No. 220
DHAMMADDHAJA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Anda kelihatan seakan-akan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang usaha-usaha untuk membunuh-Nya.
Pada kesempatan ini, seperti sebelumnya, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Devadatta mencoba untuk membunuh-Ku dan tidak berhasil membuat-Ku takut, tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah ini.
____________________
Dahulu kala seorang raja yang bernama Yasapāṇi (Yasapani) memerintah di Benares. Panglimanya bernama Kāḷaka (Kalaka). Pada masa itu, Bodhisatta adalah pendeta kerajaannya, bernama Dhammaddhaja. Ada juga seorang pemuda bernama Chattapāṇi (Chattapani). Raja adalah seorang yang baik, tetapi panglimanya menerima suap dalam mengadili perkara; dia adalah seorang pengkhianat; dia menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah.
Suatu hari, seseorang yang telah kalah dalam gugatan keluar dari pengadilan, sedang meratap dan menjulurkan tangannya [187] ketika dia berjumpa dengan Bodhisatta, sewaktu Bodhisatta hendak pergi melayani raja. Sambil berlutut, orang tersebut berteriak menceritakan bagaimana dia telah dicurangi dalam perkaranya: “Meskipun orang seperti Anda, Tuanku, menasihati raja hal-hal di dunia ini dan yang akan datang, panglima tetap menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah!”
Bodhisatta merasa kasihan kepadanya. “Kemarilah, Teman,” katanya, “saya akan mengadili perkara Anda untukmu!” dan dia menuju ke pengadilan. Orang banyak berkumpul bersama. Bodhisatta mencabut hukumannya dan memberikan keadilan hukum kepadanya, yang berhak. Para penonton bertepuk tangan. Suara yang ditimbulkan sangat riuh. Raja mendengarnya, dan bertanya—“Suara apa yang kudengar ini?”
“Paduka,” jawab mereka, “ada sebuah perkara yang diadili dengan salah dan telah diadili dengan benar oleh Yang Bijak Dhammaddhaja; itulah sebabnya mengapa ada sorakan.”
Raja senang dan memanggil Bodhisatta. “Mereka memberitahuku,” dia memulai, “bahwa Anda telah mengadili sebuah perkara?” “Ya, Paduka, saya mengadili apa yang Kalaka tidak adili dengan benar.”
“Jadilah Anda seorang hakim mulai hari ini,” kata raja; “Ini akan menjadi hiburan bagi telingaku, dan kemakmuran bagi dunia!” Bodhisatta enggan, tetapi raja memohon kepadanya— “Atas belas kasihan terhadap semua makhluk, duduklah Anda dalam pengadilan!” dan raja pun mendapatkan persetujuannya.
Sejak saat itu, Kalaka tidak lagi menerima hadiah-hadiah, dan kehilangan keuntungannya. Dia memfitnah Bodhisatta di depan raja, dengan berkata, “Oh Paduka, Dhammaddhaja yang bijaksana mendambakan kerajaanmu!” Tetapi raja tidak percaya dan memintanya untuk tidak berkata demikian.
“Jika Anda tidak percaya,” kata Kalaka, “lihatlah keluar jendela saat kedatangannya. Maka Anda akan melihat bahwa dia telah mendapatkan seluruh kota di tangannya.”
Raja melihat orang banyak di sekelilingnya di balai pengadilannya. “Itulah rombongannya,” pikirnya. Raja pun mengalah. “Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanyanya.
“Paduka, dia harus dihukum mati.” [188] “Bagaimana kita dapat menghukum mati dirinya tanpa menemukan kejahatan besar?” “Ada sebuah cara.” kata yang lain. “Cara apakah itu?” “Suruh dia lakukan apa yang tidak mungkin, dan jika dia tidak dapat, maka hukum mati dirinya untuk itu.”
“Tetapi apa yang tidak mungkin untuknya?”
“Paduka,” jawabnya, “perlu waktu dua atau empat tahun bagi sebuah kebun berbuah, dengan tanah yang subur, bila ditanam dan dirawat. Panggillah Bodhisatta untuk menghadapmu dan katakan—‘Kami menginginkan sebuah taman hiburan (untuk bersenang-senang) besok. Buatlah sebuah taman untuk kami!’ dia tidak akan sanggup untuk melakukan ini, dan kita akan membunuhnya untuk kesalahan itu.”
Raja berbicara sendiri kepada Bodhisatta. “Tuan Bijak, kami telah bermain cukup lama di taman yang tua; sekarang kami sangat membutuhkan sebuah taman baru untuk bermain. Buatkanlah sebuah taman untuk kami! Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda akan mati.”
Bodhisatta berpikir, “Pasti Kalaka telah menghasut raja untuk melawanku, karena dia tidak lagi mendapatkan hadiah-hadiah.”—“Jika saya bisa,” katanya kepada raja, “Paduka, saya akan melakukannya.” Dan dia pulang ke rumah. Setelah makan, dia berbaring di tempat tidurnya, sambil berpikir keras. Istana Sakka menjadi panas131. Sakka merasakan kesulitan Bodhisatta. Dia segera datang kepadanya, masuk ke ruangannya, dan bertanya kepadanya—“Tuan yang Bijak, apa yang sedang Anda pikirkan?”—sambil melayang di udara.
“Siapakah Anda?” tanya Bodhisatta.
“Saya adalah Sakka.”
“Raja memintaku untuk membuat sebuah taman: itulah yang sedang saya pikirkan.” “Tuan yang Bijak, jangan bersusah hati: saya akan membuatkan Anda sebuah taman seperti Hutan Nandana dan Cittalatā! Di manakah harus saya buat taman itu?”
“Di tempat anu,” katanya kepada Sakka. Sakka membuatkannnya, dan kembali ke alam dewa.
Hari berikutnya, Bodhisatta melihat taman itu benar-benar ada di sana, dan menantikan kehadiran raja. “Oh Paduka, taman sudah siap, pergilah ke tempat bermainmu!”
Raja datang ke tempat itu dan melihat sebuah kebun dengan sebuah pagar yang panjangnya delapan belas hasta, diwarnai dengan merah terang, mempunyai gerbang-gerbang dan kolam-kolam, [189] sangat indah dengan beragam jenis pohon penuh dengan bunga dan buah! “Orang bijak itu telah menyelesaikan apa yang kuminta,” katanya kepada Kalaka, “sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Oh Paduka!” jawabnya, “jika dia dapat membuat sebuah taman dalam semalam, tidak dapatkah dia merampas kerajaanmu?” “Baiklah, apa yang harus kita lakukan?” “Kita akan memintanya melakukan sesuatu yang lain yang tidak mungkin.”
“Apa itu?” tanya raja.
“Kita akan memintanya membuat sebuah danau yang memiliki tujuh batu permata!” Raja setuju, lalu meminta kepada Bodhisatta: “Guru, Anda telah membuatkan sebuah taman. Sekarang buatlah sebuah danau untuk memadaninya, dengan tujuh batu permata. Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda tidak layak hidup!” “Baiklah, Paduka,” jawab Bodhisatta, “saya akan membuatnya jika saya sanggup.”
Kemudian Sakka membuatkan sebuah danau besar yang sangat indah, mempunyai seratus tempat pendaratan, seribu teluk kecil, ditutupi semuanya oleh bunga teratai dengan lima warna yang berbeda, seperti danau di Nandana.
Hari berikutnya, Bodhisatta melihat ini juga, dan berkata kepada raja: “Lihat, danau telah dibuat!” Dan raja melihat, menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan. “Mintalah kepadanya, Paduka, buatkan sebuah rumah untuk memadaninya,” katanya.
“Buatkanlah sebuah rumah, Guru,” kata raja kepada Bodhisatta, “semua terbuat dari gading, untuk memadani kebun dan danau: jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda harus mati!”
Sakka membuatkan sebuah rumah yang demikian juga. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia menanyakan Kalaka kembali mengenai apa yang harus dilakukan. Kalaka berkata kepadanya untuk meminta Bodhisatta membuatkan sebuah permata untuk memadani rumah tersebut. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Guru, buatkanlah sebuah permata untuk memadaninya dengan rumah gading ini; Saya akan berkeliling melihatnya dengan kilauan permata; jika Anda tidak dapat membuatkannya, Anda harus mati!” Kemudian Sakka membuatkan sebuah permata juga untuknya. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. [190] Ketika raja melihatnya, dia kembali menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Paduka!” jawabnya, “saya kira pasti ada makhluk dewata yang melakukan apa saja yang diharapkan oleh Brahmana Dhammaddhaja. Sekarang mintalah kepadanya sesuatu yang bahkan dewa pun tidak sanggup membuatnya. Bahkan seorang dewa pun tidak akan sanggup membuat seseorang dengan empat moralitas 132 ; karena itu mintalah kepadanya untuk membuatkan seorang penjaga dengan empat kualitas ini.” Jadi raja berkata, “Guru, Anda telah membuatkan sebuah kebun, sebuah danau, sebuah istana (rumah untuk raja), dan sebuah permata untuk memberikan sinar. Sekarang buatkanlah seorang penjaga dengan empat moralitas untukku, untuk menjaga kebun; jika Anda tidak dapat melakukannya, Anda harus mati.”
“Baiklah,” jawabnya, “jika itu memungkinkan, saya akan melakukannya.” Dia pulang ke rumah, makan, dan berbaring.
Kemudian dia bangun di pagi hari, duduk di tempat tidurnya, dan berpikir demikian, “Apa yang Raja Sakka dapat buat dengan kekuatannya, telah dibuatnya. Dia tidak dapat membuat seorang penjaga taman dengan empat moralitas. Sudah begini, lebih baik mati kesepian di dalam hutan, daripada mati di tangan orang lain.” Jadi tanpa berkata apa pun kepada siapa pun, dia turun dari tempat tinggalnya dan melewati kota dari gerbang utama, dan masuk ke hutan, dan dia duduk di bawah sebuah pohon dan merenung dengan keyakinan yang baik. Sakka merasakannya; dan dengan wujud seorang penjaga hutan, dia menghampiri Bodhisatta, sambil berkata, “Brahmana, Anda masih muda dan berhati mulia. Mengapa Anda duduk di sini di dalam hutan ini, seperti Anda tidak pernah merasakan sakit sebelumnya?” Sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:—
[191] Terhadap ini Bodhisatta menjawab dengan bait kedua:—Anda kelihatan seakan-akan kehidupanmu bahagia;
tetapi di dalam hutan liar, Anda akan menjadi tunawisma,
seperti orang malang yang hidupnya sengsara
dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian.
Saya kelihatan seakan-akan hidupku bahagia;
tetapi di dalam hutan saya akan menjadi tunawisma,
seperti orang malang yang hidupnya sengsara
dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian,
merenungkan kebenaran yang diketahui oleh para suci.
Kemudian Sakka berkata, “Jika begitu, mengapa, Brahmana, Anda duduk di sini?”
“Raja,” jawabnya, “memerlukan seorang penjaga kebun dengan empat moralitas. Orang seperti itu tidak bisa ditemukan; jadi saya berpikir—‘Mengapa harus binasa di tangan orang? Saya akan pergi ke hutan dan mati kesepian’. Maka ke sinilah saya datang dan di sinilah saya duduk.”
Kemudian yang lain menjawab, “Brahmana, saya adalah Sakka, raja dari para dewa. Oleh saya, kebunmu dibuat dan juga semua yang lainnya. Seorang penjaga kebun yang memiliki empat moralitas tidak dapat dibuat, tetapi di negerimu ada seorang yang bernama Chattapani, yang membuat perhiasan untuk raja dan dia adalah orang itu. Jika seorang penjaga kebun dibutuhkan, pergilah dan jadikanlah pekerja ini sebagai penjaga kebun.” Dengan kata-kata ini, Sakka kembali ke alam dewa, setelah menghiburnya dan memintanya untuk tidak takut.
[192] Bodhisatta pulang ke rumah dan setelah sarapan, dia pergi ke gerbang-gerbang istana dan di sanalah dia melihat Chattapani. Dia memegang tangannya dan bertanya kepadanya—“Benarkah, seperti yang kudengar, Chattapani, apakah Anda diberkahi dengan empat moralitas?”“Siapa yang mengatakan demikian?” tanya yang lain. “Sakka, raja para dewa.”
“Mengapa dia berkata begitu kepadamu?” Dia menceritakan semua dan menjelaskan alasannya. Yang lain berkata, “Ya, saya diberkahi dengan empat moralitas.” Bodhisatta, sambil memegang tangannya, membawanya ke hadapan raja. “Ini, Paduka, adalah Chattapani, yang diberkahi dengan empat moralitas. Jika dibutuhkan seorang penjaga kebun, jadikanlah dia sebagai penjaga kebun itu.”
“Benarkah, seperti yang kudengar,” tanya raja kepada Chattapani, “apakah Anda mempunyai empat moralitas?”
“Benar, Paduka.”
“Apa saja itu?” tanya raja.
“Saya tidak iri dan tidak minum minuman keras, tidak memiliki nafsu yang besar, kemarahan bukan milikku,” katanya demikian.
“Chattapani,” teriak raja, “apakah Anda mengatakan Anda tidak memiliki rasa iri?”
“Ya, Paduka, saya tidak memiliki rasa iri.”
“Apa saja yang Anda tidak iri?”
“Dengarlah, Paduka!” katanya, dan dia menceritakan bagaimana dia tidak merasa iri dalam bait berikut133:–
[193] Kemudian raja berkata, “Chattapani, mengapa Anda berpantang minuman keras?” dan dia menjawab dengan bait berikut134—Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan—
Yang seorang wanita membuat saya melakukannya:
Dia mendidikku dalam pengetahuan suci,
sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
[194] Kemudian raja berkata, “Tetapi apa, Tuan, yang membuat Anda biasa saja, tidak memiliki cinta (nafsu)?” Orang tersebut menjelaskan dengan kata-kata ini135:–Pernah suatu ketika saya mabuk dan
saya memakan daging putraku sendiri di atas piringku:
Kemudian, tersentuh dengan duka dan penderitaan,
bertekad untuk tidak pernah meminumnya lagi.
[195] Kata raja kemudian, “Apakah yang membuatmu tidak memiliki kemarahan?” Dan dia membuat masalah itu lebih jelas dalam kalimat-kalimat ini:Raja Kitavāsa adalah namaku:
Seorang raja yang mulia adalah diriku;
Putraku memecahkan patta Pacceka Buddha
dan karena itu dia harus mati.
Sebagai Araka, selama tujuh tahun
saya mempraktikkan kemurahan hati;
dan kemudian selama tujuh zaman
menetap di alam brahma yang tinggi.
Ketika Chattapani telah menjelaskan empat kebajikannya, raja memberikan pertanda kepada pelayannya.
Dan dalam sekejap seluruh istana, [196] para petapa dan orang awam, semuanya bangkit dan berteriak terhadap Kalaka—“Anda, pemakan suap, pencuri, dan orang rendah! Anda tidak bisa lagi mendapatkan suap, dan Anda hendak membunuh orang bijaksana dengan memfitnahnya!” Mereka menangkap Kalaka pada tangan dan kakinya, kemudian mengusirnya keluar istana; lalu mengambil apa pun yang dapat mereka raih, batu dan kayu, mereka memecahkan kepalanya dan melakukannya sampai dia mati. Sambil menarik kakinya, mereka melemparkannya ke dalam tempat tumpukan kotoran.
Sejak saat itu, raja memerintah dengan benar, sampai dia wafat sesuai dengan hasil dari perbuatannya.
____________________
Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Panglima Kāḷaka (Kalaka), Sāriputta adalah Chattapāṇi (Chattapani), dan Aku sendiri adalah Dhammaddhaja.”
____________________
Catatan kaki :
131 Ini diduga terjadi ketika orang baik berada dalam kesulitan. Beberapa takhayul modern, membangkitkan rasa kasihan dewa kalau makhluk-makhluk kesakitan, dapat dilihat di North Ind. N. dan Q. iii 285. Seperti ini: “ Minyak panas dituangkan ke dalam telinga seekor anjing, dan kesakitannya itu membuatnya menjerit. Itu dipercayai bahwa jeritannya didengar oleh Raja Indra, yang kasihan dan menghentikan hujan.”
132 Caturcaṅga-samannāgataṁ; itu adalah kebetulan yang sangat ganjil yang Pythagoreans menyebutnya dengan orang sempurna τετράγωνος ‘empat persegi’ (lihat di syair Simonides, di Plat. Prot. 339B ).
133 Berikut ini adalah penjelasan untuk kalimat-kalimat ini. Cerita ini adalah dari No.120, yang bait pertama dari bait-bait yang lain menyusul, ditulis. “Ini adalah maksudnya. Pada masa lampau, saya adalah Raja Benares seperti ini, dan demi seorang wanita saya memenjarakan seorang pendeta kerajaan.
Kebebasan dibatasi, ketika yang bodoh berkata:
Ketika yang bijaksana berbicara, ikatan itu dibebaskan.
Seperti yang diceritakan dalam kisah kelahiran tersebut, Chattapani menjadi raja. Permaisuri raja berselingkuh dengan enam puluh empat budak. Dia menggoda Bodhisatta, dan ketika beliau tidak dapat tergoda, dia mencoba menghancurkannya dengan memfitnahnya; kemudian raja menyeretnya ke dalam penjara. Bodhisatta dibawa ke hadapan raja dengan terikat, dan menjelaskan kasus yang sebenarnya. Kemudian dia sendiri dibebaskan; dan kemudian dia meminta raja untuk membebaskan semua budak yang di penjara, dan menasihatinya untuk memaafkan permaisuri dan semua budak. Kelanjutannya diartikan sesuai dengan penjelasan di atas. Atas kutipan ini, dia berkata
Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan—
Yang seorang wanita membuat saya melakukannya:
Dia mendidikku dalam pengetahuan suci,
sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
Tetapi kemudian saya berpikir, saya telah menghindari enam belas ribu wanita, dan saya tidak dapat memuaskan yang satu ini dalam nafsu. Seperti dalam kemarahan, berkata, ‘Mengapa itu kotor?’ ketika sebuah pakaian kotor; seperti dalam kemarahan, berkata, ‘Mengapa bisa menjadi begini?’ ketika setelah makan orang-orang melanjutkan minum. Saya memutuskan selanjutnya tidak akan ada rasa iri yang akan timbul dalam diriku melewati nafsu, kalau-kalau saya gagal menjadi orang suci. Mulai saat itulah saya telah terbebaskan dari rasa iri. Inilah maksud perkataan, ‘Sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.”
134 Para cendikiawan menceritakan kisah berikut untuk menjelaskan bait ini.—“Saya pernah menjadi,” kata pembicara, “seorang Raja Benares; Saya tidak dapat hidup tanpa minuman keras dan daging. Adapun binatang-binatang di kota itu tidak boleh disembelih pada hari Uposatha (uposathadivasesu); jadi juru masak telah mempersiapkan daging-daging untuk makanan Uposatha saya sebelum hari itu (tanggal 13 penanggalan bulan). Ini, dengan susah payah disimpan, anjing memakannya. Juru masak tidak berani datang ke hadapan raja pada hari Uposatha untuk menghidangkan makanan lezat dan beragamnya di ruangan atas tanpa daging, jadi dia meminta nasihat permaisuri, “Permaisuri, hari ini saya tidak mempunyai daging; dan tanpanya, saya tidak berani menawarkan makanan kepadanya, apa yang harus saya lakukan?” Kata permaisuri, “Raja sangat sayang kepada putraku. Ketika dia memanjakannya, dia hampir tidak tahu apakah dia ada atau tidak. [194] Saya akan mendandani putraku, dan memberinya ke tangan raja, dan ketika dia bermain dengannya, Anda hidangkan makan malamnya; dia tidak akan memperhatikannya.” Jadi permaisuri mendandani anak kesayangannya, dan memberikannya ke tangan raja. Ketika raja bermain dengan putranya, juru masak menghidangkan makan malam. Raja, marah karena mabuk, dan melihat tidak ada daging di atas piring, bertanya di mana dagingnya. Jawaban bahwasanya tidak ada daging pada hari itu karena tidak boleh membunuh pada hari Uposatha. “Apakah susah untuk mendapatkan daging untukku?” katanya; dan kemudian raja memijit leher putra kesayangannya ketika putranya itu duduk di tangannya, dan membunuhnya; melemparnya ke hadapan juru masak, dan berkata kepadanya untuk melihat dengan saksama dan memasaknya. Juru masak mematuhi, dan raja memakan daging putranya sendiri. Untuk ketakutan terhadap raja, tidak ada seorang pun yang berani menangis atau meratap atau mengatakan satu patah kata pun. Raja makan dan pergi tidur. Pagi harinya, setelah tidur karena mabuknya, dia menanyakan putranya. Kemudian permaisuri jatuh dan menangis di kakinya, dan berkata, “Oh, Paduka, semalam Anda telah membunuh putramu dan memakan dagingnya!” Raja menangis dan meratap kesedihan, dan berpikir, “Ini karena meminum minuman keras!” Kemudian, setelah melihat keburukan minuman keras, saya memutuskan bahwa kalau-kalau saya pernah menjadi orang suci, saya tidak akan pernah menyentuh arak yang mematikan ini; mengambil abu, dan menggosoknya ke mulutku. Sejak saat itu saya tidak meminum minuman keras lagi. Ini adalah maksud dari kalimat, “Pernah suatu ketika saya mabuk.”
135 Para cendikiawan menceritakan kisah ini: “Artinya adalah, Dahulu kala, saya adalah raja bernama Kitavāsa (Kitavasa), dan memiliki seorang putra. Peramal mengatakan bahwa anak laki-laki ini akan mati karena kekurangan air. Jadi dia diberi nama Duṭṭhakumāra (Dutthakumara). Ketika tumbuh dewasa, dia menjadi wakil raja. Raja menjaga putranya dekat sampingnya, di depan atau di belakang; dan untuk mementahkan ramalan itu, dibuatlah tangki di keempat gerbang kota dan di mana-mana di dalam kota; dia membuat ruangan di alun-alun dan persimpangan jalan, dan menaruh kendi berisi air di dalamnya. Suatu hari pemuda tersebut, berpakaian bagus, pergi ke taman sendirian. Dalam perjalanannya, dia melihat Pacceka Buddha di jalan, dan banyak orang berbicara kepada-Nya, memuji-Nya, memberi hormat kepada-Nya. [195] ‘Apa!’ pikir pangeran, ‘ketika orang seperti saya lewat, semua orang memberikan hormatnya kepada petapa di sana?’ Karena marah, dia turun dari gajah dan bertanya kepada-Nya apakah Beliau telah menerima makanan-Nya. ‘Ya,’ balas-Nya. Pangeran mengambil dari-Nya, melemparkannya ke tanah, nasi dan mangkuk-Nya, dan melumatkannya di bawah kakinya. “Orang ini benar-benar tersesat!’ kata Pacceka Buddha, dan melihat wajahnya. ‘Saya adalah Pangeran Duttha, putra Raja Kitavasa!’ kata pangeran— ‘apa yang dapat Anda lakukan kepadaku, melihat dengan penuh kemarahan kepadaku dan menatapku?’ Pacceka Buddha, yang telah kehilangan makanannya, terbang ke udara dan pergi ke sebuah gua di kaki pegunungan Nanda, di Himalaya bagian utara. Dan saat itu juga perbuatan jahat pangeran mulai menuai hasilnya, dan dia berteriak—“Saya terbakar! Saya terbakar!’ Tubuhnya terbakar dalam kobaran api, dan dia jatuh ke jalan tempat dia berdiri; semua air di sekitarnya mengering, saluran mengering, di sanalah dia binasa, dan masuk ke neraka. Raja mendengarnya, dan tidak dapat menahan kesedihan. Kemudian dia berpikir— ‘Kesedihan ini menimpaku karena saya sangat sayang terhadap putraku. Jika saya tidak memiliki kesayangan, maka saya tidak akan merasa sakit. Sejak saat itulah saya memutuskan bahwa saya tidak akan menyayangi apapun, yang bernyawa atau tidak bernyawa.”