MAHĀHAMSA-JĀTAKA

No. 534.
MAHĀHAṀSA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Ke sana perginya burung-burung itu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veḷuvana
(Veluvana), tentang bagaimana Ānanda Thera (Ananda) mengorbankan hidupnya. Awal dari munculnya kisah ini sama seperti kisah sebelumnya yang telah diceritakan di atas, tetapi dalam kesempatan ini, sewaktu Sang Guru menceritakan kejadian masa lampau yang berhubungan dengan kisah berikut.

 

 

Dahulu kala di Benares, seorang raja bernama Saṁyama (Samyama) memiliki seorang permaisuri yang bernama Khemā. Kala itu, Bodhisatta dengan pengikutnya berupa sembilan puluh ribu ekor burung angsa berdiam di Gunung Cittakūṭa. Pada suatu subuh, Ratu Khemā melihat suatu penampakan dalam tidurnya: Beberapa ekor angsa berwarna keemasan datang, duduk di takhta kerajaan, dan mengkhotbahkan hukum kebenaran dengan suara merdu. Sewaktu ratu mendengarkan dan menyatakan persetujuannya, serta belum puas akan pemaparan kebenaran itu, hari sudah terang, angsa-angsa itu mengakhiri pemaparannya dan terbang pergi melalui jendela yang terbuka.

Ratu yang bergegas bangkit kemudian berteriak, “Tangkap mereka, tangkap angsa-angsa itu sebelum mereka terbang pergi,” dan ketika ia menjulurkan tangannya tersebut, ia pun terbangun. Mendengar perkataannya, para pelayan berkata, “Ada di mana angsa-angsanya?” dan tersenyum lembut. Ratu pun menyadari bahwa itu adalah sebuah mimpi, dan berpikir, “Saya tidak mungkin melihat hal yang tidak ada: Pasti ada angsa emas di dunia ini. Akan tetapi, jika kukatakan kepada raja seperti ini, ‘Saya ingin mendengar khotbah kebenaran yang dipaparkan oleh angsa-angsa emas,’ maka raja akan membalas, ‘Tidak pernah kita lihat adanya angsa emas; tidak ada itu yang namanya khotbah kebenaran oleh angsa-angsa emas,’ dan raja tidak akan menghiraukannya. Tetapi, jika kukatakan, ‘Ini adalah sebuah idaman (keinginan) dari seorang wanita yang sedang hamil,’ raja akan mencari mereka dengan cara apa pun dan dengan demikian keinginanku akan terpenuhi.” Maka dengan berpura-pura sakit, [355] ratu memberikan perintah kepada para pelayannya dan kemudian berbaring tidur. Ketika duduk di takhta kerajaannya dan tidak melihat adanya kehadiran sang ratu di  waktu yang biasanya ia terlihat, raja pun menanyakan keberadaan Ratu Khemā.

Sewaktu mendengar bahwa ratu sedang sakit, raja langsung pergi menjumpainya, dan dengan duduk pada ranjangnya di satu sisi, mengusap punggungnya dan menanyakan apakah ia sakit. “Paduka,” jawabnya, “saya tidaklah sakit, melainkan sedang mengidam sebagai seorang wanita yang hamil.” “Katakanlah, Ratu, apa yang diinginkan dan segera kubawakan untukmu.” “Paduka, saya ingin mendengar khotbah kebenaran dari seekor angsa emas, dengan dirinya yang duduk di takhta kerajaan, di bawah naungan payung putih, kemudian saya ingin memberikan penghormatan kepadanya dengan untaian-untaian bunga dan tanda-tanda hormat lain sebagainya, dan menyatakan persetujuanku kepadanya. Jika keinginanku ini dapat terpenuhi, maka diriku akan baik-baik saja. Akan tetapi, jika tidak dapat terpenuhi, maka tidak akan ada kehidupan lagi bagiku.” Kemudian raja menghibur dirinya dan berkata, “Jika memang ada hal seperti ini di alam manusia, pasti akan kudapatkan untukmu: Janganlah mengkhawatirkannya.” Beranjak keluar dari kamar ratu, raja berdiskusi dengan para menterinya, dengan berkata, “Dengarkanlah semuanya, Ratu Khemā tadi berkata, ‘Jika dapat kudengar khotbah kebenaran oleh seekor angsa emas, maka diriku akan baik-baik saja; sebaliknya, tidak akan ada kehidupan lagi bagiku.’ Katakanlah, apakah ada yang namanya angsa emas itu?” “Paduka, kami belum pernah melihat ataupun mendengar tentang angsa emas.” “Siapa gerangan yang tahu tentangnya?” “Para brahmana, Paduka.” Raja memanggil para brahmana dan bertanya kepada mereka, dengan berkata, “Apa ada angsa emas yang mengkhobatkan kebenaran?” “Ya, Paduka, menurut tradisi turun-temurun kami, bahwa ikan, kepiting, kura-kura, rusa, burung merak, angsa memang ada yang berwarna keemasan. Dikatakan bahwasanya di antara mereka itu, keluarga dari angsa Dhataraṭṭha adalah yang paling bijak dan terpelajar. Ditambah dengan manusia, maka terdapat tujuh makhluk yang dapat ditemukan berwarna keemasan.” Raja menjadi amat senang dan bertanya, “Di manakah gerangan tempat tinggal dari angsa-angsa emas yang terpelajar itu?” “Kami tidak tahu, Paduka.” “Kalau begitu, siapa yang mengetahuinya?”

Dan ketika mereka menjawab, “Para pemburu,” raja segera mengumpulkan semua pemburu yang terdapat di kerajaannya dan bertanya kepada mereka, “ Tāta191, di manakah tempat tinggal dari angsa emas Dhataraṭṭha?” Kemudian seorang pemburu berkata, “Paduka, disebutkan di dalam tradisi turuntemurun kami, mereka berdiam di daerah pegunungan Himalaya, tepatnya di Gunung Cittakūṭa.” “Apakah Anda tahu bagaimana cara menangkap mereka?” “Saya tidak tahu, Paduka.” Raja kemudian memanggil para brahmana bijaknya [356] dan setelah memberitahu mereka bahwa angsa emas terdapat di Gunung Cittakūṭa, ia menanyakan apakah mereka tahu bagaimana cara menangkap angsa-angsa itu? Mereka berkata, “Paduka, mengapa harus kita yang pergi dan menangkap mereka?

Dengan satu siasat, kita dapat membawa mereka datang ke kota dan menangkap mereka.” “Siasat apakah itu?” “Di sebelah utara kota ini, Paduka, perintahkanlah orang untuk membuat sebuah danau yang lebarnya tiga gāvuta dan panjangnya juga tiga gāvuta, dengan nama Danau Khema, diisi dengan air, ditanam dengan beragam jenis biji-bijian dan juga dengan lima jenis teratai. Kemudian serahkanlah penjagaannya kepada seorang pemburu yang ahli dan tidak boleh ada seorang pun yang mendekatinya, dan dengan menempatkan penjaga di keempat sudutnya, umumkanlah bahwa itu adalah sebuah danau yang dilindungi. Ketika mendengar kabar tentang danau ini, segala jenis burung (unggas) akan mendatanginya. Dan angsa-angsa ini, yang mendengar kabar tentang betapa amannya danau ini dari teman-temannya, akan datang mengunjunginya. Saat itu, Anda dapat menangkap mereka dengan menggunakan jerat.”

Setelah mendengar semua ini, raja memerintahkan orang untuk membuat sebuah danau seperti yang mereka uraikan, di tempat yang mereka sebutkan, dan memanggil seorang pemburu yang ahli, memberikan kepadanya seribu keping uang dengan berkata, “Mulai hari ini, berhentilah dari pekerjaanmu: Saya akan menghidupi istri dan keluargamu. Jagalah danau yang aman ini dengan hati-hati dan jauhkanlah dari jangkauan orang-orang, umumkanlah di keempat sudutnya bahwa danau ini adalah danau yang dilindungi, dan katakan bahwa semua burung yang datang dan pergi adalah milikku. Dan ketika angsa-angsa emas datang ke danau ini, Anda akan mendapatkan kehormatan yang besar.” Dengan mengucapkan kata-kata yang mendorong semangat ini, raja menugaskannya untuk menjaga danau yang dilindungi itu. Sejak hari itu, si pemburu berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh raja kepadanya dan menjaga tempat tersebut. Dikarenakan ia adalah yang menjaga Danau Khema, maka ia dikenal sebagai Khemaka (Pemburu Khema).

Mulai hari itu, segala jenis burung datang ke danau itu. Dan dari kabar yang disebarkan dari yang satu kepada yang lainnya bahwa danau itu adalah danau yang aman dan damai, berbagai jenis angsa yang berbeda pun mendatanginya. Yang pertama datang adalah angsa rumput, yang berikutnya datang dari kabar yang disebarkan oleh mereka adalah angsa (yang berwarna) kuning, dengan cara yang sama seperti sebelumnya yang berikutnya datang adalah angsa merah, angsa putih dan angsa pāka192. Setelah mereka datang, Khemaka melapor demikian kepada raja: “Lima jenis angsa, Paduka, telah datang, dan mereka tetap mencari makan di danau. Karena sekarang angsa pāka telah datang, maka beberapa hari lagi angsa emas akan datang: [357] Janganlah cemas, Paduka.” Mendengar kabar ini, raja membuat pengumuman di seluruh kota dengan tabuhan genderang bahwa tak seorang pun boleh pergi ke danau itu, dan siapa pun yang melanggarnya maka tangan dan kakinya akan dipotong, serta barang-barang kebutuhan rumah tangganya akan disita; Mulai saat itu, tak ada seorang pun yang pergi ke sana.

Waktu itu, angsa pāka berdiam di tempat yang dekat dari Cittakūṭa di Gua Emas. Mereka adalah burung angsa yang kuat dan warna badan mereka berbeda dengan warna badan dari angsa emas Dhataraṭṭha, tetapi badan putri dari raja angsa pāka ini berwarna emas. Maka ayahnya yang berpikir bahwa putrinya itu adalah pasangan yang cocok untuk Raja Dhataraṭṭha, mengirimnya ke sana untuk dijadikan sebagai istri. Putrinya ini merupakan kesayangan yang sangat berharga di mata suaminya, dan disebabkan oleh hal ini lah, maka kedua keluarga angsa ini menjadi amat akrab.

Suatu hari, angsa-angsa yang berada di bawah pimpinan Bodhisatta menanyakan hal ini kepada angsa-angsa pāka, “Barusan dari mana kalian mendapatkan makanan?” “Kami mencari makanan di dekat Benares, di Danau Khema. Di manakah kalian mencari makanan?” “Di tempat anu,” jawab mereka. “Mengapa kalian tidak pergi ke tempat kami? Tempat itu adalah sebuah danau yang indah, dikerumuni oleh berbagai jenis burung, ditumbuhi oleh lima jenis teratai, berlimpah ruah dalam biji-bijian dan buahbuahan, terdengar banyak suara dengung dari kelompok-kelompok lebah yang berbeda-beda. Di keempat sudutnya terdapat manusia yang menjaganya dari bahaya. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk mendekat: apalagi untuk melukai mereka.” Dengan cara demikian ini, mereka melantunkan pujian terhadap danau yang aman itu. Mendengar apa yang dikatakan oleh angsa pāka, angsa-angsa itu kemudian memberitahu Sumukha, “Mereka mengatakan bahwa di dekat Benares terdapat sebuah danau yang indah, dikerumuni oleh berbagai jenis burung, ditumbuhi oleh lima jenis teratai, berlimpah ruah dalam biji-bijian dan buah-buahan, terdengar banyak suara dengung dari kelompok-kelompok lebah yang berbeda-beda. Anda beritahukanlah kepada Raja Dhataraṭṭha, jika ia memberikan izin, maka kami akan pergi dan mencari makanan di sana.” Sumukha memberitahu sang raja angsa, yang berpikir, “Manusia itu adalah orang yang penuh dengan siasat dan ahli dalam hal perencanaan. Pasti ada sesuatu di balik semua ini. Selama ini tidak pernah ada danau yang demikian: pastinya danau itu dibuat agar dapat menangkap kami.” Dan ia berkata kepada Sumukha, “Janganlah pergi ke tempat itu. Danau itu tidak dibuat oleh mereka dengan niat yang baik, danau itu dibuat agar dapat menangkap kita. Manusia itu adalah orang yang penuh dengan siasat dan ahli dalam hal perencanaan: Tetap sajalah di tempat kita mencari makan seperti biasanya.”

[358] Untuk kedua kalinya, angsa-angsa emas itu memberitahu Sumukha bahwa mereka sangat ingin mengunjungi Danau Khema, dan Sumukha kemudian menyampaikan keinginan mereka ini kepada raja. Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Saudara-saudaraku tidak lah boleh menjadi terus-terusan cemas karena diriku: Kita akan pergi ke sana.” Maka ditemani dengan sembilan puluh ribu angsa, ia pergi dan mencari makan di sana, bersenang-senang layaknya seekor angsa dan kemudian kembali ke Cittakūṭa. Khemaka, setelah mereka makan dan terbang kembali, pergi melaporkan berita ini kepada Raja Benares. Raja merasa amat senang dan berkata, “ Samma Khemaka, coba tangkaplah satu atau dua ekor angsa itu dan akan kuberikan kepadamu kehormatan yang besar.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, raja membayarkan biaya pengeluarannya dan memintanya pergi. Sekembalinya ke tempat itu, pemburu tersebut duduk di dalam sebuah tempayan yang besar193 dan mengawasi pergerakan dari angsa-angsa tersebut.

Para Bodhisatta adalah makhluk yang terbebas dari ketamakan.

Oleh karena itu, Sang Mahasatwa hanya memakan biji-bijian di tempat pertama kali ia mulai hinggap, sedangkan semua yang lainnya selalu berpindah-pindah, memakan di bagian ini dan di bagian itu. Maka pemburu tersebut berpikir, “Angsa yang satu ini bebas dari keserakahan: Ini lah yang harus kutangkap.”
Keesokan harinya sebelum angsa-angsa itu tiba, ia pergi cukup dekat ke danau tersebut dan dengan bersembunyi di dalam tempayan, ia tetap duduk di dalamnya dan melihat melalui lubang dari tempayan tersebut. Pada waktu itu, Sang Mahasatwa yang diikuti oleh sembilan puluh ribu angsa lainnya turun di tempat yang sama seperti hari sebelumnya, dan melanjutkan memakan biji-bijian dari batas hari sebelumnya. Pemburu tersebut, yang melihat melalui lubang di dalam tempayan keindahan dari burung yang luar biasa ini, berpikir, “Angsa ini sebesar sebuah kereta, berwarna keemasan, di lehernya dililiti oleh tiga garis berwarna merah. Tiga garis yang menuruni bagian tenggorokan melewati bagian tengah perut, sedangkan tiga garis lainnya menghiasi dan menuruni bagian punggungnya, dan badannya bersinar seperti onggokan emas yang terbentuk pada benang yang terbuat dari kumpulan benang wol emas. Pasti ia adalah raja dari angsa-angsa ini, dan ini yang akan kutangkap.”

Raja angsa itu, setelah makan di lapangan yang luas, bersenang-senang di air dan kemudian dikelilingi oleh kelompoknya terbang kembali ke Cittakūṭa. Selama lima hari, ia mencari makan dengan cara seperti ini. Pada hari keenam, pemburu itu memilin suatu tali yang besar dari ekor kuda hitam dan memasang suatu jerat pada satu tongkat, karena mengetahui dengan jelas bahwa raja angsa itu akan hinggap di tempat yang sama pada keesokan harinya, [359] di dalam air ia memasang tongkat yang di atasnya terdapat jerat tersebut.

Keesokan harinya ketika si raja angsa terbang turun ke danau, kakinya masuk tepat di dalam jerat yang mengikatnya dengan kuat seperti kuatnya papan besi. Dengan berpikiran untuk melepaskan jerat tersebut, ia menyentak-nyentakkan kakinya sekuat tenaga. Pertama, kulitnya yang berwarna keemasan terkoyak, berikutnya adalah dagingnya yang berwarna kemerahan terpotong, kemudian uratnya terluka parah, dan yang terakhir kakinya194 itu pasti telah putus jika saja ia tidak berhenti berusaha (membebaskan kakinya), karena terpikir bahwa makhluk yang cacat tidak akan ada gunanya bagi raja. Ketika rasa sakit yang demikian itu menyerangnya, raja angsa itu berpikir, “Jika saya mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap, saudara-saudaraku akan menjadi terkejut dan, tanpa makan dalam keadaan lapar, mereka akan terbang melarikan diri, kemudian karena tubuh mereka yang masih lemah, mereka akan jatuh ke dalam air.” Maka dengan menahan rasa sakitnya, ia tetap berada dalam kuasa jerat tersebut, berpura-pura memakan padi. Ketika kawanan burung angsa itu telah makan kenyang dan sedang bersenang-senang ala angsa, ia pun mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap. Sewaktu mendengar suara jeritan ini, kawanan angsa tersebut terbang kabur, sama seperti yang dijelaskan (dalam kisah) sebelumnya.

Kali ini, Sumukha yang berpikir tentang jeritan tersebut, sama seperti sebelumnya, mencari keberadaannya. Ketika tidak menemukan Sang Mahasatwa dalam tiga kelompok burung angsa tersebut, ia berpikir, “Tidak diragukan lagi, sesuatu yang buruk telah menimpa raja.” Dan ia terbang kembali (ke danau tersebut dan menemukan Sang Mahasatwa yang sedang terjerat), dengan berkata, “Jangan takut, Maharaja, saya akan membebaskan Anda dari jerat ini dengan mengorbankan nyawaku,” ia mencoba untuk menenangkannya, dan duduk di tanah. Sang Mahasatwa berpikir, “Sembilan puluh ribu angsa telah terbang kabur meninggalkanku, dan yang satu ini terbang kembali sendirian. Saya ingin tahu apakah Sumukha juga akan terbang meninggalkanku atau tidak ketika si pemburu datang.

Kemudian untuk menguji dirinya, dalam keadaan berlumuran darah dan dengan bersandar pada tongkat yang terikat pada jerat itu, ia mengulangi tiga bait berikut:

Ke sana perginya burung-burung itu, angsa-angsa emas, semuanya dirundung dengan rasa takut,
Wahai Sumukha, pergilah! Apa yang Anda
lakukan di sini?

Saudara-saudaraku telah meninggalkanku, mereka telah terbang melarikan diri;
Tanpa memikirkan apa pun, mereka terbang pergi. Mengapa Anda tinggal sendirian (tidak pergi)?

Terbanglah, Sumukha, terbanglah! Persahabatan apa yang diharapkan dari ia yang tertangkap?

Jangan sia-siakan kesempatan, selagi Anda masih mampu bebas pergi.

[360] Ketika mendengar ini, Sumukha berpikir, “Raja angsa ini tidak mengetahui sifat cinta kasihku; ia mengira bahwa saya hanyalah seorang teman yang mengucapkan kata-kata sanjungan. Akan kutunjukkan kepadanya betapa besarnya cinta kasihku,” dan ia mengulangi empat bait berikut:

Tidak, tidak akan kutinggalkan dirimu, Dhataraṭṭha, di saat masalah menimpamu; melainkan aku akan tetap tinggal dan berada di sisimu, baik hidup maupun mati.

Tidak akan kutinggalkan dirimu, Dhataraṭṭha, di saat masalah menimpamu, ataupun kuikuti yang lainnya dengan tindakan yang tak mulia itu.

Hati dan jiwaku adalah satu denganmu, teman bermain dan sahabat dari kecil;
Dari semua pengikutmu, diriku dikenal sebagai panglima yang berani.

Sekembaliku kepada saudara-saudaramu apa yang harus kukatakan nantinya jika kutinggalkan dirimu dan terbang kabur tanpa memikirkan apa pun?
Tidak, lebih baik mati daripada hidup, dengan melakukan perbuatan yang rendah.

Setelah Sumukha mengucapkan empat bait tersebut seperti mengeluarkan suara singa, Sang Mahasatwa, memberitahukan sifat bajiknya, berujar:

Sifatmu ini, wahai Sumukha, telah berada pada jalur yang benar; Tidak meninggalkan pemimpinmu dan temanmu, mencari tempat yang aman.

[361]Melihat dirimu demikian, tidak ada rasa takut yang muncul dalam pikiranku; Dalam keadaan gawat ini, Anda akan menemukan cara untuk menyelamatkanku.

Ketika mereka sedang berbincang demikian, pemburu yang berdiri di ujung danau yang melihat kawanan angsa terbang kabur dalam tiga kelompok dan mencari tahu apa arti dari itu, menoleh ke tempat ia meletakkan jeratnya dan melihat Bodhisatta yang sedang bersandar pada tongkat tempat jeratnya terpasang. Dengan perasaan riang gembira, ia menegakkan punggungnya dan, dengan membawa sebuah pentungan kayu, bergegas ke tempat itu dan berdiri di hadapan kedua angsa tersebut, seperti api pada awal nyalanya, dengan kepala berada tinggi pada posisi di atas mereka dan tumit kakinya tertanam di tanah berlumpur tersebut.

 

 

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Ketika kedua angsa mulia ini berbincang, terlihat si pemburu yang bergegas, dengan pentungan kayu di tangannya, datang mendekat ke arah mereka.

Ketika melihat dirinya, Sumukha berdiri di depan raja, pemimpinnya yang berada dalam penderitaan itu yang bersemangat.

Jangan takut, wahai angsa mulia, karena rasa takut tidaklah cocok untuk makhluk sepertimu,
Suatu usaha akan kulakukan dengan tepat, dengan kebenaran sebagai pembelaanku, dan segera dengan tindakanku akan kubebaskan dirimu sekali lagi.

 

 

Demikian Sumukha menenangkan Sang Mahasatwa, dan beralih kepada pemburu tersebut, berbicara dalam bahasa manusia, ia bertanya, “Siapakah namamu, Samma? [362]

Kemudian ia menjawab, “Wahai raja angsa emas, saya dipanggil Khemaka.” Sumukha berkata, “Jangan berpikir, Teman Khemaka, bahwa yang tertangkap di dalam jerat tali ekor kuda yang Anda buat itu adalah seekor angsa biasa. Ia adalah pemimpin dari sembilan puluh ribu angsa, Raja Dhataraṭṭha. Ia adalah sosok yang bijak, bajik, dan berada dalam empat poin merangkul pengikut (orang). Tidak seharusnyalah ia dibunuh.

Saya akan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan (untukmu). Saya juga berwarna keemasan dan demi dirinya akan kuberikan nyawaku ini. Jika Anda menginginkan bulunya, maka ambil saja buluku; atau jika Anda menginginkan yang lain dari dirinya, kulit, daging, urat atau tulang, ambillah itu dari badanku. Lagi, jika Anda menginginkan untuk menjadikannya hewan peliharaan, maka ambillah diriku, atau jika Anda menginginkan untuk mendapatkan uang, maka dapatkanlah uang dengan menjualku: jangan membunuhnya, ia dilimpahi dengan kebijaksanaan dan kebajikan yang demikian. Jika membunuhnya, Anda tidak akan dapat melarikan diri dari neraka dan alam penuh siksaan lainnya.”

Setelah demikian menakuti pemburu tersebut dengan alam neraka dan membuatnya demikian mendengarkan perkataan manisnya, Sumukha berdiri mendekat Bodhisatta, berusaha tetap untuk menenangkannya.

Pemburu, yang mendengar perkataannya, berpikir, “Meskipun ia hanyalah seekor hewan, ia mampu melakukan apa yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Karena manusia tidak mampu bertahan dalam persahabatan. Oh, betapa bijak, pandai berbicara, dan mulia makhluk ini!” Batinnya diliputi dengan kegiuran dan kenyamanan, bulunya berdiri, dibuangnya pentungan kayu itu, mengangkat tangannya dalam sikap anjali, seperti seseorang yang memuja matahari, ia berdiri sembari mengucapkan kebajikan dari Sumukha.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu yang mendengar apa yang dikatakan oleh angsa yang pandai bicara itu, dengan bulu yang berdiri dan sikap anjali memberi hormat.

Tidak pernah terdengar atau terlihat sebelumnya, dalam bahasa manusia, seekor angsa memaparkan kebenaran kepada seorang manusia dengan lidahnya sendiri.

Apa hubunganmu dengan angsa ini, di saat yang lainnya telah terbang kabur melarikan diri, Anda yang masih berdiri bebas tinggal sendiri di samping angsa yang terjerat?

 

 

[363] Ketika ditanya dengan pertanyaan ini oleh pemburu yang diliputi pikiran bahagia, Sumukha berpikir, “Hatinya mulai menjadi lembut. Akan kuberitahukan jawabannya untuk melunakkan hatinya,” dan berkata:

Ia adalah rajaku, wahai musuh para unggas (burung), saya adalah panglimanya; Tak bisa kutinggalkan dirinya untuk menghadapi kesulitannya sendiri, kemudian terbang pergi mencari tempat yang aman.

Tak boleh kubiarkan raja dari sejumlah besar pengikut ini mati di sini, sendirian;
Kutemukan kebahagiaan berada di dekatnya: Ia adalah tuanku.

Mendengar pemaparan tentang pelaksanaan kewajibannya, pemburu itu menjadi bersukacita dan dengan bulu berdiri, ia berpikir, “Jika saya membunuh raja angsa ini yang dilimpahi dengan kebajikan dan sifat baik lainnya, maka saya tidak akan terlepas dari empat alam rendah: Biarlah Raja Benares melakukan apa yang diinginkannya kepada diriku; saya akan memberikan tawanan ini kepada Sumukha sebagai hadiah cuma-cuma dan membebaskannya,” dan kemudian mengucapkan bait berikut:

Anda adalah makhluk mulia, dengan menghormati orang yang membuatmu masih hidup sampai saat ini;
Terbanglah ke mana Anda suka: kepada rajamu yang bajik itu kuberikan kebebasannya.

[364] Setelah berkata demikian, si pemburu dengan niat baik dalam hatinya menghampiri Sang Mahasatwa dan dengan mematahkan tongkat tersebut, dibaringkannya ia di tanah, setelah mencabut tongkat tersebut dibebaskannya ia dari belenggu itu. Kemudian dibawanya angsa itu keluar dari danau dan, setelah membaringkannya pada rumput kusa195, dengan lembut dilepaskannya jerat yang mengikat kakinya. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih yang besar terhadap Sang Mahasatwa, ia mengambil air dan membersihkan darah dari lukanya, membasuhnya berulang-ulang kali. Dikarenakan kekuatan dari cinta kasihnya, urat kembali menyatu dengan urat, daging menyatu dengan daging, dan kulit menyatu dengan kulit, dan kakinya menjadi seperti semula, tidak ada bedanya dengan kaki yang satunya lagi, dan Bodhisatta duduk dengan gembiranya dalam keadaan seperti sediakala. Kemudian Sumukha, yang melihat betapa gembiranya si raja angsa dikarenakan perbuatannya, bersukacita dalam dirinya dan berpikir, “Laki-laki ini telah memberikan bantuan yang besar kepada kami, sedangkan kami tidak memberikan apa-apa kepada dirinya. Jika saja ia menangkap kami dan memberikan kami kepada para menteri raja, maka ia pasti mendapatkan banyak uang. Dan jika pun ia menangkap kami untuk dirinya sendiri, ia dapat menjual kami dan mendapatkan uang juga: Saya akan menanyakan dirinya.” Maka dalam keinginannya untuk memberikan sesuatu, Sumukha menanyakan ini dan berkata:

Jika Anda menyiapkan jerat ini atas tujuan sendiri, maka kebebasan ini kami terima tanpa ada pemikiran apa pun.

Akan tetapi sebaliknya, wahai pemburu, dengan membiarkan kami bebas tanpa izin dari raja, pastinya ini adalah suatu tindak pencurian.

Mendengar ini, pemburu tersebut berkata, “Saya tidak bertujuan menangkap kalian untuk diriku sendiri, saya disuruh oleh Saṁyama, Raja Benares,” dan kemudian ia menceritakan kepada mereka tentang seluruh ceritanya dimulai dari waktu ratu melihat penampakan sampai pada waktu raja mendapat kabar tentang kedatangan angsa-angsa jenis ini dan berkata, “ Samma Khemaka, coba tangkaplah satu atau dua ekor angsa itu dan akan kuberikan kepadamu kehormatan yang besar,” dan memintanya pergi dengan membayarkan biaya pengeluarannya.

Setelah mendengar ini, Sumukha berpikir, “Tanpa memedulikan kehidupannya sendiri, [365] pemburu ini telah menimbulkan kesulitan besar dengan membebaskan kami. Jika kami kembali dari tempat ini ke Cittakūṭa, maka tidak akan ada yang mengetahui kebijaksanaan dari Raja Dhataraṭṭha ataupun tindakan (demi) persahabatanku, raja tidak akan menjadi kukuh dalam lima sila, dan keinginan ratu tidak akan terpenuhi.” Dan kemudian ia menjawab, “ Samma, kalau memang begini kejadiannya, Anda tidak boleh membiarkan kami pergi: bawalah kami kepada raja dan ia akan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya kepada kami.”
Untuk menjelaskan ini, ia mengucapkan bait berikut:

Anda adalah seorang abdi raja; karenanya harus memenuhi segala keinginan raja;
Raja Saṁyama yang akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendakinya.

Mendengar ini, pemburu tersebut berkata, “Wahai yang mulia, janganlah bersenang hati berjumpa dengan raja.
Sesungguhnya para raja adalah makhluk yang berbahaya. Mereka akan mengurungmu sebagai hewan peliharaan atau mereka akan membunuhmu.” Kemudian Sumukha berkata, “Teman pemburu, jangan mengkhawatirkan kami. Dengan pemaparan kebenaran-ku dapat kubuat makhluk kejam sepertimu menjadi berhati lembut. Mengapa saya tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap raja? Para raja adalah orang-orang yang bijak dan mengerti akan kata-kata yang baik dan tidak baik: Bergegaslah bawa kami berjumpa dengan raja. Dan untuk membawa kami ke sana tidak perlu membawa kami sebagai tawanan, melainkan letakkan saja kami dalam keranjang bunga. Untuk Raja Dhataraṭṭha buatlah keranjang besar yang dihiasi dengan teratai putih, dan untukku buatlah keranjang kecil yang dihiasi dengan teratai merah, kemudian letakkan sang raja di bagian depan dan aku di bagian belakang, dengan posisi yang lebih rendah. Bawalah kami secepat mungkin ke hadapan raja.”

Sewaktu mendengar perkataan Sumukha ini, pemburu tersebut berpikir, “Ketika berjumpa dengan raja, Sumukha pasti berkeinginan untuk membicarakan tentang menganugerahkan kehormatan yang besar kepada diriku,” dan dengan perasaan gembira demikian, ia membuat keranjang dari tanaman menjalar, dan setelah menghiasnya dengan bunga teratai, ia pun berangkat dengan meletakkan kedua angsa itu pada posisi yang telah diberitahukan sebelumnya.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Sang pemburu mengangkat mereka dengan kedua tangannya, seperti yang diberitahukan kepadanya sebelumnya, meletakkan mereka, angsa berbulu emas, dalam keranjang masing-masing.

[366] Sekarang Dhataraṭṭha dan Sumukha terlihat bersinar dengan bulu-bulu mereka,
dengan rasa aman di dalam keranjang; sang pemburu membawa mereka pergi.

 

 

Segera setelah pemburu tersebut berangkat dengan membawa mereka, Raja Angsa Dhataraṭṭha teringat akan istrinya, putri dari raja angsa pāka, dan kemudian berkata kepada Sumukha, dalam pengaruh dari noda batinnya, meratapinya.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Raja angsa yang ketika dibawa pergi itu, berujar demikian kepada Sumukha: ‘Pasangan cantik dan anggunku pastinya sedang bersedih atas diriku. Jika ia mendengar bahwa diriku mati, maka hidupnya juga akan berakhir.

Seperti burung pucung sendirian berada di tepi samudra bersedih atas pasangannya, Suhemā—kulitnya berkilau bak emas—meratapi tuannya.

 

 

Mendengar ini, Sumukha berpikir, “Angsa ini, yang seharusnya telah siap untuk memberikan wejangan kepada orang lain, dikarenakan pengaruh nafsu, mengucapkan omong kosong persis seperti ketika air mendidih196, atau sama seperti ketika burung-burung yang terbang dari satu tepi dan mencari makan di satu ladang biji-bijian. Bagaimana kalau dengan kekuatan (kebijaksanaanku) kujelaskan padanya mengenai keburukan dari wanita dan menyadarkan kembali dirinya?” dan ia berkata:

Ia yang demikian agung dan tiada taranya, pemimpin dari bangsa angsa, yang meratapi angsa lawan jenisnya menunjukkan kekuatan pikiran yang kecil,

Seperti angin yang akan menerbangkan segala bau baik harum maupun busuk,
atau seperti anak kecil serakah, yang seolah-olah buta, memakan makanan yang mentah ataupun yang matang,

[367]Tanpa adanya penilaian yang benar dalam suatu ikatan, orang dungu tidak dapat melihat apa yang harus dihindari atau apa yang harus dilakukan dalam keadaan genting.

Dalam keadaan kurang waras, Anda membicarakan tentang wanita yang dilimpahi dengan segala sifat menyenangkan, yang biasanya bagi kaum laki-laki adalah seperti rumah minum bagi para pemabuk.
Tipu daya, penipuan, ketidakbahagiaan, penyakit, bencana, seperti rantai yang paling kuat mengikat, jerat kematian yang terpasang dalam pikiran—demikianlah wanita itu: Ia yang memercayai mereka adalah orang yang paling buruk.

[368] Kemudian Dhataraṭṭha, dalam keadaan dirinya yang masih terikat akan wanita (istrinya), berkata, “Anda tidak mengetahui kebaikan dari wanita, tetapi orang bijak mengetahuinya. Mereka tidaklah seharusnya menerima celaan.”
Dalam bentuk penjelasan, kemudian ia berkata:

Kebenaran yang diyakini oleh para bijak, siapa yang berani menentangnya?
Wanita yang terlahir di alam ini, memiliki kekuatan dan ketenaran yang besar.

Mereka terbentuk untuk hiburan, dilengkapi dengan kesenangan, benih di dalam diri mereka akan tumbuh berkembang, sumber dari kehidupan, laki-laki yang hidup bersama mereka tidak akan mencela mereka.

Apakah Anda sendiri, Sumukha, yang mengetahui tentang wanita itu?
Apakah Anda memperolah kebijaksanaan itu dikarenakan tergerak oleh rasa takut?

Di saat menghadapi bahaya, setiap makhluk bertahan dengan gagah berani meskipun memiliki rasa cemas, dalam satu keadaan krisis, makhluk bijak berusaha melindungi kita dari bahaya.

Sehingga para kaum kesatria hendaknya memiliki seorang pemberani yang kuat untuk menasihati mereka,

menghadapi rasa cemas akan kehidupan yang tak menyenangkan, cepat mengerti akan nasihat.

Janganlah sampai para juru masak istana memasak kita hari ini;
Seperti pohon bambu yang menyebabkan buahnya mati, demikianlah jadinya bulu yang berwarna emas ini menyebabkan kita mati (bila itu terjadi).

Di saat bebas Anda tidak terbang pergi, sekarang Anda tertahan dikarenakan keinginan sendiri,
berhentilah mengucapkan kata-kata yang membahayakan, bangkitlah, penuhi bagian dari pejantan (seorang laki-laki).

[369] Dengan mengucapkan pujian terhadap wanita, Sang Mahasatwa membuat Sumukha membisu. Akan tetapi ketika melihat bagaimana tidak puas dirinya itu, ia berusaha mendapatkan perhatiannya dengan mengulangi bait berikut:

Suatu tindakan yang patut semestinya dilakukan (sekarang), dengan keadilan sebagai pembelaanmu dan dengan tindakan heroikmu, Temanku, selamatkanlah nyawaku.

[370] Kemudian Sumukha berpikir, “Ia benar-benar dikuasai oleh rasa takut akan kematian; ia tidak mengetahui kekuatan (pengetahuanku). Nanti setelah bertemu dengan Raja Benares dan berbincang-bincang kecil dengannya, saya pasti tahu apa yang harus dilakukan: sementara itu, saya akan menenangkan rajaku terlebih dahulu,” dan mengucapkan bait berikut:

Jangan takut, wahai angsa mulia, karena rasa takut tidaklah merupakan bagian dirimu yang semestinya;
Saya akan melakukan sesuatu, dengan keadilan sebagai pembelaanku, dan dengan tindakan heroik-ku, segera dirimu akan menjadi bebas kembali.

Ketika mereka sedang berbicara demikian dalam bahasa hewan (angsa), pemburu tersebut tidak mengerti sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Akan tetapi dengan tetap membawa mereka dengan pemikul, mereka pun tiba di Benares, diiringi oleh orang banyak yang dipenuhi dengan ketakjuban dan kekaguman bersikap anjali. Sewaktu tiba di depan pintu istana, pemburu tersebut meminta penjaga pintu untuk mengumumkan kedatangan mereka (kepada raja).

 

 

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu dengan bawaannya tiba mendekat ke gerbang istana; ‘Umumkan kedatanganku kepada raja,’ teriaknya, ‘angsa emas ada di sini.’

 

 

Penjaga pintu pergi menjumpai raja dan memberitahukan kedatangan pemburu tersebut. Raja menjadi amat senang dan berkata, “Persilakan ia segera masuk ke sini,” dan dengan dikelilingi oleh sekumpulan pejabat kerajaannya serta duduk di takhta kerajaan dengan payung putih yang dibentangkan di atas kepalanya, raja memperhatikan Khemaka bergerak menuju ke dipan dengan bawaannya. Ketika melihat angsa-angsa berwarna emas itu, ia berkata, “Keinginan hatiku telah terpenuhi,” dan memberikan perintah kepada pejabat kerajaannya agar memberikan pelayanan yang semestinya kepada pemburu tersebut.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Setelah melihat angsa-angsa ini yang memiliki penampilan yang suci dan (tanda) keistimewaan, Raja
Saṁyama berujar demikian kepada para pejabat kerajaannya:

‘Berikan kepada pemburu itu makanan dan minuman, pakaian, dan kepingan-kepingan emas sebanyak yang hendak dimiliki seseorang.’

 

 

[371] Karena begitu gembiranya, ia menunjukkan kegembiraannya itu dengan berkata demikian, “Pergi dan dandani pemburu itu, kemudian bawa ia kembali ke hadapanku.”
Maka para pejabat kerajaannya pun membawa ia turun, merapikan rambut dan janggutnya, dan setelah ia mandi, dioleskan minyak, didandani dengan mewah, membawanya kembali ke hadapan raja. Kemudian raja menganugerahkan kepadanya dua belas perkampungan yang tiap tahunnya sebuah kereta memberikan pendapatan sebesar seratus ribu keping uang, sebuah kereta dengan kuda-kuda berdarah murni, sebuah rumah besar yang lengkap dan kehormatan lain yang besar.
Ketika menerima begitu banyaknya anugerah, pemburu itu berkata untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya, “Paduka, yang saya bawakan kepadamu ini bukanlah angsaangsa biasa; Yang satu ini adalah raja dari sembilan puluh ribu angsa lainnya, bernama Dhataraṭṭha, dan yang satunya lagi adalah panglimanya, Sumukha.” Kemudian raja bertanya, “Teman, bagaimana Anda menangkap mereka?”

 

 

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Melihat pemburu yang menjadi riang gembira itu, Raja Kāsi berkata, ‘Khemaka, jika memang di danau sana
ada puluhan ribu angsa yang datang untuk mencari makan,

jelaskanlah bagaimana Anda mampu memilih angsa jenis yang ini dan menangkapnya dalam keadaan hidup?’

 

 

Untuk menjawabnya, pemburu itu berkata:

Selama tujuh hari nan panjang dengan perhatian yang teliti, tidak sia-sia kutandai tempat itu,
untuk mendapatkan jejak dari angsa nan elok, saya bersembunyi dalam sebuah tempayan.

Kutemukan tempat angsa itu biasanya makan, dan di sana pula segera kupasang jerat, ia pun kemudian masuk dalam jerat tersebut.

[372] Setelah mendengar ini, raja berpikir, “Orang ini datang berdiri di depan pintu istana, memberitahukan tentang tibanya Raja Dhataraṭṭha, dan sekarang ia hanya membicarakan tentang angsa yang satu ini. Apa arti dari semua ini?” dan ia mengucapkan bait berikut:

Pemburu, Anda hanya membicarakan tentang satu angsa saja, sedangkan di sini saya melihat
ada dua angsa;
Ini adalah suatu kesalahan, mengapa Anda membawa angsa yang kedua ini ke hadapanku?

Kemudian pemburu itu berkata, “Tidak ada perubahan rencana dari diriku, pun tidak ada niat dariku untuk mempersembahkan angsa yang kedua ini kepada orang lain: lagipula tadinya cuma ada satu angsa yang masuk dalam jerat yang kupasang,” dan dalam bentuk penjelasan, ia berkata:

Angsa yang memiliki garis-garis seperti warna emas yang turun sampai ke bagian dadanya terperangkap dalam jeratku, kubawa ia ke tempat ini, wahai raja, atas permintaanmu.

Angsa istimewa yang satu lagi ini dalam keadaan bebas berdiri di samping yang terperangkap, berusaha menenangkan temannya, kemudian berbicara dalam bahasa manusia.

Demikianlah dengan cara ini diberitahukan olehnya tentang kebaikan dari Sumukha. “Segera sewaktu mengetahui bahwa angsa Dhataraṭṭha terjerat, ia pun tinggal (di sampingnya) dan menghiburnya temannya itu. Di saat melihatku datang, ia menyambutku dan, dengan tetap berada di udara, berbicang denganku dalam bahasa manusia serta memberitahukan tentang kebaikan dari Dhataraṭṭha. Setelah melunakkan hatiku, [373] sekali lagi ia berdiri di depan temannya. Kemudian saya, Paduka, setelah mendengar kecakapan Sumukha (dalam berbicara) menjadi tergugah dan melepaskan Dhataraṭṭha. Demikianlah cerita tentang bebasnya Dhataraṭṭha dari jerat dan tibanya diriku di sini bersama dengan angsa-angsa ini, yang semuanya disebabkan oleh Sumukha.” Ketika diberitahukan mengenai ini, raja menjadi berkeinginan untuk mendengar pemaparan kebenaran dari Sumukha. Di saat pemburu itu sedang memberikan penghormatan kepadanya, matahari terbenam, sehingga lampu-lampu dihidupkan, kelompok para kesatria dan yang lainnya berkumpul bersama, dan Ratu Khemā yang datang bersama dengan rombongan penari duduk di sebelah kanan raja.

Kemudian karena memiliki keinginan untuk membujuk Sumukha agar berbicara, raja mengucapkan bait berikut:

Mengapa, Sumukha, Anda diam saja? Apakah disebabkan oleh perasaan takut (karena segan) sampai Anda tidak mengucapkan sepatah kata pun di hadapan orang-orang kerajaanku?

Mendengar ini, Sumukha, untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak takut, berkata:

Saya tidak takut, Raja Kasi, untuk berbicara di hadapan barisan kerajaanmu, namun saya hanya akan berkatakata jika kesempatan yang tepat itu muncul.

Mendengar jawaban ini, raja yang berkeinginan untuk membuatnya berbicara dalam waktu yang lebih lama, berkata:

Tidak ada pemanah berbaju besi, tidak ada pelindung kepala, tidak ada tameng yang kulihat,
tidak ada kawanan kuda atau pengawal, tidak ada kereta, tidak ada bala tentara.

Tidak kulihat adanya emas kepingan atau lantakan, tidak ada tempat yang dihiasi oleh bangunan-bangunan indah, tidak ada menara pengawas yang dibuat agar tak dapat dimasuki dengan parit kecil di sekelilingnya, berada di manakah Sumukha sehingga tidak memiliki rasa takut.

[374] Ketika raja menanyakan demikian mengapa ia tidak merasa takut, Sumukha menjawabnya dalam bait berikut:

Rombongan pengawal tidak kuinginkan, kota atau kekayaan tidak kubutuhkan,
di antara angkasa yang tak berjalur kami temukan suatu jalan dan bepergian melalui angkasa.

Jika Anda adalah orang yang berpegang teguh pada kebenaran, maka kami bersedia memberikan pelajaran yang berguna untuk kebaikanmu dalam perkataan bijak yang saling berhubungan.

Tetapi jika Anda adalah seorang pembohong, seorang yang tidak benar, seorang yang tidak mulia,
maka kata-kata pemburu ini dengan sia-sia tidak akan menarik bagimu.

Mendengar ini, raja berkata, “Mengapa Anda mengatakan bahwa diriku (mungkin) adalah seorang pembohong dan seorang yang tidak benar? Apa yang telah kulakukan?”

Kemudian Sumukha berkata, “Baiklah, dengarkan diriku,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:

Atas masukan dari para brahmana, Anda membuat Danau Khema yang terkenal ini,
dan kepada para unggas (burung) di keempat sudutnya Anda umumkan itu dilindungi.

Di danau yang demikian damai dilengkapi dengan air bersih nan jernih, burung-burung mendapatkan makanan yang berlimpah ruah dan kehidupan yang aman.

Di saat mendengar kabar ini yang tersebar luas, kami pun terbang datang mengunjungi tempat indah itu, dan yang kami dapatkan adalah masuk dalam perangkapmu! Janjimu adalah palsu.

Dalam samaran ucapan yang tidak benar, setiap perbuatan buruk, perbuatan tamak atau serakah akan menghilangkan kesempatan terlahir kembali sebagai manusia atau dewa, melainkan mengarahkan pada alam neraka.

[375] Demikianlah bahkan di tengah rombongan anggota kerajaan ia membuat raja menjadi merasa malu. Kemudian raja berkata kepadanya, “Saya tidak memerintahkan orang menangkapmu, Sumukha, untuk membunuhmu dan memakan dagingmu. Akan tetapi, sewaktu mendengar betapa bijaknya dirimu itu, saya berkeinginan untuk mendengarkan kebijaksanaanmu itu,” dan untuk menjelaskan masalahnya, raja berkata:

Bukanlah perbuatan yang buruk dariku, wahai Sumukha, bukanlah karena serakah kutangkap dirimu;
Ketenaran dirimu akan pemikiran yang bijaksana dan mendalam, inilah yang menyebabkan tindakanku itu.

‘Jika saja mereka ada di sini, mereka dapat memaparkan kata-kata yang benar dan membantu.’
Maka kuperintahkan pemburu itu untuk menangkap dan membawamu ke tempat ini, wahai burung.

Mendengar ini, Sumukha berkata, “Anda telah berindak salah, Paduka,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut ini:

Kita tidak seharusnya mengucapkan kata tidak benar meskipun takut akan kematian yang mendekat,
tidak juga ketika mengalami penderitaan terakhir menjelang kematian, saat kita bernapas dengan terengah-engah.

Ia yang menggunakan seekor burung untuk menangkap burung lainnya, atau binatang yang satu untuk mendapatkan binatang lainnya, atau dengan kata-kata, seorang pengucap menjebak, ia tidak menghindarkan dirinya dari perbuatan rendah.

Dan ia yang mengucapkan kata-kata mulia dengan niat melakukan perbuatan rendah, maka baik di kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya akan berada jauh dari kebahagiaan menuju ke tempat yang menyedihkan.

Janganlah terlalu bersenang hati ketika berjaya, jangan bersusah hati ketika gagal,

lakukanlah kekurangan yang bagus, sewaktu berada dalam masalah, berdaya upayalah.

[376]Di tahap akhir kehidupan menjadi orang bijak, terlihat tujuan dari kematian,
setelah melalui jalan yang benar di alam ini, terlahir di alam menyenangkan.

Setelah mendengar ini, tetaplah berada dalam kebenaran (hal yang benar), wahai paduka, dan bebaskanlah Raja Angsa Dhataraṭṭha,
suri teladan para angsa.

Mendengar ini, raja berkata:

Pergi ambillah air untuk kaki-kaki mereka, dan berikan tempat duduk;
Kubebaskan angsa termulia di muka bumi ini dari kurungannya.

Bersama dengan panglima pemberaninya, demikian cakap dan bijak, mengajarkan bahwa harus bersimpatik baik dalam keadaan menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

Pastinya jenis yang ini pantas mendapatkan yang baik, sama seperti pemimpinnya,

seperti dirinya yang siap berbagi bersamanya baik hidup maupun mati.

Setelah mendengar perkataan raja, pengawal kerajaan membawakan tempat duduk untuk mereka, dan setelah mereka duduk, pengawal kerajaan membasuh kaki-kaki mereka dengan air yang harum dan meminyakinya dengan minyak yang disuling ratusan kali.

 

 

[377] Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Raja angsa duduk di sebuah tempat duduk berkaki delapan, bersinar terang, semuanya adalah emas, beralaskan kain dari Kota Kasi, betapa suatu pemandangan yang indah.

Di sebelah rajanya, Sumukha duduk, panglimanya yang setia dan pemberani,
di atas tempat duduk beralaskan kulit harimau, dan terbuat dari emas.

Kepada mereka, banyak kesatria dari Kasi yang membawa makanan dalam mangkuk-mangkuk emas, makanan pilihan yang lezat untuk dimakan, persembahan dari raja-raja mereka.

 

 

Ketika semua makanan ini telah disajikan kepada mereka, Raja Kasi, untuk menyambut mereka, mengambil sebuah mangkuk emas dan mempersembahkannya kepada mereka. Dan dari semuanya itu, mereka memakan madu, bijibijian dan meminum air gula (air yang manis). Kemudian Sang Mahasatwa, yang memperhatikan persembahan raja dan penghormatan yang diberikannya, beruluk salam berbincang dengannya.

 

 

Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini, berkata:

Dengan berpikir, ‘Betapa suatu persembahan pilihan yang diberikan oleh Raja Kasi ini kepada kami,’ unggas itu, yang ahli dalam hal-hal kerajaan, bertanya demikian:

Apakah Anda, Paduka, dalam keadaan baik dan sehat? Pastinya kerajaanmu makmur dan Anda memimpin dengan benar.

Wahai raja angsa, saya berada dalam keadaan baik dan sehat; Kerajaanku makmur dan kupimpin dengan benar.

Apakah Anda memiliki orang-orang yang benar sebagai para menteri dan pejabat kerajaanmu, yang bebas dari kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi dirimu yang baik?

Saya memiliki orang-orang yang benar sebagai para menteri dan pejabat kerajaanku, yang bebas dari

kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi diriku yang baik.

Apakah Anda memiliki seorang istri yang statusnya sama denganmu, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut terhadap suaminya?

Saya memiliki seorang istri yang statusnya sama denganku, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut terhadap suaminya.197

[378] Dan apakah kerajaanmu berada dalam keadaan bahagia, bebas dari segala tindak penindasan, tidak dikuasai oleh tindakan semena-mena, melainkan dipimpin dengan benar?

Kerajaanku berada dalam keadaan bahagia, bebas dari segala tindak penindasan, tidak dikuasai oleh tindakan semena-mena, melainkan dipimpin dengan benar.

Apakah Anda mengusir orang-orang jahat dari kerajaanmu, memberikan kehormatan kepada orangorang baik, atau apakah Anda menjauh dari kebenaran, mengikuti jalan yang tidak benar?

Kuusir orang-orang jahat dari kerajaanku, memberikan kehormatan kepada orang-orang baik,
segala keburukan kujauhkan dari diriku, dan mengikuti jalan yang benar.

Apakah Anda, Paduka, menyadari betapa cepatnya waktu kehidupan berputar, atau apakah Anda tidak sadar dalam kelengahan, menganggap kehidupan berikutnya pastilah bebas dari penderitaan?

Kusadari betapa cepatnya waktu kehidupan berputar, wahai burung, dan dengan kukuh berada dalam sepuluh kebenaran, kehidupan berikutnya bagiku akan bebas dari penderitaan.

Kedermawanan, moralitas, kemurahan hati, kejujuran, kelembutan, pengendalian diri, welas asih, belas kasih, kesabaran, kesantunan—

Sifat-sifat bajik demikian ini dapat terlihat tertanam dalam diriku, darinya ketika berbuah maka hasil berupa kegembiraan dan kebahagiaan akan menjadi milikku.

Sumukha yang tidak mengetahui kesalahan yang telah kami perbuat, dengan lalainya memberikan celah bagi kata-kata kasar dan nada suara yang tidak menyenangkan.

Hal yang tak kuketahui dituduhkan kepadaku oleh burung ini dengan salahnya, dalam bahasa yang kasar.
Dalam hal ini, diperlihatkan kebijaksanaan yang kurang.

 

 

[379] Ketika mendengar ini, Sumukha berpikir, “Raja yang bajik ini menjadi tidak senang, saya telah membuatnya menjadi marah: Saya harus memohon pengampunan darinya,” dan ia berkata:

Saya telah bersalah terhadapmu, raja manusia, mengucapkan kata-kata berisikan kekasaran,
tetapi ketika raja angsa ini tertangkap, hatiku serasa hancur.

Seperti bumi yang menampung semua makhluk, seperti ayah terhadap anaknya, mohon Anda memaafkan kesalahan yang telah diperbuat.

Kemudian raja mengangkat burung tersebut, memeluknya, dan setelah mendudukkannya pada sebuah tempat duduk emas, raja menerima pengakuan kesalahannya dan berkata:

Saya berterima kasih kepadamu, Anda tidak menyembunyikan sifat aslimu (terhadap diriku),
Anda mematahkan sifat kerasku, Anda adalah seorang yang jujur (terus terang).

Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, raja yang amat bersukacita dengan pemaparan kebenaran oleh Sang Mahasatwa dan dengan sifat Sumukha yang terus terang, berpikir, “Ketika seseorang merasa gembira, maka seharusnya orang itu melakukan sesuatu untuk menunjukkan kegembiraannya itu,” dan untuk memberikan kerajaannya yang berjaya itu kepada angsa-angsa tersebut, ia berkata:

Permata, perak, emas, dan batu berharga lainnya terdapat dalam tempat tinggalku ini, di Kerajaan Kasi,

[380] Batu permata, permata yang berulir, busana, kayu cendana kuning, kulit kijang (antelop), gading, kuningan, besi, benda-benda ini dan kekuasaan atas kepemimpinannya kuberikan kepadamu.

Dan setelah dengan kata-kata demikian menghormati kedua angsa tersebut, dengan memberikan payung putih, menyerahkan kerajaan kepada mereka. Kemudian Sang Mahasatwa berbicara kepada raja, dengan berkata:

Karena Anda ingin memberikan balasan (kehormatan) kepada kami, wahai raja manusia, cukuplah dengan

menjadi guru kami, mengajarkan kepada kami sepuluh kualitas seorang raja (rajadhamma198).

Jika izin dan persetujuanmu bisa didapatkan, kami ingin memohon pamit pulang untuk bertemu dengan sanak saudara kami.

Raja memperbolehkan mereka untuk pulang dan, ketika Bodhisatta sedang memaparkan kebenaran, matahari pun mulai terbit.

 

 

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Malam yang panjang dilewati oleh Raja Kasi dengan pemikiran yang mendalam,
kemudian atas permintaan angsa mulia itu, memberikan persetujuannya.

 

 

Setelah mendapatkan izin untuk pergi, dengan berkata, “Janganlah lengah dan pimpinlah kerajaanmu selalu dengan benar,” Bodhisatta memantapkan raja dalam lima latihan moralitas (Pancasila Buddhis). [381] Dan raja memberikan kepada mereka biji-bijian dengan madu, air gula dan sebagainya, dalam bejana emas. Ketika mereka selesai makan, raja memuja mereka dengan wewangian, untaian-untaian bunga dan sebagainya. Raja mengangkat tinggi kandang emas Bodhisatta, sedangkan Ratu Khemā mengangkat Sumukha. Kemudian di saat matahari terbit, mereka membuka jendela dan, sembari berkata, “Pergilah, Tuan-tuan,” mereka pun melepaskan angsa-angsa itu.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Kemudian ketika matahari telah terbit dan fajar menyingsing,
angsa-angsa itu segera menghilang dari pandangan mereka dalam birunya langit.

 

 

Salah satu dari mereka, Sang Mahasatwa, selepasnya dari kandang emas, terbang melayang di angkasa dan berkata, “Paduka, janganlah cemas. Tetaplah waspada dan hidup dengan menjalani nasihat kami,” demikian ia menenangkan raja dan segera menuju ke Cittakūṭa bersama dengan Sumukha. Dan kesembilan puluh angsa lainnya yang keluar dari Gua Emas sedang berada di dasar gunung. Ketika melihat kedua angsa itu terbang datang, mereka langsung menyambut dan mengikuti mereka pulang ke rumah. Demikianlah dengan ditemani oleh sekelompok saudaranya, mereka tiba di Cittakūṭa.

 

 

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Melihat kedua pemimpin mereka pulang kembali dengan selamat dari tempat hunian manusia,
kelompok makhluk bersayap itu bersorak-sorai menyambut kepulangan mereka.

Demikian mereka mengelilingi pemimpin yang mereka percayai, angsa-angsa emas itu memberikan penghormatan kepada raja mereka, sembari bersukacita atas pembebasannya.

 

 

Selagi demikian mengikuti raja mereka, angsa-angsa tersebut bertanya kepadanya dengan berkata, “Maharaja, bagaimana Anda bisa meloloskan diri?” Sang Mahasatwa memberitahukan kepada mereka tentang pembebasan dirinya dikarenakan bantuan dari Sumukha, dan juga tentang perbuatan dari Raja Saṁyama dan para anggota kerajaannya. Setelah mendengar ini, sekolompok angsa tersebut melantunkan pujian dalam kegembiraan mereka dengan berkata, “Semoga Sumukha panjang umur, Panglima kita, dan raja serta si pemburu. Semoga mereka berbahagia dan bebas dari penderitaan

 

 

[382] Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikianlah semuanya, yang hatinya penuh dengan perasaan cinta kasih, akan berhasil dalam segala hal yang dilakukan,

seperti kedua angsa ini yang dapat terbang kembali menjumpai teman-teman mereka dengan selamat.

 

 

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, pemburu adalah Channa, Ratu Khemā adalah bhikkhuni Khemā, raja adalah Sāriputta, para pengikut raja adalah para siswa Buddha, Sumukha adalah Ānanda, dan raja angsa adalah diriku sendiri.”

Catatan Kaki :

191 sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk orang yang lebih muda atau lebih tua,
lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’
192 salah satu jenis angsa.
193 cāṭipañjara.
194 Di teks Pali tertulis pādā, bentuk jamak dari pādo dan berarti bahwa kedua kakinya terjerat; sedangkan di teks Inggris tertulis foot, bentuk tunggal dari feet dan berarti bahwa satu kakinya terjerat.
195 Teks Pali, baik CSCD maupun PTS, tertulis dabbatiṇa yang berarti rerumputan atau belukar. Akan tetapi di versi PTS terdapat catatan kaki yang menuliskan variasi lain yakni dabbhatiṇa yang dapat berarti (se)kumpulan rumput kusa.
196 Frasa ‘omong kosong’ dalam kisah ini disamakan (dibandingkan) dengan suara air yang mendidih atau hancurnya ranting-ranting kering di bawah tempayan, dan juga suara ribut dari burung-burung yang terbang turun mencari makan di satu ladang biji-bijian.
197 Keenam bait kalimat ini telah muncul sebelumnya di [348].
198 dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran),
maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).

 

 

 

Leave a Reply 0 comments