
No. 533.
CULLAHAṀSA-JĀTAKA180
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[333] “Semua burung yang lain,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah, yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana, tentang bagaimana Yang Mulia Ananda181 mengorbankan hidupnya. Ketika beberapa pemanah diperintahkan untuk membunuh Sang Tathāgata (Tathagata), dan pemanah pertama yang diutus oleh Devadatta182 untuk melakukan tugas ini kembali kepadanya dan berkata, “Bhante, saya tak mampu membunuh Yang Terberkahi ( Bhagavā); Beliau memiliki kekuatan yang mahatinggi, orang yang digdaya,” Devadatta membalasnya, “Baiklah, Tuan, Anda tidak perlu membunuh petapa Gotama lagi. Saya sendiri yang akan membunuh petapa Gotama.” Maka ketika Sang Tathagata sedang berjalan, dengan bayangan berada di sebelah barat, menuju ke puncak Gunung Burung Hering, Devadatta naik ke atas Gunung Burung Hering itu dan melontarkan sebuah batu yang besar, dengan memiliki pikiran, “Dengan batu ini saya pasti dapat membunuh petapa Gotama.” Akan tetapi, adanya dua gunung di tempat tersebut menghentikan jalannya batu itu, dan satu serpihannya terlontar, menusuk masuk ke dalam kaki Sang Bhagava, menyebabkan kaki-Nya berdarah dan timbulnya sensasi sakit yang kuat. Jīvaka, yang dengan menggunakan pedang mencungkilnya keluar, menyebabkan darah kotor dan daging yang membusuk ikut keluar, dan setelah mencuci bersih luka-Nya, memberikan obat dan membuatnya menjadi sembuh.
Sang Guru kemudian berjalan seperti sediakala, diikuti oleh para anggota saṅgha (sangha), dengan gaya layaknya seorang Buddha. Maka ketika Devadatta melihat Beliau dalam keadaan demikian, ia berpikir, “Tak ada manusia, sewaktu melihat kesempurnaan rupa dari petapa Gotama, yang berani untuk mendekati-Nya (untuk melukai-Nya). Akan tetapi, gajah Nāḷāgiri (Nalagiri) milik raja adalah seekor hewan yang liar dan buas, [334] dan ia tidak tahu apa pun mengenai kebajikan dari Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia akan mampu menyebabkan kehancuran bagi sang petapa.” Maka pergilah ia menghadap kepada raja dan memberitahukan permasalahannya. Raja menyetujui gagasan ini, dan setelah memanggil si penjaga gajah, ia berkata demikian kepadanya, “Penjaga183, besok kamu harus membuat gajah Nalagiri minum sampai mabuk, dan di saat fajar menyingsing lepaskan ia di jalan tempat petapa Gotama berjalan.” Dan Devadatta menanyakan kepada si penjaga mengenai berapa banyak minuman (keras) yang biasa diminum oleh Nalagiri dalam satu hari. Ketika dijawab, “Delapan kendi, Bhante,” ia pun menambahkan, “Besok berikan padanya enam belas kendi untuk diminum, dan bawa ia ke jalan tempat petapa Gotama sering berada.” “Baik,” jawab si penjaga.
Raja mengumumkan di seluruh kota dengan tabuhan genderang, “Besok Nalagiri akan dimabukkan dengan minuman (keras) dan dilepaskan di jalan. Para penduduk harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan pada awal pagi, dan setelahnya tidak boleh ada seorang pun yang berkeliaran di jalanan.” Devadatta turun dari istana raja dan pergi menuju ke kandang gajah, dan berkata kepada para penjaga demikian, “Kami mampu, saya beritahukan padamu, menurunkan status seorang yang tinggi menjadi rendah, demikian juga sebaliknya menaikkan status orang yang rendah menjadi tinggi. Jika Anda hendak mendapatkan satu kehormatan, besok pagi berikan enam belas kendi minuman yang amat memabukkan kepada Nalagiri. Dan ketika petapa Gotama berjalan di jalan anu, lukailah gajah ini dengan angkusa runcing, dan ketika dalam kemurkaannya dirobohkannya kandang ini, tuntunlah ia ke jalan, tempat petapa Gotama biasa berjalan, yang demikian akan menyebabkan kehancuran bagi sang petapa.” Mereka menyetujuinya. Kabar ini tersebar luas di seluruh kota. Para upasaka yang dekat kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha menghampiri Sang Guru dan berkata, “Bhante, Devadatta telah bertemu dengan raja dan mereka berencana, keesokan hari, untuk melepaskan Nalagiri di jalan tempat Anda biasa berpindapata. Janganlah memasuki kota besok untuk berpindapata, tetaplah tinggal di sini saja. Kami akan menyediakan makanan di wihara untuk para anggota Sangha, dengan Buddha sebagai pemimpin mereka.” Sang Guru, tanpa langsung mengatakan, “Saya tidak akan memasuki kota besok untuk berpindapata,” menjawab mereka dengan berkata, “besok akan kulakukan sesuatu yang luar biasa dan kujinakkan Nalagiri, serta kutaklukkan para penganut pandangan salah tersebut. Dengan tidak berpindapata di Rajagaha, saya akan meninggalkan kota ini, dengan diikuti oleh para Sangha, menuju ke Veluvana, dan para penduduk Rajagaha akan datang ke Veluvana dengan membawa banyak makanan, dan besok akan terdapat banyak makanan di ruang makan wihara.” Dengan cara inilah, Sang Guru mengabulkan permintaan mereka.
Setelah mengetahui bahwa Sang Tathagata menyetujui permintaan mereka, mereka berangkat meninggalkan kota, membawa banyak makanan dan berkata, “Kami akan memberikan dana ini di wihara.”
Pada penggal awal malam hari, Sang Guru mengajarkan Dhamma; pada penggal tengah malam hari, Beliau menjawab pertanyaan dari para makhluk dewata; pada bagian pertama penggal akhir malam hari, Beliau berbaring di sebelah kanan sisi-Nya, layaknya seekor singa; [335] pada bagian kedua penggal akhir malam hari, Beliau meditasi menikmati pencapaian buah (nibbana); dan pada bagian ketiga penggal akhir malam hari, Beliau meditasi Belas Kasih Nirbatas, meninjau orang-orang yang matang untuk dicerahkan dan ketika mengetahui bahwa sebagai hasil dari penjinakkan gajah Nalagiri akan ada sebanyak delapan puluh empat makhluk dapat diarahkan pada pemahaman yang jelas akan Dhamma, maka pada awal pagi, setelah memenuhi kebutuhan jasmani-Nya, Beliau menyapa Yang Mulia Ananda, “Ananda, hari ini mintalah semua bhikkhu, yang berada di enam belas wihara di sekitar Rajagaha, untuk ikut bersamaku memasuki kota.” Sang Thera pun melakukan demikian, dan semua bhikkhu berkumpul di Veluvana. Sang Guru, beserta dengan kumpulan banyak angota sangha, memasuki Rajagaha, dan para penjaga gajah menjalankan perintah yang telah diberikan sebelumnya, dan demikian terdapat kumpulan banyak orang.
Para orang yang memiliki keyakinan (terhadap Buddha) berpikir, “Hari ini akan terjadi sebuah pertarungan antara gajah Buddha dengan gajah Nalagiri. Kita akan menyaksikan kekalahan dari Nalagiri oleh kekuatan seorang Buddha,” dan mereka naik ke lantai atas dan berdiri di atap-atap rumah atau bagian atas rumah. Sedangkan para penganut pandangan salah, yang tidak memiliki keyakinan, berpikir, “Nalagiri adalah sesosok makhluk yang liar dan buas, dan tidak tahu apa pun mengenai kebajikan dari Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hari ini ia akan menghancurkan rupa keemasan sang petapa Gotama dan menyebabkan kematiannya. Hari ini kita akan melihatnya dari belakang lawan kita.” Dan mereka mengambil tempat di lantai atas atau tempat-tempat tinggi lainnya. Dan gajah itu, ketika melihat Sang Bhagava berjalan ke arahnya, membuat orang-orang ketakutan dengan menghancurkan rumah-rumah, dengan menggunakan gadingnya menghancurkan gerobak-gerobak menjadi seperti bubuk, dan dengan kedua telinga dan ekornya yang dalam keadaan siaga karena kemarahan, berlari seperti gunung ber-menara menuju ke arah Sang Bhagava.
Ketika melihat keadaannya ini, para bhikkhu berkata demikian kepada Bhagava, “Bhante, gajah Nalagiri ini adalah sesosok makhluk yang liar dan buas, sesosok pembunuh manusia, dan ia sedang menuju ke jalan kendaraan ini. Ia tidak tahu akan kebajikan dari Buddha, Dhamma, dan Sangha. Sebaiknya Bhagava, Sugata (Yang Sempurna Menempuh Jalan), menghindarinya.” “Jangan takut, Para Bhikkhu,” jawab-Nya, “Saya mampu mengatasinya.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta (Sariputta) memohon kepada Sang Guru, “Bhante, ketika ada pelayanan yang harus diberikan kepada seorang ayah, maka beban itu seharusnya lah diberikan kepada putra tertua. Saya akan menaklukkan makhluk ini.” Kemudian Sang Guru berkata, “Sariputta, kekuatan dari Buddha adalah satu hal dan kekuatan dari siswa-Nya adalah hal yang lain,” dan Beliau menolak permohonannya dengan berkata, “Anda harus tetap berada di sini.” Permohonan ini juga diucapkan oleh delapan puluh Mahathera, tetapi juga ditolak oleh Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda, dikarenakan rasa kasihnya terhadap Sang Guru tidak bisa membiarkan ini terjadi, berkata, “Biarlah gajah ini membunuh diriku terlebih dahulu,” dan ia pun berdiri di depan Sang Guru, bersiap mengorbankan nyawanya untuk Sang Tathagata. Maka Sang Guru berkata kepadanya, “Pergilah, Ananda, jangan berdiri di depanku. Thera itu membalas, “Bhante, [336] gajah ini adalah hewan yang liar dan buas, pembunuh manusia, seperti api pada awal sebuah siklus. Biarlah ia membunuh diriku terlebih dahulu sebelum dapat mendekati Anda.” Dan walaupun telah ditolak sebanyak kali, sang Thera tetap tidak bergeming berada di tempatnya.
Kemudian Sang Bhagava, dengan kekuatan dari kesaktian-Nya, membuatnya mundur dan menempatkannya berdiri di antara bhikkhu-bhikkhu lainnya. Pada waktu ini, ada seorang wanita yang ketika melihat gajah Nalagiri menjadi ketakutan, dan ketika berlari menyelamatkan diri, anak yang digendongnya itu terjatuh dan berusaha untuk melarikan diri, berada di antara Sang Tathagata dan gajah Nalagiri. Gajah tersebut yang mengejar wanita itu sampai pada tempat anaknya berada, yang kemudian mengeluarkan suara jeritan yang amat keras. Untuk memancarkan cinta kasih, Sang Guru mengeluarkan ucapan yang manis seperti Brahma, berseru demikian kepada Nalagiri, “He, Nalagiri, mereka yang membuatmu mabuk kesakitan dengan enam belas kendi minuman keras tidaklah memintamu melakukan ini, menyerang orang lain melainkan diriku. Janganlah menyia-nyiakan tenagamu dengan berlari ke sana dan ke sini, datanglah kepadaku.” Ketika mendengar suara dari Sang Guru, ia membuka matanya dan melihat rupa yang demikian sempurna dari Yang Terberkahi (Sang Bhagava), dan ia pun menjadi amat terguncang. Dengan kekuatan seorang Buddha, pengaruh dari minuman keras itu pun hilang seketika. Setelah menurunkan belalainya dan mengibas-ngibaskan telinganya, ia menghampiri Sang Tathagata dan bersujud di bawah kaki Beliau. Kemudian Sang Guru menyapanya dengan berujar, “Nalagiri, Anda adalah seekor gajah hewan, saya adalah gajah Buddha. Mulai hari ini, janganlah menjadi liar dan buas, pembunuh manusia; tetapi kembangkanlah perasaan cinta kasih.” Setelah berkata demikian, Beliau menjulurkan tangan kanan-Nya dan dengan lembut mengusap kening gajah tersebut, demikian mengajarkan Dhamma kepadanya:
Jika menyerang gajah ini, maka Anda akan berakhir meratap di kediaman yang menyedihkan.
Dengan melukai gajah ini, Anda akan terlahir jauh dari alam-alam menyenangkan.
Dengan tidak menghindari kemabukan dan kelalaian, orang dungu yang lengah itu tidak akan pernah mencapai alam menyenangkan.
Jikalau di kehidupan berikutnya hendak mendapatkan kebahagiaan surgawi, maka Anda harus melakukan apa yang benar dari ini.184
Seluruh tubuh gajah itu digetarkan dengan perasaan kegiuran, dan seandainya saja ia bukan seekor hewan (buas), ia akan telah mendapatkan buah dari tingkat kesucian Sotapanna.
Melihat kejadian luar biasa ini, orang-orang bersorak-sorai. Dalam kegembiraan, mereka melemparkan beragam jenis perhiasan dan dengan semuanya itu menutupi seluruh tubuh gajah tersebut. [337] Sejak saat itu, Nalagiri dikenal dengan nama Dhanapālaka (Penjaga Kekayaan)—Kala itu, bersamaan dengan kejadian Dhanapālaka ini, sebanyak delapan puluh empat makhluk menikmati buah dari pembebasan185—Dan Sang Guru memantapkan gajah Nalagiri dalam lima sila. Dengan menggunakan belalainya mengambil tanah yang ada di bawah kaki Sang Bhagava, gajah itu memercikkannya di kepalanya.
Kemudian dengan posisi badan berdiri sembari memberi hormat kepada Dasabala selama Beliau masih terlihat dalam pandangannya, kemudian berbalik arah dan masuk menuju kandang gajah. Sejak saat itu, ia menjadi hewan yang jinak dan tidak melukai manusia lagi. Sang Guru, setelah keinginannya terpenuhi, memutuskan bahwa harta yang terkumpul itu harus tetap menjadi milik mereka yang melemparkannya, dan dengan berpikir, “Hari ini, telah kulakukan suatu keajaiban yang luar biasa. Tidaklah patut bagiku untuk berpindapata di kota ini,” dan setelah menaklukkan para penganut pandangan salah tersebut, diikuti oleh kumpulan anggota sangha, Beliau berangkat meninggalkan kota seperti seorang pemenang menuju ke Veluvana. Para penduduk kota, dengan membawa makanan, minuman dan juga makanan utama (makanan keras), pergi ke wihara dan memberikan dana makanan dalam jumlah besar.
Pada sore harinya, ketika sedang duduk di dalam balai kebenaran, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan, “ Āvuso, Yang Mulia Ānanda (Ananda) mendapatkan hal yang luar biasa dengan mengorbankan nyawanya demi Sang Tathagata. Ketika melihat gajah Nāḷāgiri (Nalagiri), meskipun sebanyak tiga kali ditolak oleh Sang Guru untuk tetap berdiam di sana, Yang Mulia Ananda tidak bergerak dari tempatnya tersebut. Āvuso, Yang Mulia Ananda benar-benar adalah seorang pelaku sesuatu yang luar biasa.” Sang Guru, yang berpikir, “Pembicaraan itu membahas tentang jasa kebajikan Ananda, saya harus berada di sana,” beranjak keluar dari ruangan yang wangi ( gandhakuṭi ) menuju ke tempat itu dan bertanya kepada mereka, dengan berkata, “Apa yang sedang kalian bicarakan, Para Bhikkhu, dengan duduk di sini?” Dan ketika mereka menjawab, “Mengenai topik anu,” Beliau kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Ananda, bahkan ketika ia terlahir dalam wujud seekor hewan, mengorbankan hidupnya demi diriku.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala di Kerajaan Mahiṁsaka, di Kota Sakuḷa, seorang raja yang bernama Sakuḷa memerintah kerajaannya dengan benar. Kala itu, tak jauh dari kota tersebut tinggallah seorang pemburu di suatu perkampungan pemburu yang hidup dengan menangkap burung dan menjualnya ke kota. Di dekat kota terdapat sebuah danau teratai yang bernama Mānusiya, dengan keliling seluas dua belas yojana, ditumbuhi oleh lima jenis teratai. Berbagai jenis burung selalu terbang ke sana, dan pemburu itu dengan bebas meletakkan jeratnya di tempat tersebut. Kala itu juga, Raja Angsa Dhataraṭṭha (Dhatarattha) dengan pengikutnya sejumlah sembilan puluh enam ribu ekor burung angsa lainnya tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa, dan panglimanya yang bernama Sumukha. Suatu hari, [338] sekelompok angsa emas terbang ke Danau Mānusiya, dan setelah memuaskan diri mereka di tempat makan yang berlimpah ruah tersebut, mereka terbang kembali ke Cittakūṭa dan berkata demikian kepada Raja Angsa Dhatarattha, “Maharaja, ada sebuah danau teratai yang bernama Mānusiya, sebuah tempat makan yang terdapat di tengah tempat hunian manusia. Mari kita pergi mencari makan di tempat itu.” Ia menjawab, “Tempat hunian manusia itu adalah tempat yang berbahaya: janganlah melakukan hal itu.” Dan meskipun demikian ia menolak untuk pergi, tetapi dikarenakan desakan yang terus-menerus, ia akhirnya berkata, “Jika ini adalah kesenangan kalian, maka kita akan pergi ke sana,” dan dengan para pengikutnya, ia pun terbang ke danau tersebut.
Sewaktu terbang turun dari udara, ia hinggap tepat di tempat jerat itu berada, dan pada saat itu juga jerat tersebut yang terasa seperti papan besi menjerat dan mengikatnya dengan kuat. Dengan berpikiran untuk melepaskan jerat itu, ia menyentak-nyentakkan kakinya, pertama-tama kulit luarnya koyak, kemudian dagingnya, dan yang terakhir adalah uratnya, sampai kemudian jerat itu menyentuh bagian tulangnya yang menyebabkan darah mengalir keluar dan timbulnya rasa sakit yang amat. Ia kemudian berpikir, “Jika saya mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap, saudara-saudaraku akan menjadi terkejut dan, tanpa makan dalam keadaan lapar, mereka akan terbang melarikan diri, kemudian karena tubuh mereka yang masih lemah, mereka akan jatuh ke dalam air. Maka demikian ia menahan rasa sakitnya dan setelah saudarasaudaranya telah makan kenyang dan sedang bersenangsenang, ia mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap.
Sewaktu mendengar suara jeritan ini, angsa-angsa tersebut menjadi takut akan kematian dan terbang kabur ke arah Cittakūṭa. Segera setelah mereka pergi, Sumukha, sang panglima angsa, berpikir, “Apakah mungkin ini berarti bahwa sesuatu yang buruk menimpa maharaja? Saya akan mencari tahu apa yang terjadi,” dan terbang dengan kecepatan penuh, dan ketika tidak melihat Sang Mahasatwa di antara kelompok burung bagian depan yang sedang terbang kabur tersebut, ia melanjutkan mencari di bagian pertengahan dari kelompok burung yang sedang terbang kabur tersebut, ketika tidak juga melihatnya, ia berkata, “Tidak diragukan lagi, sesuatu yang buruk telah terjadi,” [339] dan ia pun terbang kembali ke tempat tersebut dan menemukan Sang Mahasatwa yang sedang terjerat, berlumuran darah dan mengalami rasa sakit yang amat, berbaring di tempat berlumpur. Ia pun turun di tanah dan dengan mencoba untuk menenangkan Sang Mahasatwa, “Jangan takut, Maharaja, saya akan membebaskan Anda dari jerat ini dengan mengorbankan nyawaku.” Kemudian untuk menguji dirinya, Sang Mahasatwa mengucapkan bait pertama berikut:
Semua burung yang lain, tanpa memedulikan diriku, telah bergegas terbang kabur;
Persahabatan apa yang dapat diharapkan dari ia yang tertangkap? Pergilah, jangan tunda lagi.
Berikutnya bait-bait ini yang diucapkan186:
Baik saya pergi maupun tinggal di sini bersamamu, saya juga harus mati suatu hari nanti:
Saya telah bersama denganmu dalam suka, tak boleh kutinggalkan dirimu dalam duka.
Saya harus memilih antara mati bersamamu atau hidup sendiri dalam keadaan sedih,
Dan lebih baik bagiku untuk mati bersama daripada hidup bersedih kehilangan dirimu.
Tidaklah benar meninggalkan dirimu, Maharaja, dalam keadaan menyedihkan demikian;
Saya merasa cukup bahagia untuk berbagi apa yang dialami olehmu bersama.
Apa lagi yang akan dialami oleh ia yang tertangkap, selain berakhir di dapur (perapian)?
Bagaimana bisa, dalam keadaanmu yang masih baik dan bebas, Anda menyerahkan semua itu demi ini?
Apalah gunanya bagiku atau bagimu, wahai burung, Anda berada di sini, atau bagi saudara-saudara kita yang selamat itu, jika kita berdua mati nantinya?
Terbungkus, wahai yang bersayap emas, dalam kegelapan adalah hasil dari perbuatanmu ini;
Kebaikan apa yang akan didapatkan jika pengorbanan yang seperti ini dilakukan?
Tidakkah Anda lihat kebaikan dari mengikuti yang benar, wahai raja burung?
Dengan tepatnya kehormatan akan ditunjukkan kepada mereka apa yang mungkin didapatkan dari perbuatan baik mereka.
Jika benar memperhatikan yang benar, seseorang tidak akan meninggalkan temannya dalam keadaan duka, tidak untuk menyelamatkan nyawanya sendiri;
Perbuatan demikian yang disetujui oleh para bijaksana dan para benar.
Kewajiban muliamu telah kau lakukan, telah kuketahui pula rasa kasihmu,
Pergilah segera, jika masih ingin melakukan hal yang kusetujui.
Mungkin pada waktunya nanti kekuasaan memimpin seluruh saudaraku, dengan pengetahuan dan pengendalian diri yang lebih, akan beralih kepadamu.
Selagi demikian kedua burung berbincang, terlihat oleh mereka, seperti maut yang mendatangi orang, adalah si pemburu.
Dua sahabat yang merasakan kedatangannya itu takut, diam membisu dan tak bergerak, sewaktu ia mendekat ke arah mereka.
Karena melihat angsa-angsa terbang kabur ke sana dan ke sini, dan menghilang di angkasa, musuh mereka ini bergegas menuju tempat kedua burung mulia itu berada.
Dan sewaktu tiba di tempat setelah berlari dengan kecepatan penuh, si pemburu, dalam pikirannya yang berkecamuk, berujar, ‘Apakah mereka tertangkap atau tidak?’
Yang satu dilihatnya tertangkap di dalam jeratnya, sedangkan yang satunya lagi yang tidak terbelenggu ataupun terikat dilihatnya sedang menatapi temannya yang terjerat.
Dengan pikiran bingung dan ragu, ia melihat pasangan burung mulia ini, —saat itu mereka telah dewasa, dua burung yang menawan hati— dan demikian ia berkata kepada mereka.
Benar adanya bila ia yang terjerat tidak dapat terbang melarikan diri;
Tetapi mengapa, burung yang kuat, masih dalam keadaan bebas tak terikat berada di sini bersamanya?
Wahai musuh para unggas (burung), ia adalah teman sekaligus pemimpinku, ia sama berharganya dengan nyawaku;
Meninggalkan dirinya—Tidak, tidak akan pernah kulakukan itu, sampai maut memanggilku.187
Di saat kehidupan akan berakhir dan waktu kematian telah mendekat, meskipun berada dekat dengan jerat, tidak akan terlihat olehmu apa pun. 188
Jerat jenis apa saja, wahai burung-burung yang mulia, sering kali sia-sia:
Dalam waktu tertentu akhirnya satu tertangkap di jerat yang tersembunyi itu dan akan dibunuh.
Apakah ini merupakan buah dari kebahagiaan, berbicara demikian ramah denganmu, dan apakah dirimu bersedia, kumohon padamu, mengampuni nyawa kami dan melepaskan kami berdua pergi?
Si pemburu, yang menjadi terpikat akan perkataan manis Sumukha, mengucapkan bait berikut :
Saya tidak boleh memikirkan hidupku sendiri di saat temanku ini akan menghadapi kematian,
Jika Anda dapat merasa puas dengan satu saja, maka bebaskanlah ia dan makanlah dagingku sebagai penggantinya.
Kami berdua sama dalam hal umur, panjang dan besar badan; Tidak ada ruginya bagimu jika Anda mengambil diriku sebagai pengganti dirinya.
Anggap saja seperti ini keadaannya
dan hilangkanlah rasa laparmu dengan diriku;
Pertama, ikatlah aku dalam jerat, kemudian lepaskanlah raja burung ini.
Dengan cara tersebut Anda bisa mendapatkan keinginanmu dan saya bisa mendapatkan keinginanku, Dan kedamaian dapat tercipta di antara angsa dan dirimu, selama kehidupan itu ada.
Demikianlah dengan pemaparan kebenaran itu hati si pemburu menjadi lunak, sama seperti kapas yang dicelupkan ke dalam minyak. Dan sewaktu hendak menyerahkan Sang Mahasatwa kepadanya, seperti seorang pelayan kepada majikannya, ia berkata:
Sebagai saksi semua saudaramu, sahabatmu, mereka yang bijak, mereka yang menjadi bawahanmu,
Dikarenakan Anda seorang sendiri, raja para burung ini memperoleh kebebasannya.
Sedikit sekali seseorang bisa memiliki seorang sahabat sepertimu yang selalu siap berbagi nasib yang sama, seperti yang Anda tunjukkan waktu rajamu tertangkap di dalam jerat mematikan.
Maka kubebaskan sahabatmu yang juga rajamu, mengikutimu pergi ke kejauhan,
Bergegaslah, pergi dari tempat ini, ke tempat saudarasaudaramu berada dan bersinarlah layaknya sebuah bintang.
Kemudian setelah memutuskan belenggu, ia menggendongnya dalam pelukan, membawanya keluar dari air, membaringkannya di tepi danau pada rumput hijau yang segar, dan dengan kelembutan yang amat sangat melepaskan jerat yang mengikat kakinya dan melemparnya jauh-jauh. Kemudian dengan pikiran dipenuhi dengan perasaan cinta kasih yang besar terhadap Sang Mahasatwa, ia mengambil air dan membersihkan darah dari lukanya, dan membasuhnya berulang-ulang kali. Dikarenakan kekuatan dari pikirannya yang dipenuhi dengan perasaan cinta kasih, lukanya menjadi sembuh kembali: urat menyatu dengan urat, daging menyatu dengan daging, dan kulit menyatu dengan kulit. Kulit yang baru terbentuk dan demikian juga kulit-kulit di bawahnya. Bodhisatta, seperti seolah-olah tidak pernah terkena jerat, dapat duduk dengan gembiranya dalam keadaan seperti sediakala. Kemudian Sumukha yang melihat betapa gembiranya Sang Mahasatwa dikarenakan perbuatannya, dalam kebahagiaannya sendiri melantunkan pujian terhadap si pemburu.
Sang Guru, untuk menjelaskan ini, berkata:
Si angsa yang bersukacita atas pembebasan sang raja, untuk menghormati tuannya,
demikian ini menyenangkan telinga si penolong dengan kata-kata yang menyenangkan pula:
‘Pemburu, bersama dengan sanak saudaramu, semoga Anda berbahagia, seperti diriku ini yang berbahagia melihat raja burung ini dibebaskan.’
Setelah demikian memuji si pemburu, Sumukha berkata kepada Bodhisatta, “Raja, laki-laki ini telah memberikan bantuan yang besar: Jika ia tidak mau mendengarkan kata-kata kita, ia bisa saja mendapatkan harta yang banyak, baik dengan menjadikan kita sebagai hewan jinak yang dipelihara untuk kesenangan dan memberikan kita kepada raja-raja, maupun dengan membunuh dan menjual kita sebagai makanan. Akan tetapi, tanpa memedulikan kehidupannya sendiri, ia mendengarkan kata-kata kita. [345] Mari kita bawa ia ke hadapan raja dan buat ia menjadi bahagia dalam hidupnya.” Sang Mahasatwa setuju dengan hal ini. Kemudian setelah berbincang dengan Sang Mahasatwa dalam bahasa mereka sendiri, Sumukha menyapa si pemburu dalam bahasa manusia dan bertanya kepadanya, “ Samma, mengapa Anda membuat jerat?” dan ketika ia menjawabnya, “Untuk mendapatkan uang,”
Sumukha kemudian menambahkan, “Jika memang ini alasannya, bawalah kami bersamamu ke kota dan persembahkan kami kepada raja, dan saya akan membujuknya menganugerahkan kepadamu harta yang banyak,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:
Mari kuajarkan padamu bagaimana mendapatkan harta yang banyak, setelah bertemu dengan angsa mulia ini janganlah melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Cepat, bawa kami ke istana raja, dengan suara, badan dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak akan melompat, di kedua sisi pemikulmu.
Dan katakanlah, ‘Wahai paduka, ke tempat ini kami bawa dua ekor angsa emas, yang satu adalah panglima dan yang satunya lagi adalah raja.
Raja manusia yang melihat raja angsa ini akan menjadi begitu riang dan gembira, ia akan menganugerahkan harta yang banyak kepadamu.
Setelah Sumukha berkata demikian, si pemburu membalas, “Janganlah bersenang hati berjumpa dengan raja.
Sesungguhnya para raja memiliki pikiran yang susah ditebak: mereka akan mengurungmu untuk kesenangan mereka atau bahkan mereka akan membunuhmu.” Sumukha berkata, “Jangan takut, Teman. Dengan pemaparan kebenaran, saya telah melunakkan hati dari seorang makhluk kejam sepertimu dan telah membuatmu menurutiku, seorang pemburu yang tangannya merah dengan lumuran darah. Raja, sesungguhnya juga, penuh dengan kebaikan dan kebijaksanaan, dan orang yang demikian mampu membedakan perkataan yang baik dan yang buruk. Si pemburu berkata, “Baiklah, jangan marah kepadaku. Karena ini adalah keinginanmu, [346] maka akan kubawa kalian kepadanya.” Maka ia pun menaikkan sepasang burung itu ke pemikulnya dan pergi ke istana, dan membawa mereka menghadap kepada raja, kemudian ketika dipertanyakan oleh raja, si pemburu pun menjelaskan seluruh kejadiannya.
Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini, berkata:
Untuk menuruti perkataan mereka, ia melakukan hal yang dikehendaki oleh angsa-angsa itu;
Dengan cepat mebawa mereka ke istana raja, dengan suara, badan dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak akan melompat, di kedua sisi pemikulnya.
‘Wah, yang ada di sini,’ katanya, ‘dua angsa emas,
wahai paduka, kubawakan kepadamu, yang satu adalah panglima dan yang satunya lagi adalah raja.’
Bagaimana bisa makhluk-makhluk hebat yang bersayap ini menjadi mangsamu, Pemburu?
Bagaimana caranya Anda mendekati mereka, tidak membuat mereka takut dan terbang pergi?
Wahai paduka, raja manusia, di setiap danau terdapat jerat atau jaring; Di setiap tempat hunian burung kupasang perangkap.
Demikianlah pada satu jerat yang tersembunyi ini, saya mendapatkan raja angsa itu;
Tetapi temannya, yang masih dalam keadaan bebas, tetap berada di sampingnya dan mencoba membebaskannya.
Panglima angsa itu melakukan kewajiban di luar yang dapat dicapai oleh para pemberani lainnya, berusaha sekuat tenaganya untuk menenangkan pemimpinnya.
Di sana ia berdiri, yang seharusnya dapat terbang pergi, merasa puas dapat memberikan nyawanya jika sang raja angsa, yang terus dipujinya, dibebaskan.
Mendengar kata-katanya, segera diriku ini seperti mendapatkan kehormatan;
Dengan perasaan bahagia kubebaskan unggas yang terjerat itu dan meminta mereka untuk pergi.
Si angsa yang bersukacita atas pembebasan sang raja, untuk menghormati tuannya,
demikian ini menyenangkan telinga si penolong dengan kata-kata yang menyenangkan pula:
‘Pemburu, bersama dengan sanak saudaramu, semoga Anda berbahagia, seperti diriku ini yang berbahagia melihat raja burung ini dibebaskan.
Mari kuajarkan padamu bagaimana mendapatkan harta yang banyak, setelah bertemu dengan angsa mulia ini janganlah melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Cepat, bawa kami ke istana raja, dengan suara, badan dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak akan melompat, di kedua sisi pemikulmu.
Dan katakanlah, “Wahai paduka, ke tempat ini kami bawa dua ekor angsa emas, yang satu adalah panglima dan yang satunya lagi adalah raja.”
Raja manusia yang melihat raja angsa ini akan menjadi begitu riang dan gembira, ia akan menganugerahkan harta yang banyak kepadamu.’
[347] Demikianlah atas permintaanya, sepasang burung ini datang ke sini atas tuntunan dariku, yang sebenarnya mereka telah kubebaskan untuk terbang pulang.Demikianlah nasib hidup dari unggas malang ini, yang meskipun ia adalah makhluk yang sempurna, karena tergerak oleh rasa iba terhadap diriku, si pemburu kejam.
Angsa ini, wahai paduka, kupersembahkan kepadamu, Di antara para pemburu, sangatlah langka untuk dapat menemukan unggas yang seperti ini.
[348] Demikian dengan berdiri di sana diucapkannya pujian terhadap kebajikan Sumukha. Kemudian Raja Sakuḷa memberikan kepada raja angsa tersebut sebuah tempat duduk yang agung dan kepada Sumukha sebuah kursi bagus berwarna emas. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, raja menyajikan kepada mereka biji-bijian dengan madu, air gula, dan sebagainya, dalam bejana emas. Ketika mereka selesai makan, dengan bersikap anjali, raja memohon kepada Sang Mahasatwa untuk mengajarkan kebenaran, dan duduk di kursi emas. Atas permintaannya ini, sang raja angsa pun beruluk salam dan berbincang-bincang dengannya.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Melihat raja duduk di sebuah kursi emas nan indah, si angsa, untuk menyenangkan pendengarannya, bertanya demikian:
Apakah Anda, Paduka, dalam keadaan baik dan sehat? Pastinya kerajaanmu makmur dan Anda memimpin dengan benar.
Wahai raja angsa, saya berada dalam keadaan baik dan sehat; Kerajaanku makmur dan kupimpin dengan benar.
Apakah Anda memiliki orang-orang yang benar sebagai para menteri dan pejabat kerajaanmu, yang bebas dari kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi dirimu yang baik?
Saya memiliki orang-orang yang benar sebagai para menteri dan pejabat kerajaanku, yang bebas dari kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi diriku yang baik.
Apakah Anda memiliki seorang istri yang statusnya sama denganmu, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut terhadap suaminya?
Saya memiliki seorang istri yang statusnya sama denganku, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut terhadap suaminya.
[349] Setelah demikian Bodhisatta beruluk salam dengannya, raja kemudian berbincang kembali dengannya dan berkata:
Ketika ketidakberuntungan menimpamu menyebabkan dirimu berada di tangan musuhmu yang mematikan, Apakah di saat itu, wahai angsa, Anda mengalami penderitaan?
Apakah ia kemudian datang dan dengan kayu memukulimu?
Karena sebagaimana yang kudengar, hal inilah yang dilakukan oleh para makhluk kejam itu.
Tidak pernah diriku berada dalam bahaya, sejauh yang dapat kuingat; Ia juga tidak pernah memperlakukan kami sebagai musuhnya sama sekali.
Si pemburu, yang heran dan terkejut, bertanya kepada kami;
Dan Sumukha, yang paling bijak, menjawab pertanyaannya.
Mendengar kata-katanya, si pemburu segera menunjukkan hormatnya, dengan perasaan sukacita membebaskanku dari jerat dan meminta kami meninggalkan tempat itu.
Datang dan mengunjungimu, wahai paduka, adalah keinginan dari Sumukha, yang memiliki pemikiran bahwa teman kami mungkin memperoleh harta yang banyak dengan berbuat demikian.
Pemikiranmu benar; Selamat datang semuanya! Senang berjumpa dengan kalian di sini, dan dengan senang hati kuberikan yang pantas didapatkan oleh si pemburu.
[350] Setelah berkata demikian, raja menatap seorang pejabat kerajaannya, dan ketika ia bertanya, “Apa yang harus kulakukan, Paduka?” Raja membalas, “Pastikan rambut dan janggut dari pemburu ini dirapikan, setelah ia selesai mandi dan badannya dioles dengan minyak, hiaslah dirinya dengan mewah, kemudian bawa ia ke sini.” Ketika semua itu telah dikerjakan dan pemburu itu dibawa menghadap kepada raja kembali, raja menganugerahkan kepadanya sebuah perkampungan yang tiap tahunnya memberikan penghasilan sebesar seratus ribu keping uang, ditambah dengan sebuah kediaman yang berbatasan dengan dua jalan, sebuah kereta megah, serta emas kepingan dan emas lantakan yang banyak.
Sang Guru, untuk menjelaskan ini, berkata:
Dengan kekayaan yang berlimpah ruah, raja menganugerahi si pemburu;
Si angsa emas kemudian berujar dengan perkataan yang menyenangkan pendengaran.
Kemudian Sang Mahasatawa mengajarkan kebenaran kepada raja. Raja bersukacita setelah mendengarkan pengajaran tersebut, dan dengan memiliki pemikiran untuk memberikan balasan berupa tanda penghormatan kepada sang pengajar kebenaran, ia menganugerahkan kepadanya payung putih (kerajaan) dan mengalihkan kerajaan kepadanya, dengan mengucapkan bait-bait berikut:
Apa pun yang kumiliki, apa pun itu yang disebutkan akan berada di bawah kekuasaanmu jika Anda menginginkannya.
Apakah itu akan dijadikan sebagai derma atau apakah itu akan digunakan olehmu;
Kepadamu kuberikan semua kekayaan dan kepunyaanku, kepadamu kerajaanku kuberikan.
Tetapi kemudian Sang Mahasatwa mengembalikan payung putih yang telah diberikan oleh raja itu. Dan raja berpikir, “Saya telah mendengar kebenaran yang diajarkan oleh raja angsa. Sumukha yang dipuji oleh pemburu, mengucapkan katakata semanis madu, [351] saya juga harus mendengar pemaparan kebenaran darinya.” Maka untuk berbincang dengannya, raja mengucapkan satu bait berikut:
Jika Yang Bijak dan yang terpelajar Sumukha mengucapkan keinginannya dalam sepatah atau dua patah kata, kebahagiaanku akan menjadi lebih besar.
Kemudian Sumukha berkata:
Tidak bisa, di hadapan Anda dan Tuanku, tidak pantas mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah diriku adalah raja nāga.
Karena raja angsa emas ini dan Anda, wahai raja yang berkuasa, mendapatkan penghormatan dariku atas dasar apa pun.
Diriku yang hanyalah seorang bawahan, tidaklah pantas ikut bersuara ketika terjadi percakapan di antara para pemimpin yang mulia.
Raja yang mendengar perkataannya merasa gembira dan berkata, “Pantaslah si pemburu memuji dirimu, dan pastinya tidak ada yang lain seperti dirimu ini, seorang pembabar Kebenaran yang bersuara manis,” dan mengulangi bait-bait berikut:
Si pemburu benar sekali dengan memuji angsa ini sebagai yang paling bijak di antara angsa lainnya: Kebijaksanaan yang demikian tidak ditemukan dalam pikiran orang yang tidak disiplin.
Dari makhluk-makhluk mulia yang pernah kujumpai, pastinya angsa inilah yang terbaik di antara mereka semua, dengan anugerah alamiah yang tertinggi, tiada taranya.
Rupa muliamu dan pemaparan manismu terdengar oleh telingaku seperti suara yang menyenangkan, keinginanku adalah agar Anda berdua bersedia tinggal bersamaku untuk waktu yang lama.
[352] Kemudian Sang Mahasatwa, dalam pujiannya terhadap raja, berkata:Anda bersikap kepada kami seperti seseorang yang berhadapan dengan sahabat karibnya:
Demikian bagusnya kebaikanmu, Paduka, yang diberikan kepada kami, burung-burung miskin.
Sayangnya akan terdapat suatu kekosongan bagi saudara-saudara kami, dan banyak dari mereka yang bersedih jika tidak melihat kami.
Izinkanlah kami pergi, Paduka, agar dapat menghilangkan kesedihan mereka;
Dengan rendah hati, kami memohon izin agar dapat berjumpa dengan teman-teman kami kembali.
Saya merasa senang luar biasa bersahabat dengan Yang Mulia;
Mulai saat ini, saya percaya, teman-temanku tidak perlu merasa takut lagi.
Selesai ia berkata demikian, raja pun memperbolehkan mereka untuk pulang kembali. Dan Sang Mahasatwa memaparkan kepada raja tentang bahaya dari melakukan lima jenis perbuatan buruk, dan berkah dari melakukan kebajikan, serta menasihatinya dengan berkata, “Jagalah sila, perintahlah kerajaanmu (selalu) dengan benar, menangkanlah hati rakyatrakyatmu dengan empat poin merangkul orang189,” dan tanpa ditunda lagi, ia terbang menuju Cittakūṭa.
[358] Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Demikian Raja Angsa Dhattaraṭṭha berbicara kepada raja manusia, kemudian angsa-angsa itu terbang dengan kecepatan penuh ke tempat saudara-saudara mereka berada.
Melihat para pemimpin mereka kembali dalam keadaan selamat dari tempat hunian manusia, kumpulan burung bersayap menyambut hangat mereka dengan suara riuh.
Setelah demikian mengelilingi pemimpin yang mereka percayai, angsa-angsa emas ini memberikan hormat yang selayaknya kepada seorang raja, bersukacita atas pembebasan dirinya.
Sewaktu mengelilingi raja mereka, angsa-angsa ini bertanya kepadanya, “Bagaimana cara Anda menyelamatkan diri?” Sang Mahasatwa memberitahukan mereka tentang penyelamatan dirinya atas bantuan dari Sumukha, dan juga tentang perbuatan dari Raja Sakuḷa dan sang pemburu. Setelah mendengar ini, kumpulan angsa ini dalam kebahagiaan mereka melantunkan pujian, dengan berkata, “Semoga Sumukha panjang umur, Panglima kita; dan Raja Sakuḷa, serta si pemburu.
Semoga mereka berbahagia dan bebas dari penderitaan.”
Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengulangi bait terakhir berikut:
Demikianlah semuanya, yang hatinya penuh dengan perasaan cinta kasih, akan berhasil dalam segala hal yang dilakukan seperti kedua angsa ini yang dapat terbang kembali kepada teman-teman mereka dengan selamat.
[354] Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini, dengan berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Ānanda mengorbankan hidupnya demi diriku,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Channa adalah si pemburu, Sāriputta adalah raja manusia, Ānanda adalah Sumukha, para siswa Sang Buddha adalah sembilan puluh ribu ekor angsa190 itu, dan diriku sendiri adalah sang raja angsa.”
Catatan kaki :
180 Bandingkan dengan Haṁsa-Jātaka, Vol. IV. No. 502, dan Jātaka-Mālā, XXII.
181 āyasmanto ānandassa; āyasmant = Yang Mulia; yang telah berusia, yang sepuh (hampir mirip dengan kata Thera). Kadang juga muncul dengan bentuk āyasmā.
182 Untuk cerita mengenai Devadatta, bandingkan Cullavagga, VII.
183 Kata yang digunakan di dalam teks Pali adalah samma, yang merupakan sebuah panggilan keakraban.
184 Syair-syair ini muncul di dalam Cullavagga, VII. 3. 12.
185 amataṃ piviṃsu.
186 Dalam bentuk sebuah dialog antara raja angsa yang terjerat dan sahabat setianya, Sumukha. Kemudian diinterupsi oleh sang pemburu.
187 Bait ini juga muncul di dalam Vol. IV. hal. 265, versi bahasa Inggris; [426]; (hal. 668, versi bahasa Indonesia)
188 Bait ini juga muncul di dalam Vol. IV. hal. 265, versi bahasa Inggris; [425]; (hal. 668, versi bahasa Indonesia).
189 Saṅgahavatthu : kemurahan hati (dāna); ucapan yang lembut, tidak menyakiti orang lain (peyyavajja); tindakan yang bermanfaat (athacariyā), perlakuan yang sama (samānattatā).
190 Pada bagian awal kisah, di PTS tertulis channavuti dan di bagian akhir kisah ini tertulis navuti; sedangkan di CSCD baik di awal maupun di akhir tertulis channavuti. Chanavuti = 96;
navuti = 90.