No. 536.
KUṆĀLA-JĀTAKA222.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Berikut ini adalah kisahnya dan ketenaran darinya.” Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di dekat Danau Kuṇāla, tentang lima ratus bhikkhu yang dilanda rasa tak puas. Berikut ini adalah urutan kejadiannya.
Kaum Sākiya dan Koliyā (Sakya dan Koliya) memiliki Sungai Rohiṇī yang mengalir di antara Kota Kapilavatthu dan Koliya, dibatasi oleh satu bendungan, yang airnya digunakan oleh mereka untuk mengolah lahan tanaman. Di bulan Jeṭṭhamūla223 ketika tanaman mulai layu dan menunduk, para pekerja dari kedua kota berkumpul bersama. Kemudian penduduk Koliya berkata, “Jika air sungai ini digunakan untuk mengairi kedua tempat, maka airnya tidak akan cukup. Akan tetapi, panen kami akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja: karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” Penduduk Kapilavatthu berkata, “Di saat kalian mengisi lumbung-lumbung dengan hasil panen, kami tidak bisa datang ke depan pintu kalian dengan membawa koin tembaga, permata, emas, dan keranjang serta karung di tangan kami.
Panen kami juga akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja; karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” “Kami tidak akan memberikannya,” jawab mereka. “Begitu juga halnya dengan kami,” jawab penduduk Kapilavatthu. Di saat situasi menjadi makin memanas, salah satu dari mereka bangkit dan memukul yang lainnya, dan orang itu kemudian memukul orang berikutnya, dan demikian terjadi baku hantam di antara mereka, serta ditambah dengan saling mencaci kedua kaum kesatria, mereka menambah kericuhan yang telah ada. Para pekerja dari kaum Koliya berkata, “Enyahlah kalian, orang-orang Kapilavatthu [413], orang-orang yang menyerupai anjing, serigala, dan hewan liar lainnya, yang tinggal bersama dengan saudari-saudari mereka. Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?”
Para pekerja dari kaum Sakya berkata, “Tidak, kalian lah, para penderita kusta, yang pergi bersama dengan anak-anak kalian, orang-orang egois yang jahat, seperti makhluk yang berjalan sejajar dengan tanah (hewan) yang tinggal di pohon bidara ( kola). Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?” Mereka pergi mengadu kepada para pejabat yang berwenang menangani masalah seperti ini, dan para pejabat ini melaporkannya kepada para kesatria dari kaum mereka. Kemudian kaum Sakya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya orang-orang yang tinggal bersama dengan saudari-saudari mereka ini,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang.
Dan kaum Koliya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya mereka yang tinggal di pohon bidara,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang. Akan tetapi, ada beberapa guru lain yang menceritakan kisah ini demikian, “Ketika para pembantu dari kaum Sakiya dan Koliya pergi ke sungai untuk mengambil air, dan duduk sambil berbincang-bincang setelah meletakkan gelung bantal yang mereka bawa di kepala, seorang wanita mengambil gelung bantal milik wanita yang lain karena menganggap itu adalah miliknya sendiri; oleh karenanya, pertengkaran pun terjadi, masing-masing dari kaum mereka menyatakan bahwa itu adalah milik mereka, kemudian berangsur-angsur sampai kepada para penduduk dari kedua kota, para budak, pekerja, pelayan, kepala kampung, pemimpin, pejabat dan wakil raja, mereka semuanya berangkat, siap untuk berperang.
Versi yang pertama lebih banyak ditemukan dalam kitabkitab komentar dan juga lebih dapat diterima daripada versi yang kedua.
Kala itu hari menjelang malam, ketika mereka bersiap untuk berperang. Pada waktu itu, Yang Terberkahi sedang berada di Sāvatthi, dan ketika sedang meninjau keadaan dunia, Beliau melihat kedua kaum ini yang berangkat, siap untuk berperang. Ketika melihat ini, Beliau ingin mengetahui apakah jika Beliau pergi ke sana, maka perseteruan akan reda atau tidak, dan Beliau memutuskan seraya berpikir, “Saya akan pergi ke sana, dan untuk memadamkan perseteruan ini, saya akan menceritakan tiga kisah kelahiran, dan setelahnya, perseteruan akan reda. Kemudian setelah menceritakan dua kisah kelahiran lagi, untuk memberitahukan tentang berkah dari kerukunan, saya akan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta224 kepada mereka. Dan setelah mendengar khotbah-Ku ini, orang-orang dari kedua kota tersebut masing-masing akan memberikan dua ratus lima puluh pemuda kepadaku, dan saya akan menahbis mereka menjadi bhikkhu, dan akan terbentuk suatu kumpulan yang banyak.”
Setelah memutuskan demikian dan merapikan pakaian, Beliau pergi ke Sāvatthi untuk berpindapata. Sekembalinya dari berpindapata dan setelah menyantap makanan, pada sore hari Beliau keluar dari gandhakuṭi dan tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun, Beliau mengambil patta dan jubah-Nya, pergi sendirian ke tempat tersebut, kemudian duduk bersila di udara di antara kedua kubu yang berseteru itu. Melihat adanya suatu kesempatan untuk mengejutkan mereka, untuk membuat kegelapan, Beliau duduk di sana mengeluarkan sinar (biru gelap)225 dari rambut-Nya. Ketika mereka semua meresah, Beliau menunjukkan diri-Nya dan mengeluarkan enam sinar seorang Buddha. Orang-orang Kapilavatthu, yang melihat Yang Terberkahi, berpikir, “Sang Guru, Saudara kami yang mulia, telah datang. Apakah mungkin Beliau telah mengetahui keburukan kami dalam peperangan ini? Karena Sang Guru telah datang, tidaklah mungkin kami melucuti senjata dari pihak lawan,” [414] dan mereka membuang senjata-senjata dari tangan mereka, dan berkata, “Biarlah kaum Koliya membunuh atau menangkap kami.” Orang-orang dari kaum Koliya juga memikirkan dan melakukan hal yang sama. Kemudian Yang Terberkahi turun dan duduk di tempat duduk Buddha yang luar biasa, terletak di tempat yang memukau pada hamparan pasir, dan Beliau mengeluarkan sinar kejayaan tiada tara dari seorang Buddha.
Para kesatria juga memberikan hormat kepada Beliau dan mengambil tempat untuk duduk. Kemudian Sang Guru, meskipun Beliau sudah mengetahui jawabannya dengan amat baik, bertanya, “Mengapa Anda sekalian datang ke sini, para Maharaja?” “Bhante,” jawab mereka, “kami datang ke sini bukanlah untuk melihat sungai ini ataupun untuk bersenangsenang, melainkan untuk berperang.” “Mengenai apakah pertengkarannya ini?” “Mengenai masalah air.” “Berapakah nilai dari air, Maharaja?” “Sangat kecil, Bhante.” “Berapakah nilai dari bumi ini?” “Tak ternilai.” “Berapakah nilai dari kaum kesatria?”
“Mereka juga sama, tak ternilai.” “Jadi mengapa disebabkan oleh air yang sangat kecil nilainya, Anda sekalian hendak saling menghancurkan kaum kesatria yang tak ternilai, Maharaja?
Sesungguhnya, tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari perseteruan; di masa lampau dikarenakan suatu perseteruan di antara dewa pohon dan singa hitam, terbentuklah suatu dendam yang sampai pada kurun waktu sekarang ini,” dan setelah mengatakan ini, Beliau menceritakan kepada mereka tentang kisah Phandana-Jātaka226. Kemudian Beliau berkata, “Seharusnya tidaklah ada para pengikut yang membabi buta seperti ini: Di masa lampau, sekelompok hewan berkaki empat yang panjangnya mencapai tiga yojana, di daerah pegunungan Himalaya, saling mengikuti satu sama lain menuruti perkataan dari seekor kelinci untuk terjun ke samudra yang luas. Oleh karena itu, tidak seharusnyalah kelompok pasukan yang membabi buta ada saat ini,” setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah Daddabha-Jātaka227. Lebih lanjut, Beliau berkata kembali, “Kadang kala si lemah melihat kekurangan dari si kuat, dan kadang kala pula si kuat melihat kekurangan dari si lemah; di masa lampau, pada suatu ketika, seekor burung puyuh dan seekor burung (gagak) membunuh seekor gajah,” dan Beliau menceritakan kisah Laṭukika-Jātaka228. Demikianlah untuk memadamkan perseteruan itu, Beliau menceritakan tiga kisah kelahiran, dan untuk menjelaskan tentang berkah dari kerukunan, Beliau menceritakan dua kisah kelahiran yang lainnya lagi.
“Dalam suatu keadaan, semua orang hidup dalam kerukunan, tak seorang pun dapat menemukan celah untuk menyerang,” dan Beliau menceritakan kisah Rukkhadhamma-Jātaka229. Beliau juga menambahkan, “Terhadap mereka yang hidup dalam kerukunan, tak seorang pun dapat menemukan celah untuk menyerang. Akan tetapi, ketika mereka ini terpecah satu sama lain, di masa lampau, seorang pemburu menyebabkan kehancuran mereka dan pergi sesudahnya. Sesungguhnya, tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari perseteruan,” dan setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah Vaṭṭaka-Jātaka230. Setelah menceritakan lima kisah kelahiran ini, Beliau mengakhirinya dengan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta.
Setelah menjadi orang yang berkeyakinan, para kesatria itu berkata, “Seandainya Guru tidak datang tadi, kami pasti telah saling membunuh dan menimbulkan terjadinya banjir darah.
Berkat Sang Guru-lah, kami masih hidup sekarang. Seandainya Guru menjalankan kehidupan sebagai manusia biasa (awam), maka daerah kekuasaan berupa empat pulau besar (benua) ditambah dengan dua ribu pulau kecil lainnya akan jatuh ke tangan-Nya dan Beliau pasti memiliki lebih dari seribu orang putra, serta dikelilingi oleh kelompok-kelompok kesatria. Akan tetapi, Beliau meninggalkan semua kejayaan ini dan melepaskan keduniawian [415] mencapai pencerahan. Baiklah, sekarang biarlah Beliau juga dikelilingi oleh pengikut berupa kelompok kesatria.” Maka masing-masing kaum kesatria tersebut memberikan kepada-Nya dua ratus lima puluh orang kesatria.
Setelah menahbiskan mereka, Beliau pergi ke Mahavana. Mulai dari keesokan harinya, dengan ditemani oleh mereka, Beliau pergi berpindapata di kedua kota tersebut, kadang kala di Kapilavatthu dan kadang kala di Koliya, dan orang-orang dari kedua kota memberikan kehormatan yang besar kepada-Nya. Di antara mereka-mereka ini yang ditahbiskan bukan karena keinginan mereka tidak menunjukkan hormat kepada Sang Guru dan muncul rasa tidak puas dalam diri mereka. Dan para istri menambah rasa tidak puas suami mereka dengan mengirimkan pesan-pesan anu. Dengan memindai permasalahan ini, Yang Terberkahi mengetahui betapa tidak puasnya diri mereka itu dan berpikir, “Bhikkhu-bhikkhu ini, meskipun tinggal bersama dengan seorang Buddha seperti diriku ini, masih merasa tidak puas.
Saya ingin tahu khotbah apakah yang cocok untuk mereka ini,” Beliau kemudian memikirkan tentang uraian Dhamma mengenai Kuṇāla. Kemudian gagasan ini muncul dalam dirinya, “Akan kubawa bhikkhu-bhikkhu ini ke daerah pegunungan Himalaya dan setelah memaparkan keburukan para wanita (istri) dengan uraian mengenai Kuṇāla dan menghilangkan rasa tidak puas mereka, akan kubuat mereka kukuh berada dalam Jalan Sotapanna.” Maka pada pagi harinya, sambil membawa serta patta dan jubah, Beliau pergi berpindapata ke Kapilavatthu.
Setelah kembali dan menyantap makanan serta melakukan apa yang seharusnya dilakukan, Beliau memanggil lima ratus bhikkhu ini dan bertanya, “Apakah daerah pegunungan Himalaya yang demikian menyenangkan pernah terlihat oleh kalian sebelumnya?” Mereka menjawab, “Belum, Bhante.” “Maukah kalian melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya?”
“Bhante, kami tidak memiliki kekuatan gaib; bagaimana bisa kami pergi ke sana?” “Andai kata ada seseorang yang membawa kalian pergi bersamanya, maukah kalian ikut serta?” “Ya, Bhante.” Dengan kekuatan gaib, Sang Guru membawa mereka terbang bersama-Nya di angkasa dan tiba di daerah pegunungan Himalaya, dan dengan berdiri di angkasa, Beliau menunjukkan kepada mereka hamparan luas pegunungan Himalaya berupa beragam jenis gunung, Gunung Emas, Gunung Perak, Gunung Vermiliun, Gunung Hitam, Gunung Dataran Tinggi, Gunung Kristal231; lima sungai yang besar; tujuh danau, Kaṇṇamuṇḍa, Rathakāra, Sīhapapāta, Chaddanta, Tiyaggaḷa, Anotatta, Kuṇāla.
Himalaya adalah suatu daerah pegunungan yang amat luas, lima ratus yojana panjangnya dan tiga ribu yojana lebarnya. Bagian yang menyenangkan darinya ini ditunjukkan oleh Beliau dengan kekuatan gaib-Nya, berikut dengan taman yang ada di sana, kelompok-kelompok hewan berkaki empat, singa, harimau, gajah dan sebagainya—berbagai tempat hiburan lainnya, pohon-pohon yang berbunga dan berbuah, kelompok berbagai jenis burung, tanaman air dan darat,—di sebelah timur Himalaya terdapat dataran emas, dan di sebelah barat adalah Dataran Vermiliun.
Pertama kalinya melihat daerah-daerah yang amat menyenangkan ini, para bhikkhu tersebut tidak lagi memiliki nafsu keinginan (untuk kembali) kepada mantan istri-istri mereka.
Kemudian Sang Guru bersama dengan para bhikkhu ini [416] turun dari angkasa di sebelah barat Himalaya pada satu dataran bebatuan yang panjangnya tujuh puluh yojana, di dataran merah yang panjangnya tiga yojana, di bawah pohon sala yang menutupi area seluas enam puluh yojana dan berusia satu kalpa.
Sang Guru, yang dikelilingi oleh para bhikkhu ini, mengeluarkan enam sinar (warna), seperti menembus masuk ke kedalaman samudra dan bersinar seperti matahari, kemudian duduk dan berkata demikian kepada para bhikkhu ini dengan nada suara yang manis: “Para Bhikkhu, tanyakanlah padaku mengenai ketakjuban yang belum pernah kalian lihat sebelumnya di Himalaya ini.” Kala itu dua ekor burung tekukur yang berwarna cerah menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya, dan di bagian tengah terdapat raja mereka, kemudian delapan ekor burung tekukur lainnya berada di bagian depan dan delapan ekor di bagian belakang, delapan ekor di sebelah kanan dan delapan ekor di sebelah kiri, delapan ekor lagi di bagian atas dan delapan ekor di bagian bawah, dalam keadaan demikian melindungi raja mereka itu, terbang di angkasa. Melihat kawanan burung ini, para bhikkhu tersebut bertanya kepada Sang Guru, “Apakah arti dari burung-burung ini?”
“Para Bhikkhu,” Beliau menjawab, “ini adalah tradisi lama dari keluarga kami, sebuah tradisi yang dibuat olehku; di masa lampau, dalam keadaan demikianlah mereka mengawal diriku. Saat seperti ini di masa lampau terdapat kawanan burung yang berjumlah besar, sebanyak tiga ribu lima ratus ekor burung betina yang mengelilingi diriku. Karena berangsur-angsur berkurang, jumlah kawanan burung ini menjadi seperti yang dapat kalian lihat sekarang ini.” “Di hutan jenis apakah mereka menjadi pengikutmu, Bhante?” Kemudian Sang Guru berkata, “Baik, simaklah ini, Para Bhikkhu,” dan sembari mengingat kembali, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau dan demikian ini mengajar mereka.
Demikianlah kisahnya dan yang kudengar: suatu daerah yang dari tanahnya menghidupi berbagai jenis tanaman, berbagai jenis bunga; didatangi oleh gajah, banteng, kerbau, sapi ( yak), antelop berbintik, badak, rusa, singa, harimau, macan kumbang, beruang, serigala, hiena, berang-berang232, antelop kadalī, kucing yang bertelinga panjang seperti telinga kelinci; dihuni oleh kawanan-kawanan berbagai jenis gajah; kerap dikunjungi oleh berbagai jenis rusa; dan dihuni pula oleh para yaksa berwajah kuda, dan makhluk sejenisnya; terhampar luas dengan belukar pepohonan yang puncak-puncaknya berbunga, berbatang kuat dan berdiri kokoh, tak ada yang kuncup233, yang menggemakan suara kicauan ratusan burung yang semuanya bersukacita, burung elang laut, burung belibis, burung hering berparuh gajah, burung merak, burung kuau, dan beragam burung tekukur India234; ditutupi dan dihiasi oleh ratusan zat mineral, collyrium, arsenik, orpiment, vermiliun, emas dan perak—di hutan yang demikian inilah hidup burung Kuṇāla (Kunala) [417]: ia begitu elok dan memiliki bulu-bulu yang berwarna terang. Burung Kunala ini memiliki tiga ribu lima ratus burung betina yang melayaninya. Kemudian dua ekor burung menggigit ujung sebatang kayu, mendudukkan Kunala di bagian tengah, terbang di angkasa, karena takut rasa lelah dalam perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya dan terjatuh maka lima ratus ekor burung terbang di bagian bawah, dengan pemikiran, “Seandainya Kunala terjatuh dari tenggerannya, kami dapat menahannya dengan sayap kami.”
Lima ratus ekor burung lainnya terbang di bagian atas, karena takut panas dapat membuat Kunala gosong. Lima ratus ekor burung masing-masing terbang di kedua sisinya untuk menghalangi dingin atau panas, sampah atau debu, angin atau embun, agar tidak mengenai dirinya. Lima ratus ekor burung terbang di bagian depan, kalau-kalau ada penggembala sapi, penggembala kambing, pemotong rumput, atau pengumpul kayu atau pekerja di hutan, memukul Kunala dengan kayu atau pecahan kayu, dengan kepalan tangan atau gumpalan tanah, dengan tongkat atau pedang atau batu, atau kalau-kalau Kunala akan bertabrakan dengan ranting-ranting pohon atau pepohonan, atau dengan tiang atau batu (karang), atau dengan burung lain yang kuat. Lima ratus ekor burung terbang di bagian belakang, melayaninya dengan kata-kata lembut, baik, memikat nan manis dengan suara merdu, kalau-kalau Kunala bosan duduk di tempat tenggernya. Lima ratus ekor burung terbang ke sana dan ke sini, membawa beragam jenis buah dari pohon-pohon yang berbeda, kalau-kalau ia merasa lapar. Kemudian burung-burung tersebut mengiringi Kunala dari satu taman ke taman yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain, dari satu sungai ke sungai yang lain, dari satu puncak gunung ke puncak gunung yang lain, dari satu hutan mangga ke hutan mangga yang lain, dari satu hutan jambu ke hutan jambu yang lain, dari satu hutan sukun ke hutan sukun yang lain, dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain.
Tetapi Kunala yang setiap hari diiringi oleh burung-burung ini mencela mereka demikian: [418] “Enyahlah kalian, makhlukmakhluk rendah, binasalah kalian, makhluk-makhluk penipu, pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu berubah-ubah, yang tidak tahu berterima kasih, pergi seperti angin yang terbang ke tempat mana pun.”
[419] Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, bahkan sewaktu terlahir sebagai hewan, saya mengetahui dengan sangat baik mengenai rasa tak tahu berterima kasih, tipu muslihat, kekejaman dan keburukan dari wanita, dan pada waktu itu saya dapat berada jauh dari pengaruh mereka dan mengendalikan mereka,” dan ketika dengan perkataan ini dapat menghilangkan rasa tidak puas (dalam batin) bhikkhu-bhikkhu tersebut, Sang Guru pun diam sejenak. Kala itu, dua ekor burung tekukur hitam datang ke tempat tersebut, membawa pemimpin mereka di tengah sebatang kayu, tempat terdapat empat ekor burung lainnya di masing-masing sisinya.Ketika melihat mereka ini, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru mengenai mereka, dan Beliau berkata, “Di masa lampau, Para Bhikkhu, saya memiliki teman, seekor burung tekukur, yang bernama Puṇṇamukha (Punnamukha), dan demikian tradisi dari keluarganya,” dan untuk menjawab pertanyaan para bhikkhu itu, sama seperti sebelumnya, Beliau berkata:
Di sebelah timur dari pegunungan Himalaya, rajanya para gunung, terdapat aliran-aliran air jernih yang bersumber di lereng-lereng gunung landai nan lembut; di suatu tempat yang berbau harum, memukau, cerah, indah dengan bunga-bunga teratai yang bermekaran, teratai biru, teratai putih, teratai berdaun seratus, bunga lili putih, dan pohon surgawi, [420] di suatu daerah yang ditumbuhi dan dihiasi oleh berbagai jenis pohon235, tanaman dan belukar yang bermekaran, diramaikan oleh suara-suara dari burung angsa, itik, angsa, dijadikan tempat tinggal oleh kelompok-kelompok petapa yang memiliki kekuatan gaib, dihuni oleh para makhluk dewata, yaksa, raksasa, asura, gandhabba, kinnara, dan ular naga—demikian indahnyalah hutan tempat burung tekukur Puṇṇamukha (Punnamukha) itu bertempat tinggal. Ia memiliki suara yang amat merdu, matanya seperti mata seseorang yang selalu dirundung oleh kegembiraan, terdapat tiga ribu lima ratus burung betina yang mengikutinya, dua ekor burung menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya, memberikan tempat duduk kepada rajanya di bagian tengah, mendudukkan Punnamukha di bagian tengah, terbang di angkasa, karena takut rasa lelah dalam perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya…dan seterusnya. [421] Punnamukha, yang dikawal oleh burung-burung ini setiap harinya, memuji mereka dengan berkata, “Bagus sekali, Saudarisaudariku, perbuatan kalian ini menjadikan kalian berstatus tinggi, dengan pelayanan yang diberikan kepada raja kalian.”
Kemudian Punnamukha terbang mendekati tempat Kunala berada, dan ketika burung-burung yang melayani Kunala melihatnya, mereka terbang menghampiri Punnamukha ketika masih berada di satu kejauhan dan demikian menyapanya, “Teman Punnamukha, Kunala ini adalah burung yang galak dan kasar. Mungkin dengan bantuanmu, kami nantinya bisa mendapatkan perkataan yang baik darinya.” “Semoga saja demikian, Saudari-saudari,” jawabnya. Setelah berkata demikian, ia menghampiri Kunala, dan sesudah beruluk salam, dengan penuh hormat ia duduk di satu sisi dan menyapa Kunala demikian: “Mengapa Anda, Teman Kunala, bersikap demikian kasar terhadap burung-burung betina yang berstatus tinggi ini, di saat mereka demikian baiknya bertingkah laku kepadamu.
Teman Kunala, selayaknya kita bahkan harus berbicara dengan baik kepada wanita yang berkata kasar, apalagi kepada mereka yang baik.” Setelah ia berkata demikian, Kunala demikian mengecamnya, “Enyahlah, makhluk rendah, binasalah, siapa saja yang menyerupai dirimu, yang mengikuti perkataan dari wanita.” Karena dicela demikian, Punnamukha pun kembali [422]. Tak lama kemudian, penyakit yang parah menyerang Punnamukha, penderitaan yang luar biasa menderanya, membuat dirinya dekat dengan maut. Kemudian pemikiran ini muncul di dalam diri burung-burung yang melayani dirinya: “Burung ini sedang sakit parah; Mungkin ia tidak akan sembuh lagi.” Maka dengan meninggalkan dirinya sendirian, mereka terbang menghampiri tempat Kunala berada. Kunala melihat mereka dari kejauhan, dan menegur mereka demikian, “Di manakah, makhluk-makhluk rendah, raja kalian?” “Teman Kunala,” kata mereka, “Punnamukha sedang sakit parah.
Mungkin ia tidak akan sembuh lagi.” Ketika mereka berkata demikian, Kunala mengecam mereka dengan berkata, “Enyahlah kalian, makhluk-makhluk rendah, binasalah kalian, makhlukmakhluk penipu, pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu berubah-ubah, yang tidak tahu berterima kasih, pergi seperti angin yang terbang ke tempat mana pun.” Setelah berkata demikian, ia terbang ke tempat Punnamukha berada dan menyapanya, “Hai, Teman Punnamukha.” “Hai, Teman Kunala,” balasnya. Kemudian Kunala membantu Punnamukha untuk bangkit dengan sayap dan paruhnya, memberikannya berbagai jenis obat untuk diminum, sehingga penyakitnya pun sembuh.
[423] Dan ketika Punnamukha menjadi sehat kembali, burungburung betina tersebut kembali lagi (ke sisinya), dan Kunala tetap memberikan buah-buahan kepada Punnamukha untuk dimakan selama beberapa hari, dan ketika kekuatannya pulih kembali, ia berkata, “Teman, sekarang Anda sudah sembuh; tinggallah bersama dengan para pelayanmu, dan saya akan kembali ke kediamanku.” Kemudian Punnamukha berkata kepadanya, “Mereka ini terbang meninggalkan diriku di saat sakit. Saya tidak memerlukan mereka yang tidak bisa diandalkan ini.” Mendengar ini, Sang Mahasatwa berkata, “Baik, Teman, saya akan memberitahukan kepadamu mengenai keburukan dari wanita,” dan ia membawa Punnamukha ke Lembah Merah di lereng pegunungan Himalaya, duduk di batu arsenik merah di bawah kaki pohon sala, yang panjangnya tujuh yojana. Sedangkan Punnamukha beserta dengan pengikutnya duduk di satu sisi. Di seluruh Himalaya terdengar suara dewa, “Hari ini, Kunala si raja burung, dengan duduk di batu arsenik merah, dengan gaya seperti seorang Buddha, akan memberikan khotbah kebenaran.Dengarkanlah dirinya.” [424] Secara berturut-turut suara ini terdengar sampai kepada para dewa di keenam alam kāmāvacara, yang kemudian berkumpul bersama: berikut juga dengan banyak peri (kinnara) di dalam hutan, ular naga, burung garuda, dan burung hering. Kala itu, Ānanda, raja burung hering, dengan pengikut berupa sepuluh ribu ekor burung hering lainnya, berdiam di puncak Gunung Burung Hering. Dan ketika mendengar kabar tersebut, ia berpikir, “Saya akan mendengarkan khotbah kebenaran itu,” dan kemudian datang beserta dengan para pengikutnya dan duduk di satu sisi. Begitu juga halnya dengan Nārada, petapa yang memiliki lima kemampuan batin luar biasa, yang tinggal di daerah pegunungan Himalaya bersama dengan pengikutnya berupa sepuluh ribu petapa, ketika mendengar suara ini, berpikir, “Temanku, Kunala, dikatakan akan memaparkan tentang keburukan dari wanita; Saya juga harus ikut mendengarkan khotbahnya,” dan dengan ditemani oleh seribu orang petapa, dengan kemampuan batinnya, ia datang ke sana dan duduk di satu sisi. Selalu ada banyak jumlah dari mereka yang berkumpul untuk mendengarkan ajaran dari (para) Buddha. Kemudian Sang Mahasatwa, dengan kemampuannya melihat kembali kelahirankelahiran masa lampau, membuat Punnamukha menjadi saksi, mempertautkan satu keadaan yang terlihat di kehidupan sebelumnya, yang berhubungan dengan keburukan dari wanita.
Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata: Demikian Kunala menyapa Punnamukha, yang baru saja bangkit dari ranjang kematian, “Teman Punnamukha, telah kulihat Kaṇhā, ia yang memiliki dua orang ayah236 dan lima orang suami237, dan yang juga memberikan cintanya kepada orang keenam, yaitu seorang cacat yang tak berkepala238.
Berikut ini terdapat syairnya:
Dikatakan pada satu kisah lampau, Kaṇhā,
seorang wanita menikah dengan lima orang pangeran, masih merasa tidak puas, ia mencari lagi yang lain,
dan dengan seorang pelayan bungkuk, ia mainkan peran seorang pelacur.
“Teman Punnamukha, telah kulihat kasus seorang petapa wanita yang bernama Saccatapāvī, yang tinggal di suatu daerah pekuburan dan berpantang hingga setiap makanan kelima, ia berbuat zina dengan seorang pandai emas. Telah kulihat juga, Teman Punnamukha, kasus dari Kākāti, istri dari Venateyya, yang tinggal di tengah samudra, dan meskipun dalam keadaan demikian berbuat zina dengan Naṭakuvera. Telah kulihat, Teman Punnamukha, Kuraṅgavī [425], yang meskipun jatuh cinta kepada Eḷakamāra, tetapi berzina dengan Chaḷaṅgakumāra dan Dhanantevāsī. Ini juga telah kuketahui, bagaimana ibu Brahmadatta239 yang meninggalkan Raja Kosala, berzina dengan Pañcālacaṇḍa. Wanita-wanita ini dan wanita lainnya melakukan kesalahan buruk, dan seseorang tak seharusnya menaruh kepercayaan kepada wanita atau tak seharusnya menyanjung mereka. Seperti bumi yang adil kepada seluruh dunia, memberikan kekayaan kepada semuanya, memberikan tempat tinggal kepada orang dari segala tipe dan kondisi (baik maupun buruk sama saja), terus bertahan, tak guncang, tak goyah, demikianlah seharusnya kita bersikap terhadap para wanita (yang buruk). Seseorang tak selayaknya memercayai mereka.
Seperti singa yang hidup dari daging segar dan darah, dengan lima cakar240 melahap makanannya;
Dalam penderitaan orang lain mereka mendapatkan kesenangan terbesar—demikianlah para wanita itu.
Wahai semua makhluk, waspadalah terhadap mereka.
Sesungguhnya, Teman Punnamukha, makhluk-makhluk ini tidak lebih dari pelacur, orang berkasta rendah, dan orang yang selalu bepergian, mereka tidak demikian seperti para pembunuh—maksudku para pelacur, orang berkasta rendah dan orang yang selalu bepergian ini. Mereka seperti para perampok dengan rambut kepang, seperti minuman beracun, seperti para saudagar yang melantunkan pujian atas diri mereka sendiri, bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti lidah ular, seperti sebuah lubang yang tersamarkan, tidak pernah puas seperti gua di bawah tanah (neraka), sukar dipuaskan seperti raksasa wanita, seperti Yama yang mengambil segalanya, mereka melahap segalanya seperti kobaran api, menghanyutkan segala yang ada di depannya seperti sungai, seperti angin yang pergi ke mana pun ia berhembus, tak pandang bulu seperti Gunung Neru, yang sepanjang tahun berbuah seperti pohon bisa.” Berikut ini adalah syairnya:
Seperti minuman beracun atau seperti para perampok, bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti lidah ular, seperti saudagar yang membual,
Bahaya seperti lubang yang tersamarkan, tidak pernah puas seperti neraka, tamak seperti raksasa atau seperti Dewa Kematian yang mengambil segalanya.
Melahap segalanya seperti kobaran api, kuat seperti angin atau air, seperti puncak emas Gunung Neru yang tidak membedakan baik dan buruk,
merugikan seperti pohon bisa, mereka menyebabkan kehancuran dalam rumah tangga, penghambur kekayaan dan segala benda yang berharga.
Dahulu kala, dikatakan bahwa Brahmadatta, Raja Kāsi (Kasi) dengan bala tentaranya menyerang Kerajaan Kosala, membunuh rajanya dan membawa ratunya, yang sedang mengandung [426], ke Benares dan menjadikannya sebagai permaisuri. Seiring berjalannya waktu, ratu tersebut pun melahirkan seorang putri, dan karena raja tidak memiliki putra maupun putri dari keturunannya sendiri, ia merasa sangat gembira dan berkata, “Ratu, mintalah satu anugerah dariku.” Ia menerima anugerah itu dan menyimpannya. Waktu itu, mereka memberinya nama Kaṇhā (Kanha). Ketika putrinya ini dewasa, ratu berkata demikian kepadanya, “Putriku, dahulu ayahmu memintaku untuk memohon satu anugerah darinya, yang kemudian kuterima dan kusimpan. Sekarang pilihlah anugerah apa saja yang Anda inginkan.” Dikarenakan nafsunya yang berlebihan dan dengan tak memedulikan lagi rasa malu dan segan untuk berbuat buruknya, ia berkata kepada ibunya, “Tidak ada kekurangan bagi diriku; mintalah ayah menyelenggarakan suatu sayembara untuk memilih seorang suami bagiku.” Sang ibu kemudian mengulangi ini kepada raja. Raja berkata, “Biarlah ia mendapatkan apa yang diinginkannya,” dan raja memerintahkan untuk mengadakan suatu sayembara untuk memilih seorang suami. Di halaman istana, kerumunan laki-laki berkumpul bersama, berdandankan segala kebesaran mereka. Kanha, yang membawa satu keranjang bunga di tangannya, melihat keluar dari jendela atas, tidak menyukai satu dari mereka semua.
Kemudian Ajjuna, Nakula, Bhīmasena (Bhimasena), Yudhiṭṭhila (Yudhittila), Sahadeva, keturunan dari keluarga Pāṇḍu (Pandu), kelima putra dari Raja Pandu ini, setelah mendapatkan pendidikan dalam segala cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dari seorang guru yang terkemuka, yang sedang mengembara untuk menguasai kebudayaan-kebudayaan setempat, tiba di Benares, dan ketika mendengar adanya kegaduhan di kota dan untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka mengenai gerangan apakah kegaduhan itu terjadi, mereka berlima datang dan duduk di satu baris, dengan penampilan layaknya patungpatung emas. Ketika melihat mereka berdiri di depan, Kanha jatuh cinta kepada mereka berlima semua dan melemparkan untaian bunga ke kepala mereka dan berkata, “Ibu, saya pilih kelima laki-laki ini.” Ratu memberitahukan ini kepada raja.
Karena telah berjanji mengabulkan pilihan anugerahnya, raja tidak mengatakan, “Anda tidak boleh melakukan ini,” tetapi hanya merasa amat gusar. Ketika menanyakan asal muasal mereka dan putra siapakah mereka, dan mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak dari Raja Pandu, ia pun memberikan hormat kepada mereka dan menikahkan putrinya kepada mereka. Dan dengan kekuatan nafsunya, Kanha mendapatkan cinta dari kelima pangeran ini dalam istana tujuh tingkatnya. Kala itu, Kanha memiliki seorang pelayan cacat yang bungkuk, dan setelah mendapatkan cinta dari kelima pangeran tersebut dengan kekuatan nafsunya, di saat mereka pergi dari istana, serasa mendapatkan kesempatan dan terbakar oleh nafsu, Kanha berbuat zina dengan pelayan bungkuk itu, dan berkata demikian kepadanya, “Tidak ada orang lain yang mengasihiku seperti dirimu; akan kubunuh pangeran-pangeran ini dan membuat kakimu berlumuran darah yang dikeluarkan dari mulut mereka.” Dan ketika ia bersama dengan pangeran sulung dari kelima bersaudara tersebut, ia akan berkata, “Anda-lah yang paling mengasihiku dibandingkan dengan keempat saudaramu.
Demi dirimu, akan kukorbankan nyawaku sendiri. Setelah ayahku meninggal, takhta kerajaan akan kuberikan kepadamu seorang diri.” Tetapi ketika ia bersama dengan yang lainnya, ia juga akan mengatakan hal yang sama. Mereka merasa amat senang dengan dirinya dan masing-masing berpikir, “Ia menyukai diriku dan oleh karenanya, ia akan memberikan kekuasaan atas kerajaan ini kepadaku.” Suatu hari ketika ia sakit, mereka semua berkumpul di sisinya, satu orang mengelus-elus bagian kepala, dan yang lainnya masing-masing pada bagian kaki dan tangan, sedangkan pelayan bungkuk tersebut duduk di kedua kakinya.
Kepada Ajjuna, pangeran tertua yang mengelus kepalanya, Kanha membuat suatu tanda yang mengisyaratkan, “Tidak ada yang lebih mengasihiku dibandingkan dirimu: seumur hidupku akan kuberikan nyawaku ini untukmu dan sepeninggal ayahku akan kuberikan kerajaan ini kepadamu,” dan demikianlah Kanha mendapatkan hatinya. Kepada yang lainnya juga, Kanha membuat tanda yang mengisyaratkan hal yang sama pula.
Kepada pelayan bungkuknya, ia membuat tanda dengan lidahnya yang mengisyaratkan, “Hanya dirimulah yang mengasihiku. Saya hidup hanya demi dirimu.” Disebabkan oleh apa yang telah dikatakan kepada mereka sebelumnya, maka mereka semua mengerti arti dari tanda itu. Akan tetapi, ketika melihat gerakan tangan, kaki ataupun lidahnya, Pangeran Ajjuna [427] berpikir, “Seperti halnya dengan diriku dan juga diri yang lainnya, dengan tanda ini pastinya ada isyarat yang diberikan dan tidak diragukan lagi pasti ia memiliki hubungan istimewa dengan orang bungkuk ini,” maka dengan membawa saudarasaudaranya beranjak keluar, ia bertanya, “Apakah tadi kalian melihat wanita yang bersuami lima itu membuat tanda dengan kepalanya kepadaku?” “Ya, kami melihatnya.” “Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat itu?” “Kami tidak tahu.” “Arti dari isyarat itu adalah anu: Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat yang diberikan kepada kalian dengan gerakan tangan dan kaki?”
“Ya, kami mengetahuinya.” “Dengan cara yang sama pula, ia memberikan isyarat itu kepadaku. Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat yang diberikan kepada si bungkuk dengan gerakan lidahnya?” “Kami tidak tahu.” Kemudian ia memberitahukan mereka, “Ia telah berbuat zina dengannya.” Dan ketika mereka tidak memercayai dirinya, ia memanggil si bungkuk dan menanyakan kepadanya, dan si bungkuk memberitahukan semuanya kepada dirinya. Ketika mereka mendengar apa yang dikatakan oleh si bungkuk, perasaan cinta mereka kepada Kanha seketika itu juga hilang. “Ah! benar-benar,” kata mereka, “wanita adalah makhluk yang keji dan licik. Tanpa memedulikan laki-laki seperti kita, yang berstatus tinggi dan berlimpahkan kekayaan, ia berbuat zina dengan seorang yang berstatus rendah, menjijikkan, bungkuk seperti ini. Orang bijak manakah yang dapat menemukan kebahagiaan dengan menikahi wanita yang tak tahu malu dan keji seperti ini?” Setelah mencela wanita demikian, kelima pangeran tersebut berpikir, “Kami sudah bosan dengan kehidupan rumah tangga,” dan hidup mengasingkan diri di daerah Himalaya. Setelah melaksanakan meditasi pendahuluan Kasiṇa, setelah meninggal, mereka menuai hasil sesuai dengan perbuatan mereka masing-masing. Pada waktu itu, Kunala adalah Ajjuna, dan atas alasan ini lah dalam memaparkan segala sesuatu yang telah dialaminya sendiri, ia memulai kisah-kisah tersebut dengan kata, “Telah kulihat…” Untuk menghubungkan hal-hal lain yang telah dialaminya di masa lampau, ia juga menggunakan kata-kata yang sama, dan berikut ini adalah penjelasan atas kisah-kisah (kejadian) yang disebutkan di awal.
Dahulu kala, dikatakan seorang petapa wanita putih yang bernama Saccatapāvī (Saccatapavi) tinggal di sebuah gubuk yang berada di suatu daerah pekuburan dekat Benares. Ketika tinggal di sana, dari lima kali makanan ia selalu berpantang makan empat kali, dan ketenarannya tersebar luas di seluruh kota seperti ketenaran dari sang Bulan atau Matahari. Jika bersin atau tersandung, setiap penduduk Benares akan berujar, “Terpujilah Saccatapavi.” Pada hari pertama dari suatu festival, beberapa pandai emas membuat sebuah tenda di satu tempat, tempat orang-orang ramai berkumpul, dengan membawa ikan, daging, minuman keras, wewangian, untaian bunga dan sebagainya, dan memulai pesta minuman. Kemudian seorang pandai besi, yang kecanduan minuman keras, muntah dan berujar, “Terpujilah Saccatapavi.” Ada seorang bijak di antara mereka yang kemudian berkata, “He, orang tolol yang buta, Anda menghormati seorang wanita yang pikirannya selalu berubahubah, Anda adalah orang dungu.” Ia kemudian membalas, “Teman, jangan berkata demikian, jangan melakukan perbuatan salah yang mengarahkanmu ke neraka.” Kemudian laki-laki bijak itu berkata, “Diamlah, dungu. Mari kita bertaruh seribu kepeng, pada hari ketujuh mulai hari ini, dengan duduk di tempat ini akan kubawakan kepadamu Saccatapavi yang mengenakan pakaian mewah dan bercanda ria dengan minuman keras [428] dan diriku sendiri juga akan berbagi minuman dengannya: wanita itu adalah orang yang selalu berubah-ubah.” Ia berkata, “Anda tidak akan mampu melakukannya,” dan ia mengeluarkan seribu kepeng.
Maka ia memberitahukan pandai-pandai emas lainnya, dan keesokan paginya, dengan samaran sebagai seorang petapa, orang bijak tersebut beranjak ke daerah pekuburan itu, dan pada jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal petapa wanita itu, ia berdiri sembari menyembah matahari. Saccatapavi melihatnya ketika hendak berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan berpikir, “Ia pasti adalah seorang petapa yang digdaya.
Diriku tinggal di samping pekuburan, sedangkan dirinya tinggal di tengahnya: hatinya pasti penuh dengan ketenangan murni. Akan kuberikan hormatku kepadanya.” Maka Saccatapavi pun menghampirinya dan memberi hormat kepadanya, dan ia tidak menoleh maupun berbicara kepadanya. Keesokan harinya, ia bersikap sama. Pada hari ketiga, ketika Saccatapavi memberi hormat kepadanya, ia melihat ke bawah dan berkata, “Pergilah.”
Pada hari keempat, ia berbicara lembut kepada Saccatapavi dan berkata, “Apakah Anda tidak bosan harus berkeliling meminta derma makanan?” Saccatapavi berpikir, “Saya telah mendapatkan salam balasan yang baik,” dan pergi dengan hati yang gembira. Pada hari kelima, Saccatapavi mendapatkan salam yang lebih baik lagi, dan setelah duduk sejenak, ia memberi hormat kepadanya dan pergi. Pada hari keenam, Saccatapavi datang menghampiri dan memberi hormat kepadanya di saat ia sedang duduk di sana. Ia berkata, “Saudari, ada gerangan apa dengan suara ribut dari lagu dan musik di Benares hari ini?” Ia menjawab, “Ayya241, tidakkah Anda tahu bahwa ada festival di kota, dan ini adalah suara ribut dari mereka yang sedang bersenang-senang di sana?” Berpura-pura tidak tahu, ia kemudian berkata, “Ya, tak diragukan lagi, inilah suara yang kudengar.” Kemudian ia bertanya, “Saudari, sampai berapa makanan kah Anda selalu berpantang?” “Empat, Ayya,” jawabnya, “dan berapa makanan kah Anda berpantang?” “Tujuh, Saudari,” dalam hal ini ia berbohong, karena sepanjang siang dan malam ia selalu makan. Kemudian ia bertanya lagi, “Sudah berapa tahun kah Anda menjadi seorang petapa?” Dan ketika dijawab olehnya, “Dua belas tahun, dan Anda berapa tahun?” ia menjawab, “Ini adalah tahun keenam.” Kemudian ia bertanya kembali, “Saudari, apakah Anda telah mencapai ketenangan murni?” “Belum, Ayya. Apakah Anda telah mencapainya?”
“Belum juga,” katanya, “Saudari, baik kesenangan indriawi maupun kebahagiaan dari pelepasan keduniawian tidak kita dapatkan. Apakah gunanya pengetahuan bahwa neraka itu panas? Mari kita ikuti saja jalan yang dilalui oleh orang banyak: saya akan kembali menjadi umat awam, dan karena saya memiliki harta warisan ibuku, maka diriku akan baik-baik saja.”
Ketika mendengar perkataannya ini, dikarenakan ketidakkukuhannya, Saccatapavi menjadi jatuh cinta kepadanya dan berkata, “Ayya, saya juga merasakan ketidakpuasan: Jika Anda tidak menolakku, saya juga ingin berumah tangga denganmu.” Maka ia berkata kepadanya, “Saya tidak akan menolakmu: Anda akan menjadi istriku.” Kemudian ia membawanya ke kota dan tinggal bersama dengannya. Sewaktu pergi bersama dengannya ke tempat minum tersebut, ia meneguk minuman keras dan memberikan minuman itu kepada Saccatapavi, kemudian kepada teman-temannya, akibat buruk dari minuman keras; jadi orang yang tadinya bertaruh itu kalah seribu kepeng. Saccatapavi memiliki banyak putra dan putri, hasil pernikahannya dengan si pandai emas. Pada waktu itu, Kunala adalah si pandai emas, dan sewaktu menceritakan kisah ini, ia memulainya dengan perkataan, “Telah kulihat…”
Kisah ketiga diuraikan secara lengkap di Buku Keempat dalam kisah Kākāti-Jātaka242; kala itu Kunala adalah si burung garuda, dan inilah alasannya mengapa dalam memberitahukan apa yang telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri, ia menggunakan perkataan, “Telah kulihat…”
Kisah keempat: Pada suatu ketika, Brahmadatta membunuh Raja Kosala dan merampas kerajaannya. Dengan memboyong istrinya, yang sedang mengandung, ia kembali ke Benares dan menjadikannya sebagai permaisuri meskipun ia mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Ketika waktunya tiba, permaisuri melahirkan seorang putra yang rupawan. Permaisuri berpikir, “Ketika anak ini dewasa, Raja Benares (mungkin) akan berkata [429], ‘Ini adalah putra dari musuhku: apalah hubungan ia denganku?’ dan membunuhnya. Tidak, saya tidak boleh membiarkan putraku mati di tangan seorang musuh.” Maka ia berkata kepada perawat anaknya, “Bungkuslah anak ini dengan kain yang bermutu rendah, kemudian pergi dan letakkan ia di daerah pekuburan.” Perawat itu melakukan apa yang diperintahkan, dan pulang kembali ke rumah setelah selesai mandi.
Setelah kematiannya, Raja Kosala terlahir sebagai dewata pelindung bagi putranya. Dengan kekuatan supranatural yang dimilikinya, ketika seekor kambing betina, kepunyaan seorang penggembala kambing yang sedang menggembalakan kawanan kambingnya di tempat ini, melihat anak tersebut langsung memiliki perasaan cinta kepadanya dan menyusuinya, kemudian pergi. Setelah pergi beberapa jauh, kambing betina tersebut kembali lagi untuk kedua kalinya, untuk ketiga kalinya, dan bahkan untuk keempat kalinya, untuk menyusuinya. Mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh kambing betina tersebut, si penggembala datang ke tempat itu. Di saat melihat anak itu, ia pun langsung memiliki perasaan cinta kepadanya dan membawanya pulang kepada istrinya. Kala itu, sang istri penggembala tidak bisa memiliki anak, dan oleh karenanya tidak memiliki air susu untuk menyusuinya. Maka kambing betinalah yang tetap menyusuinya, dan sejak saat itu dua atau tiga ekor kambing mati setiap harinya. Penggembala berpikir, “Jika anak laki-laki itu tetap kami rawat, maka semua kambing kami akan musnah. Apalah hubungan ia dengan kami?” Kemudian ia meletakkan anak itu dalam sebuah bejana lempung, menutupnya dengan satu bejana yang lain, membedaki seluruh wajahnya dengan tepung kacang tanpa meninggalkan satu celah pun, dan menghanyutkannya di sungai. Anak tersebut dibawa oleh arus sungai dan ditemukan di bagian hilir sungai dekat istana raja oleh seorang tukang tambal, seorang candala, yang berkasta rendah, yang kebetulan berada di sana sedang mencuci muka di sana, bersama istrinya. Dengan sigap, ia menarik bejana tersebut keluar dari air dan meletakkannya di tepian. “Apa yang kita dapatkan di sini?” pikirnya, dan ketika membuka bejana tersebut, ia melihat anak itu. Istrinya, kala itu, juga tidak memiliki anak, dan ia juga memiliki perasaan cinta kepadanya, maka ia membawanya pulang dan merawatnya. Di saat ia berusia tujuh atau delapan tahun, orang tuanya selalu membawa serta dirinya ketika pergi ke istana. Di saat berusia enam belas tahun, anak laki-laki itu sering berkunjung ke istana untuk menambal barangbarang usang. Waktu itu, raja dan permaisuri memiliki seorang anak yang bernama Kuraṅgavī (Kurangavi), putri yang luar biasa cantiknya. Sejak pertama melihat laki-laki itu, putri jatuh cinta kepadanya, dan tanpa memedulikan yang lainnya lagi, ia selalu pergi ke tempat laki-laki itu bekerja. Dari pertemuan yang cukup sering itu, mereka menjadi saling tertarik, dan diam-diam di sekitar ruangan istana mereka melakukan hubungan terlarang.
Suatu ketika, para pelayan istana memberitahukan hal ini kepada raja. Dalam kemarahannya, raja mengumpulkan para menterinya dan berkata, “Perbuatan anu telah dilakukan oleh orang candala ini: pertimbangkanlah apa yang harus dilakukan kepadanya.” Para menterinya menjawab, “Ini adalah pelanggaran berat; setelah mempertimbangkan berbagai jenis hukuman, kami memberinya hukuman mati.” Pada waktu ini, ayah dari anak tersebut (Raja Kosala), yang terlahir kembali sebagai dewata pelindungnya, memasuki tubuh ibu dari anak tersebut, dan dalam keadaan di bawah pengaruh makhluk dewata itu, sang ibu menghampiri raja dan berkata, “Paduka, anak ini bukanlah seorang candala. Ia adalah putraku, hasil pernikahanku dengan Raja Kosala, dahulu saya berbohong dengan mengatakan bahwa ia meninggal. Karena menyadari bahwa ia adalah putra dari musuhmu, kuberikan ia kepada seorang perawat dan memintanya untuk meletakkannya di suatu daerah pekuburan.
Kemudian seorang penggembala kambing merawatnya, tetapi ketika satu per satu kambingnya mati, ia menghanyutkan anak ini ke sungai, dan karena terbawa oleh arus sampai ke hilir, ia ditemukan oleh seorang candala, yaitu tukang tambal barangbarang usang di istana kita, dan diasuh olehnya. Jika Anda tidak memercayaiku, Anda boleh memanggil orang-orang tersebut dan menanyakannya kepada mereka.” Raja memanggil mereka semua, dimulai dari perawat, dan ketika mengetahui kebenarannya sama seperti yang dikatakan oleh sang permaisuri, raja merasa gembira mengetahui bahwa anak tersebut adalah benar seorang keturunan bangsawan, dan setelah memberikan perintah untuk memandikan anak tersebut dan mengenakan padanya pakaian yang amat bagus, raja pun menikahkan putrinya kepadanya. Dikarenakan dirinya yang menyebabkan matinya kambing-kambing tersebut, maka ia diberi nama Eḷakamāra (Elakamara). Kemudian raja memberikan kepadanya kereta dan pasukan, kemudian menyuruhnya pergi dengan berkata, “Pergi dan ambil alih kekuasaan dari kerajaan milik ayahmu.” Maka ia pun berangkat bersama dengan Kurangavi, dan mendapatkan takhta kerajaannya, berkuasa di sana. Kemudian Raja Benares berpikir, “Anak ini tidak begitu terpelajar,” dan untuk mengajari dirinya, raja mengutus Chaḷaṅgakumāra (Chalangakumara) untuk menjadi gurunya.
Setelah menerimanya sebagai gurunya, ia memberikan jabatan Panglima Tertinggi kepadanya. Kemudian lambat laun Kurangavi pun berbuat zina dengannya. Kala itu, sang panglima memiliki seorang pelayan yang bernama Dhanantevāsī, dan ketika ia dikirim untuk mengantarkan pakaian dan hiasan lainnya kepada Kurangavi, ia juga berbuat zina dengannya. Demikian salah dan buruknyalah wanita itu, oleh karenanya saya tidak memuja mereka. Ini diceritakan oleh Sang Mahasatwa karena ia adalah Chaḷaṅgakumāra, dan oleh sebab itu pula, ia menceritakan kembali kisah tersebut dengan perkataan, “Telah kulihat…”
Kisah kelima: Dahulu kala, seorang Raja Kosala merampas Kerajaan Benares dan menjadikan permaisuri Raja Kosala, yang kala itu sedang mengandung, sebagai permaisurinya, dan kemudian kembali ke kerajaannya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, permaisuri pun melahirkan seorang putra. Karena tidak memiliki anak, raja amat menyayangi putra tersebut dan membuatnya mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan. Ketika ia telah dewasa, raja memintanya untuk mengambil alih kerajaan milik ayahnya. Ia pun pergi dan berkuasa di sana. Kemudian di saat merindukan putranya, sang ibu meminta izin dari Raja Kosala untuk bertemu dengannya, dan berangkat ke Benares dengan rombongan besar, kemudian bertempat tinggal di sebuah kota yang terletak di antara kedua kerajaan tersebut. Di tempat ini, tinggallah seorang brahmana muda tampan yang bernama Pañcālacaṇḍa. Ia membawa hadiah untuk permaisuri. Ketika melihatnya, permaisuri menjadi jatuh cinta kepadanya dan kemudian melakukan perbuatan yang salah dengannya. Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, permaisuri pergi ke Benares dan menjumpai putranya. Dalam perjalanannya kembali ke Kosala, permaisuri menginap selama beberapa hari di kota yang sama dan melakukan perzinaan dengan kekasihnya. Sesudah kejadian ini, dengan alasan ini dan itu permaisuri selalu meminta izin dari raja untuk mengunjungi putranya, dan dalam perjalanannya pergi dan kembali, ia selalu menginap selama dua minggu di kota yang sama, melakukan perzinaan dengan kekasihnya tersebut. Demikian bohong dan buruknya lah wanita itu, Teman Punnamukha. Dan dalam menceritakan kembali kisah masa lampau ini, ia memulainya dengan perkataan, “Telah kulihat…”
[432] Berikutnya, dengan beragam gaya untuk memberikan khotbah kebenaran itu, ia berkata, “Teman Punnamukha, terdapat empat hal yang dapat menjadi berbahaya jika keadaan-keadaan tertentu terpenuhi—keempat hal ini tidak boleh ditempatkan dalam rumah tangga orang lain (tetangga)— seekor sapi jantan, seekor sapi perah, sebuah kereta, dan seorang istri. Seorang yang bijak akan membuat rumahnya bersih dari keempat hal ini: [433] Sapi jantan, sapi perah, atau kereta tidak dipinjamkan kepada tetangga, tidak juga memercayakan istri di rumah seorang teman:Kereta akan hancur oleh mereka karena menginginkan keahlian,
Sapi jantan akan mati karena dipaksa bekerja keras terus-menerus.
Sapi perah akan diperah sebelum waktunya,
Istri di rumah seorang saudara (teman) akan melakukan perbuatan salah.
Terdapat enam hal, Teman Punnamukha, yang dalam keadaankeadaan tertentu dapat menjadi berbahaya—sebuah busur tanpa tali, seorang istri yang tinggal di rumah seorang saudara (teman), sebuah kapal tanpa tujuan, sebuah kereta tanpa poros sumbu, seorang teman yang jauh (saat dibutuhkan), seorang rekan yang jahat.
Terdapat delapan alasan, Teman Punnamukha, seorang istri membenci suaminya: karena kemiskinan, penyakit, usia tua, ketagihan minuman memabukkan, kebodohan, kecerobohan, mengurusi segala macam urusan, mengabaikan setiap kewajiban terhadap dirinya—sungguh, atas delapan alasan ini seorang wanita dapat membenci suaminya. Berikut ini adalah syairnya:
Jika miskin atau sakit atau tua, mabuk, atau bodoh, jika ceroboh atau terlalu banyak mengurusi urusan dengan penuh perhatian,
atau mengabaikan kewajiban—seorang istri tidak akan menghormati suami yang demikian.
Terdapat sembilan alasan bagi seorang istri menimbulkan perbuatan yang salah: jika ia sering mengunjungi tempat hiburan, taman, sungai, sering mengunjungi rumah saudara, rumah orang asing, terbiasa memakai hiasan pakaian yang biasanya dikenakan oleh pria, jika ia adalah seorang peminum (minuman memabukkan), menatap kosong, atau berdiri di depan pintunya— atas sembilan alasan ini, kukatakan seorang wanita dapat menimbulkan perbuatan yang salah. Berikut ini adalah syairnya:
Seorang wanita yang mengenakan pakaian pria, yang meminum minuman memabukkan, yang sering bersenang-senang di tempat hiburan, taman, tepi sungai, mengunjungi rumah teman atau orang lain,
Yang berdiri di depan pintunya, menatap dengan pandangan kosong,
terjebak dalam sembilan jalan demikian, ia berada jauh dari jalan kebajikan.
Sungguh, Teman Punnamukha, terdapat empat puluh cara yang digunakan oleh seorang wanita untuk berdamai kembali dengan seorang pria243. Ia meluruskan badannya, ia membungkukkan badannya, ia berlari-lari dan melompat-lompat, ia kelihatan tersipu malu-malu, ia menjentikkan jari-jari tangannya, ia menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lainnya, ia menggaruk tanah dengan sebatang kayu, ia menggendong naik anaknya, ia menggendong turun anaknya, [434] ia bermain dan membuatnya ikut bermain, ia mencium dan membuatnya mencium dirinya, ia makan dan memberinya makan, ia memberi atau meminta sesuatu, apa pun yang dilakukan ditiru olehnya, ia berbicara dengan nada yang tinggi atau nada yang rendah, kadang-kadang ia berbicara dengan tidak jelas, kadang-kadang dengan jelas, ia menarik perhatiannya dengan tarian, nyanyian, dan musik, dengan air mata atau godaan, atau dengan dandanannya, ia tertawa atau menatap tajam, ia menggoyang-goyang pakaiannya atau menukar pakaian yang menutupi bagian bawahnya, memperlihatkan atau menutupi bagian kakinya, memperlihatkan bagian dadanya, ketiak, pusar, ia menutup kedua matanya, ia menaikkan alis matanya, ia menggigit bibirnya, menjulurkan lidahnya, melonggarkan atau mengencangkan pakaiannya, melonggarkan atau mengencangkan penutup kepalanya.
Sungguh, dengan empat puluh cara ini ia berdamai kembali dengan seorang pria.
Sungguh, Teman Punnamukha, seorang wanita yang buruk dikenali dari dua puluh lima cara yang berbeda-beda: ia menyukai ketidakberadaan suaminya di rumah, ia tidak menyukai keberadaan suaminya di rumah, ia mengatakan keburukannya, ia tidak mengatakan kebaikannya, ia bertindak untuk merugikannya, ia tidak bertindak untuk menguntungkannya, ia melakukan apa yang tidak harus dilakukan, ia tidak melakukan apa yang harus dilakukan, ia mengenakan baju tidurnya (dengan lengkap) dan tidur dengan berbaring memalingkan wajahnya ke sisi yang berlawanan, ia membolak-balikkan badannya dari satu sisi ke sisi yang lain, ia membuat suara ribut, ia berdesah panjang, ia merasa menderita, ia berkali-kali pergi untuk buang air, ia bertindak dengan tidak benar, ia memasang telinga ketika mendengar perkataan orang asing dan mendengarkan dengan penuh perhatian, ia menghabiskan kekayaan suaminya, ia lebih akrab dengan orang lain, ia berkeluyuran, ia selalu bepergian, ia melakukan tindakan yang tidak senonoh, ia memiliki pemikiran yang buruk dalam dirinya tanpa memikirkan suaminya. Sungguh, Teman Punnamukha, dalam dua puluh lima cara ini seorang wanita yang buruk dapat dikenali. Berikut ini adalah syairnya:
Ia gembira ketika suaminya tidak ada, ia tidak bersedih ketika suaminya pergi, ia juga tidak gembira ketika melihat suaminya pulang,
Tidak pernah ia mengatakan hal-hal baik untuk memuji suaminya,
Demikian hal-hal yang menandai wanita yang buruk.
Tak patuh, ia bersekongkol untuk merugikan suaminya, ia mengabaikan kesukaan suaminya dan melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan,
Ia tidur di samping suaminya dengan wajah yang dipalingkan, mengenakan baju tidurnya,
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita terlihat jelas.
ia berdesah panjang dan merintih, berpura-pura sakit (menderita), seolah-olah seperti terpanggil oleh panggilan alam acap kali ia bangkit dari ranjangnya (untuk buang air),
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita dapat terlihat jelas.
Ia bertindak tidak benar dengan melakukan apa yang seharusnya dihindari, ia mendengarkan perkataan orang asing, ia berfoya-foya untuk mendapatkan cinta dari yang lainnya,
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita dapat terlihat jelas.
Kekayaan yang dikumpulkan suaminya dengan jerih payah dan kerja keras, sesuatu yang demikian sulitnya ditimbun, dihabiskannya dengan sia-sia, ia cepat menjadi akrab dengan tetangganya (orang lain),
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita dapat terlihat jelas.
Keluyuran, lihatlah bagaimana ia selalu bepergian di jalanan, dan dengan hal-hal yang paling kasar ia memperlakukan suaminya, tidak menghargainya:
Tidak berhenti melakukan tindakan yang tidak senonoh, ia memiliki pemikiran yang buruk,
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita dapat terlihat jelas.
Sering di depan pintu rumahnya, tidak lagi memperhatikan norma kesusilaan, dengan tanpa rasa malu ia mempertontonkan dirinya kepada siapa saja yang melewati rumahnya, dengan pikiran yang galau ia melihat ke seluruh sisi,
Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita dapat terlihat jelas.
Seperti hutan yang terbuat dari kayu, seperti aliran sungai yang berkelok mengikuti arus, demikianlah para wanita akan berbuat kesalahan jika mereka mendapatkan kesempatan.
Ya, jika mendapatkan kesempatan dan, dengan tersembunyi, wanita akan menjadi terbuang dari jalan kebajikan:
Demikian para wanita itu adalah tidak terkendalikan jika waktu dan tempat mengizinkan, dan bahkan dengan seorang pelayan bungkuk akan berbuat zina jika kekasihnya yang lainnya tidak memuaskannya.
Wanita yang melayani kesenangan semua pria tidak lah seharusnya dipercayai oleh siapa pun,
Wanita itu selalu berubah-ubah pendiriannya (labil) dan tidak terkendalikan nafsunya.
Wanita menyebut kesenangan sebagai sesuatu yang pantas (didapatkan), hal mendasar dari yang paling mendasar, menganggap semua laki-laki itu biasa, sama halnya dengan tempat mandi.
[437] Selanjutnya ia berkata:Dahulu kala memerintah di Benares seorang raja yang bernama Kaṇḍari (Kandari), seorang yang sangat tampan, dan setiap hari para dayangnya membawakan seribu kotak wewangian, yang mana digunakan untuk menata istana dengan rapi dan bersih, setelah membuka kotak-kotak tersebut kemudian mereka membuat kayu bakar yang wangi dan memasak makanannya di sana. Kala itu, raja memiliki seorang permaisuri yang bernama Kinnarā (Kinnara), seorang wanita berparas elok, dan pendeta kerajaan yang bernama Pañcālacaṇḍa (Pancalacanda), seorang laki-laki yang berusia sama dengan raja dan cendekia. Kala itu, di tembok dekat istana raja tumbuh sebuah pohon jambu dan cabang-cabang pohonnya tumbuh bergelantungan ke bawah melalui tembok tersebut, dan di bawah pohon ini tinggal seorang cacat yang buruk rupa. Suatu hari, ketika melihat keluar dari jendelanya, Ratu Kinnara melihat orang cacat tersebut dan memiliki perasaan suka terhadap dirinya. [438] Pada malam harinya, setelah menyenangkan raja dengan daya tariknya, segera sesudah raja tertidur, Kinnara bangkit secara perlahan dari ranjang. Dengan meletakkan berbagai jenis makanan lezat dalam sebuah wadah emas dan meletakkannya di bagian pinggul, Kinnara keluar dari jendelanya dan turun dengan menggunakan kain yang dijadikan sebagai tali, kemudian melompat ke cabang pohon jambu dan turun sampai ke bawah. Ia kemudian memberikan makanan tersebut kepada si cacat dan bersenang-senang dengannya, sesudah itu kembali ke dalam istana dengan menggunakan cara yang sama sewaktu ia turun ke bawah. Setelah mandi membersihkan dirinya dengan wewangian, ia pun berbaring di sisi raja. Dengan cara ini, ia terus-menerus berbuat zina dengan si cacat dan raja sama sekali tidak mengetahui tentang hal ini. Suatu hari setelah berkeliling kota dan hendak masuk ke dalam istana, raja melihat orang cacat ini, sebuah penampakan yang patut dikasihani, sedang berbaring di bawah rindangnya pohon jambu, dan berkata kepada pendeta kerajaannya, “Lihatlah manusia berwujud peta ini.” “Ya, Paduka?” “Apakah mungkin, Teman, ada wanita yang tergerak karena nafsunya mendekati sesosok makhluk yang demikian menjijikkan ini?” Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh raja ini, si cacat, yang dipenuhi dengan rasa angkuh, berpikir, “Apa yang dikatakan oleh raja ini? Menurutku, ia pasti sama sekali tidak mengetahui tentang kedatangan ratu ke tempatku.” Dan dengan merangkapkan kedua tangannya di depan dada, ia berkata, “Wahai Tuan, dewa pohon ini, selain dirimu tidak ada lagi orang lain yang mengetahui tentang hal ini.”
Pendeta kerajaan yang memperhatikan gerak-geriknya berpikir, “Pastinya permaisuri raja turun ke tempat ini dengan bantuan dari pohon ini dan melakukan sesuatu yang buruk dengan orang cacat ini.” Maka ia berkata kepada raja, “Paduka, pada malam hari ketika Anda bersentuhan dengan badan ratu, apa yang Anda rasakan?” “Tidak ada yang istimewa,” jawabnya, “tetapi pada penggal tengah malam hari badannya terasa dingin.” “Baiklah, Paduka, apa pun masalahnya yang dihadapi oleh wanita-wanita yang lain, tetapi Ratu Kinnara telah melakukan sesuatu yang buruk dengannya.” “Apa yang Anda katakan ini, Teman? Apakah seorang wanita yang demikian rupawan mau bersenang-senang dengan makhluk menjijikkan ini?” “Kalau begitu, buktikan saja.”
“Baiklah,” jawab raja. Setelah makan malam, raja tidur bersama dengan ratu untuk menguji dirinya. Di saat tiba waktunya untuk tertidur, raja pun berpura-pura tertidur pulas, dan ratu melakukan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan mengikuti langkah kakinya, raja kemudian berdiri di bawah pohon jambu itu.
Si cacat menjadi marah terhadap ratu dan berkata, “Anda telat sekali datangnya hari ini,” kemudian dengan tangannya memukul anting-anting yang ada di (salah satu) telinganya. Maka ratu berkata, “Jangan marah, Tuanku; saya harus menunggu sampai raja tertidur pulas,” dan setelah berkata demikian, ratu pun melakukan kewajiban seperti layaknya seorang istri di dalam tempat tinggal tersebut. Di saat ia memukulnya, anting-anting yang memiliki bentuk kepala seekor singa, terlepas dari telinganya dan jatuh di kaki raja. Kemudian raja berpikir, “Ini akan menjadi benda yang amat berguna bagiku,” dan membawanya pergi. Setelah berbuat zina dengan kekasihnya, ratu kembali ke istana dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan kemudian berbaring di sisi raja. Raja kemudian tidak memperbolehkan ratu pergi dan keesokan harinya memberikan perintah, dengan berkata, “Panggil Ratu Kinnara untuk datang kemari, dengan mengenakan segala perhiasan yang telah kuberikan padanya.” Ratu berkata, “Hiasan permata kepala singa-ku ada di tempat pandai emas,” dan menolak untuk datang. Ketika pesan disampaikan untuk kedua kalinya, ratu datang dengan hanya mengenakan satu hiasan anting-anting.
[439] Raja bertanya, “Di mana anting-antingmu?” “Ada di tempat pandai emas.” Raja memanggil si pandai emas dan berkata, “Mengapa Anda tidak memberikan anting-anting itu kepada ratu?” “Anting-anting itu tidak ada pada saya, Paduka.” Raja menjadi murka dan berkata, “Wanita rendah, wanita buruk, pandai emas ini adalah laki-laki yang sama seperti diriku,” dan setelah berkata demikian, raja melempar anting-anting tersebut di bawah hadapannya dan berkata kepada pendeta kerajaannya, “Teman, perkataanmu benar: bawa ia pergi dan penggal kepalanya.” Maka sang pendeta kerajaan pun membawanya, tetapi mengamankannya di sebuah ruangan tertentu di dalam istana, kemudian datang menjumpai raja kembali dan berkata, “Paduka, janganlah marah dengan Ratu Kinnara: semua wanita itu sama. Jika Anda hendak melihat betapa buruknya wanita itu, akan saya tunjukkan keburukan dan tipu daya mereka. Ayo, mari kita pergi ke desa dalam samaran.” Raja menyetujuinya dan, setelah mengalihkan kerajaan kepada ibunya, berangkat melakukan perjalanan bersama dengan pendeta kerajaannya.Setelah berjalan sejauh satu yojana dan sedang duduk di jalan besar, seorang laki-laki kaya yang sedang menyelenggarakan perayaan pernikahan untuk putranya, mendudukkan sang mempelai wanita di dalam sebuah tandu tertutup dan menemaninya beserta dengan rombongan besar. Melihat ini, pendeta kerajaan berkata, “Jika Anda mau, Anda dapat membuat wanita ini berzina denganmu.” “Apa yang Anda katakan ini, Teman? Dengan rombongan sebesar ini, hal itu tidaklah mungkin terjadi.” “Baiklah kalau begitu, Paduka, lihatlah ini.” Dan setelah berjalan ke depan, ia membuat sebuah layar berbentuk tenda tidak jauh dari jalan besar tersebut dan, setelah menempatkan raja di dalamnya, ia duduk di samping jalan, sembari meratap tangis. Kemudian laki-laki tersebut sewaktu melihat dirinya, bertanya, “Teman, mengapa Anda menangis?” “Istriku,” jawabnya, “sedang mengandung dan saya membawanya dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
Di tengah perjalanan, rasa sakit mendera dirinya dan saat ini ia lagi bermasalah di dalam layar itu, ia tidak memiliki seorang wanita yang mendampinginya dan saya tidak bisa masuk mendampinginya di sana. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi.” “Ia harus memiliki teman, seorang wanita, bersama dengannya di dalam sana: berhentilah menangis, ada banyak wanita di sini, salah satu dari mereka akan pergi menemaninya.” “Baiklah kalau begitu, mintalah wanita ini untuk menemaninya; itu juga akan menjadi suatu petanda yang baik bagi wanita tersebut.” Laki-laki itu berpikir, “Apa yang dikatakannya itu benar: itu akan menjadi hal yang menguntungkan bagi menantuku ini. Ia nantinya akan dilimpahi dengan banyak putra dan putri,” dan ia pun membawanya ke sana. Setelah masuk ke dalam layar itu, ia jatuh cinta kepada raja pada pandangan pertama dan melakukan perzinaan dengannya, dan raja memberikan cincin stempel miliknya kepada wanita itu. Setelah perbuatan (buruk) itu dilakukan dan ia melangkah keluar dari tenda itu, mereka bertanya kepadanya, “Ia melahirkan seorang putra atau putri?” “Seorang putra, berwarna keemasan?”
Kemudian laki-laki itu membawanya pergi melanjutkan perjalanan mereka. Sang pendeta menghampiri raja dan berkata, “Paduka, Anda telah melihat sendiri, bahkan seorang gadis muda bersifat demikian buruk. Berapa banyak lagi wanita lain yang sama seperti dirinya? Paduka, apakah Anda memberikan sesuatu kepadanya?” “Ya, kuberikan padanya cincin stempelku.” “Tidak akan kubiarkan ia memilikinya.” Dan dengan segera, ia menyusul rombongan tersebut. Ketika mereka bertanya, “Ada apa ini?” ia menjawab, “Wanita ini membawa pergi sebuah cincin yang diletakkan oleh istriku di bawah bantalnya: kembalikan cincin itu, Nona.” [440] Sewaktu mengembalikannya, ia menggores tangan brahmana itu, sambil berkata, “Ambillah ini, Perampok.” Demikianlah brahmana tersebut dengan beberapa cara menunjukkan kepada raja bahwa banyak wanita yang melakukan kesalahan akan perbuatan buruk, dan berkata, “Yang ini cukup sampai di sini; sekarang mari kita pergi ke tempat yang lainnya.”
Raja menjelajahi seluruh India, dan mereka berkata, “Semua wanita sama saja. Apalah artinya mereka bagiku? Mari kita kembali.” Maka mereka pun langsung pulang kembali ke Benares. Pendeta kerajaan itu berkata, “Demikianlah adanya, Paduka, para wanita itu; sifat mereka memang buruk. Ampunilah Ratu Kinnara.” Atas permohonan pendeta kerajaannya, raja mengampuninya, tetapi ia mengeluarkannya dari istana. Setelah mengeluarkannya dari istana, raja memilih permaisuri yang lainnya, mengusir orang cacat tersebut, memberi perintah kepada pengawalnya untuk menebang cabang pohon jambu itu. Pada masa itu, Kunala adalah Pancalacanda. Maka ketika menceritakan kisah yang telah dilihat dengan mata kepalanya sendiri ini, sebagai gambaran ia mengucapkan bait berikut:
Banyak yang ditunjukkan dari kisah Kaṇḍari dan Kinnarā; semua wanita tidak menemukan kesenangan di dalam rumah milik mereka.
Demikian seorang istri meninggalkan suaminya meskipun ia kuat dan bertenaga, dan berbuat zina dengan laki-laki lain, sekalipun ia adalah seorang cacat yang buruk rupa.
Kisah yang berikutnya:
Dahulu kala seorang Raja Benares yang bernama Baka memerintah kerajaannya dengan benar (sesuai dengan kebenaran/Dhamma). Kala itu, seorang lelaki miskin yang tinggal di sebelah timur gerbang Kota Benares memiliki seorang putri yang bernama Pañcapāpā 244 (Pancapapa). Dikatakan bahwa dalam kehidupan lampaunya sebagai putri dari seorang lelaki miskin, ia bekerja mengaduk tanah liat (campuran semen, pasir, kapur, dan air) untuk menghaluskan dinding batu. Waktu itu seorang Pacceka Buddha berpikir, “Di manakah bisa kudapatkan tanah liat untuk membuat dinding gua ini menjadi kelihatan rapi dan bersih? Mungkin bisa kudapatkan di Benares.” Maka setelah mengenakan jubah dan membawa serta patta di tangannya, beliau pergi ke kota dan berdiri tidak jauh dari tempat wanita ini berada. Ia menjadi marah dan berpikir, sembari melihat ke arahnya, “Dalam pikirannya yang buruk, ia meminta tanah liat sebagai derma, sama seperti makanan derma.” Pacceka Buddha tetap berdiri di sana tak bergerak. Ketika melihat beliau tetap berdiri di sana tak bergerak, ia pun tergerak dan kemudian berkata, sembari melihat ke arahnya kembali, “Petapa, Anda tidak memiliki tanah liat,” dan ia mengambil satu bongkah besar dan meletakkannya di dalam patta. Dengan tanah liat tersebut, beliau membuat guanya kelihatan rapi. [441] Sebagai hasil dari pemberian derma berupa tanah liat tersebut, seluruh badan wanita ini menjadi sangat lembut. Akan tetapi, sebagai hasil dari wajahnya yang menunjukkan kemarahan, maka tangan, kaki, mulut, mata dan telinganya menjadi buruk rupa. Dan demikian orang-orang mengenalnya dengan nama Pañcapāpā (Lima Cela).
Suatu hari, Raja Benares berkeliling kota di malam hari dan sampai di tempat wanita ini. Ia sedang bermain dengan gadis-gadis desa lainnya, dan secara tak sengaja ia memegang tangan raja, yang tak dikenalinya. Sebagai akibat dari sentuhannya tersebut, raja kehilangan kendali, seakan-akan seperti digetarkan oleh sentuhan surgawi dan terbakar oleh nafsu, dan menggenggam tangannya, meskipun ia buruk rupa, bertanya putri siapakah dirinya itu. Ketika ia menjawab, “Putri dari penghuni rumah itu245,” dan mengetahui bahwa ia belum menikah, raja berkata, “Saya akan menjadi suamimu: pergi dan mintalah persetujuan dari orang tuamu.” Ia pun pergi menjumpai kedua orang tuanya dan berkata, “Seorang lelaki anu ingin menikahiku.” Ketika mereka setuju, sambil berkata, “Pastinya ia adalah seorang yang miskin, seorang makhluk yang menyedihkan jika ia menginginkan orang seperti dirimu,” segera ia menemuinya kembali dan mengatakan kepadanya bahwa orang tuanya telah setuju. Maka raja pun tinggal bersama dengannya di rumah itu, dan pulang kembali ke istananya di pagi hari. Mulai dari hari itu, raja terus-menerus datang ke sana dalam samarannya dan tidak berminat lagi untuk melirik wanita lain.
Suatu hari, ayah wanita tersebut terserang penyakit disentri. Obat untuk penyakitnya ini adalah bubur beras yang dimasak dengan susu, mentega (gi), madu, dan gula. Dikarenakan kemiskinan, mereka tidak mampu mendapatkan semuanya ini.
Kemudian sang ibu bertanya kepada putrinya, “Anakku, apakah suamimu bisa mendapatkan sedikit bubur susu?” “Bu, suamiku itu lebih miskin dibandingkan dengan kita,” jawabnya, “walaupun demikian, saya akan menanyakannya: Jangan khawatir.” Setelah berkata demikian, kira-kira mendekati saat waktunya bagi sang suami pulang ke rumah, ia duduk dengan wajah murung. Ketika datang, raja menanyakan mengapa ia begitu sedih, dan sewaktu mendengar permasalahannya, berkata, “Istriku, dari mana bisa kudapatkan obat yang demikian?” Dan ia berpikir, “Tak bisa terus-menerus saya datang ke sini dengan cara seperti ini; Sudah seharusnya kupertimbangkan resiko dari pulang-pergi ke suatu tempat. Akan tetapi, jika kubawa ia ke istana, tanpa memedulikan sentuhannya yang demikian lembut, orang-orang akan menertawakanku dan berkata, ‘Raja kita kembali dengan membawa serta sesosok yaksa wanita.’ Tetapi, jika kubuat seluruh kota mengenal sentuhan-nya, maka dapat kuatasi semua cercaan atas diriku itu.”
Maka ia berkata kepadanya, “Istriku, janganlah bersusah hati: akan kubawakan bubur susu untuk ayahmu,” setelah berkata demikian dan bersenang-senang dengannya, ia kembali ke istananya. Keesokan harinya ia meminta orang istananya untuk memasakkan bubur susu seperti yang diberitahukan kepadanya, dan, dengan menggunakan dedaunan, membuat dua keranjang. Ia meletakkan bubur susu itu di salah satu keranjang dan meletakkan mahkota permata di keranjang yang satunya lagi, kemudian mengikat kedua keranjang tersebut. Di malam harinya ia datang dan berkata, “Istriku, kita ini adalah orang yang miskin: saya mendapatkan ini dengan amat susah payah. Katakanlah (seperti ini) kepada ayahmu, ‘Hari ini makanlah bubur susu dari keranjang ini dan besok baru makan dari keranjang yang satunya lagi.’ ” Ia pun melakukan seperti apa yang diminta suaminya itu. Maka setelah menyantap bagian yang amat sedikit dari bubur susu itu karena tiada selera makan, sang ayah memberikan sisanya kepada istrinya dan juga putrinya [442]. Mereka bertiga merasa sangat bahagia, bungkusan yang berisikan mahkota permata itu disimpan mereka untuk kebutuhan pada keesokan harinya.
Sekembalinya ke istana, raja mencuci mukanya dan kemudian berkata, “Ambilkan mahkotaku.” Ketika mereka membalas, “Kami tidak menemukannya,” ia berkata, “Cari di seluruh penjuru kota.”
Mereka pun mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya. “Baiklah kalau begitu,” kata raja, “cari di rumah-rumah orang miskin di pinggiran kota, dimulai dengan mencari di keranjang daun tempat makanan. Mereka kemudian mencari dan menemukan mahkota permata itu di rumah ini, dan dengan berkata, “Ayah dan ibu dari wanita ini adalah pencuri,” mereka mengikat dan membawanya ke hadapan raja. Kemudian ayah dari wanita itu berkata, “Paduka, kami bukan pencuri. Seorang laki-laki anu yang memberikan permata ini kepada kami.” “Siapa itu?” tanyanya. “Menantu kami,” jawabnya. Ketika ditanya di manakah ia berada, ayah wanita itu berkata, “Putriku yang mengetahuinya.” Kemudian ia berbicara dengan putrinya.
“Anakku,” katanya, “Anda yang mengetahui jati diri suamimu.” “Saya tidak tahu.” “Jika itu benar, maka habislah kita.” “Ayah, ia hanya pulang di saat hari telah gelap dan pergi di saat hari belum terang, jadi saya tidak mengetahui penampilannya. Akan tetapi, saya dapat mengenalinya melalui sentuhan tangannya.” Ayahnya memberitahukan ini kepada pejabat kerajaan dan mereka memberitahukannya kepada raja. Berpura-pura tidak mengetahui permasalahannya, raja berkata, “Baiklah, masukkan wanita di dalam sebuah layar tenda dan buat sebuah lubang di layarnya sebesar kepalan tangan, kemudian kumpulkan semua penduduk, dan dapatkan pencuri itu dengan memeriksa sentuhan tangannya.”
Para pejabat kerajaan melakukan seperti apa yang diperintahkan. Ketika pergi ke tempat wanita itu berada dan melihatnya, orang-orang diliputi dengan rasa jijik dan berkata, “Wanita ini kelihatan seperti sesosok pisaca,” dan dikarenakan rasa jijik tersebut, mereka enggan untuk menyentuhnya. Tetapi kemudian pengawal kerajaan membawa dan memasukkannya ke dalam layar tenda di halaman istana dan mengumpulkan semua penduduk. Sewaktu menyentuh tangan setiap orang yang datang, dengan tanggannya yang dijulurkan keluar, ia berkata, “Bukan ini orangnya.” Orang-orang menjadi sangat terpikat dengan sentuhan surgawi dari wanita tersebut sehingga mereka enggan untuk membubarkan diri. Mereka berpikir, “Jika ia harus dihukum, meskipun harus dipukul dengan kayu, kami akan bersedia untuk menerima semuanya demi dirinya, dan akan membawanya pulang sebagai seorang istri.” Kemudian para pengawal raja memukuli mereka dan mengusir mereka. Dan mereka semuanya, yang dimulai dari wakil raja, menjadi bertingkah seperti layaknya orang tidak waras. Raja kemudian berkata, “Apakah mungkin saya adalah orangnya?” dan menjulurkan tangannya ke depan. Ketika menyentuh tangannya, wanita itu berteriak dengan keras, “Saya telah menemukan pencurinya. Raja bertanya kepada para pejabat kerajaannya, “Di saat tangan kalian bersentuhan dengan wanita ini, apa yang kalian rasakan?” Mereka memberitahukan raja yang sebenarnya.
Maka raja berkata, “Inilah sebabnya kubawa ia ke rumahku. Jika mereka sama sekali tidak mengetahui tentang sentuhannya itu, pastilah mereka mencela diriku. Dan sekarang karena kalian telah mengetahui yang sebenarnya dari diriku, katakanlah di rumah siapakah wanita ini pantas untuk tinggal sebagai seorang istri.” Mereka menjawab, “Di rumahmu, Paduka.” Maka dengan upacara pemercikkan, raja mengangkatnya sebagai permaisuri, [443] dan melimpahkan kekuasaan yang besar kepada ayah dan ibunya. Sejak saat itu, raja tidak pernah menanyakan pertanyaan apa pun mengenai jati dirinya, juga tidak melirik wanita yang lainnya lagi. Selir-selir raja yang lainnya kemudian merasa ingin mencari tahu misteri di balik diri permaisuri.
Pada suatu hari, dalam mimpinya permaisuri melihat dirinya menjadi permaisuri dari dua orang raja, dan ia memberitahukan mimpinya tersebut kepada raja. Kemudian raja memanggil beberapa ahli tafsir mimpi dan bertanya, “Apa arti dari mimpi demikian yang dilihat oleh permaisuri?” Kala itu, para ahli tafsir mimpi tersebut telah menerima suap dari selir-selir raja, dan berkata, “Peristiwa ratu duduk di atas punggung seekor gajah yang berbadan putih terang itu menandakan kematianmu, dan peristiwa ratu menyentuh bulan di saat menunggangi gajah tersebut menandakan ia akan membawa seorang raja musuh untuk melawanmu, Paduka.” “Kalau begitu, apa yang harus dilakukan?” kata raja. “Anda tidak boleh membunuhnya, Paduka. Letakkan ia di dalam sebuah perahu dan biarkan ia mengalir mengikuti arus sungai.” Di malam hari, raja meletakkan permaisuri di dalam sebuah perahu, bersama dengan makanan, pakaian, perhiasan, dan mendorongnya berjalan mengikuti arus.
Ketika berada di dalam perahu yang berjalan mengikuti arus, ia bertemu dengan Raja Pāvāriya (Pavariya) di saat sedang bermain-main di sungai. Ketika melihat perahu tersebut, sang panglima raja berkata, “Perahu itu adalah milikku.” Sedangkan raja berkata, “Barang di dalamnya adalah milikku,” ketika perahu tersebut sampai ke tempat mereka berada dan mereka melihat wanita tersebut, raja berkata, “Siapakah Anda, yang terlihat seperti sesosok pisaca?” Sembari tersenyum, ia menjawab bahwa ia adalah permaisuri Raja Baka, dan menceritakan semuanya, juga mengatakan bahwa ia dikenal di seluruh India dengan panggilan Pancapapa. Kemudian dengan menarik tangannya, raja membantunya keluar dari perahu. Tak lama setelah menarik tangannya, kemudian raja diliputi dengan nafsu karena sentuhannya itu. Dan meskipun selir-selir raja mengatakan bahwa ia tidaklah pantas disebut sebagai seorang wanita, tetapi raja (berpikiran lain) mengangkatnya sebagai permaisuri, raja amat menyayanginya, sama seperti menyayangi dirinya sendiri. Mendengar apa yang terjadi, Raja Baka berkata, “Tidak akan kubiarkan ia menjadikan wanita itu sebagai permaisurinya,” setelah mengumpulkan pasukannya, ia memimpin mereka sampai di satu sisi di seberang sungai dan mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa Pavariya harus mengembalikan istrinya atau (jika tidak) mereka akan bertempur.
Saingan Raja Baka ini siap untuk bertempur, tetapi para penasihat dari kedua raja berkata, “Tidak ada yang perlu mati demi seorang wanita. Dari kenyataan bahwa suami pertama wanita itu adalah Raja Baka, maka ia adalah miliknya. Akan tetapi, dari kenyataan bahwa wanita itu diselamatkan dari perahu oleh Raja Pavariya, maka ia adalah miliknya. Oleh karena itu, biarlah ia berada selama tujuh hari di rumah yang satu dan kemudian di rumah yang satunya lagi.” Atas pertimbangan itu, mereka memberitahukan pandangan ini kepada kedua raja, dan mereka pun merasa amat bahagia, mereka masing-masing membangun tempat tinggal di kedua tepi sungai yang berseberangan dan tinggal di sana. Wanita tersebut menerima jabatan sebagai permaisuri ganda dari kedua raja, dan mereka amat tergila-gila kepadanya. Maka selama tujuh hari ia tinggal di rumah salah satu raja, dan tujuh hari berikutnya dengan perahu menyeberangi sungai ia pergi ke rumah raja yang satunya lagi, dan di tengah perjalanannya itu ia berzina dengan tukang perahu yang mengemudikan perahunya, seorang nelayan tua yang bungkuk. Pada masa itu, [444] Kunala, si raja burung, adalah Raja Baka, dan ia meceritakan kejadian ini seperti sesuatu yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk menggambarkan kisah ini, ia mengulangi bait berikut:
Meskipun telah menjadi istri dari Pāvāriya, dan juga istri dari Baka,
(Dua raja yang nafsunya terkenal tidak ada habisnya)
ia tetap berzina dengan budak dari suaminya;
Dengan makhluk buruk apa yang tidak di-zina-inya?
Kisah yang berikutnya:
Suatu ketika istri Brahmadatta yang bernama Piṅgiyānī (Pingiyani), ketika melihat keluar dari jendelanya, melihat tukang kuda kerajaan. Setelah raja tertidur di malam hari, ia turun ke bawah melalui jendela kamar dan berbuat zina dengan tukang kuda tersebut, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Setelah membersihkan badan, memakai wewangian, ia kemudian tidur berbaring di sisi raja. Suatu hari raja berpikir, “Mengapa badan ratu selalu terasa dingin di tengah malam: Akan kucari tahu masalah ini.” Maka suatu malam ia pura-pura tertidur, dan kemudian bangun mengikuti ratu. Ia melihatnya melakukan persetubuhan dengan seorang tukang kuda. Raja kemudian kembali ke kamarnya, dan begitu halnya dengan ratu, setelah melakukan perbuatan buruk itu, kembali ke kamar dan tidur.
Keesokan harinya, di hadapan para pejabat kerajaannya, raja memanggil ratu dan membeberkan perbuatan buruknya, dengan berkata, “Semua wanita itu sama, para pelaku perbuatan buruk.”
Dan raja mengampuninya, yang sebenarnya pantas menerima hukuman mati, penjara, mutilasi, dengan mencabut jabatannya sebagai permaisuri dan menjadikan yang lain sebagai penggantinya. Pada masa itu, Kunala adalah Brahmadata, dan itulah sebabnya ia menceritakan kisah ini seperti sesuatu yang telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk menggambarkannya, ia mengulangi bait berikut:
Piṅgiyānī cantik disukai oleh Brahmadatta, Penguasa yang menaklukkan segala,
meskipun demikian berzina dengan budak suaminya, dan kehilangan segalanya atas perzinaannya dengan tukang kuda.
Wanita adalah makhluk yang labil, tidak tahu berterima kasih, pengkhianat,
Jika tidak dirasuki, tak seorang laki-laki pun berkenan untuk memberikan kepercayaan.
Tidak peduli dengan kewajiban atau memiliki rasa terima kasih, tidak acuh dengan kasih sayang orang tua atau ikatan persaudaraan,
Melanggar peraturan yang benar, mereka memainkan peranannya tanpa rasa malu, mengikuti keinginan hati, adalah tindakan mereka.
Tak peduli berapa lama mereka telah tinggal bersamanya dan betapa cintanya pun ia kepada mereka,
betapa pun lembut dan sayangnya ia kepada mereka, Di waktu susah dan bermasalah, mereka akan dan pasti meninggalkannya,
Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada mereka, para wanita.
Sering dijumpai pikiran wanita itu seperti kera yang penuh tipu daya, atau seperti tempat teduh yang dibuat oleh pohon yang tinggi atau besar,
Betapa labil juga tujuan yang tertanam di dada mereka, seperti roda kereta yang selalu berputar tiada henti.
Kapan saja dengan pandangannya mereka melihat sekitar dan mencari cara untuk memerangkap laki-laki kaya, menjadikannya sebagai mangsa,
Mereka menjebak dengan perkataan lembut nan halus orang-orang dungu itu, seperti tukang kuda Kamboja menangkap kuda yang paling liar dengan menggunakan rerumputan.
Tetapi ketika melihat situasi sekitar tidak memungkinkan mereka untuk berhasil mendapatkan hartanya dan menjadikannya sebagai mangsa,
maka mereka akan mengusirnya pergi, seperti seseorang yang telah tiba di pantai yang paling jauh dan memotong tali perahunya.
Mereka mendekapnya erat seperti kobaran api yang ganas mematikan, menghanyutkannya seperti arus banjir yang amat cepat;
Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka, seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat dan yang jauh.
Mereka bukan milik satu atau dua orang saja, tetapi mereka seperti toko yang terbuka,
Seseorang akan seperti mampu menangkap angin dengan jaring bila ia telah berada di bawah kuasa wanita
[446] Seperti sungai, jalan, atau tempat minum246, aula atau penginapan, wanita itu demikian bebasnya, tiada batasan untuk memeriksa perbuatan buruknya.
Mereka seperti ular hitam, lapar seperti kobaran api, seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka menginginkan kekasih yang kaya.
Dari gajah, ular hitam, dan dari api yang memangsa gi,
Dari laki-laki yang berambisi menjadi raja, dan dari wanita kita terbebas.
Semuanya ini yang selalu awas akan diperlakukan sebagai musuhnya yang paling mematikan, sangat sulit mengetahui sifat asli mereka.
Wanita yang sangat pintar atau yang berparas elok, yang paling banyak dicari oleh para lelaki—semua ini seharusnya dihindari:
istri orang lain dan wanita yang mencari seorang laki-laki kaya sebagai teman,
wanita-wanita demikian, lima tipe semuanya, tidak seharusnya didekati oleh seseorang.
Dan setelah memberitahukan keburukan wanita dalam beberapa kisah, ia pun kemudian diam. Ketika mendengar dirinya, Ānanda
(Ananda), si raja burung hering, berkata, “Temanku, Kunala, dengan kekuatan pengetahuanku akan kuberitahukan juga mengenai keburukan wanita,” dan ia pun mulai berbicara kepada mereka. Yang Terberkahi, dengan perumpamaan, berkata: “Kemudian, Ananda, si raja burung hering, setelah mendengar bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Kunala, mengucapkan bait-bait berikut: [448] Meskipun seorang laki-laki di dunia ini memiliki segalanya yang bersinar keemasan, memberikan hatinya kepada wanita yang amat dikasihinya,
Tetapi jika muncul kesempatan, wanita itu akan tidak lagi menghormatinya—
Waspadalah, jika tidak, Anda akan jatuh ke dalam cengkeraman makhluk buruk itu.
Seorang laki-laki mungkin saja terlihat perkasa, tak ada cacat, mungkin juga sangat menawan hati dan penuh kasih sayang terhadap pasangannya,
(tetapi) di waktu susah dan bermasalah, mereka akan dan pasti meninggalkannya,
Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada mereka, para wanita.
Janganlah percaya karena berpikiran, ‘saya yakin ia menyukaiku,’
Janganlah juga percaya karena air matanya selalu menetes keluar;
Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka, seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat dan yang jauh.
Jangan percaya dengan sampah yang berserakan dengan dedaunan dan ranting-ranting usang247, Jangan percaya dengan teman (yang telah) lama, barangkali sekarang ia telah menjadi seorang musuh.
Jangan percaya dengan seorang raja karena berpikiran, ‘Dahulu, ia adalah temanku,’
Jangan percaya dengan seorang wanita meskipun ia telah melahirkan sepuluh anak untukmu.
Wanita itu semuanya adalah pencari kesenangan dan memiliki nafsu yang tidak terkendali, pelanggar hukum moral (sila): kepada mereka tidak seharusnya Anda letakkan kepercayaan.
Seorang istri bisa saja berpura-pura menunjukkan cinta yang tanpa batas di hadapan suaminya;
Jangan percaya kepadanya: wanita itu sama seperti pelabuhan.
Siap untuk mencincang atau membunuh, mereka menyusut tanpa alasan,
dan setelah memotong-motong tubuhmu, mereka bahkan akan meminum darahmu:
Janganlah jatuh cinta kepada mereka, makhluk-makhluk dengan nafsu rendah,
Nafsu tak terkendali dan sama seperti tempat berlabuh di Sungai Gangga.
Dalam ucapan, mereka tidak membuat perbedaan antara yang benar dan yang salah,
seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka menginginkan kekasih yang kaya.
Sebagian laki-laki dipikatnya dengan tatapan dan senyuman, laki-laki yang lain dipikatnya dengan cara
berjalan, sebagian lagi yang lain dengan samaran yang aneh248, dan yang lainnya dengan ucapan manis.
Tidak jujur, galak, dan berhati batu, ucapan mereka semanis gula,
Tidak ada yang mereka tidak tahu
untuk menipu suami yang mereka nikahi.
Semua wanita itu menjijikkan,
tak ada batasan bagi rasa malu mereka, mereka itu emosional dan tidak takut, dapat melahap seperti api.
Wanita tidaklah dibentuk demikian: menyukai lelaki ini dan tidak menyukai lelaki itu,
tetapi mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka, seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat dan yang jauh.
Mereka mendekap seorang laki-laki demi emas, seperti parasit bagi sebatang pohon.
Seorang tukang kremasi jenazah atau tukang bersih tempat sembahyang dari bunga-bunga layu,
seorang tukang kuda, tukang gajah, atau tukang ternak, wanita akan lari kepada mereka, meskipun status mereka yang rendah, demi uang.
Seorang bangsawan akan mereka tinggalkan jika ia jatuh miskin;
Seorang candala, jika kaya, mereka akan dengan segera menempel kepadanya, seperti bau busuk pada bangkai.”
Ada empat hal yang tidak pernah dapat dipuaskan— dengarkan perkataanku dengan baik—
Samudra, raja, brahmana, wanita, inilah keempat hal tersebut.
Semua aliran sungai yang mengalir ke rumah mereka tidak akan pernah membuat samudra penuh (puas),
meskipun semuanya telah bercampur, tetapi masih saja ada yang kurang.
Seorang brahmana mempelajari Weda-nya dan tradisi keluarganya secara turun temurun,
tetapi ia masih saja merasa kurang dalam hal ilmu pengetahuan dan selalu menginginkan lebih dan lebih banyak lagi.
Dengan penaklukan, seorang raja menguasai suatu daerah, beserta dengan pegunungannya, lautannya dan semuanya,
harta kekayaan yang tak ada habisnya yang terdapat di dalamnya dikatakan sebagai miliknya sendiri, Meskipun demikian, ia tetap melirik daerah lain di luar samudra, karena ini semua dianggapnya terlalu kecil.
Seorang wanita mungkin saja memiliki delapan suami, yang menuruti keinginannya,
mereka semuanya adalah para pahlawan yang berani, memenuhi kewajiban kasih sayang mereka dengan baik, Meskipun demikian, ia masih memberikan cintanya kepada suami yang kesembilan, karena ia tetap merasa ada sesuatu yang kurang.
Wanita melahap mangsanya seperti kobaran api, Wanita menghanyutkan segalanya seperti arus banjir, Wanita seperti hama, mereka juga seperti duri,
Wanita akan pergi meninggalkan, demi uang.
Laki-laki yang membiarkan pikirannya mengembara memikirkan wanita cantik, (diibaratkan) seperti orang yang menangkap angin dengan jaring, atau seperti orang yang mengeringkan air laut tanpa bantuan yang lain, bertepuk sebelah tangan.
Dengan wanita-wanita yang pintar, kebenaran adalah hal yang langka untuk dapat ditemukan,
Jalan mereka sama kompleksnya dengan jalan ikan-ikan yang ada di laut.
[451] Ucapannya lembut, sulit dipuaskan, susah dipenuhi seperti sungai,
Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari mereka249.
Pengkhianat yang menggoda, mereka membujuk orang suci untuk melakukan perbuatan buruk,
Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari mereka.
Siapa saja akan mereka layani demi harta dan nafsu,
Mereka akan melahap lelaki, seperti minyak yang membakar habis sampah dengan kobaran apinya.”
Ketika Narada telah demikian memaparkan keburukan dari wanita, sekali lagi Sang Mahasatwa menggambarkan sifat buruk mereka dengan perumpamaan yang khusus.
[452] Untuk menunjukkan ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah Kunala, setelah mengetahui bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Narada, mengulangi bait-bait berikut ini:
Seorang bijak mungkin berani untuk berbincang dengan sesosok pisaca yang bersenjatakan pedang yang telah diasah tajam,
ia juga mungkin berani untuk bertarung dengan seekor ular.
Namun demikian, ia tidak terlalu berani untuk berbincang berdua dengan seorang wanita.
Kekuatan pria dilemahkan oleh daya pikat wanita, dengan ucapan, senyuman, tarian dan nyanyian, bahkan hanya dengan tangan mereka:
Hati yang labil mereka serang, seperti gerombolan raksasa (wanita) yang menyerang para saudagar di dalam istana mereka.
Ketagihan minuman keras dan daging, seseorang akan sia-sia saja berusaha untuk menghilangkan selera atau mengendalikan nafsu mereka,
seperti monster lautan, mereka akan menyapu habis seluruh kekayaannya, ke dalam mulut mereka.
Lima alam kesenangan indriawi mereka miliki sebagai tempat tinggal,
tak ada yang mampu mengendalikan keangkuhan mereka yang tinggi:
Seperti semua sungai yang pada akhirnya bertemu di samudra, demikianlah jiwa-jiwa yang tak awas menjadi mangsa bagi para wanita.
Laki-laki yang mencari kesenangan dalam diri para wanita ini, karena tergerak oleh ketamakan dan nafsu indriawi,
Orang yang terbakar dengan nafsu yang kuat itu akan mereka habisi, seperti minyak yang dituang ke api.
Jika mengetahui seseorang itu kaya,
mereka akan mendekatinya,
dan kemudian mereka akan
membawa pergi harta dan semuanya,
Mereka melingkarkan kedua tangan di kepala laki-laki yang terbakar dengan nafsu itu, seperti tanaman merambat yang bergantung pada pohon (sala) di hutan.
Seperti buah vimba250, berbibir merah251, begitu terang dan senangnya, mereka mengeluarkan beragam jalan untuk menghadapi manusia,
kadang menyerang dalam tawa, kadang dalam senyuman, seperti Saṁvara252, sang raja yang memiliki banyak tipu muslihat.
Meskipun para wanita diberikan perhiasan emas dan permata yang berlimpah,
meskipun diterima dengan baik oleh sanak keluarga dan saudara dari suami,
[453] meskipun dijaga dengan ketat oleh suami-suami mereka, mereka tetap berbuat buruk (zina), seperti dikirim masuk ke dalam mulut sang setan.
Seorang laki-laki yang terkemuka dan bijaksana, mulia dan terhormat di mata semua orang,
tetapi dengan jatuh ke dalam kekuasaan wanita tidak akan bersinar lagi, seperti pudarnya cahaya bulan (gerhana bulan) oleh Rāhu 253.
Dendam yang dilampiaskan oleh seorang musuh yang sedang murka kepada musuhnya,
seperti yang ditunjukkan oleh raja lalim kepada korbankorbannya,
bahkan hal yang lebih buruk dari ini dapat mendera semuanya yang dikarenakan nafsu terjatuh ke dalam kekuasaan wanita.
Meskipun diancam dengan badan yang dilukai atau rambut yang dipotong, dicambuk, dipukul, atau ditendang,
tetapi wanita itu tetap pergi mencari kaum candala untuk bersenang-senang dengan mereka, seperti lalat pada bangkai.
Wanita-wanita yang bersinar di jalan atau di istana, di perkotaan atau di pedesaan,
seorang laki-laki dengan pandangan terang, jika ia ingin mendapatkan kebahagiaan, akan menghindari perangkap yang disiapkan oleh Namuci254.
Ia yang tidak mempraktikkan manfaat baik dari sila seorang petapa,
ia mempraktikkan apa yang disebut dengan hal-hal yang buruk dan rendah, orang dungu,
akan menukar alam surga menjadi alam neraka, seperti orang yang menukar permata tak bernoda dengan permata bernoda255.
Ia akan menjadi orang yang hina baik di kehidupan ini maupun di kehidupan berikutnya,
dan, bila masih tetap tergoda oleh wanita yang buruk, ia akan terus-menerus jatuh karena kecerobohannya, seperti keledai jahat yang berlari dengan kereta.
Ia dapat terlahir di alam neraka Simbali dengan duri-duri yang tajam nan runcing256,
dapat juga ia terlahir di neraka Patāpana,
atau di alam binatang,
terlihat pula ia menderita terlahir di alam peta.
Di alam dewa bergembira ria dan bersenang-senang
di Nandana,
di alam manusia mendapat kekuasaan sebagai raja,
jika orang demikian juga tersesat karena wanita, maka jiwa-jiwa ceroboh itu harus melewati alam menyedihkan.
begitu pula dengan bidadari-bidadari di alam kayangan keemasan mereka,
semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.
Melewati alam kesenangan indriawi dengan hidup yang baru di alam bentuk,
kemudian dengan kekuatan yang didapatkan di sana, terlahir kembali di alam yang dihuni oleh mereka yang telah terbebas dari nafsu257,
semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.
Kebahagiaan yang melampaui segala rasa,
tak tergoyahkan, tak terkondisi, tanpa akhir, yaitu nibbana, dapat dicapai oleh ia yang telah melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.
Para kinnara, ular naga dan hewan lainnya yang berada di sana, serta para dewa yang berdiri di angkasa, bertepuk tangan sembari berkata, “Bagus sekali, diucapkan dengan gaya seperti seorang Buddha.” Ananda, si raja burung hering, Narada, sang brahmana suci, Punnamukha, si raja burung tekukur, dengan pengikutnya masing-masing kembali ke kediaman mereka, dan begitu pula halnya dengan Sang Mahasatwa yang kemudian kembali ke kediamannya. Akan tetapi, mereka tetap datang kembali dan mendengar nasihat yang diberikan Sang Mahasatwa, sehingga dengan melakukan hal demikian, terlahir di alam surga.
Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini, dan untuk mempertautkan kisah kelahiran ini, Beliau mengulangi bait terakhir berikut:
Udāyi adalah si burung tekukur, Ānanda adalah si burung hering, Nārada adalah Sāriputta,
dan aku adalah Kuṇāla.
Para bhikkhu ini, yang sewaktu datang dibawa dengan kekuatan dari Sang Guru, kemudian kembali dengan menggunakan kekuatan mereka sendiri. Dan Sang Guru memaparkan kepada mereka di dalam Mahavana cara mencapai kebahagiaan, dan saat itu juga mereka mencapai tingkat kesucian Arahat, (yang menyebabkan) munculnya kumpulan besar makhluk dewata, sehingga Yang Terberkahi memaparkan kepada mereka semua Mahāsamaya Sutta (Khotbah yang dibabarkan kepada satu kumpulan besar).
Catatan Kaki :
222 Teks dari kisah Kelahiran ini tidak begitu memuaskan, dan di banyak tempat, cukup tidak mungkin untuk membedakan mana yang merupakan kata asli dari kisah kelahirannya dan mana yang merupakan penjelasan dari komentarnya. Bandingkan Jātaka I. No. 74, Rukkhadhamma-Jātaka dan Dhammapada, hal. 351; juga Hardy’s Manual, hal. 134–140.
223 Mei dan Juni.
224 Sutta-Nipāta, IV. 15, hal. 173.
225 Jātaka I. hal. 327, nīlaraṁsim vissajjetvā.
226 Jātaka IV. No. 475.
227 Jātaka III. No. 322.
228 Jātaka III. No. 357.
229 Jātaka I. No. 74.
230 Jātaka I. No. 33, Sammodamāna-Jātaka, adalah apa yang disebut dengan Vaṭṭaka-Jātaka di dalam teks ini.
231 Secara berturut-turut: kañcanapabbata, rajatapabbata ( Silver Mount), maṇipabbata, hiṅgulikapabbata, añjanapabbata, sānupabbata, phalikapabbata. Dalam terjemahan bahasa Inggris hanya ada enam saja (mungkin satu terlewatkan): Golden Mount, Jewel Mount, Vermilion Mount, Collyrium Mount, Table-land Mount, Crystal Mount.
232 uddārakā. Untuk bentuknya, bandingkan mārjāraka, seekor kucing.
233 amajja. Untuk kata ini, bandingkan Taittirīya Saṁhitā, VII. 5. 12, 2.
234 nama-nama burung yang dihilangkan adalah celāvaka dan bhiṁkāra, yang tidak ditemukan maknanya dalam kamus.
235 Di sini dihilangkan sederetan nama pohon, dan sebagainya, yang hanya diketahui nama latinnya saja.
236 Raja Kosala dan Raja Kāsi, ayah kandung dan ayah tiri.
237 Mereka adalah Ajjuna, Nakula, Bhīmasena, Yudhiṭṭhila, Sahadeva.
238 Maksudnya, ‘dengan kepala yang turun ke bagian tubuhnya.’
239 Yang tertulis: mātā ohāya Kosalarājanam.
240 Mulut singa adalah cakar yang kelima.
241 panggilan terhadap seorang bhikkhu atau bhikkhuni; panggilan umat wanita terhadap seorang bhikkhu; Yang Mulia.
242 Vol. III. No. 327.
243 accāvadati. Morris dalam Jurnal P.T.S. untuk tahun ’86, hal. 100, mengutip satu bacaan dari Suttavibhaṅga II, hal. 263.
244 Bandingkan Buddhaghosha’s Parables, Bab. XIX. Kisah Indra Sentuhan
245 dvāravāsī, mungkin berarti seorang penghuni rumah pinggiran (kota). Bandingkan dvāragāma, desa di luar gerbang kota, daerah pedesaan.
246 papā, tempat minum yang ada di pinggiran jalan yang dapat digunakan oleh siapa saja di jalan.
247 Karena ditakutkan mungkin ada ular yang bersembunyi di baliknya.
248 Kitab Komentar merujuk ke kisah mengenai Naḷinikā, sebagai contohnya.
249 Vol. II hal. 226, Vol. IV. hal. 292, versi bahasa Inggris.
250 Momordica monadelpha.
251 vimboshṭha.
252 nama dari sesosok makhluk dewata.
253 sesosok makhluk dewata yang konon diyakini sebagai makhluk yang menelan bulan dan menyebabkan terjadinya gerhana. Lihat kembali catatan kaki no. 24 di atas.
254 Sebuah nama untuk (dewa) Māra. Lihat Windisch, Māra und Buddha, hal. 185.
255 chedagāmimaṇi.
256 Bandingkan kisah Saṁkicca-Jātaka, No.539 di atas.
257 Teks Inggris menuliskan ‘sphere of Arhats’ (alam para arahat); teks Pali menuliskan ‘vītarāgavisaya’ (alam yang bebas dari nafsu), Komentar menambahkan kata ‘suddhāvāsaloka’ (alam kediaman murni).