KUSA-JATAKA

NO. 531.
KUSA-JĀTAKA149.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center

[278] “Kerajaan ini, dengan” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang bhikkhu yang menyesal. Ia adalah seorang putra dari keluarga terpandang di Sāvatthi, yang setelah dipaparkan kepadanya ajaran (Buddha), bertahbis menjadi seorang pabbajita. Suatu hari ketika sedang berpindapata di Sāvatthi, ia melihat seorang wanita cantik dan jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Dikalahkan oleh kotoran batin, ia hidup dalam kegelisahan, rambut dan kukunya dibiarkan tumbuh panjang, mengenakan jubah yang kotor, pucat pasi, urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas. Seperti di alam dewa, para dewa yang kehabisan masa ke-dewa-an akan menunjukkan lima pertanda, yakni: bunga-bunga menjadi layu, busana menjadi kotor, badan mengeluarkan bau tidak sedap, ketiak mengeluarkan keringat, dan tidak lagi bersukacita di kediaman mereka. Demikian pula halnya dengan seorang bhikkhu yang menyesal, yang hilang keyakinan pada ajaran, terlihat pula lima pertanda: bunga-bunga keyakinan menjadi layu, busana moral menjadi kotor, dikarenakan ketidakpuasan dan kesalahan badan mereka mengeluarkan bau tidak sedap, keringat kotoran batin keluar, tidak lagi bersukacita dalam kehidupan menyendiri di dalam hutan di bawah kaki pohon—Semua pertanda ini dapat ditemukan pada diri bhikkhu itu. Maka mereka membawanya ke hadapan Sang Guru dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini adalah seorang yang menyesal.” Sang Guru menanyakan apakah hal tersebut benar, dan ketika bhikkhu itu mengakuinya, Beliau berkata, “Bhikkhu, janganlah tunduk kepada kotoran batin.

Wanita itu adalah seorang yang jahat; Hilangkanlah keterpikatanmu terhadap dirinya, bersukacitalah dalam ajaran.

Dahulu dikarenakan jatuh cinta kepada seorang wanita, orang bijak di masa lampau, meskipun kuat, kehilangan kekuatannya dan terjatuh dalam ketidakberuntungan dan kehancuran.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, di Kerajaan Malla, di Kota Kusāvatī 150, Raja Okkāka (Okkaka) memerintah kerajaannya dengan benar. Di antara enam belas ribu orang istrinya, [279] Sīlavatī (Silavati) adalah ratu utamanya. Kala itu, ratu tidak melahirkan seorang putra maupun putri, dan para penduduk kota dan kerajaan berkumpul di depan gerbang istana, sembari mengeluhkan bahwa kerajaan akan musnah. Raja membuka jendelanya dan berkata, “Di bawah kepemimpinanku, tidak ada yang melakukan perbuatan tidak benar. Ada apa kalian menyalahkanku?” “Benar, Paduka,” jawab mereka, “tidak ada yang melakukan perbuatan tidak benar, tetapi Anda tidak memiliki satu orang putra pun untuk meneruskan generasi: orang lain akan merampas kerajaan dan memusnahkannya. Oleh karena itu, mohon dapatkanlah seorang putra, yang nantinya akan mampu memerintah kerajaan dengan benar.” “Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan seorang putra?” “Pertama-tama, keluarkanlah sekelompok gadis penari berstatus rendah selama satu minggu, minta mereka melakukan kewajibannya, jika salah satu dari mereka dapat memberikan Anda seorang putra, maka itu adalah hal yang bagus. Jika tidak, maka keluarkanlah yang berstatus menengah, dan untuk yang terakhir, yang berstatus tinggi. Pastinya di antara sekian banyak wanita, akan ditemukan adanya satu yang cukup jasa kebajikannya sehingga dapat memberikan seorang putra.”

Raja pun melakukan seperti apa yang dinasihatkan oleh mereka, dan pada setiap hari ketujuh, setelah mereka melakukan kesenangan itu, raja akan memanggil dan bertanya kepada mereka masing-masing apakah mereka hamil atau tidak. Dan ketika mereka semuanya menjawab, “Tidak, Paduka,” raja menjadi putus asa dan berkata, “Tidak akan ada putra yang diberikan kepadaku.” Kemudian para penduduk kota dan kerajaan menyalahkan raja kembali seperti semula. Raja berkata, “Mengapa kalian menyalahkanku? Sesuai dengan permintaan kalian, kelompok-kelompok gadis penari telah kukeluarkan dan tak satu pun dari mereka yang hamil. Apa yang harus kulakukan sekarang?” “Paduka,” jawab mereka, “Wanita-wanita ini pastilah berakhlak buruk dan tidak memiliki jasa-jasa kebajikan. Mereka tidak memiliki cukup jasa kebajikan untuk dapat mengandung seorang putra. Akan tetapi karena mereka belum juga dapat memberikanmu seorang putra, Anda tidaklah seharusnya berpasrah diri. Ratu utama, Sīlavatī (Silavati), adalah seorang wanita yang penuh dengan sifat baik. Keluarkanlah ia. Seorang putra akan dikandung olehnya.” Raja menyetujuinya, dan dengan tabuhan bunyi genderang mengumumkan bahwa pada hari ketujuh mulai dari hari itu orang-orang harus berkumpul dan raja akan mengeluarkan Silavati—melakukan kewajibannya. Pada hari ketujuh, ia meminta agar permaisurinya dihias dengan luar biasa indahnya dan dibawa turun dari istana dan ditunjukkan di jalanan. Dikarenakan kekuatan dari kebajikannya, kediaman Sakka menjadi panas. Sakka, setelah memindai apa yang menyebabkan ini, mengetahui bahwa ratu menginginkan seorang putra dan berpikir, [280] “Saya harus memberikan seorang putra kepadanya,” dan sewaktu sedang mencari demikian yang pantas untuk menjadi putranya, Sakka melihat Bodhisatta. Dikatakan, waktu itu, setelah melewati kehidupannya di Alam Tāvatiṁsā, ia (Bodhisatta) memiliki keinginan untuk terlahir di luar alam dewa.

Setelah tiba di depan pintu kediamannya, Sakka menyapanya dengan berkata, “ Mārisa, Anda akan turun ke alam manusia dan dikandung di rahim permaisuri Raja Okkāka (Okkaka),” dan kemudian setelah mendapatkan persetujuan dari dewa yang satu lagi, ia berkata, “Dan Anda juga akan menjadi putranya.” Agar tidak seorang pun merusak kebajikannya (Silavati), dengan menyamar sebagai seorang brahmana tua, Sakka pergi ke menuju gerbang istana. Orang-orang lainnya juga, setelah membersihkan dan menghias diri, masing-masing dengan pikiran untuk mendapatkan sang ratu, berkumpul menuju gerbang istana. Ketika melihat penampilan Sakka, mereka tertawa, sembari menanyakan mengapa ia datang. Sakka berkata, “Mengapa kalian mencelaku? Meskipun saya tua, tetapi semangatku (nafsu) tidak. Saya datang ke sini dengan harapan dapat membawa Silavati pergi bersamaku, dan saya pasti akan mendapatkannya.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, dengan kekuatan gaibnya, ia berhasil berada di depan mereka semua, dan juga disebabkan oleh kekuatan kebajikannya, tidak ada sorang pun yang mampu berdiri di depannya (mendahului).

Ketika ratu, yang telah berdandan dengan segala kebesarannya, melangkah keluar dari istana, ia menarik tangannya dan pergi bersamanya. Kemudian mereka yang berdiri di sana mencelanya, dengan berkata, “Lihatlah dirinya, seorang brahmana tua pergi dengan seorang ratu yang amat cantik. Ia tidak menyadari apa yang akan terjadi kepadanya.” Ratu juga berpikir, “Seorang tua membawaku pergi.” Ia merasa kesal dan marah, bahkan jengkel. Raja yang berdiri pada jendela melihat siapa gerangan yang membawa ratu pergi. Ketika melihat pelakunya, raja menjadi sangat tidak senang. Sakka, yang pergi bersama dengan permaisuri melewati pintu gerbang, dengan kekuatan gaibnya menciptakan sebuah rumah di tempat yang tidak jauh, dengan pintu yang terbuka dan satu tumpukan kayu.

“Apakah ini rumahmu?” tanyanya. “Ya, Ratu, sebelumnya saya hanya tinggal sendirian. Sekarang sudah ada kita berdua. Saya akan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan membawa pulang nasi untukmu. Sementara itu, berbaringlah di tumpukan kayu ini. Sehabis berucap demikian, [281] ia mengelusnya dengan lembut, seketika itu juga, ratu kehilangan kesadarannya. Kemudian dengan kekuatan gaibnya, ia membawa ratu ke Alam Tāvatiṁsā dan mendudukkannya di tempat duduk surgawi dalam sebuah istana kahyangan. Pada hari ketujuh, ia terbangun dan melihat semua kemegahan ini, kemudian mengetahui bahwa orang itu bukanlah seorang bramana tua, tetapi adalah Dewa Sakka. Kala itu, Sakka duduk di bawah pohon pāricchattaka151, dikelilingi oleh para gadis penari surgawi. Bangkit dari tempat ia duduk, ratu menghampiri dan memberi hormat kepada Dewa Sakka dan berdiri di satu sisi.

Kemudian Sakka berkata, “Saya akan memberikan satu anugerah kepadamu. Katakanlah apa yang menjadi keinginanmu.” “Anugerahkanlah kepadaku seorang putra.” “Tidak hanya seorang putra, tetapi saya akan memberikanmu dua orang putra. Satu di antara mereka akan menjadi orang yang bijaksana tetapi buruk rupa, dan yang satunya lagi akan menjadi orang yang rupawan tetapi tidak bijaksana. Yang mana yang Anda pilih terlebih dahulu?” “Yang bijaksana,” jawabnya. “Baiklah,” balasnya, dan ia memberikan kepada ratu sehelai rumput kusa, busana dan cendana surgawi, bunga dari pohon pāricchattaka, dan sebuah kecapi Kokanada152, kemudian membawanya ke kamar tidur raja dan membaringkannya di ranjang bersama dengan raja, menyentuh bagian pusarnya, dan seketika itu juga, Bodhisatta terkandung di dalam rahimnya. Dan Sakka pun kemudian kembali ke kediamannya. Ratu yang bijaksana itu mengetahui bahwa ia telah mengandung. Kemudian raja, sewaktu terbangun dan melihat ratu, menanyakan kepadanya siapa yang telah membawanya ke sana. “Dewa Sakka, Paduka.”

“Apa! Dengan mata kepalaku sendiri kulihat seorang brahmana tua membawamu pergi. Mengapa Anda mencoba untuk menipuku?” “Percayalah kepadaku, Paduka. Dewa Sakka membawaku bersamanya ke alam dewa.” “Ratu, saya tidak memercayaimu.” Kemudian ratu menunjukkan kepadanya rumput kusa yang diberikan oleh Sakka, dan berkata, “Sekarang, percayalah padaku.” Raja berpikir, “Rumput kusa dapat diperoleh di mana saja,” dan masih tidak memercayainya. Kemudian ratu menunjukkan kepadanya busana surgawi itu. Ketika melihatnya, raja mulai memercayainya dan berkata, “Ratu, katakanlah Dewa Sakka yang membawamu pergi. Apakah Anda sekarang mengandung?” “Ya, Paduka, saya sudah hamil.” Raja menjadi gembira dan melakukan upacara selayaknya untuk seorang wanita hamil. Dalam waktu sepuluh bulan, ratu melahirkan seorang putra. Tidak memberikannya nama yang lain lagi, [282] mereka langsung memberinya nama seperti nama rumput itu, Kusa. Di saat Pangeran Kusa telah dapat berlari, dewa yang kedua dikandung di dalam rahim ratu. Kepada putra yang kedua, mereka memberinya nama Jayampati. Kedua anak itu dibesarkan dengan segala kemewahan kerajaan. Bodhisatta adalah pangeran yang demikian bijaknya sehingga, tanpa belajar dari gurunya, dengan kemampuannya sendiri menguasai semua cabang ilmu pengetahuan. Maka ketika ia berusia enam belas tahun, raja berkeinginan untuk memberikan kerajaan kepadanya, dan berkata kepada ratu demikian, “Untuk memberikan kerajaan ini kepada putramu, kita akan menggelar perayaan tarian, dan saat itu kita akan melihatnya naik takhta dalam kehidupan kita. Jika ada seorang putri raja yang Anda sukai, ketika putra kita membawanya, maka kita akan menjadikan putri itu sebagai permaisurinya. Beritahukanlah ia agar dapat mengetahui putri raja yang bagaimana yang diinginkannya.” Ratu menyetujuinya dan mengirimkan seorang pelayan untuk memberitahukan masalah ini kepada pangeran dan meminta tanggapannya. Pelayan itu pergi dan memberitahu pangeran tentang kejadian itu. Ketika mendengar apa yang dikatakan si pelayan, Sang Mahasatwa berpikir, “Saya adalah seorang yang buruk rupa. Seorang putri yang cantik, ketika dibawa ke tempat ini sebagai pengantinku dan melihatku, akan berkata, ‘Apa yang kulakukan dengan orang jelek ini?’ dan ia akan melarikan diri, kami akan menanggung malu. Apalah gunanya kehidupan berumah tangga bagiku? Saya akan merawat kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup, dan di saat mereka meninggal, saya akan meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang pabbajita.” Maka ia berkata, “Apalah gunanya sebuah kerajaan atau perayaan bagiku? Setelah orang tuaku meninggal, saya akan menjalani kehidupan seorang petapa.” Si pelayan kembali dan memberitahu ratu apa yang telah dikatakan oleh pangeran. Raja merasa sangat kecewa dan setelah beberapa hari kemudian, ia mengirimkan sebuah pesan kembali, tetapi pangeran menolak untuk mendengarkannya.

Setelah tiga kali menolak permintaan itu, pada kali keempat, ia berpikir, “Tidaklah baik terus-menerus bersikap membangkang terhadap orang tua. Saya akan merancang sesuatu.” Kemudian ia memanggil seorang pandai besi, dan dengan memberikannya sejumlah emas, ia memintanya untuk pergi dan membuatkan untuknya sebuah patung wanita. Setelah ia pergi, pangeran mengambil lebih banyak emas lagi dan membuatnya menjadi bentuk seorang wanita. Tujuan dari seorang Bodhisatta selalu berhasil. Patung wanita tersebut amat cantik, di luar batas kemampuan mulut untuk mengungkapkannya. Kemudian Sang Mahasatwa mengenakan kain sutra padanya dan meletakkannya di dalam ruang utama. Sewaktu melihat patung yang dibawa oleh si tukang pandai besi, pangeran mencelanya, dan berkata, “Pergi, bawalah patung yang ada di ruang utama.” [283] Laki-laki itu masuk ke dalam ruang utama dan sewaktu melihatnya, berpikir, “Pastinya ini adalah bidadari dewa yang datang untuk bersenang-senang dengan pangeran,” dan ia meninggalkan ruang itu, tanpa memiliki keberanian untuk menyentuhkan tangannya pada ia. Dan ia berkata kepada pangeran, “Yang Mulia, yang sedang berdiri di dalam ruang utamamu adalah seorang bidadari dewa. Saya tidak memiliki keberanian untuk menyentuh dirinya.” “Teman,” balasnya, “pergi dan ambillah patung emas itu.” Dikarenakan mendapat perintah yang sama untuk kedua kalinya, pandai besi itu pun membawanya.

Pangeran memerintahkan agar patung yang telah dibuat oleh pandai besi itu dimasukkan ke dalam ruang emas, sedangkan patung yang telah dibuat dan dihiasnya sendiri itu diletakkan dalam kereta dan dikirimkan kepada ibunya, dengan berpesan demikian, “Jika saya dapat menemukan wanita seperti ini, maka saya akan menjadikannya sebagai istriku.” Ibunya memanggil para menteri istana dan berkata demikian kepada mereka, “Para menteri, putra kami ini memiliki jasa kebajikan yang besar dan merupakan anugerah dari Dewa Sakka. Ia harus mendapatkan seorang putri yang pantas bersanding dengannya. Pergilah kalian dengan meletakkan patung ini di dalam kereta yang terlindungi dan carilah di seluruh India putri dari raja manapun yang kalian lihat mirip dengan patung ini, persembahkan patung ini kepada raja itu dan katakan, ‘Raja Okkaka akan mengatur pernikahan putranya153 dengan putrimu.’ Kemudian aturlah satu hari untuk kepulangan kalian ke sini.” “Baiklah,” balas mereka, dan membawa patung itu pergi beserta dengan rombongan besar. Dalam perjalanan mereka ke kerajaan mana saja yang mereka kunjungi, di sana pada sore hari, tempat orang-orang terlihat berkumpul, mereka meletakkan patung itu di sebuah tandu emas dan membiarkannya di jalan yang menuju ke arungan154 setelah terlebih dahulu menghiasi patung itu dengan busana, bunga-bunga dan hiasan lainnya, sedangkan mereka sendiri berdiri mundur di satu sisi untuk dapat mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang melewatinya. Orangorang yang melihatnya, tanpa menyadari bahwa ia adalah sebuah patung emas, berkata, “Meskipun ia hanyalah seorang wanita biasa, tetapi ia sangatlah cantik, menyerupai bidadari dewa. Ada apa gerangan ia berdiri diam di sini? Berasal dari manakah dirinya ini? Kita tidak memiliki seorang pun yang dapat dibandingkan dengannya di kota ini,” setelah demikian memberikan pujian atas kecantikannya, mereka pun melanjutkan perjalanan. Para menteri berkata, “Jika di sini terdapat seorang wanita yang mirip dengan ia, maka mereka pastinya mengatakan, ‘Ini terlihat seperti si anu, putri dari raja anu, atau ini terlihat seperti si anu, putri dari dari menteri anu.’ Berarti di tempat ini benar-benar tidak ada wanita yang demikian.”

Kemudian mereka pun pergi membawa patung itu ke kota lainnya. Dalam perjalanan berikutnya mereka tiba di Kota Sāgala

di Kerajaan Madda. Kala itu, Raja Madda memiliki tujuh orang putri, yang memiliki kecantikan yang luar biasa, seperti kecantikan para bidadari. Putri tertuanya bernama Pabhāvatī

(Pabhavati). [284] Dari tubuhnya terpancar sinar, seperti sinar dari matahari yang baru terbit. Ketika hari mulai gelap, di dalam kamarnya, yang berukuran empat hasta, tidak memerlukan sinar dari lampu apa pun. Seluruh isi kamar menjadi terang dengan berkas sinarnya, dan ia memiliki seorang pengasuh yang bungkuk. Waktu itu, ketika telah memberikan makanan kepada Pabhavati, dengan niat untuk membasuh kepalanya (Pabhavati), sang pengasuh pergi pada sore hari bersama dengan delapan orang budak wanita yang masing-masing membawa satu bejana.

Di tengah perjalanan mereka menuju ke arungan, si pengasuh melihat patung ini, dan dengan berpikiran bahwa itu adalah Pabhavati, berseru, “Gadis nakal ini, dengan berpura-pura ingin kepalanya dibasuh, meminta kami untuk mengambil air, dan sekarang setelah mencuri langkah mendahului kami, ia berdiri di jalan ini,” dan dalam perasaan kesal, ia berkata, “Anda membuat malu keluarga: berdiri di sana, datang ke tempat ini mendahului kami. Jika raja mendengarnya, ia akan menghukum mati kami semua,” setelah mengucapkan kata-kata ini, ia memukul patung itu di bagian pipinya, dan satu bagian dari patung tersebut sebesar telapak tangan si pengasuh menjadi rusak. Kemudian sewaktu mengetahui bahwa itu hanyalah sebuah patung emas, ia pun tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada budak-budak wanita itu, “Lihat apa yang telah kulakukan. Tadinya saya berpikir bahwa ia adalah putri asuhku, dan saya menamparnya.

Bagaimana bisa patung ini dibandingkan dengan putriku itu? Saya hanya melukai tanganku sendiri.” Kemudian menteri raja menghentikannya dan berkata, “Apa yang Anda katakan tadi, bahwa putrimu lebih cantik daripada patung ini?” “Maksudku, Pabhavati, putri dari Raja Madda. Patung ini bahkan tidak sepersepuluh darinya.” Dengan perasan gembira, mereka pergi menuju ke gerbang istana dan meminta penjaga pintu untuk mengumumkan kedatangan mereka, dengan mengatakan bahwa utusan Raja Okkaka sedang berdiri menunggu di gerbang istana.

Raja kemudian bangkit dari duduknya dan memerintahkan mereka untuk dipersilakan masuk. Setelah masuk ke dalam, mereka memberi salam hormat kepada raja dan berkata, “Paduka, raja kami menanyakan tentang kabar Anda,” dan setelah dibalas dengan sambutan hangat, dan ditanya alasan kedatangannya, mereka menjawab, “Raja kami memiliki seorang putra yang pemberani, Pangeran Kusa. Raja kami berkeinginan untuk memberikan kerajaan kepada putranya itu, dan mengutus kami untuk meminta Anda setuju menikahkan putrimu (kepadanya), Pabhavati, dengan putranya. Dan raja juga mengutus kami untuk memberikan patung emas ini sebagai hadiah,” setelah mengatakan ini, mereka pun mempersembahkan patung itu. Raja Madda menyetujuinya, dengan berpikir bahwa penggabungan kekuasaan dengan seorang raja yang demikian mulia tentu saja adalah suatu hal yang baik. [285] Kemudian para utusan itu berkata, “Raja Madda, kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kami akan segera pulang kembali dan memberitahu raja kami bahwa kami telah mendapatkan persetujuan mengenai masalah Pabhavati, dan kemudian ia yang akan datang untuk menjemput putri Anda.”

Raja pun setuju dengan ini, setelah menjamu mereka dengan ramah, raja mengizinkan mereka pergi. Sekembalinya ke istana, mereka melaporkannya kepada raja dan ratu. Raja beserta dengan rombongan besar berangkat dari Kusāvatī dan tiba di Kota Sāgala. Raja Madda keluar untuk menyambutnya dan menunjukkan kehormatan kepadanya. Ratu Sīlavatī, seorang wanita yang bijak, berpikir, “Apa yang akan menjadi hasil dari semuanya ini?” Pada hari kedua atau ketiga, ia berkata kepada Raja Madda, “Kami ingin sekali melihat calon menantu.” Raja mengiyakannya dan memanggil putrinya keluar. Pabhavati, yang demikian indah dandanannya dan dikelilingi oleh sekumpulan pelayannya, datang dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya. Sewaktu melihatnya, ratu berpikir, “Gadis ini sangatlah cantik, sedangkan putraku sendiri buruk rupa. Jika ia melihat putraku, ia akan melarikan diri, tidak akan bertahan satu hari pun. Saya harus mengusahakan sesuatu.” Menyapa Raja Madda, ia berkata, “Calon menantu kami pantas bersanding dengan putra kami. Akan tetapi, kami memiliki satu adat keluarga. Jika ia mampu melakukannya, maka kami akan menerimanya sebagai mempelai dari putra kami.” “Apakah adat keluarga itu?” “Di dalam keluarga kami, seorang istri tidak diizinkan untuk melihat suaminya selama siang hari, sampai istri itu hamil. Jika putri Anda menyanggupi adat ini, kami akan menerimanya.” Raja bertanya kepada putrinya, “Anakku, apakah kamu merasa akan sanggup melakukannya?” “Ya, Ayah,” jawabnya. Kemudian Raja Okkaka memberikan banyak kekayaan kepada Raja Madda, dan pulang dengan membawa putrinya. Dan Raja Madda mengantar kepergian putrinya, diikuti dengan rombongan besar. Raja Okkaka, setibanya di Kusāvatī, memberi perintah untuk menghias kota, membebaskan semua tahanan, dan setelah menobatkan putranya menjadi raja dan Pabhavati sebagai permaisurinya, dan dengan tabuhan genderang, ia mengumumkan tentang kekuasaan dari Raja Kusa. Dan semua raja, di seluruh India, yang memiliki putri, mengirimkannya ke istana Raja Kusa, [286] dan yang memiliki putra, berkeinginan untuk menjalin persahabatan dengannya, juga mengirimkan putranya untuk menjadi pelayannya.

Bodhisatta kemudian memiliki sekelompok besar gadis penari dan memerintah dengan kekuasaan yang besar pula. Akan tetapi, ia tidak diperkenankan bertemu dengan Pabhavati di siang hari, begitu juga sebaliknya. Pada malam harinya, mereka baru boleh bertemu. Dan (biasanya) pada malam ada suatu kemegahan luar biasa pada diri Pabhavati, dan ia (Kusa) harus meninggalkan kamar itu ketika hari masih gelap. Setelah beberapa hari, ia memberitahu ibunya bahwa ia ingin melihat Pabhavati di siang hari. Ibunya menolak permintaan itu dengan berkata, “Janganlah menganggap permintaan ini sebagai suatu hal yang menyenangkan bagimu. Tunggulah sampai istrimu hamil dahulu.” Tetapi ia tetap meminta kepada ibunya, secara berulang-ulang. Maka ibunya berkata, “Baiklah, pergilah ke kandang gajah dan berdirilah di sana dengan menyamar sebagai penjaga gajah. Saya akan membawanya ke sana, dan kamu dapat memenuhi keinginanmu untuk melihatnya. Tetapi pastikan ia tidak dapat mengenalimu.” Ia menyetujuinya dan pergi ke kandang gajah.

Ibunda ratu mengumumkan akan ada perayaan gajah dan berkata kepada Pabhavati, “Mari kita pergi lihat gajah milik suamimu.” Setelah membawanya ke sana, ia memberitahukan nama gajah ini dan itu kepada Pabhavati. Kemudian ketika Pabhavati berjalan di belakang ibunya, raja melemparkan setumpuk kotoran gajah di punggung Pabhavati. Ia menjadi marah dan berkata, “Saya akan meminta raja untuk memotong tanganmu,” setelah mengatakan ini, ia mengadu kepada Ibunda Ratu, yang kemudian mencoba untuk menenangkannya dengan menggosok bagian punggungnya. Untuk kedua kalinya, ketika raja berkeinginan untuk melihatnya (di siang hari), dan dengan menyamar sebagai penjaga kuda di kandang kuda, sama seperti sebelumnya, ia melemparnya dengan kotoran kuda, yang kemudian kembali ditenangkan oleh ibu mertuanya sewaktu ia menjadi marah. Suatu hari, Pabhavati memberitahu ibu mertuanya bahwa ia sangat ingin bertemu dengan Sang Mahasatwa (di siang hari), dan ketika permintaannya itu ditolak oleh ibu mertuanya yang berkata, “Tidak, janganlah menjadikan permintaan ini sebagai hal yang menyenangkan bagimu,” ia tetap meminta kepada ibu mertuanya, secara berulang-ulang, sehingga akhirnya sang ibu berkata, “Baiklah, besok putraku akan berkeliling kota (dari arah kanan). Anda boleh membuka jendela dan melihatnya.” Setelah berkata demikian, pada keesokan harinya, ibunda ratu memberi perintah agar seluruh kota dihias dengan indah dan agar Pangeran Jayampati, dengan mengenakan pakaian kebesarannya dan menunggangi seekor gajah, untuk berkeliling kota. Dengan berdiri dekat jendela di samping Pabhavati, ibunda ratu berkata, “Lihatlah keagungan suamimu.” [287] Pabhavati kemudian berkata, “Saya memiliki seorang suami yang pantas untukku,” dan ia merasa sangat bangga. Akan tetapi, pada hari yang sama itu juga, dengan samaran berupa seorang penjaga gajah dan duduk di belakang Jayampati, ketika melihat Pabhavati selama yang diinginkannya, Sang Mahasatwa bersenang-senang sendiri dalam kebahagiaan hatinya dengan gerak isyarat tangannya155. Ketika rombongan gajah itu telah berjalan melewati mereka, ibunda ratu menanyakan kepada ratu apakah ia tadi telah melihat suaminya.

“Ya, Ibunda Ratu. Tetapi, si penjaga gajah yang duduk di belakangnya itu , seorang yang berkelakuan buruk. Ia menujukan gerak isyarat tangannya kepadaku. Mengapa mereka memperbolehkan seorang yang berwujud demikian, yang membawa ketidakberuntungan, duduk di belakang raja?” “Sudah begitu adanya, Ratu, seorang pengawal harus duduk di belakang raja.” “Penjaga gajah ini,” pikirnya, “Adalah seorang yang berani dan tidak menunjukkan hormat yang seharusnya kepada seorang raja. Mungkinkah ia adalah Raja Kusa? Tidak diragukan lagi, mereka tidak memperbolehkanku bertemu dengannya karena ia memiliki rupa yang demikian buruk.” Maka ia berbisik kepada pengasuhnya yang bungkuk itu, “Cepat pergilah, Bu, dan cari tahu apakah raja itu adalah orang yang tadi duduk di depan atau di belakang.” “Bagaimana saya bisa mengetahuinya?” “Jika ia adalah raja, maka ia akan terlebih dahulu turun dari gajah. Anda akan mengetahuinya dari pertanda ini. Ia pun pergi dan berdiri di kejauhan, dan melihat Sang Mahasatwa yang terlebih dahulu turun dari gajah itu, yang kemudian disusul oleh Jayampati.

Dengan memperhatikan sekelilingnya, Sang Mahasatwa melihat ke satu sisi, kemudian ke sisi yang lainnya dan melihat wanita tua yang bungkuk itu. Ia langsung mengetahui alasan keberadaannya di sana, dan memanggilnya datang, kemudian memerintahkan agar pengasuh itu tidak membuka rahasianya, dan melepaskannya. Pengasuh itu mendatangi majikannya dan berkata, “Yang duduk di depan tadi yang turun terlebih dahulu,” dan Pabhavati memercayainya. Lagi, raja berkeinginan untuk melihatnya dan memohon kepada ibunya untuk mengaturnya.

Sang ibu tidak mampu menolaknya dan berkata, “Baiklah, menyamarlah dan pergi ke taman.” Raja bersembunyi di kolam teratai, berdiri di dalam kolam sampai pada batas lehernya.

Kepalanya tertutupi oleh daun teratai dan wajahnya tertutupi oleh bunga teratai. Dan pada sore hari, ibunya membawa Pabhavati ke taman itu, dengan berkata, “Lihatlah pohon-pohon ini. Lihatlah burung-burung ini, rusa-rusa itu,” demikian membawanya sampai ke tepi kolam teratai. Ketika melihat kolam yang dipenuhi dengan lima jenis teratai, [288] Pabhavati menjadi ingin mandi, dan masuk ke dalamnya beserta pelayan-pelayannya. Selagi bersenang-senang, ia melihat teratai itu dan menjulurkan tangannya untuk memetiknya. Kemudian raja, dengan menyibakkan daun teratai, memegang tangannya dan berkata, “Saya adalah Raja Kusa.” Seketika itu juga, Pabhavati berteriak, “Sesosok yaksa menangkap tanganku,” dan kemudian tak sadarkan diri. Maka raja pun melepaskan tangannya. Ketika sadar kembali, Pabhavati berpikir, “Raja Kusa, dikatakan, tadi yang memegang tanganku, ia adalah orang yang sama yang melemparkan setumpuk kotoran gajah sewaktu di kandang gajah, kotoran kuda di kandang kuda, dan ia adalah orang yang duduk di belakang, menunjukkan gerak isyarat tangannya kepadaku. Apa yang kulakukan ini dengan suami yang demikian buruk rupa? Selagi saya masih hidup, saya akan mencari suami yang lain.” Maka ia memanggil para pejabat istana yang menemaninya di sana dan berkata, “Siapkan keretaku. Hari ini juga, saya akan pergi.” Mereka memberitahukan hal ini kepada raja, dan ia berpikir, “Jika ia tidak bisa pergi, hatinya akan hancur. Biarkanlah ia pergi. Dengan kekuatanku sendiri nanti akan kubawa ia kembali lagi.” Demikianlah raja mengizinkannya pergi, dan ia langsung kembali ke kerajaan ayahnya. Dan Sang Mahasatwa, setelah melewati taman, masuk ke dalam kota dan naik ke istananya. Sebenarnya, dikarenakan suatu aspirasi dalam kelahiran lampaunyalah, Pabhavati membenci Bodhisatta; dan juga dikarenakan suatu perbuatannya di masa lampaulah Bodhisatta menjadi buruk rupa dalam kehidupan ini.

Dahulu kala, di suatu daerah perkampungan di Benares, di jalan yang paling tinggi dan jalan yang paling rendah, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari dua laki-laki dan satu wanita.

Dari kedua laki-laki itu, Bodhisatta adalah yang paling muda, dan yang wanita itu adalah istri dari laki-laki yang paling tua. Dikarenakan belum menikah156, Bodhisatta masih tetap tinggal bersama abangnya. Suatu ketika di rumah ini mereka membuat kue yang lezat rasanya, dan Bodhisatta sedang berada di dalam hutan. Maka setelah menyimpankan kue bagiannya, mereka pun memakan sisanya. Pada waktu itu, seorang Pacceka Buddha datang di depan pintu mereka, meminta makanan dermaan. Adik ipar Bodhisatta, dengan berpikir ia akan membuatkan saudara mudanya itu kue lagi nanti, mengambil dan memberikan kue bagiannya kepada Pacceka Buddha, dan persis saat itu juga, ia kembali dari hutan. Maka adik iparnya berkata, “Tuan, janganlah marah. Saya memberikan kue bagianmu kepada Pacceka Buddha.” [289] Ia membalas, “Setelah terlebih dahulu memakan kue bagianmu, kemudian Anda memberikan kue bagianku kepada orang lain, dan Anda akan membuatkanku kue lagi!” Ia menjadi marah, pergi dan mengambil kembali kue itu dari patta milik Pacceka Buddha. Adik iparnya pergi ke rumah ibunya (sendiri) dan mengambil beberapa mentega cair (gi) yang segar, yang berwarna seperti bunga cempaka, dan mengisikannya ke dalam patta, dan itu mengeluarkan seberkas sinar. Ketika melihat ini, ia mengucapkan suatu aspirasi: “Bhante, di mana pun nantinya saya dilahirkan kembali, semoga tubuhku bersinar dan saya menjadi seorang yang rupawan, dan semoga saya tidak lagi harus tinggal di tempat yang sama dengan orang yang tidak baik itu.” Demikianlah sebagai akibat dari aspirasi itu, ia menjadi tidak dapat memilikinya. Sedangkan Bodhisatta, setelah memasukkan kembali kue itu ke dalam patta, mengucapkan aspirasi ini: “Bhante, meskipun nantinya ia tinggal pada jarak sejauh ratusan yojana, semoga saya memiliki kekuatan untuk membawanya sebagai pengantinku.” Sebagai akibat dari kemarahannya sewaktu mengambil kembali kue itu dari patta, ia dilahirkan dengan memiliki rupa yang demikian buruk.

Kusa menjadi diselimuti dengan penderitaan setelah Pabhavati meninggalkannya. Meskipun wanita-wanita lain mencoba menghiburnya dengan berbagai jenis pelayanan, tetapi tidak mampu membuatnya gembira kembali. Baginya, seluruh istananya, tanpa Pabhavati, adalah tempat yang tidak berpenghuni lagi. Kemudian ia berpikir, “Saat ini, ia pasti sudah sampai di Kota Sāgala,” dan pada pagi harinya ia mencari ibunya dan berkata, “Ibu, saya akan pergi menjemput Pabhavati.

Urusilah kerajaan sementara itu,” dan ia mengucapkan bait pertama berikut:

Kerajaan ini, dengan segala kesenangan dan kebahagiaannya, segala kemegahan dan kekayaannya, urusilah kerajaan ini untukku: Karena saya akan pergi menjemput Pabhāvatī.

Mendengar apa yang dikatakannya ini, ibunya membalas, “Baiklah, Putraku, Anda memang harus selalu penuh semangat (perhatian): Wanita, sesungguhnya, adalah makhluk yang pikirannya susah ditebak,” dan mengisi sebuah mangkuk emas dengan berbagai jenis makanan lezat, berkata, [290] “Ini untukmu dalam perjalanan,” kemudian meninggalkannya.

Setelah mengambil mangkuk, memberi hormat tiga kali kepada ibunya dan senantiasa mengarahkan sisi kanan badan padanya, Kusa berujar, “Jika saya tetap hidup, saya akan berjumpa denganmu lagi,” kemudian pergi ke kamar kerajaannya. Ia melengkapi dirinya dengan lima jenis senjata, meletakkan uang seribu keping di dalam sebuah kantong, membawa mangkuk makanan itu dan sebuah kecapi berbentuk teratai, kemudian berangkat meninggalkan kotanya. Dikarenakan ia adalah seorang yang amat kuat dan bertenaga, ia telah menempuh perjalanan sejauh lima puluh yojana pada siang hari, dan setelah menyantap makanannya, selama sisa waktu setengah harinya itu, kembali ia menempuh jarak sejauh lima puluh yojana. Jadi dalam waktu satu hari, ia telah berhasil menempuh jarak sejauh seratus yojana. Di sore harinya, ia mandi dan kemudian masuk ke Kota Sāgala. Tidak lama setelah ia memijakkan kakinya di tempat itu, kemudian Pabhavati, disebabkan oleh keagungan kekuatannya (Kusa), tidak dapat beristirahat dengan tenang di ranjangnya, yang kemudian keluar dari kamarnya dan berbaring di lantai. Saat itu, Bodhisatta telah kelelahan dengan perjalanannya, dan ketika terlihat oleh seorang wanita sewaktu berkeliaran di jalanan, ia pun diundang untuk beristirahat di dalam rumahnya. Dan, setelah terlebih dahulu membasuh kakinya, wanita itu memberikannya tempat untuk tidur. Selagi ia tertidur, wanita itu menyiapkan makanan untuknya, dan kemudian membangunkannya untuk memintanya makan. Kusa merasa sangat senang dengan wanita ini dan menghadiahkan kepadanya uang ribuan keping dan juga mangkuk emas itu.

Setelah meninggalkan lima jenis senjata yang dibawanya, Kusa berkata, “Ada suatu tempat yang harus saya kunjungi,” dan dengan membawa kecapinya, ia pun pergi ke sebuah kandang gajah, dan berkata demikian kepada para penjaga gajahnya, “Biarlah saya berada di sini dan memainkan musik untuk kalian.”

Mereka memperbolehkannya melakukan itu, dan ia pun berbaring di sana. Ketika keletihannya telah hilang, ia bangun, membuka kecapinya, memainkannya dan bernyanyi, dengan memiliki pemikiran bahwa semua yang tinggal di dalam kota pasti dapat mendengar suaranya. Pabhavati, selagi berbaring di lantai, mendengarnya dan berpikir, “Musik ini tidak mungkin berasal dari kecapi yang lain, selain miliknya,” dan merasa yakin bahwa Raja Kusa telah datang untuknya. Raja Madda juga, ketika mendengarnya, berpikir, “Orang ini memainkan musiknya dengan sangat merdu. Besok saya akan memanggilnya dan menjadikannya sebagai pemain musikku.” Bodhisatta yang berpikiran, “Tidaklah mungkin bagiku untuk bertemu dengan Pabhavati jika saya tetap berada di sini. Ini adalah tempat yang salah bagiku,” meninggalkan tempat itu cepat di pagi hari, dan setelah sarapan di suatu tempat makan, ia meninggalkan kecapinya, pergi ke tempat kundi (perajin barang yang terbuat dari tanah liat) raja dan menjadi muridnya. Suatu hari, setelah mengisi rumah itu dengan tanah liat, [291] ia menanyakan apakah ia harus membuat bejana. Ketika dijawab oleh si kundi, “Ya, kerjakanlah itu,” ia pun meletakkan setumpuk tanah liat di atas roda dan memutarnya157. Sekali roda itu diputar, ia tidak berhenti sampai tengah hari. Setelah membuat beraneka macam bentuk bejana, yang besar dan yang kecil, ia kemudian mulai membuat satu yang khusus untuk Pabhavati dengan berbagai gambar padanya. Tujuan dari seorang Bodhisatta selalu berhasil.

Ia bertekad agar hanya Pabhavati yang melihat gambar-gambar itu. Setelah ia mengeringkan dan menyiapkan semuanya, rumah itu pun penuh dengan bejana-bejana. Kundi itu pergi ke istana dengan membawa beragam jenis bentuk. Ketika melihatnya, raja menanyakan siapa yang membuatnya. “Saya, Paduka,” jawab kundi itu. “Saya yakin bukan kamu yang membuatnya. Siapa yang membuatnya?” “Muridku, Paduka.” “Ia bukanlah muridmu, melainkan ia adalah gurumu. Belajarlah darinya. Mulai hari ini, tugaskanlah ia yang membuatkan bejana untuk putri-putriku.”

Dan dengan memberikannya uang seribu keping, raja berkata, “Berikan ini kepadanya, dan bawakan bejana-bejana ini kepada putri-putriku.” Ia kemudian membawakan bejana-bejana tersebut kepada mereka dan berkata, “Semua ini dibuat untuk kesenangan Anda sekalian.” Mereka semua menerimanya.

Kemudian kundi tersebut memberikan kepada Pabhavati bejana yang khusus dibuatkan oleh Sang Mahasatwa untuknya.

Sewaktu menerimanya, dengan segera ia mengenali kesukaannya dan juga kesukaan dari pengasuh bungkuknya, dan mengetahui bahwa itu pasti adalah hasil kerajinan tangan Raja Kusa dan bukan yang lain, ia menjadi marah dan berkata, “Saya tidak menginginkannya. Berikanlah kepada orang mereka yang menginginkannya.” Kemudian saudara-saudaranya yang melihat ia demikian marah, menjadi tertawa dan berkata, “Anda mengira bahwa itu adalah buatan dari Raja Kusa. Yang membuatnya adalah tukang kundi, bukannya Raja Kusa.

Ambillah itu.” Ia tidak memberitahu mereka bahwa Kusa telah datang ke kota mereka dan membuat bejana itu. Kundi tersebut memberikan kepada Bodhisatta uang seribu keping dan berkata, “Anakku, raja merasa senang denganmu. Mulai saat ini, kamu yang harus membuat bejana-bejana untuk putri-putrinya dan saya yang membawa bejana-bejana itu untuk mereka.” Ia berpikir, “Meskipun saya tetap berada di sini, tetap tidak mungkin bagiku untuk bertemu dengan Pabhavati,” dan ia mengembalikan uang itu kepada kundi tersebut dan pergi ke tempat perajin keranjang yang bekerja untuk raja. Setelah diterima menjadi muridnya, ia membuat sebuah kipas berbentuk pohon lontar untuk Pabhavati, dan di kipas itu diberikannya gambar sebuah payung putih (sebagai salah satu lambang kerajaan) [292] dan dengan menggambar orang-orang158 berada di tempat minum, di antara sekian banyak bentuk yang berlainan, ia menggambar Pabhavati dalam posisi berdiri. Tukang keranjang itu membawa kipas ini dan benda lainnya, hasil karya dari Kusa, menuju ke istana. Ketika melihatnya, raja menanyakan siapa yang membuatnya, dan sama seperti sebelumnya memberikan uang seribu keping kepada laki-laki itu, seraya berkata, “Berikan hasil kerajinan ini kepada putri-putriku.” Dan ia juga memberikan kipas yang secara khusus dibuatkan untuknya kepada Pabhavati, tetapi ketika melihatnya, Pabhavati mengetahui bahwa itu adalah hasil kerajinan yang dibuat oleh Raja Kusa dan berkata, “Berikanlah ini kepada mereka yang menginginkannya,” dan dikarenakan kemarahannya, ia membuangnya ke lantai.

Saudara-saudara lainnya pun menertawakan dirinya. Perajin keranjang itu membawakan uangnya dan memberikannya kepada Bodhisatta. Berpikir bahwa itu bukanlah tempat yang cocok baginya, ia mengembalikan uangnya dan pergi ke tempat tukang taman kerajaan dan menjadi muridnya. Sewaktu membuat beraneka ragam untaian bunga, ia membuatkan satu yang khusus untuk Pabhavati, dengan berbagai bentuk. Tukang taman itu membawanya ke istana. Ketika melihatnya, raja menanyakan siapa yang membuat untaian bunga itu. “Saya, Paduka.” “Saya yakin bukan kamu yang membuatnya. Siapa yang membuatnya?” “Muridku, Paduka.” “Ia bukanlah muridmu, melainkan ia adalah gurumu. Belajarlah darinya. Mulai hari ini, tugaskanlah ia yang membuatkan untaian bunga untuk putriputriku, dan berikan uang seribu keping ini kepadanya.” Setelah memberikan uang ini kepadanya, raja berkata, “Bawalah bungabunga ini kepada putri-putriku.” Dan tukang kebun itu pun mempersembahkan kepada Pabhavati untaian bunga yang dibuat oleh Bodhisatta secara khusus untuknya. Saat ini juga sama, ketika melihat berbagai bentuk itu sebagai kesukaan dari dirinya dan juga kesukaan dari raja, ia mengenali hasil buatan dari Kusa, dan dalam kemarahannya, membuang itu ke lantai.

Sama seperti sebelumnya, semua saudara-saudaranya menertawakan dirinya. Tukang taman mengambil dan memberikan uang seribu keping itu kepada Bodhisatta, sambil memberitahukan kepadanya apa yang terjadi. Ia berpikir, “Ini juga bukan tempat yang cocok untukku,” dan setelah mengembalikan uang itu kepada tukang taman, ia pergi ke tempat juru masak kerajaan dan menjadi muridnya. Suatu hari, juru masak memasakkan beragam jenis makanan untuk raja, dan memberikan kepada Bodhisatta sebuah tulang untuk dimasak sendiri. Ia memasaknya sedemikian rupa sehingga aroma masakannya tercium sampai ke seluruh kota [293]. Raja mencium aroma ini dan menanyakan juru masaknya apakah ia masih sedang memasak daging di dapur. “Tidak, Paduka. Tadi saya memberikan tulang kepada muridku untuk dimasak.

Pastinya masakan darinya lah yang Anda cium ini.” Raja meminta agar makanan itu dibawakan untuknya, dan sewaktu meletakkan secuil makanan itu di ujung lidahnya, tujuh ribu saraf perasanya bergairah. Demikian bergairahnya selera makan raja atas makanan lezat tersebut sehingga ia memberikannya uang seribu keping, dan berkata, “Mulai saat ini, kamu harus menugaskan agar makanan untukku dan putri-putriku dimasak oleh muridmu. Dan yang membawakan makananku adalah tugasmu, sedangkan yang membawakan makanan untuk putriputriku adalah tugas muridmu itu.” Juru masak itu kembali dan memberitahu muridnya. Ketika mendengar ini, ia berpikir, “Sekarang keinginanku akan terpenuhi: Saya akan dapat bertemu dengan Pabhavati.” Karena merasa gembira, ia mengembalikan seribu keping uang itu kepada sang juru masak.

Keesokan harinya, ia menyiapkan makanan untuk raja dan putriputrinya, ia sendiri yang membawakan makanan untuk putri-putri raja dengan sebuah pemikul. Pabhavati melihatnya naik beserta dengan barang bawaannya dan berpikir, “Ia melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya ia lakukan, pekerjaan itu seharusnya dilakukan oleh budak atau pelayan. Tetapi jika saya diam saja, ia akan berpikir bahwa saya menginginkan dirinya, dan ia akan tetap tinggal di sini, melihatku, tidak akan pergi ke tempat yang lain lagi. Saya harus mencerca dan mencaci-maki, serta mengusirnya dan tidak mengizinkannya tinggal barang sebentar pun di sini.” Maka ia membiarkan pintunya setengah terbuka, dengan satu tangannya memegang daun pintu, dan tangan yang satunya lagi pada engsel pintu, ia mengucapkan bait kedua berikut:

Kusa, tidaklah benar bagimu, siang dan malam, menanggung beban ini.

Mohon kembalilah dengan segera ke Kusāvatī ;

Saya tidak suka melihat rupa burukmu.

[294] Ia berpikir, “Saya mendengar ucapan dari Pabhavati,” dan dengan merasa senang demikian, ia mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Terpikat oleh pesona kecantikanmu, Pabhavati, aku tidak lagi merasa enak tinggal di tempat asalku;

Kerajaan Madda yang anggun ini adalah tempat kebahagiaanku, kutinggalkan mahkotaku hanya untuk dapat melihat rupa cantikmu.

Wahai wanita bermata lembut nan indah, Pabhavati, Kegilaan apa ini yang menguasai diriku?

Meskipun tahu akan tanah kelahiranku dengan penuh kesadaran, tetapi tetap kutempuh perjalanan ini.

Kamu yang mengenakan busana berwarna keemasan dan memiliki rupa yang demikian elok;

Yang saya inginkan adalah cintamu, bukanlah kerajaanmu.

Setelah ia berkata demikian, Pabhavati berpikir, “Saya tadi memakinya, dengan harapan dapat menimbulkan rasa kebencian dalam dirinya terhadap diriku. Akan tetapi, dengan kata-kata manisnya, ia berusaha untuk menenangkanku.

Seandainya ia berkata, ‘Saya adalah Raja Kusa,’ dan menarik tanganku, siapa yang berani menghalanginya? Dan mungkin saja akan ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.” Maka ia pun menutup pintunya dan menguncinya dari dalam159. Dan Raja Kusa pun membawakan makanan kepada putri-putri yang lain dengan menggunakan pemikul itu. Pabhavati mengirim pengasuh bungkuknya untuk membawakan kepadanya makanan yang telah dimasak oleh Raja Kusa. Pengasuh itu membawakannya dan berkata, “Makanlah sekarang.” Pabhavati berkata, “Saya tidak akan memakan makanan yang dimasaknya.

Kamu saja yang makan, dan bawakan kemari untukku makanan yang dimasak olehmu. Tetapi, jangan memberitahu orang lain bahwa Raja Kusa telah datang.” Mulai hari itu, pengasuh tersebut membawa dan memakan jatah sang putri, dan memberikan jatah makanannya kepada Pabhavati. [295] Sejak saat itu, Raja Kusa tidak dapat bertemu dengannya lagi, dan berpikir, “Saya ingin tahu apakah Pabhavati memiliki perasaan cinta kepadaku. Saya akan mengujinya.” Maka setelah menyediakan makanan kepada para putri raja, ia membawa barang-barang peralatan makan tersebut keluar. Ketika itu, ia tersandung kemudian terjatuh di lantai dekat kamar Pabhavati, menimbulkan suara gaduh dari peralatan makan yang berdentingan dan merintih dengan kuat; ia membuat semuanya membentuk satu tumpukan160 dan tak sadarkan diri. Mendengar suara rintihannya, Pabhavati membuka pintu kamarnya dan, ketika melihatnya tertimpa barang bawaannya, Pabhavati berpikir, “Yang berbaring di sini adalah seorang raja, raja yang termasyhur di seluruh India ( Jambudīpa).

Demi diriku, ia menderita siang dan malam, dan sekarang ini, setelah demikian baiknya menyiapkan makanan, ia jatuh tertimpa barang bawaannya sendiri. Apakah ia masih hidup?” Ia melangkah keluar dari kamarnya, memajukan lehernya dan melihat mulutnya untuk memperhatikan napasnya. Mulut Raja Kusa terisi dengan air liur, dan ia membuat tubuh Pabhavati terkena air liurnya. Pabhavati segera kembali ke kamarnya, mencaci dirinya, dan mengucapkan bait berikut, sembari berdiri dengan pintu kamarnya yang setengah terbuka:

Kesengsaraan adalah miliknya yang selalu berharap, ketika harapan-harapannya tak terkabulkan;

Seperti Anda, wahai raja, yang tak jua pulang, berharap akan cinta.

Tetapi karena ia amat mencintai Pabhavati, betapa seringnya pun dicerca dan dicaci olehnya, ia tidak menunjukkan adanya kemarahan, kemudian mengucapkan bait berikut:

Ia akan memperoleh apa yang diharapkannya dengan terus-menerus, baik dicintai maupun tidak dicintai, keberhasilan adalah yang kami puji, kegagalan adalah yang kami cela.

Ketika ia sedang berbicara demikian, tanpa menunjukkan adanya perasaan tersentuh, Pabhavati berkata dengan nada suara yang tegas seperti bertekad untuk mengusirnya, mengucapkan bait berikutnya:

Seperti menggali tanah berbatuan dengan kayu rapuh161 atau menghadang angin dengan jala, demikianlah halnya dengan berharap akan seorang wanita yang tak bersedia.

Ketika mendengar ini, raja mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Di dalam hatimu keras seperti batu, di luar terlihat begitu lembut, tak ada kata-kata sambutan terucap untukku meskipun telah kutempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan cintamu.

[296] Jika Anda memandangku dengan wajah yang demikian merengut, maka di Kerajaan Madda, diriku tak lain tak bukan hanyalah seorang juru masak.

Akan tetapi jika Anda memandangku dengan wajah yang tersenyum, maka diriku bukan lagi seorang juru masak, melainkan adalah Raja Kusāvatī.

Ketika mendengar perkataan raja, Pabhavati berpikir, “Ia sangat gigih dalam semua perkataannya. Saya harus memikirkan sesuatu untuk membuatnya pergi dari sini,” dan mengucapkan bait berikut:

Jika perkataan peramal adalah benar, inilah yang mereka katakan, ‘Anda akan hancur terpotong menjadi tujuh bagian jika menikah dengan Raja Kusa.’

Ketika mendengar ini, raja menyanggah perkataannya dengan berujar, “Nona, saya juga ada pergi ke tempat peramal di kerajaanku, dan mereka meramalkan bahwa tidak ada suami yang dapat menyelamatkanmu kecuali sang pemimpin bersuara singa, Raja Kusa, dan dengan pengetahuan yang kumiliki ini, kukatakan pula hal yang sama,” dan ia mengucakan bait berikutnya:

Jika perkataan diriku dan peramal lainnya adalah benar, Anda akan berkata, ‘Selamatkanlah diriku, Raja Kusa,’

dan Anda tidak akan menerima yang lainnya sebagai pendamping hidupmu.

Ketika mendengar perkataannya ini, Pabhavati berkata, “Tidak ada orang yang mampu membuatnya merasa malu. Apa peduliku jika ia pergi atau tidak?” dan menutup pintu kamarnya, menolak untuk menunjukkan dirinya. Raja Kusa kemudian memunguti bawaannya dan turun. Sejak hari itu, ia tidak lagi dapat melihat Pabhavati dan menjadi bosan dengan pekerjaan masak-memasaknya. [297] Setelah menyantap sarapan, ia memotong kayu bakar, mencuci piring, dan kemudian tidur berbaring pada tumpukan biji-bijian162. Bangun cepat di pagi hari, ia memasak bubur dan sebagainya, kemudian membawakan dan menghidangkan makanan tersebut. Ia menjalani semua kesusahan ini demi cintanya kepada Pabhavati. Pada suatu hari, ia melihat pengasuh bungkuk itu lewat di pintu dapur dan memanggilnya. Dikarenakan rasa takut terhadap Pabhavati, pengasuh itu tidak berani mendekatinya, tetap berjalan dengan berpura-pura sedang tergesa-gesa. Maka ia dengan cepat berlari mengejarnya sambil meneriakkan, “Bungkuk.” Pengasuh itu menoleh dan berhenti, kemudian berkata, “Siapa ini? Saya tidak boleh mendengar apa yang kamu katakan.” Kemudian dibalasnya, “Anda dan majikan Anda adalah orang yang keras kepala. Meskipun telah sekian lama tinggal di tempat yang dekat denganmu, kami tidak pernah dapat mendengar lebih dari sekedar kabar kesehatannya.” “Pengasuh itu berkata kembali,

“Maukah kamu memberikanku hadiah?” Ia menjawab, “Anggaplah saya memberikanmu hadiah, apakah Anda mampu melunakkan Pabhavati dan membawaku ke hadapannya?”

Ketika disetujuinya, ia kemudian berkata, “Jika Anda benar mampu melakukannya, akan kutegakkan kembali punggung bungkukmu dan kuberikan perhiasan untuk lehermu,” dan dengan menggodanya, ia mengucapkan lima bait berikut:

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping163 berkenan untuk berjumpa denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping berkenan untuk berbicara denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping berkenan untuk tersenyum padaku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping tertawa girang sewaktu bertemu denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping berkenan membalas cintaku.

[298] Ketika mendengar ini, pengasuh tersebut berkata, “Pergilah, Tuan. Dalam beberapa hari akan kubuat ia takluk dalam kekuasaanmu. Anda akan melihat betapa kuatnya diriku.”

Setelah berkata demikian, ia memutuskan untuk segera bertindak, dan dengan pergi ke tempat Pabhavati ia berpura-pura seolah-olah akan membersihkan ruangannya dengan tidak meninggalkan seberkas debu pun, mengeluarkan sepatusepatunya, kemudian mulai menyapu bersih seluruh isi kamar itu.

Kemudian ia menyiapkan satu tempat duduk yang tinggi untuk dirinya sendiri di pintu masuk kamarnya (menjaga ambang pintunya dengan baik) dan, dengan membentangkan satu selimut pada tempat duduk yang rendah untuk Pabhavati, ia berkata, “Mari, Anakku, saya akan mencari kutu di kepalamu,” memintanya untuk duduk di sana, meletakkan kepalanya di pangkuan, dan mengusap rambutnya sedikit, ia kemudian berkata, “Wah, betapa banyaknya kutu yang ada di sini,” ia mengambil kutu-kutu dari kepalanya sendiri dan meletakkan mereka di kepala sang putri, dan kemudian untuk mengatakan cinta dari Sang Mahasatwa, ia pun memuji dirinya dalam bait ini:

Putri raja ini tidak lagi berbahagia untuk bertemu dengan Kusa meskipun ia hanya menerima bayaran seorang pelayan di sini sebagai juru masak, tidak menginginkan apa pun.

Pabhavati menjadi marah kepada si bungkuk. Wanita tua itu menariknya pada bagian leher dan mendorongnya masuk ke dalam kamar, dan dengan dirinya sendiri berada di luar, pengasuh itu menutup pintunya dan duduk berdiri memegangi tali yang menarik pintu164. Tidak mampu menangkapnya, Pabhavati hanya berdiri di belakang pintu, mencercanya dan mengucapkan bait berikut:

[299] Budak berpunggung bungkuk ini pastinya, karena telah mengucapkan kata-kata demikian, pantas mendapatkan lidahnya dicabut keluar dengan pedang yang tertajam.

Maka si bungkuk yang berdiri sambil memegang tali yang bergantung ke bawah, berkata, “Anda adalah orang yang tak bijaksana, orang yang berkelakuan buruk. Apalah yang dapat dilakukan oleh kecantikanmu itu? Dapatkah orang hidup dengan memakan kecantikanmu itu?” dan setelah berkata demikian, ia mengulas kualitas bagus dari Bodhisatta dalam tiga belas bait berikut, mengucapkannya dengan keras seperti layaknya suara kasar seorang yang bungkuk:

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia memiliki kemuliaan yang besar, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia memiliki kekayaan yang besar, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia memiliki kekuatan yang besar, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia memiliki daerah kekuasaan yang luas, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia adalah seorang maharaja, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia bersuara layaknya suara singa, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya, ia bersuara menyenangkan, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia bersuara penuh tekanan, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia bersuara merdu, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia bersuara manis, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,
ia memiliki ratusan keahlian, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau penampilan luarnya,

Raja Kusa adalah dirinya, lakukanlah apa pun yang menyenangkan baginya.

[300] Mendengar apa yang dikatakannya, Pabhavati mengancam si bungkuk dengan berkata, “Bungkuk, suaramu terlalu keras. Jika saya mendapatkanmu nanti, akan saya tunjukkan bahwa kamu memiliki majikan di sini.” Ia membalas, “Sebagai rasa toleransiku kepadamu, saya tidak memberitahukan keberadaan Raja Kusa kepada ayahmu. Baiklah, hari ini raja akan kuberitahu,” dan setelah berkata dengan suara keras demikian, ia pun membuat putri menjadi takut. Dikarenakan takut akan ada orang lain yang mendengarnya, Pabhavati berusaha menenangkan si bungkuk.

Dan dikarenakan tidak dapat bertemu dengannya, setelah tujuh bulan merasa bosan dengan tempat tidurnya yang keras dan makanan yang tidak enak, Bodhisatta berpikir, “Apalah gunanya ia bagiku? Setelah tinggal di sini selama tujuh bulan, saya bahkan tidak dapat bertemu dengannya. Ia adalah orang yang keras dan tak berperasaan. Saya akan kembali untuk menjumpai ibu dan ayahku.” Pada waktu itu, Sakka yang memindai permasalahannya mengetahui penyesalan Kusa, dan ia berpikir, “Setelah melewati waktu tujuh bulan, ia tetap tidak dapat bertemu dengan Pabhavati. Saya akan mencari suatu cara untuk dapat membuatnya bertemu dengannya.” Kemudian Sakka mengirimkan pesan kepada tujuh orang raja seolah-olah pesan itu berasal dari Raja Madda, yang berbunyi, “Pabhavati telah meninggalkan Raja Kusa dan kembali ke rumah. Datanglah ke sini dan jadikanlah ia sebagai ratumu.” Dan Sakka mengirimkan pesan yang sama ini kepada tujuh orang raja tersebut. Mereka semuanya berangkat menuju ke Kerajaan Madda diikuti dengan rombongan besar, tanpa saling mengetahui alasan kedatangan masing-masing. Mereka kemudian bertanya satu sama lain (sewaktu berjumpa), “Mengapa Anda datang ke sini?” Dan sewaktu mengetahui pokok permasalahannya, mereka menjadi marah dan berkata, “Apakah ia akan menikahkan putrinya kepada kita bertujuh? Lihatlah betapa buruk kelakuannya. Ia mempermainkan kita, dengan mengatakan, ‘Jadikanlah ia sebagai ratumu.’ Biarlah ia memilih apakah ia akan menikahkan Pabhavati kepada kita bertujuh atau apakah ia akan berperang dengan kita.” Dan mereka pun mengirimkan sebuah pesan kepadanya mengenai permasalahan ini dan masuk ke dalam kota. Ketika mendapat pesan tersebut, Raja Madda terkejut dan berdiskusi dengan para menterinya dengan berkata, “Apa yang harus kita lakukan?” Kemudian para menterinya menjawab, [301]

“Paduka, ketujuh raja ini telah berangkat menuju ke sini untuk mendapatkan Pabhavati. Jika Anda menolak untuk menikahkannya, mereka akan merobohkan dinding benteng dan masuk ke dalam kota, dan kemudian setelah menghancurkan kita, mereka akan merampas kerajaanmu. Selagi benteng belum roboh, kirimkanlah Pabhavati kepada mereka,” dan mereka mengucapkan bait berikut:

Diperkokoh oleh gajah-gajah yang luar biasa, mereka semua berdiri dengan mengenakan baju besi,
jika tak segera mengirimkan Pabhāvatī, mereka akan merobohkan benteng kita.

Mendengar ini, raja berkata, “Jika kukirimkan Pabhavati kepada salah satu dari mereka, maka yang lainnya akan berperang denganku. Tidaklah mungkin untuk mengirimkannya kepada siapa pun dari mereka. Setelah menyia-nyiakan raja termasyhur di seluruh India, biarlah Pabhavati menerima balasannya dengan kembali ke rumah. Akan kupotong dirinya menjadi tujuh bagian dan mengirimkan masing-masing bagian kepada ketujuh raja tersebut,” setelah berkata demikian, ia mengucapkan bait berikut:

Dalam tujuh bagian Pabhāvatī akan dipotong,
satu bagian masing-masing untuk satu dari tujuh raja yang datang dengan tujuan membunuh ayahnya.

Perkataannya ini terdengar dan tersebar di seluruh istana. Pelayan-pelayannya mendatangi dan memberitahu Pabhavati, “Kata mereka, raja akan memotongmu menjadi tujuh bagian dan mengirimkan bagian-bagian itu kepada tujuh orang raja.” Pabhavati menjadi ketakutan dan dengan ditemani oleh adik-adiknya, bangkit dari duduknya, pergi ke kediaman ibunya.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata: Dengan rupa yang menawan meskipun gelap, ia menuju ke tempat ratu dan berjalan di depan kelompok pelayannya, mengenakan kain sutra dan menangis terisak.

Ia mendatangi ibunya dan setelah memberi salam, ia kemudian meratap demikian:

[302] Wajah ini yang dipercantik oleh bedak, demikian menawan hati seperti terlihat di kaca, dengan kepolosan dan kemurnian di setiap garisnya, sekarang akan berada tertancap pada gading oleh para raja di dalam hutan.

Rambut yang berwarna gelap ini, diikat dan dikucir, demikian lembut untuk disentuh dan wangi dengan aroma kayu cendana;

Di tempat mayat berbaring, meskipun ditimbun, burung hering dengan segera akan menemukannya, dan, dengan cakar mereka, mencabik dan mengoyak dan menyerakkannya dengan hembusan angin.

Tangan-tangan ini yang ujung jarinya diwarnai, seperti warna tembaga, merah tua, sering berendam mandi dengan cendana terbaik dan melumuri semua bagian, akan segera dipotong, dan oleh para raja yang berada di hutan kemudian dibuang;

Serigala akan mengambil dan membawanya pergi sesukanya ke mana pun.

Payudara ini seperti buah lontar yang matang di pohonnya, beraroma wangi cendana yang dimiliki Kāsi: Segera, bergantung padanya, seekor serigala kemudian akan menggigit dan menariknya, seperti bayi yang bergantung pada payudara ibunya.

Pinggul ini lebar dan kencang, terbentuk dengan pakaian yang membalutnya, dililit dan dilingkari oleh sabuk emas, akan segera dipotong, dan oleh para raja yang berada di hutan kemudian dibuang;

Serigala akan mengambil dan membawanya pergi sesukanya ke mana pun.

Anjing, burung gagak, serigala, dan hewan pemangsa apa saja, jika mereka memangsa Pabhāvatī, tidak akan menua.

Jika para raja yang datang dari tempat jauh meminta daging dan tulang putrimu, bakarlah tubuh ini di tempat yang tersembunyi.

Kemudian tanamkanlah sebuah pohon kaṇikāra di sebidang tanah di dekatnya, dan ketika mekar, teringat akan diriku, Ibu, katakanlah sembari menunjuk pada bunganya, ‘Demikianlah Pabhāvatī -ku sewaktu hidup.’

[303] Demikianlah ia meratap tangis di hadapan ibunya dikarenakan rasa takutnya akan kematian. Raja Madda memerintahkan algojo datang dengan membawa kapak dan papan pemotong165. Kedatangan sang algojo tersebar cepat di seluruh istana. Ibu Pabhavati, yang mendengar kedatangannya, bangkit dari duduknya dan pergi menjumpai raja dengan diliputi kesedihan.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Melihat kapak dan papan pemotong dikeluarkan dengan lingkar mematikannya, semua wanita kerajaan itu bangkit dan pergi mencari raja.

[304] Kemudian ratu mengucapkan bait berikut:

Dengan kapak ini, Raja Madda akan menyebabkan kematian putrinya, dan mengirimkan potongan bagian tubuhnya kepada para raja di sana.

Raja berusaha untuk menenangkannya dengan berkata, “Ratu, apa yang Anda katakan ini? Putrimu telah menolak raja termasyhur di seluruh India dikarenakan keburukan rupanya, dan dengan menerima kematian sebagai akhir hidupnya, ia pulang kembali ke rumah sebelum jejak kakinya, di jalan yang pertama dilaluinya ke sana, terhapus bersih. Oleh karenanya, biarlah ia menerima hasil sebagai akibat dari kecemburuan yang ditimbulkan oleh kecantikannya itu.” Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh raja, kemudian ratu beralih ke putrinya dan meratapinya demikian:

Anda tidak mendengar perkataanku ketika nasihat baik yang kuucapkan, sekarang Anda akan segera berada di kediaman Yama, dengan badan yang berlumuran darah.

Demikianlah akhir hidup yang akan terjadi pada setiap orang, atau bahkan lebih buruk, yang tidak mendengarkan nasihat baik, mengabaikan peringatan seorang sahabat.

Jika saja hari ini Anda tetap menikah dengan seorang pangeran gagah perkasa, berada di tempat yang dihiasi oleh emas dan permata, memiliki keluarga di Kerajaan Kusa, dilayani oleh kumpulan pelayan, Anda tidak akan berakhir di kediaman Yama.

Di saat tabuhan genderang dan bunyi suara trompet gajah berkumandang, berada dalam keluarga kerajaan, di tempat mana lagi dapat ditemukan kebahagiaan yang melebihi ini?

Di saat kuda-kuda meringkik (gembira) dan para pemusik melantunkan musik, berada dalam keluarga kerajaan, di tempat mana lagi dapat ditemukan kebahagiaan yang melebihi ini?

Di saat terdengar suara-suara dari burung merak, burung pucung166 dan burung tekukur, berada dalam keluarga kerajaan, di tempat mana lagi dapat ditemukan kebahagiaan yang melebihi ini?

[305] Setelah berkata demikian kepadanya, ratu kemudian berpikir, “Seandainya saja Raja Kusa berada di sini sekarang, ia akan mampu membuat ketujuh raja itu pergi. Dan setelah membebaskan putriku dari penderitaannya, ia akan membawanya pergi bersama dirinya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Di manakah ia yang mampu mengalahkan kerajaan musuh dan menaklukkan musuh-musuhnya?

Ia, Kusa yang mulia dan bijaksana, mampu membebaskan kita dari kesusahan ini.

Kemudian Pabhavati berpikir, “Lidah ibuku tidaklah seharusnya mengucapkan pujian untuk Kusa. Saya akan memberitahunya bahwa Kusa sebenarnya selama ini tinggal di sini dan disibukkan dengan pekerjaan seorang juru masak,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Sang penakluk yang mengalahkan semua musuhnya, ia berada di sini!

Ia, Kusa yang mulia dan bijaksana, yang akan mengalahkan mereka semua untukku.

Kemudian ibunya berpikir, “Ia takut akan kematian dan menjadi berbicara yang bukan-bukan,” dan mengucapkan bait berikut:

Apakah Anda telah menjadi buta atau dungu berbicara demikian? Jika Kusa benar datang ke tempat ini, mengapa Anda tidak memberitahukannya kepada kami?

[306] Mendengar ini, Pabhavati berpikir, “Ibuku tidak memercayaiku. Ia tidak tahu bahwa Kusa berada di sini dan telah tinggal selama tujuh bulan. Akan kubuktikan kepadanya,” dan dengan menarik tangan ibunya, ia membuka jendela dan menjulurkan tangannya, menunjuk pada dirinya (Kusa), kemudian mengucapkan bait berikut:

Ibu, lihatlah juru masak di sana, dengan pinggang yang tegak lurus;

Dengan membungkuk, ia mencuci tempayan dan kuali, di tempat putri raja tinggal.

Dikatakan, kala itu, Kusa memiliki pemikiran berikut: “Hari ini keinginanku akan terkabulkan. Dikarenakan takut akan kematian, Pabhavati akan memberitahukan keberadaanku di tempat ini. Saya akan mencuci dan membersihkan peralatan masakku.” Dan ia pun mengambil air dan mulai mencuci. Kemudian ratu memaki putrinya dalam bait berikut ini:

Apakah Anda ingin menjadi kaum candala167 atau, seorang wanita kaum kesatria mencintai seorang budak, memberikan aib yang besar bagi Kerajaan Madda?

Kemudian Pabhavati berpikir, “Ibuku tidak tahu bahwa dikarenakan dirikulah, Kusa berada di tempat ini sampai sekarang dengan status demikian,” dan mengucapkan bait berikut:

Bukannya saya ingin menjadi kaum candala, saya bersumpah, atau ingin memberikan aib bagi kerajaanku.

Akan tetapi, ia, bukan seorang budak, adalah putra Raja Okkāka.

Dan untuk memuji kemasyhurannya, Pabhavati berkata:

Ia memberikan makanan kepada dua ribu orang brahmana, bukan seorang budak, saya bersumpah;

Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

[307] Ia menunggangi dua ribu ekor gajah, bukan seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia menunggangi dua ribu ekor kuda, bukan seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia menaiki dua ribu buah kereta (pertempuran), bukan seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia memiliki dua ribu ekor sapi jantan, bukan seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia memiliki dua ribu ekor sapi perah, bukan seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Demikianlah kejayaan dari Sang Mahasatwa yang dipuji olehnya dalam enam bait kalimat. Kemudian ibunya berpikir, “Ia berbicara dengan amat meyakinkan. Pastilah itu benar adanya,” setelah memercayainya, ia pergi memberitahu raja seluruh kejadiannya. Raja bergegas menjumpai Pabhavati dan bertanya, “Apakah itu benar, yang mereka katakan, bahwa Raja Kusa berada di sini?” “Ya, Ayah. Sampai hari ini, sudah tujuh bulan ia berada di sini dengan samaran sebagai seorang juru masak putri-putrimu.” Tidak memercayainya, raja bertanya kepada si bungkuk, dan ketika mendengar kebenaran dari permasalahan ini darinya, raja mencerca perbuatan putrinya dan mengucapkan bait berikut:

Sebagai gajah yang menyamar sebagai katak, ketika pangeran gagah perkasa ini datang ke sini;

Adalah merupakan kesalahan dan keburukanmu dengan menyembunyikannya dari kedua orang tuamu.

Demikian raja mencercanya dan kemudian bergegas menemui Kusa, dan setelah mengucapkan salam, bersikap anjali, mengakui kesalahannya, raja mengucapkan bait ini:

Dalam perihal tidak mengenali Maharaja dalam samarannya, jika kami ada melakukan kesalahan terhadap Yang Mulia, dengan tulus kami memohon maaf.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Jika saya berbicara kasar kepadanya, hatinya pasti akan hancur. Saya akan mengucapkan kata-kata yang menenangkan dirinya.”

Dengan berdiri di antara peralatan masaknya, ia mengucapkan bait berikutnya:

Memainkan peran sebagai seorang juru masak adalah perbuatanku yang salah,
tenanglah, bukanlah perbuatan salahmu jika tidak mengenali diriku.

Setelah demikian dibalas dengan kata-kata yang baik, raja masuk ke istana dan memanggil Pabhavati, memerintahkannya untuk pergi meminta maaf pada sang raja, [308] dan mengucapkan bait ini:

Pergilah, gadis bodoh, minta maaf pada Raja Kusa yang gagah perkasa, kemungkinan nyawamu akan dapat terselamatkan.

Mendengar perkataan ayahnya ini, ia pun pergi menjumpai Kusa, ditemani oleh adik-adiknya dan para pelayannya. Dalam keadaan berdiri sebagaimana adanya waktu itu dengan pakaian pelayannya, Kusa melihatnya datang menuju ke arahnya dan berpikir, “Hari ini akan kuhancurkan kesombongan si Pabhavati dan membuatnya tunduk di bawah kakiku di tanah berlumpur,” dan dengan menuang habis semua air yang telah diambilnya ke sana, ia memijak-mijak sebidang tempat sebesar tempat dilakukan pemisahan padi dengan bijinya, menjadikan seperti tempat tumpukan lumpur. Pabhavati menghampirinya dan bersembah sujud di tempat berlumpur itu meminta maaf.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Pabhāvatī, yang rupanya seperti makhluk dewa, mematuhi perkataan ayahnya:

Dengan kepala tunduk ke bawah, dipegangnya kedua kaki Raja Kusa yang gagah perkasa.

Kemudian Pabhavati mengucapkan bait-bait berikut:

Malam dan siangku tanpa dirimu, wahai raja, telah berakhir:

Lihatlah sekarang saya bersujud di kakimu, mohon Anda tidak lagi marah padaku.

Saya berjanji padamu, jika Anda berkenan mendengar permohonanku ini, tak kan kulakukan (lagi) perbuatan yang menyakiti Tuanku.

Akan tetapi, jika Anda menolak permohonanku, maka ayahku akan membunuh putrinya sendiri, memotongnya berkeping-keping, dan memberikannya kepada para raja.

Mendengar ini, Raja Kusa berpikir, “Jika kukatakan, ‘Inilah akibat yang harus Anda terima,’ hatinya pasti akan hancur.

Saya akan mengucapkan kata-kata yang menenangkan dirinya,” dan ia berkata:

Akan kukabulkan permohonanmu, Pabhāvatī, selama Anda bersamaku; Janganlah takut, saya tidak marah padamu.

[309] Dengarkanlah aku, wahai putri raja, saya juga berjanji padamu: Tak kan kulakukan perbuatan yang menyakitimu.

Akan kutanggung betapa pun susahnya, atas cintaku kepadamu, dan kukalahkan semuanya yang datang ke Madda untuk mengambil dirimu.

Kusa, yang dipenuhi dengan kebanggaan seorang kesatria seperti seakan-akan melihat bidadari Dewa Sakka, raja para dewa, yang melayani dirinya, berpikir, “Selagi saya masih hidup, siapa yang berani datang dan membawa pergi istriku?” dan setelah bangkit dari tempatnya, seperti seekor singa, berkata di halaman istana, “Biarlah semua penghuni kota ini mengetahui keberadaanku,” dan dengan berjingkrak, bertepuk tangan, ia meneriakkan, “Sekarang saya akan menghadapi mereka, mintalah mereka untuk menyiapkan kuda dan keretaku,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Ayo cepat pasangkan kuda-kuda terbaikku pada kereta, dan lihatlah diriku, yang dengan gagah berani, berangkat menghancurkan musuh-musuhku di sana.

Kemudian ia mengucapkan perpisahan kepada Pabhavati dengan berkata, “Untuk menangkap musuh-musuhmu adalah tugasku. Pergilah mandi dan berhiaslah, kemudian masuklah ke dalam istanamu.” Dan Raja Madda mengutus para menterinya sebagai pengawal kehormatannya. Mereka menarik sebuah layar yang mengelilingi dirinya di dapur dan menyediakan seorang tukang pangkas untuknya. Setelah janggutnya dirapikan, rambutnya dibersihkan, dihiasi dengan segala kebesarannya dan dikelilingi oleh para pengawal, ia berkata, “Saya akan menuju ke istananya,” di setiap arah yang dilaluinya, ia bertepuk tangan, di mana saja ia melihat, tanahnya berguncang, dan ia meneriakkan, “Sekarang lihatlah betapa besarnya kekuatanku.”

Sang Guru mengucapkan bait ini untuk menjelaskannya:

Wanita-wanita Kerajaan Madda melihatnya berdiri demikian di sana, seperti singa pemberani, sewaktu ia memukulkan kedua tangannya di udara.

[310] Kemudian Raja Madda mengirimkan untuknya gajah yang telah terlatih untuk dapat berdiri tenang dalam situasi perang, dihias dengan luar biasanya. Kusa naik ke punggung gajah itu dengan sebuah payung putih terbentang di atasnya dan memerintahkan agar Pabhavati dibawa menghadap dirinya, dan setelah mendudukkannya di belakang, ia pun berangkat melalui gerbang timur, dikawal oleh empat kelompok pengawal168. Dan begitu berjumpa dengan rombongan musuhnya, ia berkata: “Saya adalah Raja Kusa. Bagi mereka yang masih menghargai nyawanya, silakan berlutut,” dan ia mengeluarkan suara seperti auman singa sebanyak tiga kali dan kemudian menghancurkan musuh-musuhnya.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Duduk di atas punggung gajah, sang ratu berada di belakang tuannya, Kusa, yang turun mengeluarkan suara auman singa dalam pertempurannya.

Semua hewan, ketika mendengar suara Kusa yang menyerupai auman singa itu, dan juga semua kesatria akan lari dari medan pertempuran, disebabkan oleh rasa takut dan panik.

Pasukan bergajah, pasukan berkuda, pasukan berkereta, dan pasukan berjalan kaki, ketika mendengar suara auman Kusa menjadi terpencar dan lari kocar-kacir, disebabkan oleh rasa takut dan panik.

Dewa Sakka yang bergembira melihat kemenangan di barisan depan pertempuran, memberikan sebuah permata ajaib, yang disebut Verocana.

Memenangkan pertempuran, Kusa mengambil batu permata, dan kemudian kembali ke Madda dengan duduk di atas punggung gajah.

Para kesatria itu, dalam keadaan hidup dan terikat, dibawanya serta, dan kemudian ia berkata kepada ayahnya, ‘Lihatlah, Paduka, musuh-musuhmu ini.

Hidup mereka tergantung padamu, setelah kalah dalam pertempuran, Anda boleh membunuh atau membebaskan mereka,’

[311] Raja kemudian membalas:

Musuh-musuh ini adalah milikmu, bukan milikku. Anda-lah maharaja kami, hendak membunuh atau membebaskan mereka.

Setelah mendapatkan balasan demikian, Sang Mahasatwa pun berpikir, “Apalah gunanya bagiku jika orangorang ini mati? Janganlah membiarkan kedatangan mereka tidak mendapatkan hal yang baik. Pabhavati memiliki tujuh orang adik perempuan, putri-putri Raja Madda. Saya akan menikahkan mereka dengan ketujuh kesatria ini,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Putri-putrimu ini berjumlah tujuh, seperti para dewi, sangat cantik untuk dilihat;

Nikahkanlah mereka, masing-masing, kepada tujuh kesatria ini, calon menantumu.

Kemudian raja berkata:

Kami dan mereka berada di bawah kuasamu, memenuhi segala kehendakmu;

Nikahkanlah mereka—Anda adalah maharaja kami— sesuai dengan keinginanmu.

Maka ia pun memerintahkan orang untuk mendandani masing-masing putri dengan cantiknya dan menikahkan mereka masing-masing kepada ketujuh raja tersebut.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan lima bait berikut:

Demikian Kusa raja bersuara singa memberikan putriputri Raja Madda, satu gadis kepada satu raja, gadis-gadis cantik dengan kesatria-kesatria pemberani.

Gembira atas anugerah yang didapatkan dari Kusa raja bersuara singa, para kesatria kembali ke kerajaan masing-masing.

Sambil membawa batu permata ajaibnya, Verocana, Kusa kembali ke Kusāvatī, sang raja gagah perkasa, dengan membawa pulang Pabhāvatī.

Menaiki satu kereta, pasangan kerajaan ini pulang ke rumah. Tak ada yang bersinar lebih terang antara satu dengan lainnya, karena mereka memiliki keanggunan yang sama.

Sang ibu keluar menyambut kepulangan anaknya. Mulai saat itu, sebagai pasangan suami istri mereka tinggal di kerajaan yang damai dan melewati hari-hari yang bahagia.

[312] Setelah menyelesaikan uraian-Nya di sini, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu menjadi kukuh dalam tingkat kesucian Sotapanna:—“Pada masa itu, sang ayah dan ibu adalah anggota keluarga kerajaan, putra yang lebih muda adalah Ānanda (Ananda), pengasuh bungkuk adalah Khujjuttarā, Pabhāvatī (Pabhavati) adalah ibu dari Rāhula, yang lainnya adalah pengikut Sang Buddha, dan Raja Kusa adalah diriku sendiri.”

Catatan Kaki :

149 Kisah ini (mungkin) dapat dihubungkan dengan cerita dongeng Eropa “Beauty and the Beast.” Lihat Tibetan Tales, Introduction, hal. XXXVII. dan 21-28, dan Kusa Jātakaya, sebuah legenda Buddhisme, yang disajikan dalam versi Inggris dari versi Sri Lanka, oleh Thomas Steele.

150 nama dari kota Kusinārā, sebelumnya.

151 Erythmia indica; sebuah pohon di kediaman Dewa Sakka/Indra.

152 Kemungkinan disebut demikian karena memiliki warna merah bunga teratai (kokanada), atau nama dari suatu negeri. Di Jātaka III, 157, kata ini muncul sebagai nama sebuah tempat.

153 āvāha adalah pernikahan seorang putra, berbeda dengan pernikahan seorang putri (vivāha), dalam 9th rock edict of Piyadasi. Demikian juga di Jātaka I. 452,2; Jātaka IV. 316, 8; dan Jātaka VI. 71, 32.

154 KBBI: bagian sungai yang dangkal tempat orang menyeberang; laut yang biasa dilayari (dilalui). Pali: titthamagga.

155 hattha-vikāra juga muncul di dalam Mahāvagga IV. 1. 4, tetapi arti yang sebenarnya di dalamnya itu tidaklah jelas.

156 ādārābharaṇe. Ada yang menuliskan “Dikarenakan masih anak-anak”.??

157 āvijjhi. Bandingkan Jātaka I. 313, 8, āvaijjhitvā.

158 vatthum.

159 Secara harfiah, “setelah memasukkan pasak ( sūci) pada lubangnya, ia tetap berdiam di dalam.” Bandingkan Cullavagga, VI. 2. 1.

160 avakujja. Bandingkan Jātaka I. 13, 28.

161 kaṇikāra, Pterospermum acerifolium.

162 ammaṇa, satuan ukuran berupa sekitar empat bushels, Mil. IV, 19.

163 Secara harfiah, “dengan paha seperti belalai gajah.”

164 Untuk keterangan mengenai pintu ala India, bandingkan Cullavagga, VI. 2. 1; āviñchanarajju yang digunakan sebagai pengganti dari āviñjanarajju yang digunakan di sini.

165 gaṇṭhikā (gaṇḍikā). Kombinasi kata dhammagaṇṭhikā(gaṇḍikā) terdapat di Jātaka, Vol. I. 150, II. 124, III. 41, IV. 176. Bandingkan Cullavagga, terjemahan bahasa Inggris oleh R.

Davids and H. Oldenberg, Vinaya Texts, pt. III, hal. 144 dan 213. Dalam bahasa Bengali gaṇḍi adalah ‘sebuah benda yang melingkari (kepala) seorang penjahat,’ dan arti ini cocok dengan konteks dalam teks yang disebutkan di atas.

166 burung bangau kecil. Ardea cinerea, burung pucung seriap.

167 caṇḍāla, kasta rendah. KBBI: rendah; hina; nista.

168 pasukan yang menunggangi gajah (pasukan bergajah), pasukan berkuda, pasukan berkereta (perang), dan pasukan berjalan kaki.

Leave a Reply 0 comments