
No. 529.
SONAKA-JĀTAKA123.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“ Seribu keping uang, dan seterusnya.” Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam pelepasan (keduniawian). Pada kesempatan ini, Bodhisatta yang sedang duduk di dalam balai kebenaran di antara para bhikkhu ketika mereka sedang memuji kesempurnaan dalam pelepasan keduniawian, berujar, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Tathāgata sungguh-sungguh meninggalkan keduniawian dan melakukan pelepasan keduniawian yang agung,” dan setelah berujar demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, Raja Magadha memerintah di Rajagaha. Bodhisatta dilahirkan oleh ratu utamanya dan di hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Arindama. Pada hari yang sama dengan kelahirannya, pendeta kerajaan juga mendapatkan kelahiran seorang putra dan mereka memberinya nama Sonaka.
Kedua anak ini tumbuh besar bersama dan ketika dewasa, mereka sangatlah tampan, dalam penampilan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, dan mereka pergi ke Takkasilā. Setelah dilatih dalam semua ilmu pengetahuan, mereka meninggalkan tempat itu dengan maksud untuk mempelajari penggunaan penerapan dari ilmu pengetahuan dan kehidupan rakyat, dan secara berangsur-angsur dalam pengembaraan mereka tiba di Benares. Di sana mereka mengambil tempat tinggal di dalam taman kerajaan dan keesokan harinya masuk ke dalam kota. Pada hari itu juga, beberapa orang yang berpikiran untuk memberikan derma makanan kepada para brahmana, telah menyediakan bubur susu dan menyiapkan tempat duduk. Ketika melihat kedua pemuda ini mendekat, orang-orang itu membawa mereka masuk ke dalam rumah dan mempersilakan mereka duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Pada tempat duduk yang diberikan kepada Bodhisatta terbentang kain putih, sedangkan yang diberikan kepada Sonaka terbentang kain rajutan merah. Melihat petanda ini, Sonaka langsung mengerti bahwa hari ini sahabatnya, Arindama, [248] akan menjadi raja di Benares, dan kemudian ia akan menawarkan kepada dirinya posisi sebagai panglima.
Setelah selesai makan, mereka kembali bersama ke taman. Sekarang adalah hari ketujuh sejak wafatnya Raja Benares, dan kerajaan tidak memiliki ahli waris. Maka setelah membersihkan diri, para penasihat dan yang lainnya, baik pemimpin maupun semuanya, berkumpul bersama dan dengan berkata, “Anda harus pergi ke tempat yang terdapat orang yang pantas untuk menjadi raja,” mereka pun pergi dengan mengikuti kereta negara124 tersebut. Setelah meninggalkan kota, secara berangsur-angsur kereta negara mendekat ke taman dan berhenti di gerbang taman, bersiap bagi siapa untuk menaikinya.
Bodhisatta, kala itu, sedang berbaring dengan jubah luarnya menutupi sampai ke bagian kepalanya di papan batu keberuntungan, sedangkan Sonaka duduk di dekatnya. Ketika mendengar alunan suara alat-alat musik, Sonaka berpikir, “Kereta negara itu sedang menuju ke sini untuk Arindama. Hari ini ia akan dijadikan sebagai raja dan akan menawarkan jabatan panglima kepadaku. Tetapi sesungguhnya, saya tidak memiliki keinginan akan kekuasaan. Ketika ia pergi nanti, saya akan meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang pabbajita,” dan ia duduk bersembunyi di satu sisi. Pendeta kerajaan masuk ke dalam taman melihat Sang Mahasatwa sedang berbaring di sana, dan memberi perintah untuk membunyikan alat musik.
Sang Mahasatwa terbangun dan setelah berpaling dan berbaring sejenak, ia bangkit dan duduk bersila di papan batu tersebut.
Kemudian memohon dengan sikap anjali, pendeta kerajaan itu berkata dengan keras, “Tuan, kerajaan tiba padamu.” “Mengapa, apakah tidak ada yang mewarisi takhta?” “Benar demikian, Tuan.” “Kalau begitu, baiklah,” jawabnya. Maka mereka pun melantiknya menjadi raja di sana. Dan setelah memintanya untuk menaiki kereta, mereka membawanya ke kota diikuti oleh rombongan pengawal dalam jumlah besar. Setelah berkeliling kota dengan senantiasa mengarahkan sisi kanan badannya, ia memasuki istananya, dan dalam kebesarannya (sebagai raja), ia pun lupa akan semuanya mengenai Sonaka. Ketika raja telah pergi, Sonaka keluar dari persembunyiannya dan duduk di papan batu tersebut, persis saat itu juga sehelai daun layu dari pohon sala jatuh di hadapannya. Ketika melihat ini, ia berujar, “Seperti daun ini, tubuhku akan demikian menua,” dan setelah menegakkan pandangan terang pada objek ketidakkekalan (keadaan yang selalu berubah), ia mencapai kebuddhaan dengan menjadi seorang Pacceka Buddha, dan pada saat itu juga penampilan umat awamnya lenyap, dan penampilan petapa muncul, dan dengan berkata, “Tidak akan ada kelahiran lagi bagiku,” setelah mengucapkan ungkapan ketergugahan hati ini, ia berangkat ke Gua Nandamūla. Setelah empat puluh tahun berlalu, Sang Mahasatwa kemudian teringat kembali kepada Sonaka, dan berkata, “Di mana gerangan Sonaka berada?” Dan setelah beberapa lama [249] ia tidak menemukan seorang pun yang mengatakan kepadanya, “Saya pernah mendengar tentang dirinya atau saya pernah melihatnya,” dengan duduk bersila di dipan kerajaan pada mahātala, dikelilingi oleh rombongan pemain musik dan penari, sembari menikmati kejayaannya, ia berkata, “Barang siapa yang mendengar dari seseorang bahwa Sonaka bertempat tinggal di tempat anu dan mengulanginya kepadaku, saya berjanji akan memberikan uang seratus keping kepadanya. Tetapi barang siapa yang melihat Sonaka dengan matanya sendiri dan memberitahukannya kepadaku, saya berjanji akan memberikan uang seribu keping kepadanya,” dan setelah mengucapkan ungkapan sukacita itu, ia mengucapkan bait pertama berikut dalam bentuk sebuah lagu (gita):
Seribu keping uang kuberikan bagi ia yang melihat teman sekaligus teman bermainku itu;
Seratus keping uang kuberikan bagi ia yang mendengar tentang keberadaannya.
Kemudian seorang gadis penari melantunkan kata-kata tersebut seolah-olah seperti raja yang sedang melantunkannya, kemudian yang lainnya mengetahuinya sampai seluruh isi kediaman selir raja, dengan berpikir bahwa itu adalah gita kesukaan raja, mereka pun menyanyikannya. Dan secara berangsur-angsur, baik penduduk kota maupun penduduk desa melantunkan gita yang sama dan secara terus-menerus raja juga melantunkannya. Di akhir tahun kelima puluh, raja telah memiliki banyak putra dan putri, anak yang sulung diberi nama Pangeran Dīghāvu (Dighavu). Pada waktu itu, Pacceka Buddha Sonaka berpikir, “Raja Arindama resah ingin berjumpa denganku. Saya akan pergi dan menjelaskan kepadanya tentang keburukan dari kesenangan indriawi dan kebaikan dari pelepasan keduniawian, dan akan menunjukkan kepadanya jalan untuk menjadi seorang pabbajita. Dan dengan kesaktiannya, ia pergi ke tempatnya dan mengambil tempat duduk di dalam taman. Pada waktu itu, seorang bocah berkucir lima yang berusia tujuh tahun, sedang berada di taman itu karena disuruh oleh ibunya. Dan ketika sedang mengumpulkan kayu, ia melantunkan gita itu secara berulang-ulang. Sonaka memanggil bocah tersebut datang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Bocah, mengapa kamu selalu melantunkan gita yang sama dan tidak pernah melantunkan yang lainnya? Apakah kamu tidak mengetahui gita yang lain?” “Saya tahu, Bhante, tetapi ini adalah lagu kesukaan raja maka saya melantunkannya secara berulang-ulang.” “Sudah adakah seseorang yang ditemukan dapat menyanyikan gita balasan terhadap ini?” “Tidak ada, Bhante.” “Kalau begitu, saya akan mengajarimu dan kemudian kamu dapat pergi dan melantunkan gita balasan ini di hadapan raja.” “Baik, Bhante.”
Maka ia pun mengajarkan kepada bocah itu gita balasan terhadap gita kesukaan raja itu. Ketika bocah itu telah menguasainya, [250] Pacceka Buddha itu memintanya untuk pergi dengan berkata, “Pergilah, Bocah, dan lantunkan gita balasan ini di hadapan raja, ia akan memberikanmu hadiah yang besar. Apa gunanya kamu mengumpulkan kayu sekarang?
Pergilah secepat mungkin.” “Baiklah,” jawabnya. Maka setelah menguasai gita balasan itu dan memberi hormat kepada Pacceka Buddha Sonaka, ia berkata, “Bhante, tetaplah berada di sini sampai saya membawa raja ke sini.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, secepat mungkin ia pulang menjumpai ibunya dan berkata kepadanya, “Ibu tercinta, mandikanlah diriku dan dandani diriku dengan pakaian terbaikku. Hari ini saya akan membebaskanmu dari kemiskinan.” Dan setelah mandi dan berpakaian dengan bagus, ia pergi ke depan istana dan berkata, “Tuan Penjaga pintu, pergilah beritahu raja dengan mengatakan, ‘Ada seorang bocah yang datang dan berdiri di pintu istana, bersiap untuk melantunkan gita balasanmu.’ ” Sang penjaga pun bergegas memberitahu raja. Raja memanggilnya untuk menghadap dan berkata, “Nak, apakah kamu akan melantunkan gita balasan terhadap gitaku?” “Ya, Paduka.” “Kalau begitu, lantunkanlah gita itu.” “Paduka, saya tidak akan melantunkannya di sini, tetapi berikanlah perintah untuk menabuh genderang di seluruh kota dan minta orang-orang untuk berkumpul bersama.
Saya akan melantunkannya di hadapan orang banyak.” Raja memberi perintah untuk melakukan ini, dan setelah mengambil tempat duduknya di tengah pada dipan di bawah sebuah paviliun yang megah dan memberikan tempat duduk yang tepat kepada anak laki-laki itu, raja berkata, “Sekarang, lantunkanlah gita balasanmu.” “Paduka,” katanya, “Anda lantunkan gita itu terlebih dahulu, baru nanti saya lantunkan balasannya.” Kemudian raja, untuk melantunkan gitanya terlebih dahulu, mengulangi bait berikut:
Seribu keping uang kuberikan bagi ia yang melihat teman sekaligus teman bermainku itu;
Seratus keping uang kuberikan bagi ia yang mendengar tentang keberadaannya.

Kemudian, untuk menjelaskan bahwa bocah yang rambutnya berkucir lima itu menyanyikan gita balasan terhadap gita raja, Sang Guru mengucapkan bait kalimat berikut dengan kesempurnaan dalam kebijaksanaannya:
Kemudian bocah itu, yang berkucir lima, maju dan berkata demikian:
‘Berikanlah seribu keping uang itu kepada aku yang melihat, ditambah lagi dengan seratus keping kepada aku yang mendengar keberadaan Sonaka, teman bermainmu di masa kecil:
Saya akan memberitahumu tentangnya.’

Syair-syair berikutnya dapat dimengerti dalam pergantian giliran yang jelas di antara raja dan bocah itu:
Mohon katakanlah kepadaku di negeri, kerajaan atau kota mana kamu telah menjadi mengembara dan melihat Sonaka, temanku itu?
Di kerajaan ini, di dalam tamanmu sendiri, tempat terdapat banyak pohon sala yang besar, dengan dedaunan hijau dan cabang pohon yang begitu lurus, dapat terlihat sebuah pemandangan yang menyenangkan itu;
Cabang-cabang pohon itu demikian lebatnya dengan saling menutupi seperti awan, membubung tinggi di atas: Di bawah pohon itulah Sonaka duduk bermeditasi, seperti diliputi oleh ketenangan seorang Arahat, seperti ketika kotoran batinnya telah padam.
Kemudian raja mulai bergerak dengan kekuatan penuh dan dengan mengikuti jalannya, ia langsung menuju ke tempat Sonaka berada.
Di sana di tengah hutan dengan pohon-pohon berbuah lebat, sahabatnya itu, yang tiada kotoran batin, dalam kebahagiaan murni, ditemukan sedang beristirahat.
Tanpa memberikan salam hormat kepadanya, raja duduk di satu sisi, dan dengan menyatakan bahwa ia telah tunduk pada kotoran batin, ia menganggap dirinya sebagai orang buruk yang malang dan menyapanya dalam bait kalimat berikut:
Orang tuanya telah meninggal, dengan kepala botak, mengenakan jubah (sangghati), seorang bhikkhu malang dalam ketidaksadaran, berada di sini di bawah pohon ini.
Ketika mendengar ini, Sonaka berkata:
Ia, yang dalam tindak tanduknya membuahkan yang benar, bukanlah orang yang malang.
Orang yang malang sebenarnya adalah mereka yang mengabaikan yang benar dan mempraktikkan yang salah, karena pelaku keburukan dipastikan membuahkan hasil yang buruk.’
Demikianlah ia menyalahkan Bodhisatta, dan dengan berpura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang disalahkan, Bodhisatta menyatakan nama dan keluarganya dengan mengucapkan bait kalimat berikut, sambil berbicara dengan ramah kepadanya:
Saya dikenal sebagai Raja Kasi, namaku adalah Arindama; Sejak kedatanganmu di sini, Sonaka, apakah Anda telah menjumpai keburukan?
Kemudian Pacceka Buddha itu berkata, “Bukan hanya ketika tinggal di sini, tetapi juga di tempat yang lain saya menjumpai keburukan,” dan ia memberitahukan kemuliaan seorang petapa ( samaṇabhadra) dalam syair berikut:
Kemuliaan pertama dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: ia tidak menyimpan harta apa pun di dalam kamar, pasu, ataupun keranjang, melainkan hanya menerima apa yang diberikan dan hidup berpuas hati dengan itu.
Kemuliaan kedua dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: ia menikmati makanannya dengan bebas dari rasa bersalah dan tak ada orang yang menyangkalnya.
Kemuliaan ketiga dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: sehari-hari ia menikmati makanannya dalam kebahagiaan dan tak ada orang yang menyangkalnya.
Kemuliaan keempat dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: ke mana pun ia pergi, ia mengembara bebas di seluruh tanah kerajaan dan tak mengenal adanya ikatan.
Kemuliaan kelima dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: jika negeri, di mana pun ia berada, musnah terbakar api, ia tidak akan menderita karena ia tidak memiliki apa pun untuk terbakar.
Kemuliaan keenam dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: jika kerajaan dirampas, ia tidak akan menderita sedikit pun.
Kemuliaan ketujuh dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: meskipun para perampok dan banyak musuh berbahaya lainnya mengepung jalannya, dengan patta dan jubah, orang suci ini akan selalu pergi dengan selamat.
Kemuliaan kedelapan dari seorang bhikkhu yang tak memiliki tempat tinggal: Tiada tempat tinggal dan harta benda, ia tetap mengembara dalam perjalanannya tanpa rasa sesal dan peduli.
Demikianlah Pacceka Buddha Sonaka memberitahukan delapan kemuliaan seorang petapa, dan bahkan selain dari ini, ia sebenarnya dapat memaparkan kemuliaan sebanyak seratus, seribu, bahkan tak terhitung jumlahnya, tetapi raja yang dikuasai oleh kesenangan indriawi memotong pembicaraannya dengan berkata, “Saya tidak memerlukan kemuliaan seorang petapa,” dan untuk memaklumkan betapa ia terpikat pada kesenangan indriawi, ia berkata:
[257] Demikianlah dengan perumpamaan ini, ia menasihati raja dan mengucapkan bait kalimat berikut untuk memantapkan pikirannya:Anda boleh saja memuji kemuliaan seorang petapa yang begitu banyak, tetapi apa yang seharusnya kulakukan, diriku yang dengan serakahnya berburu kesenangan indriawi?
Saya menyukai semua kesenangan duniawi dan juga kesenangan surgawi. Akan tetapi, katakanlah padaku, bagaimana mendapatkan dua kesenangan itu sekaligus.
Kemudian Pacceka Buddha itu menjawabnya:
[255]Ia yang hanyut dalam kesenangan dan memuaskan kesenangan indriawi, akan melakukan perbuatan buruk dan terlahir di alam menyedihkan.Tetapi ia yang meninggalkan kesenangan indriawi, pergi menjalani kehidupan tanpa rasa takut, dan ia yang mencapai konsentrasi murni125, tidak akan terlahir di alam menyedihkan.
Berikut saya beritahukan kepadamu suatu perumpamaan; Dengarkanlah dengan saksama, Arindama, sebagian orang menjadi bijak melalui perumpamaan, dengan memahaminya.
Terdapatlah sesosok bangkai besar yang terbawa arus di Sungai Gangga; Seekor burung gagak dungu, ketika melihatnya terapung, berpikir demikian dalam dirinya,
‘Oh betapa besarnya tunggangan sekaligus persediaan makanan yang amat banyak yang saya temukan ini, Saya akan tinggal di sini siang dan malam, sambil menikmati pikiran yang penuh kebahagiaan.’
Demikianlah ia makan daging bangkai gajah itu dan minum air Sungai Gangga; Dalam keadaan yang terus bergerak, ia tidak sadar lagi akan hutan dan daratan yang dilewatinya, seperti dalam mimpi.
Dengan sikap lengah demikian dan pikiran yang hanya tertuju pada bangkai itu, ia pun terus terbawa arus Sungai Gangga dengan cepat menuju bahaya samudra.
Ketika kehabisan persediaan makanan, burung malang mencoba untuk pergi. Tetapi tidak di sebelah timur, barat, selatan ataupun utara dapat dilihatnya daratan.
Jauh di samudra, ia menjadi begitu lelah, jauh sebelum mencapai pantai, di tengah bahaya samudra dalam yang tak terhitung jumlahnya, ia tidak bisa bangkit lagi.
Para ikan, buaya, monster laut datang ke tempat makhluk bersayap itu berada, dengan rasa lapar, dan melahap mangsa mereka yang gemetaran.
Demikian halnya juga kamu dan semuanya yang memburu kesenangan indriawi dengan tamaknya, dianggap memiliki sifat dungu yang sama seperti burung gagak, sampai kamu menjauhkan diri darinya.
Perumpamaanku menunjukkan kebenaran.
Pahamilah, wahai raja, kebijaksanaanmu akan berkembang untuk kebaikan atau kejahatan sesuai dengan perbuatanmu.
Dalam rasa belas kasih satu kali kumaklumkan kata-kata peringatan, tidak untuk kedua kalinya,
Jangan mengulangi perbuatan buruk, seperti seorang pelayan terhadap majikannya.

Demikianlah dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Yang Bijak Sonaka mengarahkan pemikiran raja, dan kemudian segera menghilang, terbang di angkasa.
Satu bait kalimat di atas diucapkan dengan terinspirasi oleh kesempurnaan dalam kebijaksanaan-Nya.

Bodhisatta berdiri menatap Sonaka di saat ia terbang ke angkasa, selama berada dalam jarak pandangnya. Setelah Sonaka tidak terlihat lagi, ia menjadi tergugah dan berpikir, “Brahmana ini, yang menghilang di angkasa setelah menebarkan debu di kepalaku dari bawah kakinya, adalah seorang yang berasal keturunan keluarga rendah126, sedangkan saya adalah seorang yang berasal dari keturunan keluarga bangsawan [258].
Hari ini juga saya harus melepaskan keduniawian dan menjadi seorang petapa. Maka dalam keinginannya untuk menjadi seorang petapa dan melepaskan kerajaannya, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Di manakah para saisku akan dapat menemukan seorang raja yang layak?
Saya tidak akan lagi memerintah kerajaan; mulai saat ini saya mengundurkan diri.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Ketika mendengar dirinya yang demikian ingin melepaskan takhtanya, para penasihatnya berkata:
Anda memiliki seorang putra, Dīghāvu namanya, ia adalah seorang pangeran yang tumbuh dewasa;
Nobatkanlah ia, dengan upacara pemercikan, menjadi raja.
Kemudian, dimulai dengan kalimat yang diucapkan oleh raja, bait-bait berikut harus dapat dipahami dalam hubungan kalimat yang cukup jelas oleh siapa bait-bait itu diucapkan:
Kalau begitu cepatlah bawa Dīghāvu ke sini, pangeran yang tumbuh dewasa;
Dengan upacara pemercikan akan kunobatkan ia menjadi raja.
Ketika mereka membawa Dīghāvu ke sana, untuk menjadi raja yang memimpin mereka nantinya,
Raja menyapa putra tercintanya—ia adalah putra satusatunya:
Kumiliki enam puluh ribu desa;
Ambillah mereka, Putraku, saya menyerahkan kerajaanku kepadamu mulai saat ini.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Enam puluh ribu ekor gajah, semuanya dengan hiasan yang luar biasa, tali pelana emas, diperindah dengan hiasan-hiasan berwarna terang keemasan,
Masing-masing dituntun oleh pawang tersendiri, dengan angkusa127 runcing di tangan; Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai
pemimpin kerajaan.
Enam puluh ribu ekor kuda, didandani dengan hiasan yang cerah–Kuda-kuda Sindhu, semuanya keturunan dari kuda terbaik, dan mereka adalah pasukan di darat–
Masing-masing ditunggangi oleh seorang prajurit pemberani, dengan pedang dan busur di tangan;
Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai pemimpin kerajaan.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Enam puluh ribu kereta ( ratha), semuanya dilengkapi dengan kuk128, dengan kain yang melayang bebas, dihias dengan kulit harimau dan macan tutul, terlihat sebagai suatu pemandangan yang indah sekali,
Masing-masing dikendarai oleh sais berbaju besi, semuanya dipersenjatai dengan busur di tangan;
Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai pemimpin kerajaan.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Enam puluh ribu ekor sapi perah, sapi betina dan ternak lainnya yang berwarna kemerahan; Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai pemimpin kerajaan.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Berdiri di sini adalah enam belas ribu gadis dengan pakaian nan indah, berhiaskan gelang tangan dan cincin permata pada tangan-tangan mereka;
Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai pemimpin kerajaan ini.
Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu? Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.
Kata orang-orang kepadaku, ‘Anak yang malang, ibumu sudah meninggal,’ Saya juga tidak dapat hidup tanpa dirimu. Semua kebahagiaan dari kehidupanku hilang129.
Seperti yang sering terlihat, anak gajah berjalan di belakang induknya bergerak melewati gunung atau hutan, melalui tanah yang berlubang atau datar,
Demikianlah akan kuikuti, dengan patta di tangan, ke mana pun tujuanmu, Anda tidak akan merasa terbebani olehku.
Seperti kapal-kapal para saudagar yang mencari harta menerjang risiko apa pun, dihabiskan oleh vohāra130, baik kapal maupun awaknya lenyap131,
Demikianlah kutakutkan dapat kutemukan hambatan dalam diri anak ini.
Bawalah ia ke istana untuk menikmati segalanya yang membahagiakan di sana,
[260]Dengan dayang-dayang, yang tangannya terang dengan kilauan emas, menjaga dirinya; Seperti Sakka di antara para bidadarinya, selamanya akan diperolehnya kebahagiaan.Kemudian mereka membawa Dīghāvu ke istana, tempat tinggal yang penuh kebahagiaan; Melihat dirinya, para dayang menyapa putra mahkota tersebut,
‘Siapakah Anda? Dewata, pemusik surgawi (Gandhabba), Purindada atau Sakka, yang dapat mengabulkan keinginan di setiap kerajaan?
Kami ingin tahu namamu.’
Bukan dewata, gandhabba, maupun Purindada atau Sakka, aku adalah putra Raja Kasi, Dīghāvu namaku.
Bergembiralah dan hiburlah diriku, kunyatakan kalian semua menjadi istriku.
Kemudian kepada Dīghāvu, pemimpin baru mereka, para wanita ini bertanya demikian:
‘Di manakah raja mendapatkan tempat untuk bernaung, ke manakah ia telah pergi?’
Raja telah bebas dari jalan berlumpur dan aman berada di tanah yang kering; Terlepas dari semak-semak berduri dan rimba, ia pun menemukan jalan yang bagus.
Akan tetapi saya ditempatkan pada jalan yang menuntun ke alam menyedihkan; Terjebak dalam semak-semak berduri dan rimba, kuperoleh penderitaan.
Selamat datang, seperti anak singa yang menyambut kepulangan induknya ke sarangnya di pegunungan.
Mulai saat ini, Maharaja, tuntunlah kami. [261] Dan setelah berkata demikian, mereka semua memainkan alat-alat musik mereka dan terdengarlah pelbagai jenis lagu dan tarian. Begitu besarnya kejayaan itu sehingga pangeran yang dimabukkan olehnya, lupa akan semua mengenai ayahnya. Akan tetapi, karena menjalankan pemerintahan dengan benar, ia pun terlahir kembali di kehidupan berikutnya sesuai dengan perbuatannya. Sedangkan Bodhisatta mengembangkan kesaktian melalui jhana, dan setelah meninggal terlahir di alam brahma.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau Sang Tathāgata sungguh-sungguh melakukan pelepasan keduniawian yang agung,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini dengan berkata, “Pada masa itu, Pacceka Buddha Sonaka mencapai nibbāna setelah meninggal, putra mahkota adalah Rāhula, dan Arindama adalah saya sendiri.”
Catatan kaki :
123 Bandingkan kisah Darīmukha, No. 378, Vol. III. Hal. 156 (terjemahan bahasa Inggris).
124 phussaratha, Jātaka III . No. 378, Jātaka IV. No. 445, dan Mahājanaka-Jātaka, Vol. VI. No. 539. Konon, phussaratha akan berjalan sendiri untuk mencari/menemukan penguasa baru jika tidak ada yang mewarisi takhta kerajaan.
125 Ekodibhāva, pemusatan pikiran. Lihat R, Morris, P.T.S.J. 1885, hal. 32 dan Academy, 27 Maret 1886.
126 hīnajacco. Untuk seorang brahmana yang disebut dengan hīna-jacco, lihatlah Buddhist India oleh R. Davids, hal. 60.
127 KBBI: tongkat gancu (tongkat berpengait untuk menghalau gajah, rusa).
128 KBBI: kayu lengkung yang dipasang di tengkuk kerbau (lembu) untuk menarik bajak (pedati dsb).
129 Bait ini dan dua bait berikutnya diucapkan oleh pangeran.
130 Komentar menjelaskan bahwa vohāra bisa berupa seekor ikan raksasa atau raksasa air atau pusaran air/ombak yang besar.
131 Bait ini dan dua bait berikutnya diucapkan oleh Raja Arindama.