Kitab Suci Udana

KITAB SUCI UDANA

(Sumber: Kitab Suci Udana, Khotbah-Khotbah Inspirasi Buddha,
Alih Bahasa Pali ke Bahasa Inggris : John D. Ireland,
Alih Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia : Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati,
Diterbitkan Oleh : Vidyasena (Dibawah Yayasan Mendut Indonesia)
Vihara Vidyaloka Jl. Kenari Gg. Tanjung I No 231 Yogyakarta, 1995)

PENGANTAR

Udana, atau “kotbah-kotbah Inspirasi Buddha”, merupakan salah satu kitab yang terdapat dalam Kitab Suci Sutta Pitaka (Bahasa Pali). Udana adalah kitab ketiga dari Kitab-kitab Kelompok Minor (Khuddaka Nikaya); diantara Kitab Suci Dhammapada dan Itivuttaka. Kelompok Minor (atau lebih sedikit) ini, walaupun sebenarnya memuat sangat banyak teks, tetapi diberi nama itu karena kelompok ini merupakan kumpulan berbagai macam teks yang sebagian besar tidak tercakup dalam apa yang kita anggap sebagai empat koleksi utama (nikaya) lain.

Kitab Suci Udana memuat 80 kotbah, kebanyakan kotbah-kotbah pendek, terbagi menjadi 8 bagian atau bab (vagga). Judul “Udana” mengacu ke pertanyaan (opini), yang biasanya terbentuk syair, yang diungkapkan pada akhir masing-masing percakapan dan didahului oleh kata-kata : “Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini” (Athakho Bhagava etam attham viditva tayam velayam imam udanam udanesi). Jadi Udana berarti kotbah inspirasi atau hikmah yang secara spontan timbul; secara harafiah berarti “dihembuskan ke depan” (udanesi), melalui pengertian atau kesadaran (viditva) terhadap pentingnya (etam attham) situasi atau peristiwa yang menyebabkan hal itu (tayam velayam). Di sini Sang Buddhalah yang mengucapkan kotbah-kotbah inspirasi tersebut walaupun orang lain kadang-kadang juga turut menyampaikan inspirasinya yang mendalam (misalnya : dalam 2.10 dan 3.7). Kotbah-kotbah demikian ini juga terdapat di kitab-kitab lain misalnya : M.i,508; ii,104-5,209; S.i,20,27-28, dsb).

Udana pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh D.M. Strong (1902). Terjemahan kedua kali yang lebih baik dibuat oleh F.L. Woodward bersamaan dengan terjemahan dari Itivuttaka, diterbitkan dalam minor Anthologies of The Pali Canon, Vol. II (Sacred Books of the Buddhist, London : PTS, 1935).

Terjemahan yang sekarang ini dibuat karena adanya ketidakpuasan tertentu yang dirasakan mengenai karya dan gaya dari terjemahan Woodward, yang dewasa ini perlu diperbaiki. Penterjemahan sekarang sudah mempunyai keuntungan, yaitu dapat memanfaatkan terjemahan teks Pali yang jauh lebih maju, yang diterbitkan di tahun-tahun akhir ini, terutama teks-teks dari almarhum Nona I.B. Horner dan Y.M. Bhikkhu Nanamoli. Mereka ini dan juga sarjana-sarjana lain telah maju pesat membantu kita memahami Bahasa Pali dan terminologi Buddhis umum.

Lebih jauh lagi, penterjemah dapat memanfaatkan beberapa edisi cetak teks itu. Edisi PTS “Udana” yang dibuat oleh Paul Steinthal tahun 1989 dan digunakan oleh Woodward, mengandung begitu banyak kesalahan sehingga hampir tidak satu halaman pun yang tanpa salah. Maka selama persiapan terjemahan ini, selain teks Steinthal, lebih banyak digunakan edisi Sinhalese Buddha Jayanti dan teks Nalanda Devanagari. Steinthal maupun Woodward tidak memberi judul pada percakapan-percakapan itu. Saya memakai judul-judul dan penomoran ini dari edisi Sinhalese supaya acuannya lebih mudah. Beberapa karya lain juga digunakan, terutama Kitab Komentar (Paramatthadipani) yang disusun oleh Acariya Dhammapala pada abad ke-6, yang sangat berguna jika ada kesulitan dan juga untuk membantu dalam menyiapkan banyak catatan kaki. Terjemahan Y.M. Bhikkhu Nanamoli mengenai Nettipakarana, yang berjudul The Guide, juga sangat berharga. Buku Netti mengutip hampir sepertiga Udana dan terjemahan Y.M. Bhikkhu Nanamoli merupakan bantuan yang besar dalam memahami beberapa bagian yang tidak jelas (lihat 3.10)

Ada beberapa pernyataan yang harus dibuat sehubungan dengan sejumlah istilah yang digunakan dalam kotbah-kotbah nanti. “Buddha” kebanyakan diterjemahkan sebagai “Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna” tetapi kadang-kadang dibiarkan tidak diterjemahkan. Sang Buddha biasanya diacu sebagi “Yang Mulia” (Bhagava) dan dipanggil sebagai “Yang Terhormat Guru” (Bhante). Tetapi bagi mereka yang belum yakin kepada Sang Buddha sering menggunakan ungkapan “Gotama Yang Baik” (Bho Gotama) atau “Putra Sakya” atau “Pertapa Gotama” (Samana Gotama). Kata “Tathagata” sangat tidak jelas artinya. Kata ini secara singkat diterangkan sebagi “Dia yang dengan demikian (Tatha) sudah datang (agata) atau pergi (gata)” menuju Penerangan Sempurna, atau “Dia yang sudah tiba di (agata) Kebenaran (Tatha)”, seperti yang sudah dipergunakan oleh Buddha-Buddha yang lampau. Istilah ini paling sering digunakan oleh Sang Buddha sendiri ketika secara tak langsung menunjuk diriNya sendiri, tetapi di sini dalam teks kita, istilah ini beberapa kali dipergunakan oleh Yang Ariya Ananda. Untuk kegunaan lain lihat 6.4 dan catatan. Sang Buddha juga sering disebut sebagi Sugata (secara harafiah berarti : “Yang Telah Pergi Dengan Sempurna”).

Brahmana adalah nama untuk anggota kasta pandita di masyarakat India. Dalam hal lain (terutama dalam konteks Buddhis) istilah Brahmana dipergunakan untuk menyebutkan seseorang yang sudah mencapai Penerangan, seorang Arahat, seorang yang sudah sempurna, orang yang sudah mencapai tujuannya. Sang Buddha kadang-kadang diacu sebagi seorang Brahmana.

Bhikkhu adalah seorang anggota Sangha Buddhis yang sudah ditahbiskan (dalam aturan kebhikkhuan); kata itu mungkin diterjemahkan sebagi “rahib”. Bhikkhuni/wanita yang sudah ditahbiskan, seorang “rahib wanita”) jarang disebutkan.

Sekelompok kata yang dibiarkan tidak diterjemahkan adalah kata-kata yang berhubungan dengan mahluk bukan manusia : dewata (kadang-kadang dewa), naga, yakkha (lihat catatan sampai 6.1), asura, gandhabha, dsbnya, yang tidak ada persamaannya yang tepat dalam bahasa Inggris. Dewata mungkin dapat diterjemahkan sebagi “dewa”, tapi bukan dewa-dewa yang kekal abadi; mereka lebih merupakan mahluk yang lahir dan meninggal seperti mahluk lain dan walaupun mereka mungkin hidup jauh lebih lama usianya dan mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada manusia, mereka masih merupakan “bagian dari alam kehidupan ini”. Sakka merupakan pemimpin para dewa yang hidup di alam kemegahan dengan istrinya Suja (lihat 3.7) di alam dewa Tavatimsa, “Surga Tiga Puluh Tiga Dewa”. Asura tinggal di lautan (lihat 5.5) dan dikatakan selalu berperang dengan para dewa. Gandhabha adalah dewa-dewi musisi surga.

Seperti biasanya, nama orang dan tempat sering dibiarkan tidak diterjemahkan, atau sebagian saja yang diterjemahkan. Sebagian besar percakapan terjadi di Savatthi, baik di hutan Jeta maupun di rumah besar Ibu Migara. Hutan Jeta disumbangkan oleh Anathapindika, seorang pedagang kaya dari Savatthi yang membeli tanah itu dari Pangeran Jeta dan membangun vihara tempat Sang Buddha melewatkan sebagian besar masa vassaNya. Rumah Ibu Migara didanakan oleh umat awam wanita Visakha yang sering mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau tinggal di sana. Rumah (istana) itu diberikan kepada Visakha oleh ayah mertuanya, Migara, seorang pedagang kaya lain di Savatthi.

Dhamma merupakan satu kata yang mempunyai arti luas yang tidak cukup diartikan hanya dengan satu sinonim saja, karena kata ini mempunyai arti yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Artinya sebagai Kebenaran, Realita, Keadaan Alami, Hukum, Norma, Cita-cita, Moralitas, Ajaran Sang Buddha, dan Agama pada umumnya; menunjukkan jangkauan terapannya yang luas. Dalam Percakapan Sang Buddha, kata Dhamma paling sering berarti Ajaran Sang Buddha, dan khususnya Doktrin mengenai keadaan yang saling bergantungan (Paticcasamuppada), yaitu teori unik Buddhis mengenai keadaan yang berkondisi. Doktrin ini menyatakan bahwa hal-hal muncul dan berhenti, tidak dari satu sebab; tetapi dari ada atau tidak ada berpengaruh atau berhentinya, beberapa faktor yang mengkondisikan. Doktrin ini secara formal dinyatakan dalam formula yang terdapat dalam tiga kotbah utama Kitab Suci Udana (1.1-3), dan doktrin ini secara tak langsung juga disebutkan lagi di beberapa tempat dan sebenarnya menyusup dan mendasari semua ajaran Sang Buddha.

Ada sejumlah istilah teknis yang sudah diterjemahkan, tetapi membutuhkan keterangan lebih lanjut. Jumlah terbesar muncul dalam rumusan Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan), yang menyajikan satu pembabaran rinci mengenai bagian kedua dan ketiga dari Empat Kesunyataan Mulia, yaitu asal mula dan terhentinya penderitaan (dukkha).

Ketidaktahuan (avijja) adalah tidak mengenal Empat Kesunyataan Mulia yang berhubungan dengan penderitaan, asal mula penderitaan, berhentinya penderitaan dan jalan mulia berunsur delapan yang menuju ke berhentinya penderitaan. Ketidaktahuan adalah tidak adanya pengetahuan mengenai Penerangan Sempurna dan mengenai praktik-praktik untuk merealisirnya. Karena ketidaktahuan inilah, maka muncul “kehendak untuk berbuat” (sankara) : baik dan buruk, bermanfaat dan tidak bermanfaat; perbuatan atau tindakan (kamma) badan jasmani, ucapan atau pemikiran yang membuahkan akibat (vipaka), yang secara harafiah berarti “pematangan”) yang sesuai dengan sifat moral dari tindakan itu. Menurut Sang Buddha dorongan yang disadari atau kehendak (cetana)lah yang merupakan kamma sebenarnya.

Sebagai akibat dari perbuatan lampau yang didasari kehendak, muncullah kesadaran (vinnana), yang dimulai dengan saat kesadaran pertama yang menghubungkan kehidupan lampau dengan sekarang, dan kerena ini muncullah “nama dan rupa” atau batin dan jasmani, yaitu perasaan, ingatan dan unsur-unsur batin lain bersama jasmani yang terdiri dari empat unsur -tanah, air, api dan udara- (padat, cair, panas dan gerak) dan perpaduannya. “Enam Landasan Indria” (salayatana) terdiri dari lima landasan indria dan pikiran yang muncul dan berfungsi dalam hubungannya dengan batin dan jasmani. Kontak (phassa) merupakan bergabungnya kemampuan indria, yaitu bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara dsb, ide-ide yang merupakan obyek dari pikiran; “karena adanya mata dan obyek-obyek yang tampak muncullah kesadaran mata; bergabungnya ketiga hal ini disebut kontak”, dengan demikian juga dengan indria-indria lainnya (S.iv,32). Perasaan (vedana) yang mungkin menyenangkan, menyakitkan atau netral, muncul setelah terjadinya kontak.

Karena adanya perasaan maka muncullah nafsu keinginan (tanha) yang berunsur tiga : nafsu keinginan indria (kama-tanha) atau nafsu keinginan untuk mengalami obyek-obyek indria, nafsu keinginan untuk suatu keadaan yang ada terus menerus (bhava-tanha), dan nafsu keinginan untuk tidak menjadi sesuatu (vibhava-tanha). Faktor berikutnya, kemelekatan (upadana) yaitu mengcengkeram atau terikat pada apa yang diinginkan, dan dengan demikian akibat alaminya adalah kemelekatan. Ada empat macam kemelekatan : pada kesenangan indria, pandangan salah/keliru, ketaatan keagamaan eksternal dan konsep mengenai diri/aku. Dari kemelekatan muncullah dumadi (bhava), yaitu terjadinya atau eksistensi dalam tiga alam kehidupan; alam kesenangan indria, alam bentuk dan alam tanpa bentuk.

Keinginan, kemelekatan dan dumadi merupakan kegiatan kini (kamma) yang menuju pada kelahiran yang akan datang dan pengulangan proses seluruhnya, lingkaran (vatta) kelahiran dan kematian, samsara. Udana menyebutkan “pemutusan lingkaran itu” (7.2) dan titik pemutusan itu adalah perasaan, dengan tidak mengijinkan keinginan untuk muncul sebagi reaksi terhadap perasaan.

Kata penting lain adalah Nibbana, tujuan akhir dari semua hidup keagamaan umat Buddha. Dengan mempelajari konteks kata Nibbana ini muncul (misalnya 8.1-4) dapat diperoleh suatu kebenaran mengenai apa yang disiratkan kata itu. Parinibbana, “Nibbana Akhir”, adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan kemangkatan Sang Buddha dan murid-murid Beliau yang sudah mencapai Penerangan (lihat terutama 8.5, 8.9-10)

Seseorang yang sudah mencapai Penerangan, yaitu Arahat, dikatakan sudah mampu bebas dari kekotoran-kekotoran (asava) nafsu keinginan indria (kama), dumadi (bhava), pandangan salah (ditthi) dan ketidaktahuan (avijja). Keempat kekotoran itu juga disebut empat ikatan (yoga) dan empat banjir (ogha) – lihat istilah “menyeberangi banjir” (7.1, 8.6). Yang mirip dengan kekotoran-kekotoran itu adalah empat anak panah (yang beracun), duri atau kait (salla) dari nafsu keinginan, kebencian, kesombongan, dan pandangan salah. Kekotoran batin yang kasar (kilesa) merupakan istilah lain untuk berbagai macam hal yang mengotori pikiran, seperti belenggu-belenggu (samyojana), rintangan-rintangan (nivarana), kesukaran-kesukaran (ussada), dsb. Semua istilah ini akan ditemukan dalam Udana.

Selain Arahat ada tiga macam murid lain (Ariya savaka), yang maju menuju arah tahap terakhir ini adalah : yang telah memasuki Sang Jalan (stream-enterer) yang dikatakan dilahirkan paling banyak tujuh kali lagi sebelum menuju Nibbana; yang kembali sekali lagi (once-returner) yang akan dilahirkan kembali dalam alam kesenangan indria hanya satu kali lagi; dan yang tak pernah kembali (never-returner) yang mengakhiri samsara setelah dilahirkan kembali di “alam kediaman luhur berbentuk”.

Ini merupakan keterangan ringkas mengenai beberapa istilah yang akan ditemui dalam terjemahan ini. Yang lain akan diterangkan dalam catatan. Bagian-bagian berbentuk prosa yang mendahului “Kotbah-kotbah Inspirasi Buddha”, Udana, dapat dianggap sebagai satu jenis uraian, yang menjelaskan keadaan pendahuluan untuk ajaran-ajaran penting yang ditemukan dalam kotbah itu sendiri. Kotbah itu sendiri, karena begitu ringkas dan padat dan lebih sering dalam syair, menyebabkan cukup banyak kesulitan pada penterjemahan. Sebagai ungkapan-ungkapan ajaran Sang Buddha, kotbah itu memberikan suatu interprestasi yang lebih luas daripada yang dilukiskan dalam keadaan yang melingkupinya. Kadang-kadang kotbah itu tidak persis cocok dengan konteks ucapan-ucapan itu diungkapkan (misalnya 5.2., 5.5.), walaupun dalam kasus-kasus lain (4.5.) cerita dan udana merupakan bagian-bagian yang saling melengkapi. Beberapa udana dapat diinterprestasikan dalam tingkatan yang berbeda, dan beberapa mempunyai arti dan kiasan ganda yang cenderung hilang waktu diterjemahkan.

Mungkinkah Udana dulu telah pernah muncul sebagai koleksi yang terpisah dari penjelasan-penjelasan pendahuluannya, seperti misalnya dalam syair-syair Dhammapada? Syair-syair itu juga dilukiskan sebagai Buddha-udana, tetapi cerita-cerita yang diberikan untuk menjelaskan kapan dan dimana syair-syair itu diucapkan ditemukan dalam uraian tersendiri dan tidak dianggap sebagai kata-kata Sang Buddha. Dalam Bab I Udana, kotbah Udana membentuk suatu kelompok yang disatukan oleh tema kata umum “brahmana”, yang menjadi jelas jika dibaca terpisah dari penjelasan-penjelasan pendahuluannya. Jadi bab ini mungkin bisa juga disebut Brahmana-vagga, seperti halnya bab terakhir dari Dhammapada. Begitu juga dengan Bab II yang mempunyai tema yang seragam tentang sukha: kebahagiaan, kegembiraan. Tetapi dalam bab-bab berikutnya, sering tidak ada tema yang dapat dilihat menghubungkan kotbah-kotbah itu.

Udana merupakan suatu antalogi, berbagai potongan yang diambil dari mana-mana dalam Kitab Suci Berbahasa Pali tanpa suatu sistematika yang jelas kecuali yang disebut di atas. Tetapi awal Bab I ini benar-benar berhubungan dengan asal mula perjuangan Sang Buddha di bawah pohon Bodhi dan bab terakhirnya berisikan bahan dari Mahaparinibbana Suttanta, yang menjelaskan hari-hari terakhir Sang Guru sebelum beliau mangkat. Dan kotbah Udana terakhir (8.10.) merupakan suatu akhir yang cocok untuk keseluruhan karya ini.