Vissasabhojana Jataka

VISSĀSABHOJANA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Jangan percaya pada yang dipercaya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai pengambilan barang atas dasar kepercayaan.

Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, pada masa itu para bhikkhu, sebagian besar, selalu menyisakan dengan sesuka hati mereka, jika mendapatkan sesuatu dari ibu atau ayah, saudara lelaki atau perempuan, paman atau bibi, maupun kerabat lainnya. Berdebat bahwa dalam posisi perumahtangga sudah selayaknya menerima barang dari orang-orang itu, mereka, sebagai bhikkhu, tidak menunjukkan kehati-hatian atau perhatian sebelum menggunakan makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya yang diberikan oleh kerabat mereka. Melihat hal tersebut, Sang Guru merasa ia harus memberi teguran kepada para bhikkhu. Maka Beliau mengumpulkan mereka semua, dan berkata, “Para Bhikkhu, tidak masalah apakah [388] pemberi dana adalah saudara atau bukan, pemakaian segala sesuatu harus selalu penuh kehati-hatian. Bhikkhu yang tidak berhati-hati dalam pemakaian kebutuhan yang diberikan kepadanya, akan membawa kelahiran kembali sebagai yaksa atau peta. Pemakaian yang sembrono seperti minum racun; dan racun mempunyai kemampuan membunuh yang sama, baik diberikan oleh kerabat maupun orang asing. Di kehidupan yang lampau, seseorang minum racun yang diberikan oleh orang yang dekat dan yang sangat disayangi olehnya, karenanya ia menemui ajalnya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.”

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang saudagar yang sangat kaya. Ia mempunyai seorang penggembala yang, ketika jagung telah siap dipanen, membawa sapi-sapinya ke hutan, dan menjaga mereka di sana, pada sebuah tempat perlindungan, membawakan hasil ternak-ternak tersebut kepada saudagar tersebut dari waktu ke waktu. Di dekat tempat perlindungan tersebut, tinggallah seekor singa; dan rasa takut terhadap singa itu membuat sapi-sapi itu hanya menghasilkan sedikit susu. Maka, saat penggembala itu membawakan hasil ternaknya, saudagar tersebut bertanya mengapa hasilnya hanya sedikit. Penggembala tersebut menceritakan alasannya. “Baiklah, apakah singa itu menyukai sesuatu?” “Ya, Tuan; singa itu sangat menyukai seekor rusa betina.” “Bisakah engkau menangkap rusa betina tersebut?” “Bisa, Tuan.” “Baik, tangkaplah rusa betina itu, dan lumuri racun serta gula di sekujur tubuhnya, dan biarkan mengering. Tahan selama satu hingga dua hari, kemudian bebaskan dia. Dikarenakan rasa sayang singa kepadanya, singa akan menjilati rusa betina dengan lidahnya dan mati. Ambillah kulit, dengan cakar dan gigi serta lemaknya, dan bawakan kepadaku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia memberikan racun yang mematikan kepada penggembala tersebut, dan mengirimnya pergi. Dengan bantuan sebuah jala yang ia buat sendiri, penggembala itu menangkap rusa betina tersebut, melakukan apa yang diperintahkan oleh Bodhisatta.

Melihat rusa betina itu lagi, singa tersebut, dalam rasa cintanya yang besar kepada rusa betina itu, menjilatinya dengan lidahnya sehingga ia mati. Penggembala itu mengambil kulit singa dan bagian-bagian lainnya, membawakannya kepada Bodhisatta, yang berkata, “Rasa cinta kepada orang lain harus dihindari. Lihat bagaimana, dengan segala kekuatannya, raja dari semua hewan buas, singa, dikarenakan rasa cinta yang penuh nafsu kepada rusa betina itu meracuni dirinya sendiri dengan menjilati rusa betina itu hingga akhirnya ia mati.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini sebagai bimbingan bagi mereka yang berkumpul di sana:

[389] Jangan percaya pada yang bisa dipercaya,
jangan juga engkau tidak percaya pada kepercayaan.
Kepercayaan membunuh;
melalui kepercayaan singa menelan kekalahannya.

Seperti itulah pelajaran yang diberikan oleh Bodhisatta kepada mereka yang mengerumuninya. Setelah menghabiskan hidup dengan melakukan amal (berdana) dan perbuatan baik lainnya; ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah saudagar di masa itu.”

[Catatan : Bandingkan “Indische Sprüche” oleh Böhtlingk (edisi perdana) No.1465-7 dan 4346.]

Leave a Reply 3 comments