matahari dan bulan.” Dengan kesaktiannya, ia tiba di Kota Brahmavaḍḍhana di depan pintu istana raja dan mengirimkan pesan kepada raja (melalui penjaga pintu) yang berbunyi, “Seorang petapa hendak bertemu dengan Anda.” Raja berkata, “Ada urusan apa seorang petapa datang menemuiku? Ia pasti datang untuk mendapatkan makanan.” Raja memberikannya makanan, tetapi ia tidak mengambilnya. Kemudian raja memberikannya beras, dan kain, dan daun pinang sirih171, tetapi ia tidak juga mengambilnya. Akhirnya raja mengutus seorang pengawal untuk menanyakan alasan kedatangannya, dan untuk memberikan jawaban kepada pengawal itu, ia berkata, “Saya datang untuk melayani raja.” Mendengar ini, raja kembali mengirim pengawalnya dengan berkata, “Saya memiliki banyak pelayan, mintalah ia lakukan saja pekerjaannya sebagai seorang petapa.” Ketika mendengar jawaban raja, ia membalas, “Dengan kekuatanku sendiri akan kudapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India dan memberikannya kepada rajamu.”
Sewaktu mendengar hal ini, raja berpikir, “Pada umumnya, para petapa adalah orang yang bijak. Pastilah mereka mengetahui suatu trik tertentu untuk itu.” Kemudian raja meminta pengawal untuk membawanya menghadap, memberikannya tempat duduk dan setelah memberi salam hormat kepadanya, bertanya, “Bhante, apakah Anda mampu mendapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India, seperti yang dikatakan, dan akan memberikannya kepadaku?” “Ya, Paduka.” “Bagaimana Anda melakukannya?” “Paduka, tanpa mencucurkan darah siapa pun, bahkan tidak sedikit pun jumlah yang dapat diminum seekor lalat kecil, tanpa menghabiskan harta kekayaanmu. Dengan kesaktianku sendiri, akan kudapatkan kekuasaanku dan kuberikan kepadamu. Hanya saja, hari ini juga, tanpa ditunda lagi Anda harus berangkat maju.” Raja memercayai kata-katanya dan berangkat, dikawal oleh para pasukannya. Jika cuaca panas, Nanda menciptakan peneduh (untuk melindungi mereka dari panas) dan membuatnya terasa dingin. Jika hari hujan, ia tidak membiarkan air membasahi pasukan tersebut; ia menjaga kehangatan hembusan angin. Ia menghilangkan tunggul-tunggul pohon, semak-semak berduri dan segala jenis bahaya. Ia membuat jalanan menjadi sama ratanya seperti saat ia mengembangkan meditasi kasiṇa. Dengan membentangkan pakaian dari kulit antelop-nya, ia duduk bersila di atasnya di angkasa, dan berada di depan pasukan raja. Dengan cara demikian, pertama kalinya mereka tiba di Kerajaan Kosala, dan setelah membuat barak di dekatnya, ia mengirimkan sebuah pesan kepada Raja Kosala, memintanya untuk menyerah atau bertempur dengannya. Raja menjadi marah dan berkata, “Apaapaan ini, saya tidak lagi menjadi raja? Saya akan bertempur denganmu,” dan ia pun berangkat maju memimpin pasukannya di depan, [316] dan kedua kubu pasukan itu pun terlibat dalam satu pertempuran. Yang Bijak Nanda, setelah membentangkan dengan lebar pakaian dari kulit antelop yang sedang didudukinya tersebut di antara kedua kubu pasukan, menarik semua panah yang ditembakkan oleh masing-masing pasukan, dan tak seorang pun di kedua kubu itu yang terluka. Dan ketika semua panah milik mereka habis, kedua kubu pasukan itu hanya dapat berdiri tak berdaya. Dan Nanda mendatangi Raja Kosala, mencoba meyakinkan dirinya, dengan berkata, “Paduka, janganlah takut. Tidak ada bahaya yang mengancam kerajaanmu. Kerajaan masih akan tetap menjadi milikmu, Anda cuma menyerah kepada Raja Manoja.” Ia memercayai apa yang Nanda katakan dan setuju dengannya. Kemudian dengan membawanya ke hadapan Raja Manoja, Nanda berkata, “Raja Kosala menyerah padamu, Paduka. Biarlah kerajaannya tetap menjadi miliknya.” Manoja juga mengiyakannya dan setelah menerima penyerahannya, ia melanjutkan perjalanan dengan dengan kedua pasukan itu ke Kerajaan Aṅga dan menaklukkan Aṅga, kemudian menaklukkan Magadha. Dengan cara demikian, ia menjadikan dirinya sebagai raja termasyhur di seluruh India, dan dengan ditemani oleh mereka (para raja), ia pun kembali ke Kota Brahmavaḍḍhana. Kala itu, raja menghabiskan waktu selama tujuh tahun, tujuh bulan, dan tujuh hari untuk menaklukkan seluruh kerajaan yang dikuasai oleh para raja tersebut. Dari masing-masing kerajaan, ia mengambil semua jenis makanan, yang keras dan yang lunak, dan seluruh raja yang berjumlah seratus satu orang, selama tujuh hari ia mengadakan pesta bersama mereka. Yang Bijak Nanda saat itu berpikir, “Saya tidak akan memperlihatkan diriku kepada raja sampai ia selesai menikmati kesenangan dari kekuasaan ini selama tujuh hari.” Dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan di negeri Kuru Utara, ia tinggal di Gua Emas di pegunungan Himalaya selama tujuh hari. Setelah tujuh hari berlalu, pada hari ketujuh, Manoja memikirkan kembali tentang kejayaan dan kekuasaannya, dan teringat kepada dirinya, “Kejayaan ini bukan diberikan oleh ayahku, ibuku, atau saudaraku yang lainnya. Kejayaan ini murni dari Nanda si petapa, dan hari ini adalah hari ketujuh sejak terakhir kali saya melihatnya. Di mana gerangan teman yang memberikan kejayaan demikian ini kepadaku?” Dan ia pun kemudian terus teringat kepada Nanda. Dan Nanda, yang mengetahui bahwa dirinya telah diingatnya, datang dan berdiri di angkasa muncul di hadapannya. Raja berpikir, “Saya tidak tahu apakah petapa ini adalah seorang manusia atau seorang dewa. [317] Jika ia adalah seorang manusia, akan kuberikan kepadanya kekuasaan ini yang memerintah seluruh India. Akan tetapi, jika ia adalah seorang dewa, akan kuberikan penghormatan yang selayaknya diberikan kepada seorang dewa,” untuk membuktikan pemikirannya, ia mengucapkan bait pertama berikut:
Dewakah atau gandhabbakah dirimu? Atau Anda adalah Sakka, yang muncul di tengah-tengah manusia, dengan segala kesaktiannya? Kami sangat ingin mengetahuinya darimu.
Mendengar perkataannya, Nanda memaparkan keadaan sebenarnya dalam bait kedua berikut:
Bukanlah Dewa, bukanlah gandhabba, apalagi Sakka diriku ini; Saya hanyalah seorang manusia yang memiliki kesaktian.
Kebenaranlah yang kuberitahukan ini padamu.
Ketika mendengar perkataannya ini, raja berpikir, “Ia mengatakan bahwa ia adalah seorang manusia. Meskipun demikian, ia sangatlah membantuku. Akan kubalas ia dengan keagungan yang kuberikan padanya,” dan kemudian berkata:
Besar pelayanan yang Anda berikan kepada kami, melebihi yang dapat diungkapkan dengan kata-kata, di tengah derasnya hujan tak setetes air pun yang mengenai kami.
Satu peneduh Anda ciptakan untuk kami ketika angin panas berhembus.
Dari batang-batang panah172 mematikan Anda melindungi kami, di tengah musuh-musuh yang tak terhitung jumlahnya.
Berikutnya banyak kerajaan makmur yang Anda jadikan saya sebagai pemimpinnya, terdapat seratus kesatria yang kemudian tunduk pada kata-kata kami.
Apa yang menjadi pilihanmu dari harta kekayaan kami, dengan senang hati diberikan padamu;
Kereta yang ditarik oleh kuda atau gajah, atau wanitawanita yang didandani dengan indahnya, atau bahkan jika sebuah kediaman (istana) menjadi pilihanmu, itu pun akan menjadi milikmu.
Di Kerajaan Aṅga atau Magadha jika Anda ingin berdiam, atau di Kerajaan Assaka atau Avanti, akan dengan senang hati pula kami berikan.
Bahkan setengah dari kerajaan yang kami miliki akan diberikan dengan senang hati, katakan saja apa yang hendak Anda miliki, dengan segera itu menjadi milikmu.
[318] Mendengar perkataan raja ini, Nanda, untuk menjelaskan keinginannya, berkata:Bukanlah kekuasaan yang kuinginkan, bukan pula sebuah kerajaan atau kota, ataupun kekayaan yang kuhendaki.
“Tetapi jika memang Anda mengasihi diriku,” katanya lagi, “Lakukanlah satu hal yang kukatakan berikut ini.”
Di dalam kerajaanmu kedua orang tuaku tinggal, menikmati ketenangan di satu tempat pertapaan dalam hutan.
Tinggal bersama orang tuaku ini adalah seorang bijak, Sona, dengannya tak bisa kudapatkan jasa kebajikan dari mereka. Jika Anda dapat membantuku, kemarahannya akan reda.
Kemudian raja berkata kepadanya:
Dengan senang hati, wahai brahmana, akan kulakukan permintaanmu ini.
Akan tetapi, siapa gerangan yang harus kubawa untuk dapat mewujudkannya?
[319] Kemudian Yang Bijak Nanda berkata:Lebih dari seratus perumah tangga, lebih dari seratus brahmana, dan semua kesatria mulia dan terkemuka ini, beserta dengan Manoja, cukup untuk mewujudkan keinginanku.
Kemudian raja berkata:
Mari kita pergi, dengan kuda-kuda dan gajah-gajah pada keretanya; Mari kita pergi, kembangkanlah panji-panjiku pada tiang-tiang kereta.
Saya akan pergi ke tempat Kosiya173 sang petapa itu tinggal.

Demikian dikawal oleh empat kelompok pengawal, raja itu berangkat mencari tempat ia, petapa tenang itu, bertempat tinggal. —Bait ini diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.

Pada hari ketika raja tiba di tempat pertapaan yang dituju, Yang Bijak Sona terpikir [320], “Hari ini sudah lebih dari tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari sejak adikku pergi meninggalkan kami. Di mana gerangan ia berada sekarang?”
Kemudian memindai dengan menggunakan mata dewanya, ia melihat saudaranya dan berkata dalam dirinya sendiri, “Ia sedang menuju ke sini beserta dengan seratus satu raja dan rombongan pasukan yang berjumlah dua puluh empat legiun174 untuk meminta maaf kepadaku. Para raja ini beserta dengan pasukannya telah menyaksikan banyak hal luar biasa yang dilakukan oleh adikku, dan karena tidak mengetahui kesaktianku, mereka berkata tentang diriku, ‘Petapa palsu ini terlalu bangga dengan kesaktiannya dan mencoba membandingkan dirinya dengan pemimpin kami.’ Dengan kesombongan yang demikian ini, mereka dapat berakhir di alam neraka. Akan kutunjukkan kepada mereka sedikit dari kekuatanku,” dan melayang di angkasa dengan meletakkan pemikulnya tidak bersentuhan dengan bahunya pada jarak empat aṅgula, demikian ia terbang, melewati dekat pada raja, untuk mengambil air di Danau Anotatta. Ketika melihat kedatangannya tersebut, Nanda tidak memiliki keberanian untuk memperlihatkan dirinya, ia menghilang dari tempat ia duduk, melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Himalaya. Lain halnya dengan Raja Manoja yang ketika melihatnya dalam penampilan seorang resi, berujar:
Siapa gerangan itu, yang mengambil air, dengan cara terbang demikian di angkasa, dengan pemikul yang tidak bersentuhan dengannya pada jarak empat aṅgula?
Disapa demikian oleh raja, Sang Mahasatwa mengucapkan dua bait berikutnya:
Saya adalah Sona, yang sempurna dalam perilaku dan praktik moral (sila);
Kedua orang tuaku kujaga dengan perasaan tanpa lelah siang dan malam.
Buah-buahan dan akar-akaran di hutan kukumpulkan sebagai makanan untuk mereka, dengan selalu mengingat bagaimana baiknya mereka dahulu terhadap diriku.
Mendengar perkataannya ini, raja ingin untuk berteman dengannya dan mengucapkan bait berikut:
[321] Kami ingin mengunjungi tempat pertapaan Kosiya tinggal, tunjukkanlah jalannya, Sona, yang membawa kami menuju ke sana.Kemudian Sang Mahasatwa dengan kekuatannya memunculkan setapak jalan yang mengarah ke tempat pertapaan itu, dan mengucapkan bait ini:
Inilah jalannya: Perhatikanlah dengan baik, wahai raja, kumpulan pohon koviḷāra175 yang menyerupai awan, di sanalah Kosiya tinggal.

Demikian sang maharesi memberi petunjuk kepada para kesatria, kemudian kembali terbang ke angkasa pulang ke kediamannya.
Berikutnya setelah menyapu tempat pertapaannya, ia masuk ke dalam gubuk daun, membangunkan ayahnya dan memberikannya tempat duduk.
‘Marilah,’ katanya, ‘Wahai maharesi, duduklah di sini, karena para kesatria terkemuka akan melewati jalan ini.’
Laki-laki tua itu mendengar perkataan putranya, muncul di hadapannya, keluar dari gubuknya dan duduk di dekat pintu. —Bait-bait tersebut di atas diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.

Dan pada waktu yang bersamaan ketika Bodhisatta kembali ke tempat pertapaannya, Nanda menghadap kepada raja dengan membawakannya air dari Anotatta, dan kemudian membuat barak yang tidak jauh dari tempat pertapaan tersebut.
Kemudian raja mandi dan berhias diri dengan segala kebesarannya, dan dengan diikuti oleh seratus satu raja tersebut, ia pergi bersama pula dengan Nanda dalam segala kehormatan dan kejayaannya, masuk ke tempat pertapaan, memohon kepada Bodhisatta untuk memaafkan saudaranya. Kemudian ayah dari Bodhisatta, ketika melihat raja datang menghampiri mereka, bertanya kepada Bodhisatta dan beliau pun menjelaskan masalahnya kepada dirinya.

Ketika melihatnya, dalam kebesarannya, datang menghampiri, dikelilingi oleh rombongan kesatria, Kosiya demikian berujar:
Siapa ini yang berombongan datang ke sini diiringi dengan tabuhan genderang, bunyi dari trompet dan dari kerang, suara-suara musik yang dilantunkan untuk para raja? Siapa ini yang datang dengan segala kejayaannya?
Siapa ini yang, dalam kebesarannya, datang dengan serban emas, terang seperti cahaya, dan dipersenjatai dengan panah, seorang pemuda pemberani?
Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan wajah bercahaya keemasan, seperti bara kayu khadira176, bersinar di perapian?
Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan payung dipegang demikian melindunginya, badannya menghalangi pancaran sinar matahari?
Siapa ini yang dengan kipas bulu ekor sapi yak di kedua sisi, terlihat seperti ia yang bijaksana, duduk di atas punggung gajah?
Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan payung yang semuanya berwarna putih, di sekelilingnya semua mengenakan baju besi, merupakan keturunan bangsawan?
Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dikelilingi oleh seratus satu kesatria, serombongan raja mulia, baik di depan maupun di belakang?
Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan bala tentaranya, diikuti oleh empat kelompok pengawal— pasukan bergajah, berkuda, berkereta, berjalan kaki?
Milik siapakah ini, legiun-legiun pasukan tak terhitung jumlahnya, berbaris di belakangnya seperti ombak di lautan luas?
Adalah Manoja, raja dari para raja, dengan Nanda yang datang ini, seakan-akan seperti Indra, raja para dewa, ke tempat pertapaan orang yang menapaki kehidupan suci.
Itu adalah miliknya, legiun-legiun pasukan tak terhitung jumlahnya, berbaris di belakangnya seperti ombak di lautan luas.
[323] Sang Guru berkata:Dengan aroma wangi cendana, mengenakan busana terbaik dari negeri Kāsi, mereka semuanya memberi hormat bersikap anjali dan menghampiri sang resi.

Kemudian Raja Manoja memberi hormat, mengambil tempat di satu sisi, dan setelah saling memberi salam, mengucapkan dua bait berikut:
Saya pikir mungkin Anda dalam keadaan baik dan sehat, dengan buah-buahan dan akar-akaran yang dapat dikumpulkan di tempat tinggalmu, bukan?
Saya pikir mungkin Anda ada diganggu oleh lalat, nyamuk, atau hewan kecil bersayap lainnya, atau bahkan dari serangan hewan pemangsa, bukan?
Bait-bait berikutnya ini kemudian diucapkan oleh mereka dalam bentuk tanya jawab:
Kami berada dalam keadaan baik dan sehat, dengan buah-buahan dan akar-akaran yang dapat dikumpulkan di tempat tinggalku.
Kami bebas dari gangguan lalat, nyamuk, atau hewan kecil bersayap lainnya, dan tidak diserang oleh hewan pemangsa.
Banyak pohon akasia177 yang tumbuh, tak ada penyakit mematikan yang pernah muncul di tempat pertapaan ini.
Selamat datang, wahai raja! Merupakan suatu kesempatan yang berbahagia Anda datang ke tempat ini.
Anda adalah orang yang agung dan berjaya: Katakan, keperluan apa yang membawamu datang?
Buah tiṇḍukā, piyālā178, kāsumārī, serta buah-buahan lainnya yang manis; Ambillah yang terbaik yang kami miliki, wahai raja, dan makanlah.
Dan air yang dingin ini dari sebuah gua yang tersembunyi di bukit yang tinggi, wahai raja, ambillah air ini dan minumlah jika berminat179.
Kuterima semua tawaran persembahanmu, tetapi mohon dengarkanlah apa yang ingin disampaikan oleh Nanda, teman kami, berikut ini.
Karena, kami semua dalam rombongan ini, yang datang ke tempat ini adalah untuk meminta padamu mendengarkan permohonan dari Nanda.
Lebih dari seratus perumah tangga, lebih dari seratus brahmana, dan semua kesatria mulia dan terkemuka ini, beserta dengan Manoja, cukup untuk mewujudkan keinginanku.
Para yaksa yang berkumpul di tempat ini, dan makhlukmakhluk halus lainnya, tua dan muda, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan.
Hormatku pada mereka ini, kusapa ia yang berada di samping resi, bagiku ia adalah seorang abang, tepat di sebelah kananmu.
Untuk melayani kedua orang tuaku yang telah berusia lanjut adalah permohonanku:
Berhentilah menghalangiku atas kewajiban mulia ini.
[325] Pelayanan yang baik kepada orang tua kita telah lama dilakukan oleh dirimu;Orang bajik pastilah setuju dengan perbuatan ini— mengapa Anda tidak bersedia memberikannya kepadaku? Dengan jasa kebajikan yang diperoleh membuatku dapat terlahir di alam menyenangkan.
Ada juga orang lain yang tahu dalam jalan kewajiban ini, merupakan jalan menuju alam surga, sama sepertimu yang mengetahuinya.
Tetapi diriku dihalangi untuk memperoleh jasa kebajikan seperti ini, di saat kuberikan pelayanan agar orang tuaku mendapatkan kebahagiaan.
[326] Setelah demikian Nanda berkata, Sang Mahasatwa pun membalas, “Anda telah mendengar apa yang hendak dikatakannya. Sekarang dengarkanlah apa yang akan kukatakan,” dan mengucapkan bait berikut ini:Kalian semua yang menjubeli iring-iringan saudaraku, dengarkanlah kata-kataku kali ini;
Ia yang mengurus ayah ibunya di hari tua mereka, berbuat buruk terhadap orang yang lebih tua, akan terbakar, terlahir di alam neraka.
Ia, yang tahu kebenaran, tahu akan jalan kebenaran, berbuat kebajikan menjaga praktik moral, tidak akan terlahir di alam menyedihkan.
Saudara laki-laki atau wanita, orang tua, dan semua yang terikat hubungan darah, kewajiban utama terletak pada yang paling tua.
Sebagai putra tertua, kewajiban yang cukup berat ini kupikul. Dan seperti nahkoda yang mengemudikan laju sebuah kapal, demikianlah diriku tidak akan pernah meninggalkan kebenaran.
Mendengar perkataan ini, para raja tersebut bersukacita dan berkata, “Hari ini kami mengetahui bahwa dari keseluruhan anggota keluarga, kewajiban utama terletak pada pundak anak yang paling tua,” mereka berpaling dari Nanda dan beralih kepada Sang Mahasatwa, mengucapkan dua bait berikut, melantunkan pujian:
Telah kami dapatkan pengetahuan, seperti api yang bersinar di kegelapan, demikianlah yang dilakukan oleh Kosiya memaklumkan kebenaran kepada kami.
Seperti matahari yang, dengan sinarnya, menerangi seluruh lautan, menunjukkan bentuk dari makhlukmakhluk hidup, yang baik maupun yang buruk, demikianlah yang dilakukan oleh Kosiya memaklumkan kebenaran kepada kami.
[327] Demikianlah, walaupun para raja ini telah sekian lama berada di pihak Nanda dengan menyaksikan hasil dari kekuatan gaibnya, tetapi kali ini hanya dengan kekuatan dari kebijaksanaannya, Sang Mahasatwa dapat membuat mereka berpaling darinya. Dikarenakan mereka dapat menerima perkataannya, mereka pun menjadi pelayan yang amat patuh.Kemudian Nanda berpikir, “Abangku adalah orang yang cendekia dan pandai dalam memaparkan kebenaran. Ia telah memenangkan hati para raja tersebut dan membuat mereka beralih kepadanya. Selain dirinya, saya tidak lagi memiliki orang lain sebagai tempat untuk bernaung. Akan kubuat permohonanku ini,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Dikarenakan permohonanku tidak mendapatkan perhatian ataupun uluran tangan, maka aku akan menjadi seorang pelayan yang siap menjalankan semua perintahmu.
Sang Mahasatwa, secara naluriah, tidak menyimpan perasaan benci atau perasaan marah terhadap Nanda. Ia berbuat demikian, dengan memarahinya, hanyalah untuk menurunkan kesombongan dirinya di saat ia berbicara dengan begitu bangganya. Tetapi ketika mendengar apa yang dikatakannya setelah itu, ia menjadi amat gembira, dan karena memiliki keinginan untuk menolongnya, ia berkata, “Sekarang Anda saya maafkan, dan saya perbolehkan untuk menjaga ayah dan ibu,” kemudian untuk memberitahukan kebajikannya ini, ia berkata:
Nanda, Anda mengetahui dengan sangat baik Kebenaran, seperti yang diajarkan oleh para ariya kepadamu ‘Jadilah mulia untuk berbuat bajik’—Anda benar-benar membuatku berbahagia.
Hormatku kepada ayah dan ibu: Dengarkanlah apa yang kukatakan ini,
Kehadiran Sona di sini sebagai suatu beban tidaklah pernah dirasakan dalam suasana apa pun.
Ayah dan ibu telah kurawat dalam waktu yang lama, mendapatkan kebahagiaan, sekarang Nanda datang dan memohon dengan rendah hati untuk mendapatkan giliran melayani kalian berdua.
[328] Siapa pun di antara Anda berdua, yang mengamalkan kehidupan suci, yang ingin dirawat oleh Nanda, bersuaralah dan Nanda akan menjagamu.Kemudian ibunya, bangkit dari duduknya, berkata, “Sona anakku, adikmu telah lama pergi dari rumah. Sekarang ia akhirnya kembali lagi, saya sebenarnya tidak berani untuk memintanya menjagaku karena kami berdua selama ini tergantung kepada dirimu. Akan tetapi, jika Anda mengizinkan, saya akan mendekap anak muda ini ke dalam pelukanku dan mencium keningnya,” dan untuk menjelaskan keinginannya ini, ia mengucapkan bait berikut:
Sona, putra tempat kami bergantung, jika Anda memberi izin, saya akan memeluk dan mencium Nanda, yang menjalankan kehidupan suci.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepada ibunya, “Baiklah, Bu, saya berikan izin itu: pergi dan dekaplah putramu, Nanda, dan ciumlah ia di keningnya, hilangkanlah kesedihanmu.
Maka sang ibu pun menghampiri Nanda, memeluknya di hadapan orang banyak itu, menciumnya di bagian kening, menghilangkan kesedihan di dalam hatinya, dan berkata kepada Sang Mahasatwa dalam bait berikut:
Seperti tunas pohon bodhi yang berguncang karena hembusan angin kencang, demikianlah guncangan kegembiraan yang ada di hatiku sewaktu melihat Nanda.
Kelihatannya seperti mimpi, diriku ini yang dapat bertemu kembali dengan Nanda.
Dengan perasaan gembira dan puas kuteriakkan, ‘Nanda kembali kepadaku.’
Akan tetapi jika, setelah bangun, tak lagi kulihat Nanda, maka hatiku akan menjadi mangsa bagi kesedihan yang lebih besar daripada yang sebelumnya.
[329] Kembali kepada orang tua tercintanya, Nanda akhirnya datang ke sini, ia menyayangi suamiku begitu juga diriku, bersama kami, ia membuat rumahnya.Meskipun Nanda menyayangi ayahnya, tetapi biarkanlah ia membuat pilihan tempat tinggal,—Anda yang memenuhi kebutuhan ayah—Nanda akan memenuhi kebutuhanku.
Sang Mahasatwa menyetujui perkataan ibunya dengan berkata, “Baiklah kalau begitu,” dan memberi nasihat kepada saudaranya dengan berkata, “Nanda, Anda telah mendapatkan bagian dari seorang anak tertua; seorang ibu, sesungguhnya, adalah seorang penolong yang mulia. Janganlah lengah (dalam) menjaganya,” dan untuk memberitahukan kebajikan dari seorang ibu, ia mengucapkan dua bait berikut:
Welas asih, baik hati, tempat kita bernaung ia yang memberi kita makan dengan air susunya,
seorang ibu adalah sebuah jalan menuju surga, dan ia amat menyayangimu.
Ia merawat dan membesarkan kita dengan penuh perhatian: ia dilengkapi dengan jasa-jasa kebajikan, seorang ibu adalah sebuah jalan menuju surga, dan ia amat menyayangimu.
Demikianlah Sang Mahasatwa memberitahukan kebajikan dari seorang ibu dalam dua bait kalimat tersebut, dan ketika ibunya duduk kembali di tempat duduknya, ia berkata, “Nanda, Anda telah mendapatkan seorang ibu yang menanggung hal-hal yang sulit untuk dilakukan. Kita berdua telah dibesarkan olehnya dengan susah payah. Sekarang, Anda harus menjaga dirinya dengan penuh kesadaran dan jangan berikan buahbuahan masam kepadanya untuk dimakan,” dan untuk menjelaskan, di tengah kumpulan orang banyak tersebut, hal-hal yang amat sulit yang harus ditanggung oleh seorang ibu, ia berkata:
[330] Untuk mendapatkan seorang putra, ia bersembah sujud memohon dalam doanya, memindai dan mempelajari musim-musim yang silih berganti dan perbintangan.Dalam masa mengandung, ia merasakan keinginannya yang terkabulkan, dan segera bayi yang tidak tahu apaapa itu akan menjadi teman yang disayangi.
Hartanya ini dijaga dengan perhatian yang amat sangat selama hampir satu tahun, kemudian baru melahirkannya dan sejak saat itu ia menyandang gelar seorang ibu.
Dengan air susunya dan ninabobo, ia menenangkan anak yang rewel itu,
Dengan terdekap dalam pelukan hangat ibu, kesedihannya akan teratasi segera.
Untuk menjaganya, anak yang polos itu, baik dari dingin maupun dari panas, ia dapat disebut sebagai seorang pengasuh baik hati, untuk selalu membahagiakan anaknya.
Barang berharga apa saja yang dimiliki oleh suami dan dirinya, akan disimpan untuk anaknya, ‘Mungkin,’ pikirnya, ‘suatu hari nanti, anakku akan memerlukan dan menggunakannya.’
‘Lakukan ini, lakukan itu, Anakku terkasih,’ sang ibu yang cemas itu akan berujar, dan ketika anaknya tumbuh beranjak dewasa, ia pun masih tetap khawatir.
Anak pergi, tanpa memedulikan apa pun, untuk mencari seorang istri sampai malam hari;
Ibu cemas dan menggerutu, ‘Mengapa ia (anakku) tidak pulang sewaktu langit masih terang?’
Jika seseorang yang dibesarkan dengan cara demikian mengabaikan ibunya, tidak merawatnya, tempat berakhir di mana lagi yang diharapkannya selain neraka?
Jika seseorang yang dibesarkan dengan cara demikian mengabaikan ayahnya, tidak merawatnya, tempat berakhir di mana lagi yang diharapkannya selain neraka?
Dikatakan orang yang terlalu mencintai kekayaannya, akan kehilangan kekayaannya itu,
Orang yang mengabaikan ibunya akan segera amat menyesali akibatnya.
Dikatakan orang yang terlalu mencintai kekayaannya, akan kehilangan kekayaannya itu,
Orang yang mengabaikan ayahnya akan segera amat menyesali akibatnya.
Kebahagiaan, kegembiraan, canda tawa, dan kesenangan adalah hal yang pasti didapatkan oleh ia yang merawat ibunya di hari tua mereka.
Kebahagiaan, kegembiraan, canda tawa, dan kesenangan adalah hal yang pasti didapatkan oleh ia yang merawat ayahnya di hari tua mereka.
Selalu memberi, berkata yang baik, berbuat yang baik dan bijaksana, disertai dengan tindakan tanpa pilih kasih di tempat manapun dan waktu kapanpun jua—
Sifat-sifat ini seperti as pada roda kereta.
Meskipun kekurangan sifat ini, tetapi gelar seorang ibu selalu saja menarik bagi anak.
[331] Seorang ibu begitu juga seorang ayah seharusnya mendapatkan penghormatan yang mulia, orang bijak akan setuju dengan orang yang di dalam dirinya terdapat sifat bajik demikian.Demikianlah orang tua, yang patut menerima pujaan, yang berada pada kedudukan yang tinggi, oleh guru terdahulu disebut sebagai brahma. Begitu besarnya ketenaran mereka.
Orang tua yang baik selayaknya menerima penghormatan yang selayaknya pula dari anak-anaknya.
Ia yang bijak akan memberikan penghormatan, dengan pelayanan yang baik nan benar.
Ia seharusnya menyediakan makanan dan minuman, memenuhi kebutuhan untuk tempat tidur dan pakaian, mandi dan meminyaki tubuh serta membasuh kaki mereka.
Atas kewajiban (pelayanan) anak terhadap orang tua ini, orang bijak menyerukan suaranya. Dalam kehidupan ini ia berlimpah ruah dengan kebahagiaan, demikian juga setelah meninggal, menerima kebahagiaan di surga.
[323] Demikian, seakan-akan seperti memutar Gunung Sineru, Sang Mahasatwa menyampaikan uraian kebenaran.Setelah mendengar ini, semua raja beserta para pasukan mereka menjadi orang yang yakin. Maka kemudian setelah mengukuhkan mereka dalam menjalankan lima sila dan menasihati mereka agar berderma dengan penuh kesadaran, serta kebajikan lainnya, ia pun membubarkan mereka. Mereka semua, setelah memerintah kerajaan masing-masing dengan benar, di akhir hidup mereka terlahir sebagai penghuni alamalam dewa. Yang Bijak Sona dan Nanda, selama hidup mereka, melayani orang tua mereka dan kemudian terlahir di alam brahma.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan memaklumkan kebenaran serta mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang menghidupi ibunya itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna—: “Pada masa itu, orang tua adalah anggota kerajaan raja agung, Nanda adalah Ānanda, Raja Manoja adalah Sāriputta, seratus satu raja (kesatria) adalah delapan puluh Mahāthera (Mahathera) ditambah beberapa (puluh) Thera lainnya, dua puluh empat legiun pasukan adalah pengikut (siswa) Sang Buddha, dan Yang Bijak Sona adalah diriku sendiri.”
Catatan Kaki :
169 Vol. VI. No. 540
170 Manoja-Jātaka, Vol. III. No. 397.
171 tambūla. PED: pohon sirih (betel) atau daun pohon sirih (yang biasanya dikunyah-kunyah setelah selesai menyantap makanan).
172 Teks Pali menuliskan suratānaṁ/saratānaṁ (PTS); saratāṇaṃ (CSCD).
173 Nama keluarga (marga) dari Sona dan ayahnya.
174 akkhohiṇī ; PED: salah satu dari angka yang paling tinggi. CSCD: pasukan lengkap. Dalam KBBI, kata legiun berarti pasukan bala tentara terdiri atas 5.000-6.000 personel.
175 Bauhinia variegata.
176 Acacia catechu.
177 khadira; Acacia catechu.
178 Dinamakan Diospyros embryopteris (tiṇḍukā) dan Buchanania latifolia (piyālā) .
179 Tiga bait kalimat ini muncul di dalam Jātaka Vol. IV, hal. 270, versi bahasa Inggris; Sattigumba-Jātaka.