[381] MAHĀSĀRA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Untuk perang manusia membutuhkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Yang Mulia Ānanda.
Sekali waktu, para istri Raja Kosala bepikir seperti ini, “Kemunculan seorang Buddha sangat langka; dan jarang juga kesempatan untuk terlahir sebagai manusia, dengan semua kemampuan dalam satu kesatuan yang sempurna. Meskipun kita telah terlahir sebagai manusia dalam masa hidup Sang Buddha, kita tidak dapat pergi sesuai keinginan kita ke wihara untuk mendengarkan Dhamma yang dibabarkan dari mulut-Nya sendiri, memberikan penghormatan dan persembahan kepada Beliau. Kita seperti hidup di dalam sebuah kotak. Mari kita meminta kepada raja untuk mengirimkan seorang bhikkhu kemari dan mengajarkan Dhamma kepada kita. Mari kita mempelajari apa yang kita dapatkan darinya, dan melakukan amal (berdana) serta perbuatan baik lainnya, sehingga akhirnya kita dapat memperoleh hasil melalui kelahiran kita di saat yang berbahagia ini.” Maka mereka semua bersatu menemui raja, dan menyampaikan buah pikiran mereka; dan raja menyetujuinya.
Suatu hari, raja mempunyai ide untuk menyenangkan diri di taman peristirahatan kerajaan, dan memberi perintah agar tempat tersebut dipersiapkan untuknya. Saat tukang kebun sedang merapikan tempat tersebut, ia melihat Sang Guru sedang duduk di bawah sebatang pohon. Ia menemui raja dan berkata, “Taman telah dipersiapkan, Paduka; namun Sang Bhagawan sedang duduk di bawah sebatang pohon.” “Bagus,” kata raja, “kami akan pergi untuk mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha.” Mengendarai kereta kerajaan, ia menemui Sang Guru di taman peristirahatan tersebut.
Duduk di sana, sambil mendengarkan Dhamma, seorang upasaka yang bernama Chattapāṇi, orang yang telah mencapai tingkat kesucian Anagāmi. Melihat upasaka ini, raja berhenti sejenak, namun, menduga ia pasti adalah orang yang bijaksana, jika bukan, ia tidak mungkin duduk di sisi Sang Guru untuk menerima petunjuk dari Beliau, raja mendekat dan setelah memberikan penghormatan, mengambil tempat duduk di sisi Sang Guru. Upasaka tersebut hanya memberikan penghormatan kepada Sang Buddha; ia tidak berdiri maupun memberi hormat kepada raja. Hal ini membuat raja menjadi sangat marah. Mengetahui ketidaksenangan raja, Sang Guru mulai memuji kebaikan upasaka tersebut dengan berkata, “Paduka, upasaka ini menguasai segala jenis tradisi; ia hafal semua kitab suci yang pernah diwariskan, dan ia telah membebaskan diri dari belenggu nafsu.” “Tentu saja,” pikir raja, “ia yang dipuji oleh Sang Guru tentu bukan orang biasa.” Raja berkata padanya, “Katakan pada saya, Upasaka, jika engkau membutuhkan sesuatu.” “Terima kasih,” jawabnya. Kemudian raja mendengarkan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Guru, dan pada akhir khotbah, ia bangkit dan dengan penuh hormat mengundurkan diri.
Di hari yang lain, raja bertemu dengan upasaka tersebut setelah sarapan. Dengan sebuah payung di tangan menuju ke Jetawana, raja mengundangnya ke istana dan berkata, “Saya dengar, Upasaka, engkau adalah orang dengan pengetahuan yang luas. Istri-istri saya sangat ingin mendengarkan dan mempelajari tentang Dhamma; saya akan sangat gembira jika engkau bersedia mengajari mereka.” “Tidaklah sesuai, Paduka, seorang perumah-tangga [382] menjelaskan atau mengajarkan kebenaran di tempat tinggal para istri raja; itu adalah hak istimewa anggota Sanggha (Saṅgha).”
Dipengaruhi oleh kekuatan ucapan tersebut, raja, setelah perumah-tangga tersebut pergi, memanggil semua istrinya dan menyatakan kepada mereka tentang niatnya untuk menemui Sang Guru dan mengundang salah seorang bhikkhu untuk datang sebagai pembimbing mereka atas ajaran Beliau. Siapa di antara kedelapan puluh siswa utama (Mahāsavāka) yang mereka pilih? Setelah berdiskusi bersama, para wanita itu secara kompak memilih Thera Ananda172, yang memiliki gelar sang Bendahara Dhamma. Maka raja menemui Sang Guru dan dengan sopan menyapa Beliau sebelum duduk di satu sisi, setelah itu menyampaikan keinginan para istrinya, dan juga harapan dirinya sendiri, bahwa mungkin Thera Ānanda berkenan menjadi guru mereka. Setelah Sang Guru setuju untuk mengirimkan Ānanda, para istri raja mulai secara teratur diajari oleh thera tersebut, dan mereka belajar Dhamma darinya.
Suatu hari, permata yang menghiasi ikat kepala raja hilang. Saat mendengar berita kehilangan itu, raja mengundang semua menterinya dan meminta mereka untuk menahan semua orang yang memasuki tempat tersebut dan mencari permata itu. Maka para menteri menggeledah semua orang, wanita dan semuanya, untuk mencari permata yang hilang, hingga semua orang ketakutan setengah mati; namun mereka tidak mendapatkan jejak apa pun. Hari itu, Ānanda muncul di istana, menemukan para istri raja terlihat kesal, padahal selama ini mereka sangat gembira saat ia mengajari mereka. “Apa yang membuat kalian terlihat seperti ini hari ini?” tanya thera tersebut. “Oh, Bhante,” kata mereka, “raja kehilangan permata yang menghiasi ikat kepalanya; dan atas perintahnya, para menteri membuat semua orang khawatir, wanita dan semuanya, ketakutan setengah mati, dengan tujuan menemukan permata tersebut. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami, karenanya kami sangat sedih. “Jangan memikirkan hal itu lagi,” kata thera tersebut untuk menenangkan mereka, setelah itu ia pergi menemui raja. Duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untuknya, thera tersebut menanyakan apakah benar raja kehilangan permatanya. “Benar sekali, Bhante,” jawab raja. “Dan masih belum dapat ditemukan?” “Saya telah membuat semua penghuni istana ketakutan setengah mati, dan saya masih belum dapat menemukannya.” “Ada satu cara, Paduka, untuk menemukannya, tanpa membuat orang ketakutan setengah mati.” “Cara apakah itu, Bhante?” “Dengan pemberian utasan, Paduka.” “Pemberian utasan? Apakah itu?” “Kumpulkan semua, Paduka, orang-orang yang engkau curigai, berikan secara pribadi masing-masing dari mereka secara terpisah seutas jerami, atau segumpal tanah liat, katakan ‘Bawa ini dan letakkan di tempat anu saat subuh besok’. Orang yang mengambil permata itu akan meletakkannya di dalam jerami atau tanah liat, dengan demikian permata itu akan kembali. Jika kembali di hari pertama, sangat baik. Jika tidak, hal yang sama harus dilakukan pada hari kedua dan ketiga. Dengan cara demikian, banyak orang terhindar dari ketakutan sementara engkau dapat menemukan permatamu kembali.” Dengan katakata tersebut sang thera pamit.
Mengikuti nasihat tersebut, raja membuat utasan jerami dan tanah liat dibagi keluar selama tiga hari berturut-turut; namun permata itu tetap tidak ditemukan. [383] Pada hari ketiga, thera tersebut kembali, dan menanyakan apakah permata itu telah ditemukan. “Belum, Bhante,” jawab raja. “Kalau begitu, Paduka, engkau harus menempatkan pot air yang besar di sebuah sudut (yg sudah lama tidak dilewati) di halaman kerajaan, engkau harus mengisi pot tersebut dengan air dan memasang sebuah tirai di depannya. Kemudian sampaikan bahwa semua orang yang sering ke tempat tersebut, baik pria maupun wanita, agar melepaskan baju luarnya dan satu per satu mencuci tangan mereka di balik tirai itu, kemudian kembali.” Dengan nasihat tersebut, sang thera pamit. Dan raja melakukan apa yang dimintanya.
Pencuri itu berpikir, “Ānanda sangat serius menangani hal ini; jika ia tidak dapat menemukan permata tersebut, ia tidak akan berhenti sampai di sini. Telah tiba saat untuk mengembalikan permata itu tanpa kehebohan.” Maka ia menyembunyikan permata itu di badannya, dan pergi ke balik tirai, menjatuhkannya dalam air sebelum pergi. Setelah semua orang pergi, pot itu dikosongkan, dan permata itu ditemukan. “Semua ini berkat thera tersebut,” seru raja dengan gembira, “sehingga saya mendapatkan kembali permata saya, dan tidak membuat orang-orang ketakutan setengah mati.” Semua orang di tempat itu sangat berterima kasih kepada Ānanda atas masalah yang diselesaikannya hingga mereka tertolong. Cerita bagaimana kemampuan Ānanda yang mengagumkan dalam menemukan permata tersebut, tersiar hingga ke seluruh penjuru kota tersebut, hingga akhirnya terdengar oleh para bhikkhu. Para bhikkhu berkata, “Pengetahuan yang hebat, ilmu dan kepintaran Thera Ānanda digunakan sekaligus untuk menemukan permata yang hilang dan menolong orang banyak dari ketakutan terhadap keselamatan diri mereka.” Saat mereka duduk bersama di dalam Dhammasabhā (Balai Kebenaran) itu, memuji Ānanda, Sang Guru memasuki balai tersebut dan menanyakan topik pembicaraan mereka. Setelah mengetahuinya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya apa yang telah dicuri ditemukan kembali, Ānanda juga bukan satu-satunya orang yang melakukan penemuan seperti itu. Di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan juga menemukan apa yang telah dicuri dan menyelamatkan sekumpulan orang dari masalah, menunjukkan bahwa harta yang hilang itu ternyata jatuh ke tangan hewan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta, setelah menyelesaikan pendidikannya, menjadi salah seorang menteri raja. Suatu hari, raja ditemani oleh sejumlah pengikut menuju ke tempat peristirahatannya, setelah berjalanjalan di hutan, timbul niat raja untuk menyenangkan diri di dalam air. Maka ia menuruni kolam kerajaan dan mengundang istriistrinya untuk bergabung. Para wanita itu melepaskan perhiasan dari kepala, leher dan seterusnya, meletakkannya di samping baju luar mereka dalam kotak-kotak yang dijaga oleh para pelayan wanita, kemudian turun ke dalam kolam. Saat ratu melepaskan permata dan perhiasannya, meletakkannya bersama baju luarnya dalam sebuah kotak, ia diperhatikan oleh seekor kera betina, yang bersembunyi di cabang pohon dekat kolam.
Berniat memakai kalung mutiara ratu, kera ini mengawasi pelayan yang bertugas, menunggu ia lengah. Awalnya gadis itu selalu melihat sekelilingnya untuk menjaga permata-permata [384] itu tetap aman; dengan berlalunya waktu, ia mulai mengantuk. Begitu kera tersebut melihat hal itu, ia melompat turun secepat kilat dan kembali lagi ke atas pohon, dengan mutiara yang mengelilingi lehernya. Kemudian, karena takut kera yang lain melihatnya, ia menyembunyikan untaian mutiara itu dalam sebuah lubang pohon dan menjaga barang rampasannya dengan lagak seakan tidak terjadi apa-apa. Dengan segera pelayan itu terbangun, dan ketakutan saat melihat permatapermata itu telah hilang, melihat tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan lagi, ia berteriak, “Seseorang telah melarikan kalung mutiara ratu.” Para pengawal berhamburan dari segala penjuru, memeriksa kebenaran cerita tersebut dan menyampaikannya kepada raja. “Tangkap pencuri itu,” kata raja; para pengawal itu mencari pencuri itu dimana-mana di sekitar taman peristirahatan itu. Mendengar hiruk pikuk itu, seorang lelaki miskin dari kampung 173 yang percaya pada takhayul mengambil langkah seribu saat mendengar tanda bahaya dibunyikan. “Itu dia di sana,” teriak para pengawal, saat mengetahui pelariannya; mereka mengejarnya hingga ia tertangkap, dan memberikan pukulan-pukulan padanya sambil menanyakan apa maksudnya mencuri permata yang begitu berharga itu.
Ia berpikir, “Jika saya menyangkal tuduhan ini, saya akan mereka pukul hingga mati. Lebih baik saya mengakuinya.” Maka ia mengaku sebagai pencurinya, dan dibawa sebagai tahanan di hadapan raja. “Apakah engkau mengambil permata yang berharga itu?” tanya raja. “Ya, Paduka.” “Dimanakah permata itu?” “Tolong, Paduka, saya adalah orang miskin; sepanjang hidup saya, saya tidak pernah mempunyai apa pun, termasuk tempat tidur maupun kursi, dengan harga berapa pun, — lebih-lebih sebuah permata. Bendaharawan yang meminta saya untuk mengambil kalung yang berharga itu, saya mengambil dan memberikannya pada Bendaharawan itu. Ia mengetahui semua ini.”
Raja meminta Bendaharawan itu menghadapnya, dan bertanya apakah orang kampung itu telah memberikan sebuah kalung kepadanya. “Sudah, Paduka,” jawabnya. “Dimanakah kalung itu sekarang?” “Saya memberikannya kepada Pendeta Kerajaan.” Maka Pendeta Kerajaan dibawa ke istana, dan dimintai keterangan dengan cara yang sama. Dan dia mengatakan bahwa dia telah menyerahkannya kepada Pemain Musik, yang menyatakan bahwa kalung itu telah diberikannya kepada seorang gadis penari [385] sebagai hadiah. Namun gadis itu, saat dibawa menghadap raja, menyangkal ia pernah menerima kalung itu.
Sementara kelima orang itu dimintai keterangan, matahari telah terbenam — “Sudah terlalu sore,” kata raja; “kita akan mendalami masalah ini besok.” Maka ia menyerahkan kelima orang ini kepada para menterinya dan kembali ke kota. Saat itu Bodhisatta berpikir keras. “Permata-permata ini,” pikirnya, “hilang di dalam pekarangan, sementara orang kampung ini berada di luar. Ada lapisan penjagaan yang ketat di gerbang-gerbang, sehingga tidak mungkin ada orang yang bisa keluar dengan membawa kalung tersebut. Saya tidak melihat bagaimana ada orang, baik di dalam maupun di luar, yang bisa mengamankannya. Yang sebenarnya adalah orang malang yang sial ini, mengatakan ia telah memberikannya kepada Bendaharawan adalah demi menyelamatkan dirinya sendiri; Bendaharawan mengatakan ia telah memberikannya kepada Pendeta Kerajaan dengan harapan ia bisa terbebaskan jika melemparkannya kepada Pendeta itu. Lebih lanjut, Pendeta mengatakan ia telah memberikannya kepada Pemain Musik, karena ia mengira Pemain Musik itu akan menghabiskan waktu dengan gembira di dalam penjara; sementara Pemain Musik itu melibatkan gadis penari itu, hanya demi menghibur diri didampinginya selama berada di dalam tahanan. Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang melakukan pencurian itu. Disisi lain, pekarangan tersebut dipenuhi oleh kera-kera, kalung itu pasti berada di tangan salah seekor kera betina.”
Saat tiba dikesimpulan itu, Bodhisatta pergi menghadap raja dengan permohonan agar para tersangka diserahkan kepadanya dan ia boleh menguji mereka secara pribadi atas masalah tersebut. “Melalui segala cara, Temanku yang bijaksana,” kata raja, “selidikilah masalah tersebut.”
Bodhisatta meminta pelayannya menghadap dan mengatakan pada mereka dimana kelima tahanan tersebut ditempatkan, dan berkata, “Awasi mereka baik-baik; dengarkan semua pembicaraan mereka dan laporkan semuanya pada saya.” Para pelayannya melakukan apa yang ia minta. Saat para tahanan itu duduk bersama, Bendaharawan berkata pada orang kampung itu, “Katakan pada saya, Orang sial, dimana kita bertemu sebelum ini; katakan kapan engkau memberikan kalung itu kepada saya.” “Tuan,” kata orang kampung itu, “ saya tidak pernah memiliki sesuatu yang berharga, termasuk sebuah bangku atau alas tidur yang tidak reyot. Saya pikir dengan bantuan darimu, saya bisa keluar dari masalah ini, sehingga saya mengeluarkan ucapan itu. Jangan marah pada saya, Tuan.” Pendeta [386] balik bertanya pada Bendaharawan, “Bagaimana engkau bisa memberikan kepadaku apa yang tidak diberikan orang ini padamu?” “Saya mengatakan itu karena saya pikir jika kita berdua, petinggi di istana, bersatu, kita akan bisa segera menyelesaikan masalahnya.” “Brahmana,” sekarang Pemain Musik yang bertanya kepada Pendeta, “kapan, saya mohon, engkau memberikan permata itu kepada saya?” “Saya mengatakan hal tersebut,” jawab Pendeta, “karena saya pikir engkau bisa menghabiskan waktu dengan lebih menyenangkan.” Terakhir, gadis penari itu bertanya, “Oh, Engkau musisi sialan, engkau tidak pernah mengunjungi saya, tidak juga saya padamu. Kapan kalung itu engkau berikan kepadaku, seperti perkataanmu?” “Mengapa marah?” kata musisi itu, “kita berlima harus tinggal bersama selama beberapa waktu; mari kita tunjukkan wajah gembira dan bersenang-senang bersama.”
Percakapan ini disampaikan kepada Bodhisatta oleh wakilnya, ia menjadi yakin bahwa kelima orang ini tidak bersalah atas perampokan tersebut, dan bahwa seekor kera betina telah mengambil kalung itu. “Saya harus mencari cara agar kera betina itu mengembalikan kalungnya,” kata Bodhisatta pada dirinya sendiri. Maka ia minta sejumlah kalung manik-manik dibuat. Selanjutnya ia membuat sejumlah kera ditangkap dan dilepaskan kembali, setelah memakai seuntai manik-manik di leher, pergelangan tangan dan tungkai mereka. Sementara itu, kera yang bersalah itu, tetap duduk di pohon untuk menjaga hartanya. Kemudian Bodhisatta meminta sejumlah orang mengawasi dengan teliti setiap kera di pekarangan itu, hingga mereka melihat kera yang memakai kalung mutiara yang hilang itu, — mereka harus menakut-nakutinya hingga ia menjatuhkan kalung tersebut.
Diperdaya oleh kemewahan baru ini, kera-kera itu berkeliaran dengan lagak sombong hingga mereka mendekati tempat pencuri yang sebenarnya berada, yang mereka pameri perhiasan tersebut. Rasa iri menutupi kebijaksanaannya, ia berseru, “Itu semua hanya manik-manik!” dan memakai kalungnya yang terbuat dari mutiara asli. Hal ini segera terlihat oleh para pengawal, yang dengan cepat membuat ia menjatuhkan kalung tersebut, mereka memungut kalung itu dan membawanya kepada Bodhisatta. Ia membawanya kepada raja, berkata, “Ini, Paduka, adalah kalung tersebut. Kelima tahanan itu tidak bersalah; seekor kera betina di taman peristirahatan yang mengambilnya.” “Bagaimana caramu mengetahui hal tersebut?” tanya raja; “dan bagaimana engkau mengatur hingga mendapatkannya kembali?” Bodhisatta menceritakan seluruh kejadian itu, dan raja berterima kasih [387] kepada Bodhisatta, dengan mengucapkan, “Engkau adalah orang yang tepat pada posisi yang tepat.” Dan ia mengucapkan syair ini untuk memuji Bodhisatta : —
Untuk perang manusia membutuhkan pahlawan,
nasihat dari yang bijaksana menenangkan hati,
sahabat baik memberikan penghiburan.
Namun penilaian diberikan saat menghadapi keadaan berbahaya.
Disamping kata-kata pujian dan terima kasih, raja menghujani Bodhisatta dengan harta benda seperti badai yang mencurahkan hujan dari langit. Setelah mengikuti nasihat Bodhisatta dengan menghabiskan usia yang cukup panjang dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, raja meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian tersebut berakhir, setelah memuji kebaikan thera tersebut, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah raja di masa itu, dan Saya adalah penasihat yang bijaksana tersebut.”
Catatan kaki :
172 Ānanda mempunyai ‘pandangan lebih lanjut atas pertanyaan kaum wanita.’ Ia yang membujuk Sang Buddha yang pada awalnya keberatan untuk menerima para wanita menjadi anggota Sanggha, seperti yang tercatat dalam Vinaya (S.B.E.XX,320.)
173 Atau barangkali, “Seorang perusuh saat pembayaran pajak.”