SUDHĀBHOJANA-JĀTAKA

No. 535.
SUDHĀBHOJANA-JĀTAKA199.

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Bukanlah seorang penjaja,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang Bhikkhu yang (berpikiran) dermawan.
Dikatakan bahwa ia adalah seorang putra dari keluarga terpandang yang tinggal di Sāvatthi, yang setelah mendengar Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Guru, menjadi merasa damai dan bertahbis menjadi bhikkhu. Menjalankan sila dengan sempurna dan latihan dhutaṅga, serta dengan hati yang penuh cinta kasih terhadap rekan sesama bhikkhu-nya, setiap hari sebanyak tiga kali ia memberikan pelayanan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia menunjukkan dirinya sebagai contoh yang patut ditiru dalam hal perilaku yang sempurna dan kedermawanan. Untuk memenuhi kewajiban dalam hal persaudaraan yang baik, maka apa pun yang diterimanya, selama masih ada yang membutuhkannya, akan diberikannya kepada orang tersebut, sampai-sampai ia sendiri tidak memiliki makanan. Kedermawanan dan kesukaannya dalam berderma tersebar di luas dalam perkumpulan saṅgha (sangha). Suatu hari dibicarakan oleh para bhikkhu di dalam balai kebenaran tentang bagaimana bhikkhu anu demikian dermawannya dan demikian sukanya berderma sehingga bila ia mendapatkan air yang hanya cukup untuk menutupi rongga tangan, ia akan terlebih dahulu memberikannya kepada rekannya sesama bhikkhu, dengan perasaan bebas dari keserakahan—tekadnya sama seperti tekad seorang Bodhisatta.

Dengan telinga dewa-Nya, Sang Guru mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, kemudian keluar dari gandhakuṭi, menghampiri mereka dan menanyakan apa topik pembicaraan mereka. Ketika mereka menjawab, “Topiknya adalah ini,” Beliau berkata, “Para Bhikkhu, di masa lampau bhikkhu ini adalah orang yang sangat jauh dari suka berderma, demikian kikirnya sehingga ia tidak mau memberi, meskipun itu hanyalah (sebesar) setetes minyak pada ujung rumput. Saya mengubah dirinya, membuatnya menjadi orang yang tidak mementingkan diri sendiri, dan dengan memberitahukan tentang buah dari kedermawanan membuatnya kukuh dalam berderma; karena itulah, ketika meskipun mendapatkan air yang hanya cukup untuk menutupi rongga tangan, ia akan berkata, ‘Saya tidak akan meminum setetes pun tanpa memberikannya (kepada yang lain) terlebih dahulu,’ dan ia mendapatkan suatu anugerah dari-Ku. Dan sebagai hasilnya ia menjadi orang yang dermawan dan suka memberi,” dan setelah mengatakan ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau. 

 

 

Dahulu kala, ketika Brahmadata menjadi Raja Benares, hiduplah seorang perumah tangga kaya yang memiliki harta sebesar delapan ratus juta, dan raja memberikan kepadanya kedudukan sebagai bendahara. Setelah demikian diberikan kehormatan oleh raja dan dihargai oleh para penduduk kota dan desa, ia hidup dalam kemakmuran duniawinya itu. Suatu hari, ia berpikir, “Kejayaan ini tidaklah kudapatkan dengan kemalasan dan perbuatan buruk dalam kehidupan sebelumnya, [383], melainkan dengan perbuatan baik (kebajikan); hal ini diperlukan untuk memastikan keadaanku yang baik di kehidupan berikutnya.” Maka ia pergi menghadap kepada raja dan berkata demikian kepadanya, “Paduka, di rumahku terdapat kekayaan yang berjumlah sebesar delapan ratus juta. Ambillah kekayaan itu dariku.” Dan ketika raja berkata, “Saya tidak memerlukan kekayaanmu; saya memiliki kekayaan yang berlimpah ruah; karenanya, ambil dan lakukan apa saja sesuka hatimu dengan kekayaan itu,” ia berkata, “Bolehkah saya, Paduka, memberikan uangku sebagai dana (derma)?” Raja menjawab, “Silakan.”

Ia pun meminta orang untuk membangun enam balai distribusi dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di bagian tengah kota, dan satu lagi di pintu rumahnya; dan dengan pengeluaran harian sebesar enam ratus ribu keping uang, ia terus memberikan derma dalam jumlah yang besar semasa hidupnya dan memberikan petunjuk demikian kepada putraputranya, “Pastikan kalian tidak memutuskan tradisiku ini untuk memberikan derma,” dan setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali sebagai Dewa Sakka. Putranya, dengan cara sama tetap memberikan derma, terlahir kembali sebagai Canda, putra dari Canda terlahir sebagai Suriya, putra dari Suriya terlahir sebagai Matali ( Mātali ), putra dari Matali terlahir sebagai Pancasikha ( Pañcasikha). Kemudian putra dari Pancasikha, generasi keenam, bernama Maccharikosiya (hartawan yang kikir) mendapatkan kedudukan sebagai bendahara dan ia tetap memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta.

Tetapi ia berpikiran, “Generasi-generasi terdahuluku adalah orang dungu. Mereka menghabiskan (dengan cuma-cuma) kekayaan yang demikian susahnya dikumpulkan, saya akan menjaga kekayaanku. Saya tidak akan memberikan uang sepeser pun kepada satu orang pun.” Ia menghancurkan, membakar semua balai distribusi dana dan menjadi seorang yang amat kikir. Para pengemis berkumpul di depan gerbang rumahnya dan dengan menjulurkan tangan mereka meneriakkan, “Wahai Tuan Bendahara yang mulia, janganlah menghentikan tradisi para pendahulu, berikanlah derma.” Ketika mendengar ini, orangorang mengecam dirinya, dengan berkata, “Maccharikosiya telah menghentikan tradisi keluarganya.” Merasa malu, ia menempatkan seorang penjaga untuk menghalau para pengemis yang berdiri di depan gerbang rumahnya, dan karena terus diperlakukan demikian, mereka pun tidak pernah lagi menampakkan wajah di gerbang rumahnya.

Sejak saat itu, ia terus-menerus menghitung uangnya, tetapi ia tidak menghabiskannya  untuk dirinya sendiri maupun menghabiskannya dengan istri dan anak-anaknya. Ia menjalani hidup memakan beras yang masih disertai dengan bubuk merahnya, disajikan dengan bubur masam, mengenakan pakaian usang, hanya berupa filamen (benang tipis) dari akar-akaran dan tangkai buah-buahan, melindungi kepalanya dengan menggunakan payung dari dedaunan, serta mengendarai kereta reyot yang ditarik oleh sapi yang sudah tua pula. Demikianlah uang orang yang kikir ini [384] disimpan seperti sebuah kelapa yang ditemukan oleh seekor anjing200. Suatu hari ketika ia hendak menghadap kepada raja (untuk bekerja), ia berpikir untuk membawa serta wakil bendaharanya201. Sewaktu tiba di rumahnya, ia melihat wakil bendahara itu sedang duduk bersama dengan istri dan anak-anaknya, menikmati bubur beras yang diberi gula bubuk untuk memaniskannya202 dan dimasak dengan mentega cair yang segar. Ketika melihat Maccharikosiya, wakil bendahara itu bangkit dari duduknya dan berkata, “Mari, Yang Mulia Bendahara, silakan duduk di tempat ini dan makan bubur beras ini bersama.” Sewaktu ia melihat bubur beras itu, mulutnya dipenuhi dengan air liur dan ia sangat ingin untuk mencicipinya, tetapi pemikiran ini muncul dalam dirinya, “Jika saya memakan bubur beras ini, maka nanti ketika wakil bendahara ini datang ke rumahku, saya harus membuatkannya sesuatu untuk membalas kebaikannya ini, dan dengan ini, uangku akan terbuang sia-sia.

Saya tidak akan memakannya.” Sewaktu terus dan terus didesak untuk makan, ia tetap menolaknya dengan berkata, “Saya sudah makan; saya sudah kenyang sekarang.” Akan tetapi, selagi wakil bendahara itu sedang menikmati makanannya, ia hanya bisa melihatnya dengan mulut yang dipenuhi dengan air liur. Setelah selesai makan, ia pun berangkat bersamanya menuju ke istana.

Sepulangnya ke rumah, ia dipenuhi dengan rasa ingin untuk memakan bubur beras, tetapi kembali ia berpikir, “Jika kukatakan bahwa saya ingin makan bubur beras, maka banyak orang juga akan ingin untuk memakannya dan akibatnya beras dalam jumlah yang banyak akan habis. Saya tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun.” Maka selama siang dan malam, ia melewati hari-harinya dengan hanya memikirkan bubur beras, tidak yang lainnya. Akan tetapi, karena takut menghabiskan kekayaannya, ia tidak memberitahukan siapa pun dan menyimpan keinginannya itu dalam dirinya sendiri. Karena tidak bisa mengatasi keinginannya itu, kian hari ia menjadi kian pucat (pasi), dan dikarenakan rasa takut untuk menghabiskan kekayaannya, ia tidak memberitahukannya kepada siapa pun, dan oleh karenanya kian hari ia menjadi kian lemah sampai akhirnya berbaring di tempat tidur, memeluki ranjangnya.
Kemudian istrinya datang menjenguknya dan dengan tangannya mengelus punggung suaminya, ia bertanya, “Apakah Tuanku sakit?” “Kamu yang sakit!” teriaknya, “saya baik-baik saja.”

“Tuanku, wajahmu menjadi pucat pasi. Apakah Anda sedang memikirkan sesuatu? Apakah raja merasa tidak senang (denganmu) atau anak-anak memperlakukanmu dengan tidak hormat? Atau apakah Anda memiliki suatu keinginan akan sesuatu?” “Ya, saya memiliki suatu keinginan.” “Beritahu saya apa keinginanmu itu, Tuanku.” “Bisakah kamu menjaga rahasia?”
“Ya, saya tidak akan memberitahukan keinginan yang memang seharusnya dirahasiakan.” [385] Walaupun demikian, masih karena takut menghabiskan kekayaannya, ia tidak berani untuk memberitahu istrinya. Tetapi karena didesak berulang kali, ia akhirnya berkata, “Istriku, suatu hari saya melihat wakil bendahara menikmati bubur beras yang diberi gula bubuk untuk memaniskannya dan dimasak dengan mentega cair yang segar.
Sejak hari itu, saya memiliki keinginan untuk memakan bubur jenis itu.” “Dasar orang buruk, apakah Anda demikian miskinnya?

Akan kumasakkan bubur beras yang cukup dimakan oleh semua penduduk Benares.” Kemudian ia merasa seperti kepalanya seolah-olah baru saja dipukul dengan sebuah tongkat. Dengan perasaan marah, ia berkata, “Saya tahu kamu kaya. Jika kekayaan itu berasal dari keluargamu, maka kamu boleh memasak dan memberikan bubur beras itu kepada seluruh penduduk.” “Baiklah kalau begitu, akan kumasakkan bubur yang cukup dimakan oleh penduduk yang tinggal di satu jalan saja.”

“Apa hubunganmu dengan mereka? Biarlah mereka makan apa yang mereka miliki.” “Kalau begitu, akan kumasakkan bubur yang cukup dimakan oleh tujuh kepala keluarga yang dipilih secara acak dari sini dan sana.” “Apa hubunganmu dengan mereka?”

“Kalau begitu, akan kumasakkan untuk semua penghuni rumah ini.” “Apa hubunganmu dengan mereka?” “Baiklah kalau begitu, akan kumasakkan untuk sanak saudara kita saja.” “Apa hubunganmu dengan mereka?” “Kalau begitu, akan kumasakkan untukmu, Tuanku, dan untukku.” “Tolong katakan siapa kamu?
Tidaklah pantas untukmu mendapatkannya.” “Akan kumasakkan untuk dirimu sendiri saja, Tuanku.” “Tidak usah memasakkannya untukku: jika kamu memasaknya di dalam rumah, maka banyak orang yang akan mengetahuinya. Berikan saja kepadaku sejumlah beras, sejumlah susu, sejumlah gula, sejumlah madu203, dan sebuah belanga, saya akan pergi ke dalam hutan untuk memasak dan memakan bubur itu.” Istrinya pun melakukan seperti apa yang diminta.

Dengan meminta seorang pelayan untuk membawa semua barang bawaannya, ia memerintahkannya untuk pergi dan berdiri di tempat anu. Setelah meminta pelayan itu untuk pergi terlebih dahulu, ia membuat sebuah cadar untuk dirinya dan dalam samaran itu pergi ke tempat yang telah ditentukan, dan di tepi sungai di bawah suatu semak-semak ia meminta pelayan itu menyiapkan belanga, kayu bakar, dan air, kemudian berkata demikian kepadanya, “Pergilah kembali berdiri di tempatmu dan, jika kamu melihat ada orang, berilah tanda kepadaku, dan ketika kupanggil, kembalilah kemari.” Setelah menyuruh pelayannya pergi, ia menyalakan api dan memasak buburnya. Kala itu, Sakka, raja para dewa, sedang meninjau alam dewa yang luasnya sepuluh ribu yojana, [386] jalan emas yang panjangnya enam puluh yojana, Vejayanta yang tingginya seribu yojana, Suddhamā204 yang luasnya lima ratus yojana, singgasana marmer kuningnya yang luasnya enam puluh yojana, payung putih dengan untaian bunga kuningnya yang memiliki keliling sebesar lima yojana, dan para pelayannya berupa dua puluh juta bidadari, ia kemudian berpikir, “Apa yang telah kulakukan sehingga mendapatkan kejayaan seperti ini?”

Dan dalam pikirannya ia melihat pemberian derma yang dilakukannya sewaktu menjabat sebagai bendahara di Benares, kemudian ia berpikir lagi, “Di manakah para generasiku terlahir kembali?” Setelah meninjau masalah ini, ia berkata, “Putraku, Canda, terlahir kembali sebagai makhluk dewa; putranya (Canda) terlahir sebagai Suriya; putranya (Suriya) terlahir sebagai Matali ( Mātali); putranya terlahir sebagai Pancasikha ( Pañcasikha).” Demikian ia melihat semua keadaan generasinya.

Kemudian ia berkata, “Bagaimana dengan putra Pancasikha?” Setelah meninjau ini, ia mengetahui bahwa tradisi generasinya itu telah dihentikan, dan pikiran ini muncul dalam benaknya, “Orang buruk ini adalah orang yang kikir, ia sendiri tidak menikmati kekayaannya, pun tidak memberikannya kepada yang lain: tradisi generasiku telah dirusak olehnya. Ketika meninggal nantinya, ia akan terlahir kembali di alam neraka. Dengan cara memberinya nasihat dan mengembalikan tradisiku (memberikan derma), akan kutunjukkan kepadanya bagaimana cara terlahir kembali di alam dewa.” Maka ia memanggil Canda dan yang lainnya dan berkata, “Ayo, kita akan pergi ke alam manusia: tradisi keluarga kita telah dihapuskan oleh Maccharikosiya, balai distribusi dana telah dibakarnya dan ia sendiri tidak menikmati kekayaannya, pun tidak memberikannya kepada yang lain. Saat ini dengan memiliki keinginan untuk makan bubur dan berpikiran, ‘Jika bubur ini dimasak di dalam rumah, maka bubur ini juga akan harus dibagikan kepada yang lain juga,’ ia telah masuk ke dalam hutan dan memasaknya sendirian di sana. Kita akan pergi dan mengubahnya, serta mengajarkan kepadanya tentang buah (hasil) dari memberi derma (berdana). Tetapi jika kita semua meminta makanan kepadanya secara bersamaan, ia akan langsung mati di tempat. Saya yang akan pergi terlebih dahulu, dan setelah kudapatkan sedikit bubur dan tempat duduk, barulah kalian datang, satu per satu, dengan samaran sebagai brahmana, mengemis padanya.” Setelah berkata demikian, dalam penampilan seorang brahmana, ia menghampiri Maccharikosiya dan berkata, “Hai Tuan, manakah jalan menuju ke Benares?” Ia menjawab, “Apakah Anda telah kehilangan akal sehatmu? Apakah Anda tidak tahu jalan menuju ke Benares?

Mengapa Anda melewati jalan ini? Pergilah dari tempat ini.” Sakka, yang berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakannya, menghampirinya sembari menanyakan apa yang tadi dikatakannya. [387] Kemudian ia berteriak, “Brahmana tua yang tuli, tadi kukatakan mengapa Anda melewati jalan ini.
Pergilah sana.” Kemudian Sakka berkata, “Mengapa Anda berteriak demikian kerasnya? Di sini kulihat ada asap dan api, Anda sedang memasak bubur. Pastinya ini adalah saat Anda ingin menjamu para brahmana. Saya juga adalah seorang brahmana yang akan menerima bagiannya. Mengapa Anda mengusirku?” “Tidak ada apa-apa untuk para brahmana di sini.

Pergilah dari sini.” “Kalau begitu, mengapa Anda menjadi sangat marah? Di saat Anda makan nanti, saya akan meminta sedikit.”
Ia berkata, “Saya tidak akan memberikan sebutir beras pun kepadamu. Makanan yang sedikit ini hanya cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidupku, dan bahkan ini didapatkan dari hasil meminta-minta. Pergi dan carilah makananmu di tempat yang lain.”—ia mengatakan ini dengan rujukan dari kenyataan bahwa ia meminta beras itu dari istrinya— dan ia mengucapkan bait berikut:

Bukanlah seorang penjaja diriku ini baik untuk membeli maupun menjual sesuatu,
Tidak ada barang-barang milikku yang dapat diberikan atau dipinjamkan:
Sejumlah beras derma ini dengan sulit diperoleh, terlalu sedikit untuk dibagi berdua.

Mendengar ini, Sakka berkata, “Saya juga akan mengulangi satu bait kalimat untukmu dengan suara yang merdu (semanis madu); dengarkanlah diriku,” dan meskipun ia berusaha menghentikannya dengan berkata, “Saya tidak ingin mendengar kata-katamu,” Sakka tetap mengulangi bait berikut:

Dengan memiliki sedikit, seseorang hendaknya memberikan sedikit, sama halnya dengan arti dari kerendahan hati,
Dengan memiliki banyak, seseorang hendaknya memberikan banyak pula: dengan tidak memberi, tidak akan timbul pertanyaan.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberikan derma (berdana) adalah bagianmu:
Janganlah makan sendirian, tidak ada kebahagiaan bagi ia yang makan sendirian, sedangkan dengan berderma, jalan para ariya mungkin dapat Anda masuki.

[388] Mendengar perkataannya ini, Maccharikosiya berkata, “Ini adalah perkataan yang menyenangkan, Brahmana.

Di saat bubur ini masak, Anda akan mendapatkan sedikit. Silakan duduk.” Sakka pun duduk di satu sisi. Ketika ia telah duduk, dengan cara yang sama Canda mendekati dan memulai perbincangan yang sama, yang meskipun Maccharikosiya mencoba untuk menghentikannya, ia tetap mengucapkan bait berikut ini:

Sia-sia pengorbananmu dan sia-sia semangatmu (dalam mengumpulkan kekayaan) jika Anda makan makananmu dan tidak memberikan sedikit pun kepada tamu-mu.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma adalah bagianmu, dan seterusnya.

Mendengar perkataannya ini, si kikir itu mau tidak mau berkata, “Baik, duduklah, Anda akan mendapatkan sedikit bubur.”
Ia pun duduk di sebelah Sakka. Dengan cara yang sama, Suriya datang mendekat dan memulai perbincangan. Meskipun si kikir berusaha menghentikannya, ia tetap mengucapkan bait berikut:

Pengorbananmu tidak sia-sia dan semangatmu tidak sia sia jika Anda tidak memakan makananmu sendirian, tetapi memberikan sedikit kepada tamu-mu.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma adalah bagianmu, dan seterusnya.
Mendengar perkataannya ini, si kikir dengan rasa enggan yang amat sangat berkata, “Baik, duduklah, dan Anda akan mendapatkan sedikit bubur.” Maka Suriya duduk di sebelah Canda. Kemudian dengan cara yang sama, Matali datang mendekat dan memulai perbincangan, yang meskipun si kikir itu berusaha menghentikannya, mengucapkan bait berikut ini:

Ia yang memberi derma (persembahan) kepada Sungai Gayā yang mengalir,
atau kepada pohon Tinduka atau Doṇa dengan air yang mengalir cepat,
akan mendapatkan hasil dari pengorbanan dan semangat dirinya jika ia berbagi makanannya dengan seorang tamu, bukan duduk dan makan sendirian.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma adalah bagianmu, dan seterusnya.

[389] Ketika mendengar perkataannya ini juga, seolaholah seperti dilindas oleh sebuah gunung, dengan enggannya ia berkata, “Baik, duduklah, dan Anda akan mendapatkan sedikit bubur.” Matali duduk di sebelah Suriya. Kemudian dengan cara yang sama Pancasikha datang mendekat dan memulai perbincangan, yang meskipun si kikir itu berusaha menghentikannya, mengucapkan bait berikut ini:

Seperti ikan yang dengan tamaknya menelan apa pun tersangkut di satu kail,
demikianlah ia yang memakan makanannya sendirian tanpa memberikan sedikit kepada tamunya.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma adalah bagianmu, dan seterusnya.

Mendengar ini, Maccharikosiya dengan perasaan duka dan ratapan, berkata, “Baik, duduklah, dan Anda akan mendapatkan sedikit bubur.” Maka Pancasikha duduk di sebelah Matali. Ketika lima brahmana ini mendapatkan tempat duduk, buburnya pun matang. Setelah mengangkatnya dari belanga, Kosiya memberitahu para brahmana itu untuk menyiapkan wadah makanan mereka (daun). Dengan tetap duduk, mereka menjulurkan tangan mereka dengan mengeluarkan daun dari suatu tanaman menjalar205 dari Himalaya. Melihat mereka demikian, Kosiya berkata, “Saya tidak bisa memberikan kalian bubur dalam daun yang besar milik kalian ini: gunakanlah daun dari pohon akasia206 atau sejenisnya.” Mereka pun mencari daun itu dan masing-masing dari mereka mendapatkan daun yang sebesar tameng seorang kesatria. Kosiya pun membagikan bubur kepada mereka dengan menggunakan sendok. Selesai membagikan bubur kepada mereka semua, ia masih memiliki sisa yang banyak dalam belanganya. Waktu itu, Pancasikha bangkit dari duduknya dan mengubah dirinya menjadi seekor anjing, kemudian berdiri di hadapan mereka dan buang air kecil.

Masing-masing brahmana itu menutupi bubur mereka dengan daun. Satu tetes air seni anjing tersebut mengenai telapak tangan Kosiya. [390] Para brahmana itu mengambil air dari kendi mereka dan setelah mencampurnya dengan bubur tersebut, mereka berpura-pura memakannya. Kosiya kemudian berkata, “Berikanlah sedikit air kepadaku, dan setelah mencuci tanganku, saya baru akan makan.” “Ambil airmu sendiri,” kata mereka, “dan cuci tanganmu.” “Saya memberikan kalian bubur; berikanlah sedikit air kepadaku.” “Kami tidak boleh melakukan tukar menukar derma207.” “Baiklah kalau begitu, tolong jaga belanga ini dan saya akan kembali sehabis mencuci tangan,” dan ia pun turun ke sisi sungai. Ketika itu juga, anjing tersebut mengencingi belanga itu. Melihatnya melakukan hal itu, Kosiya mengambil tongkat yang besar dan berlari ke arahnya, sembari menghalaunya. Saat itu, anjing tersebut mengubah dirinya menjadi seekor kuda yang mabuk, mengejar Kosiya, dengan terus mengubah warna tubuhnya. Sebentar-sebentar berwarna hitam, sebentar-sebentar berwarna putih, kemudian berwarna keemasan, dan campuran semuanya; sebentar-sebentar menjadi tinggi, sebentar-sebentar menjadi pendek. Demikian dengan berbagai penampilan yang berbeda ia terus mengejar Maccharikosiya, yang hampir mati ketakutan, yang kemudian berlari ke arah para brahmana lainnya, tempat mereka semua berdiri melayang di udara. Ketika melihat kekuatan gaib mereka ini, ia berkata:

Wahai brahmana-brahmana mulia, yang berdiri melayang di udara,
mengapa anjing milik kalian ini dengan anehnya dapat mengubah berbagai bentuk yang berbeda meskipun ia hanya ada satu, dan beritahukan yang sebenarnya kepadaku, siapakah kalian ini?

Mendengar ini, raja para dewa, Sakka, berkata:

Canda dan Suriya adalah dua yang ada di sini,
dan Mātali juga, sang sais kereta dewa,
aku adalah Sakka, raja para dewa di Alam Tāvatiṁsā, serta Pañcasikha, yang mengejarmu di sana.

Dan untuk menjelaskan tentang ketenaran dari Pancasikha ( Pañcasikha), Sakka mengucapkan bait berikut:

Dengan tambur, genderang, dan tamborin mereka membangunkan dirinya dari tidur,
dan ketika ia bangun, lantunan musik yang menyenangkan membuat detak hatinya mengalun dengan kebahagiaan.

Mendengar ini, Kosiya bertanya, “Dengan perbuatan yang bagaimanakah orang dapat memperoleh kejayaan seperti ini?” “Mereka yang tidak melatih diri dalam memberi derma (berdana), para pelaku perbuatan buruk, orang-orang yang terlalu kikir tidak akan terlahir di alam dewa, melainkan di alam neraka.” Dan untuk menjelaskan ini, Sakka berkata:

[391] Ia yang menjadi orang kikir, atau memaki para petapa maupun brahmana,

setelah meninggal dan hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir di alam neraka.

Dan dengan mengucapkan bait berikutnya, untuk menunjukkan bagaimana orang yang berjalan dalam kebenaran (sesuai dengan Dhamma) akan terlahir di alam dewa, ia berkata:

Ia yang menjadi orang baik (menyenangkan), berjalan dalam kebenaran, melatih pengendalian diri (tidak berbuat buruk), selalu berbagi (derma),
setelah meninggal dan hancur terurainya badan jasmani,
akan terlahir di alam dewa.

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sakka kemudian berkata, “Kosiya, kami datang kepadamu bukanlah karena bubur, melainkan karena belas kasih dan kasih sayang,” dan untuk menjelaskan kepadanya, ia pun berkata:

Anda, meskipun dalam kelahiran lampau kami adalah saling berhubungan, menjadi orang yang kikir, orang yang tidak baik dan pelaku perbuatan buruk;
Demi dirimu ini kami turun ke alam manusia, berusaha menghindarkanmu dari hasil berbuat buruk—kelahiran di alam neraka.

Mendengar ini, Kosiya berpikir, “Mereka mengatakan mereka adalah penyelamatku; mereka akan membuatku keluar dari neraka dan kemudian mengukuhkan diriku di alam dewa.” Dan dengan perasaan amat gembira, ia berkata:

Demikian kalian telah menasihati diriku, tak diragukan lagi kalian menginginkan kebaikanku,
akan kuikuti nasihatmu, yang telah dimengerti.

Mulai hari ini, saya akan menyingkirkan sifat kikir, mengendalikan diri dari perbuatan buruk,
[392] memberikan derma, bahkan berbagi secangkir air.

Dengan selalu memberi demikian, Sakka, segera kekayaanku akan berkurang (habis),
kemudian saya akan menjadi seorang pabbajita, dan berusaha membebaskan diri dari segala bentuk kesenangan indriawi.

Setelah mengubah (sifat) Maccharikosiya, Sakka mengajarkan kepadanya tentang buah dari berdana, membuat dirinya menjadi tidak memikirkan diri sendiri, memaparkan khotbah Dhamma kepadanya yang membuat dirinya kukuh dalam menjalankan lima latihan sila (Pancasila Buddhis), kemudian bersama dengan para dewa lainnya kembali ke alam para dewa. Maccharikosiya juga kemudian pulang kembali ke Kota Benares, dan setelah mendapatkan izin dari raja, ia meminta orang-orang untuk membawa dan mengisi semua bejana, yang dapat mereka bawa, dengan harta kekayaannya, dan juga memberikannya kepada para pengemis. Setelah itu, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya melalui bagian sebelah kanan, dan di satu tempat di antara Sungai Gangga dan sebuah danau alami, ia membuat sebuah gubuk daun. Dengan menjalani hidup sebagai seorang petapa, ia bertahan hidup (melewati hariharinya) dengan memakan buah-buahan dan akar-akaran. Ia tinggal di tempat itu dalam waktu yang lama, sampai ia berusia lanjut. Pada waktu itu, Sakka memiliki empat orang putri: Āsā
(Asa), Saddhā (Saddha), Sirī (Siri), dan Hirī (Hiri)208, yang pada waktu itu pergi ke Danau Anotatta dengan membawa untaian bunga yang wangi, bermain-main di air. Sehabis itu, mereka duduk di Gunung Manosilā. Persis ketika itu juga, Nārada
(Narada), seorang brahmana suci, mengunjungi Alam Dewa Tāvatiṁsā, beristirahat di saat teriknya siang hari, membuat tempat istirahatnya di Cittakūṭa di Taman Nandana209. Kemudian dengan membawa bunga pohon koral210 sebagai pelindung matahari (payungnya), ia kembali ke kediamannya di Gua Emas ( Kañcanaguhā ), di puncak Gunung Manosilā (Arsenik Merah).
Para bidadari dewa yang melihat bunga di tangannya itu meminta darinya.

 

 

[393] Untuk menjelaskannya, Sang Guru berkata:

Di ketinggian Gunung Gandhamādana, para bidadari ini, dalam asuhan Sakka, bersenang-senang:

Datang melewati mereka adalah seorang suci yang terkemuka, dengan bunga dewa di tangannya.

Bunga yang demikian bersih dan wangi itu diperuntukkan para dewa dan makhluk dewata:
Tidak ada yaksa atau makhluk sejenisnya dan manusia yang dapat memiliki bunga yang tak ternilai ini.

Kemudian keempat wanita ini, dengan warna kulit keemasan dan elok tiada tara di antara bidadari lainnya, bangkit dan menyapa Nārada, sang brahmana suci,

‘Berikanlah kepada kami, wahai brahmana agung, bunga koral itu jika memberi adalah kekuasaanmu, seperti Dewa Sakka sendiri akan kami hormati dirimu, dan Anda akan dilimpahi dengan segalanya.’

Ketika Nārada mendengar permintaan mereka, ia memulai sebuah perdebatan:
‘Saya tidak memerlukan ini; siapa di antara kalian yang menjadi sang ratu (yang terbaik) akan mendapatkan bunga ini.’

 

 

[394] Sewaktu mendengar apa yang dikatakannya, keempat bidadari itu mengucapkan bait berikut:

Wahai Nārada, Anda adalah brahmana agung yang terbaik, Anda tahu kepada siapa harus mengabulkan permohonan itu:
Kepada siapa pun di antara kami yang Anda berikan hadiah itu akan dianggap sebagai yang terbaik.

Mendengar perkataan mereka ini, Narada mengucapkan bait berikut:

Wahai yang berbahagia, perkataan yang demikian tidaklah benar; Apakah brahmana menyebabkan timbulnya perselisihan?
Beritahukanlah permohonanmu itu kepada raja para dewa, jika ingin mengetahui siapa yang terbaik.

 

 

Kemudian Sang Guru mengucapkan bait berikut ini:

Dengan rasa bangga akan kecantikan dan rasa keinginan yang kuat, yang dipicu oleh brahmana cerdik, mereka pergi menghadap kepada Sakka, raja para dewa, untuk mengetahui siapa yang terbaik di antara mereka.

 

 

[395] Ketika mereka berdiri, ia menanyakan pertanyaan ini dengan berkata:

Para bidadari ini demikian seriusnya dalam pencarian mereka, dengan segala hormat Sakka menyapa mereka,

Wahai kalian yang memiliki kecantikan yang setara, siapakah yang mengganggu kedamaian kalian dengan perselisihan?

Ditanya demikian, mereka menjawab:

Nārada, brahamana agung yang dapat mengunjungi segala alam, yang berjalan dalam kebenaran, yang tidak melakukan perbuatan selain perbuatan baik dan benar, berkata demikian di ketinggian Gunung Gandhamādana ;
‘Beritahukanlah permohonanmu itu kepada raja para dewa, jika ingin mengetahui siapa yang terbaik.’

Mendengar ini, Sakka kemudian berpikir, “Jika kukatakan salah satu dari keempat putriku ini adalah yang terbaik di antara yang lainnya, maka yang lainnya akan menjadi marah. Ini adalah sebuah permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan olehku; akan kukirim mereka kepada Kosiya, sang petapa di Himalaya: ia pasti dapat memecahkan permasalahan ini untuk mereka.” Maka ia berkata, “Saya tidak bisa memutuskan untuk permasalahan kalian ini. Di daerah pegunungan Himalaya ada seorang petapa yang bernama Kosiya: kepadanya akan kukirimkan makanan dewa-ku211. Ia selalu makan dengan berbagi kepada yang lain, dan dalam membagikan kepada yang lain, ia hanya memberikan kepada yang baik/bajik. Siapa di antara kalian yang mendapatkan pembagian makanan darinya akan menjadi yang terbaik.” Setelah berkata demikian, ia mengulangi bait berikut ini:

Petapa suci, yang tinggal di hutan nan luas di sana, tidak akan menyentuh makanannya dengan tidak berbagi;
Kosiya, dengan pemberian darinya, akan memberikan penilaian,
ia yang mendapatkan pemberian darinya akan menjadi yang terbaik.

[396] Kemudian Sakka memanggil Matali dan mengutusnya menghadap sang petapa, dan sebagai pesan kepada dirinya, ia mengulangi bait berikut:

Di lereng pegunungan Himalaya, tempat Sungai Gangga mengalir, ke arah selatan seorang petapa suci tinggal:
Mātali, bawalah ambrosia ini kepadanya,
makanan dan minuman cukup sulit diperolehnya.

 

 

Kemudian Sang Guru berkata:
Atas permintaan raja dewa, Mātali berangkat, dengan sebuah kereta yang ditarik oleh seribu kuda;
Tanpa terlihat segera ia berdiri di depan tempat pertapaan itu dan mempersembahkan ambrosia, makanan dewa, kepada petapa suci.

 

 

Kosiya menerimanya dan dengan masih dalam keadaan berdiri, mengucapkan bait-bait berikut:

Suatu api pengorbanan tempat saya bangkit, memuji matahari yang menghilangkan
segala kemurungan,
Sakka yang mahatinggi di alam dewa—siapa lagi?— mempersembahkan ambrosia kepadaku.

Putih bak mutiara, tiada tara,
harum semerbak dan bersih suci, indah luar biasa, tak pernah mataku melihatnya sebelumnya;
Apa yang dewa letakkan di tanganku ini?

Kemudian Matali berkata:

[397] Saya datang, wahai petapa agung, diutus oleh Sakka, dengan segera untuk membawakan kepadamu makanan dewa ini:
Makanan terbaik, mohon Anda makan tanpa ada rasa takut, yang Anda lihat ini adalah Mātali, sais kereta dewa.

Dengan memakan ini, dua belas hal buruk akan lenyap; rasa lapar, rasa haus, rasa tak puas, rasa sakit (pada jasmani), rasa lelah, rasa marah, rasa benci, perselisihan, perkataan tidak benar (fitnah), rasa dingin, rasa panas, dan kemalasan—
makanlah inti sari dari dewa ini, tidak ada yang tidak menginginkannya.

Mendengar ini, untuk menjelaskan bahwa ia telah bertekad melatih selalu berbagi (pemberian derma), Kosiya mengucapkan bait berikut ini:

Adalah hal yang salah bila saya makan sendirian, jadi suatu hari kubuat suatu tekad:
Tidak menyentuh makanan jika tidak dapat memberikan sebagian darinya kepada yang lain,
Makan makanan sendirian tidak pernah disetujui oleh orang-orang yang berpikiran mulia,
ia yang tidak berbagi dengan yang lainnya
tidak akan mendapatkan kebahagiaan.

Dan ketika Matali menanyakan kepadanya dengan berkata, “Bhante, apa yang salah yang Anda temukan dalam makan makanan tanpa memberikan sebagian kepada yang lain, sehingga Anda mengambil tekad ini?” ia menjawab:

Semua yang melakukan pezinaan atau yang melukai wanita, yang orang bajik kecam dan cela, yang mengkhianati temannya, dan yang kikir, yang terburuk dari semuanya—semoga saya tidak pernah
menjadi demikian,
Tak setetes air pun akan kusentuh tanpa membagikannya dengan yang lain.

[398] Kepada pria dan wanita dermaku kuberikan,

orang bajik akan memuji perbuatan demikian orangorang yang memberi derma
dengan barang-barang mereka;
Semua yang murah hati di alam ini dan menjauhkan diri dari sifat kikir, disukai oleh semuanya, akan dikenang selamanya sebagai orang yang baik dan benar.

Mendengar ini, Matali kemudian berdiri di hadapannya dalam wujudnya yang tampak oleh mata. Kala itu, keempat bidadari tersebut berdiri di keempat arah mata angin; Siri berdiri di sebelah timur, Asa di selatan, Saddha di sebelah barat, dan Hiri di sebelah utara.

 

 

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Empat bidadari dengan wujud keemasan demikian terang; Asa, Saddha, Siri dan Hiri, atas perintah dari Sakka diutus ke alam manusia,
melangkah ke kediaman Kosiya.

Wanita-wanita yang memiliki wujud yang bersinar laksana api masing-masing berdiri di keempat arah;
Di depan Mātali, petapa suci dengan perasaan riang menyapa satu dari mereka,

‘Siapakah Anda, yang seperti bintang di pagi hari, menyinari langit sebelah timur nan jauh di sana?
Rupamu dalam busana yang berkilau terang keemasan

beritahukanlah namamu, wahai bidadari.’

[399] ‘Namaku adalah Siri, yang dipuja oleh manusia, membela orang-orang yang tidak bersalah:
Untuk meminta makananmu itu saya berada di sini;
Penuhilah permintaanku ini.

Kuberikan kejayaan kepada siapa saja yang kuhendaki, dan kupenuhi segala keinginannya;
Petapa agung, ingatlah namaku Siri, berikanlah makanan dewamu itu kepadaku.’

 

 

Ketika mendengar ini, Kosiya berkata:

Orang bisa saja menjadi ahli, bajik, bijaksana, cendekia melebihi pemikirannya, tetapi tanpa dirimu mereka tidak bisa berhasil tanpa dirimu;
Dalam hal ini, kusalahkan dirimu atas perbuatan buruk.

Orang lain yang malas, serakah, buruk, berasal dari keluarga yang buruk pula:
Tetapi dengan berkahmu mereka menjadi kaya, membuat orang dari keluarga baik-baik sebagai budaknya.

Karenanya Anda kuanggap sebagai yang tidak benar dan dungu, Siri, tanpa menyadari berteman dengan orang dungu dan merendahkan orang bijak;

Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah, saya tidak menyukaimu.

[400] Maka segera ia pun menghilang dari pandangan. Kemudian untuk berbincang dengan Asa, ia berkata:

Siapakah Anda, yang bergigi demikian bersih nan putih, dengan cincin emas yang berkilau dan gelang manikmanik permata,
dalam busana seperti warna ombak laut dan di kepalamu terdapat hiasan menyerupai rumput kusa?

Seperti seekor rusa yang terkena panah pemburu, matamu terlihat sayu seperti makhluk yang keheranan, wahai wanita yang memiliki tatapan lembut, siapakah sanak saudaramu di tempat ini, sehingga mendatangi hutan kesepian ini tanpa rasa takut?

Kemudian Asa mengucapkan bait berikut ini:

Tak ada sanak saudaraku di tempat ini, dari satu kediaman Sakka yang disebut Masakkasāra, terlahir diriku sebagai bidadari:
Untuk meminta makanan dewamu itu, Asa datang menampakkan dirinya di sini;
Dengarlah, wahai petapa suci, dan kabulkanlah permintaanku ini.

[401] Ketika mendengar ini, Kosiya berkata, “Mereka katakan bahwa siapa saja yang membuatmu senang, maka kepadanya akan Anda berikan buah dari asa (harapan) yaitu mengabulkan asa-nya, dan siapa saja yang tidak membuatmu senang, maka tidak akan Anda kabulkan asa-nya. Keberhasilan tidak menghampirinya karena dirimu dalam hal ini, tetapi Anda yang menyebabkan kehancurannya,” dan dengan perumpamaan, ia berkata:

Dengan asa (di dalam diri), para saudagar mencari harta di tempat-tempat nan jauh, dan dengan kapal mengarungi samudra berombak besar:
Acap kali mereka tenggelam dan tak muncul kembali, ataupun jika selamat, mereka kehilangan kekayaan.

Dengan asa (di dalam diri), para petani membajak sampai pada masa menabur benih bekerja dengan kemampuan terbaik mereka;
Tetapi ketika wabah, atau kekeringan melanda, tak ada hasil panen yang dapat dinikmati sebagai hasil kerja keras mereka.

Orang-orang yang mencari kesenangan, terdorong oleh asa mereka, berusaha mengambil hati dan demi tuan mereka melakukan tindakan gagah berani,

Karena tertekan oleh musuh dari segala sisi mereka pun terjatuh, dan dalam pertempuran demi tuan mereka, kehilangan nyawa dan segalanya.

Biji-bijian dan harta kekayan ditinggalkan untuk sanak keluarganya, dengan asa untuk terlahir di alam menyenangkan, mereka menjalani siksaan dengan keras, dan dengan jalan yang salah mereka terlahir di alam menyedihkan.

Penipu manusia, permintaanmu adalah hal yang sia-sia, jauhkanlah dirimu dari keinginan akan permintaan ini;
Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah, saya tidak menyukaimu.

[402] Sama halnya dengan bidadari sebelumnya, setelah ditolak permintaannya, Asa pun langsung menghilang dari pandangan. Kemudian untuk berbincang dengan Saddha, ia mengucapkan bait berikut ini:

Bidadari terkenal yang mengenakan busana luar biasa terang menyala, yang berdiri di sebelah barat menandakan ketidakberuntungan, rupamu dalam busana yang berkilau terang keemasan,
beritahukanlah namamu, wahai bidadari.

Kemudian ia (Saddha) mengucapkan satu bait berikut:

Namaku adalah Saddha, yang dipuja oleh manusia, membela orang-orang yang tidak bersalah:
Untuk meminta makananmu itu saya berada di sini;
Penuhilah permintaanku ini.

Kemudian Kosiya berkata, “Dengan memercayai katakata dari satu orang dan kemudian orang berikutnya akan melakukan ini dan itu, manusia-manusia itu lebih banyak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan daripada melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan semuanya ini terjadi dikarenakan dirimu,” dan ia mengulangi bait-bait berikut:

Dengan keyakinan (di dalam diri), orang-orang kadang kala memberikan derma, menjalankan pengendalian diri dan latihan moralitas:
[403] Tetapi kadang kala pula dikarenakan keyakinan, mereka melakukan perbuatan buruk, berbohong, menipu, memfitnah.

Dengan memiliki istri yang sederhana, setia dan berasal dari keluarga baik-baik, seorang laki-laki berhati-hati dan mawas diri, dapat melegakan keinginannya dalam hal ini, akan tetapi ia juga mungkin menaruh semua kepercayaannya kepada seorang pelacur.

Dikarenakan dirimu, wahai Saddha, timbullah perzinaan, meninggalkan yang baik menjalankan yang buruk;

Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah, saya tidak menyukai dirimu.

Ia juga sama halnya langsung menghilang dari pandangan. Kemudian untuk memulai perbincangan dengan Hiri yang berdiri di arah utara, Kosiya mengulangi dua bait berikut:

Seperti fajar yang menggantikan gelapnya malam, demikianlah kecantikanmu yang terlihat olehku;
[404] Wahai bidadari dengan rupa demikian anggun,
Beritahukanlah namamu dan katakanlah siapa dirimu.

Seperti suatu tanaman lembut212 yang akar-akarnya mendapat makanan dalam tanah tersebar seperti kobaran api, dedaunan merahnya yang gugur oleh hembusan angin musim panas,
mengapa Anda melihatku dengan malu-malu, seakanakan lemah untuk berbicara, berdiri diam membisu?

Kemudian ia (Hiri) mengucapkan bait berikut:

Namaku adalah Hiri, yang dipuja oleh manusia,
yang membantu manusia-manusia tidak berbuat buruk;
Untuk meminta makananmu saya berada di sini,

tetapi tidak berani menyebutkan rincian permintaanku; menuntut adalah yang segan dilakukan oleh wanita.

Ketika mendengar ini, petapa tersebut mengucapkan dua bait berikut:

Tidak perlu bagimu memohon dan menuntut padaku, untuk menerima apa yang benar dan seharusnya didapatkan:
Kuberikan padamu permintaan yang tak berani Anda katakan, terimalah makanan ini yang Anda hendaki.

[405] Bidadari yang berbusana keemasan, kumohon Anda berkenan makan bersamaku di kediamanku hari ini: Selain menawarkanmu makanan-makanan lezat lainnya, juga makanan dewa ini akan kubagi bersama denganmu.

Kemudian bait-bait berikutnya diucapkan oleh Ia Yang Tercerahkan Sempurna:

Demikian Hiri, bidadari yang berjaya, disambut sebagai tamu di kediaman Kosiya atas permintaannya:
Buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan (akar-akaran) berlimpah ruah di sana, dan makhluk-makhluk suci dapat ditemukan di sekitarnya.

Di sini beragam jenis tumbuhan213 yang berbunga dapat terlihat dalam belukar lebat itu, mangga, piyāla, nangka,
kiṃsuka214; pohon sala dan jambu menghiasi bagian tengah, pohon bodhi dan pohon ara (tampuk pinang) tampak merindang.

Di sini terdapat beragam jenis bunga dengan aroma wangi menyebar luas,
di sini dapat pula ditemukan padi dan kacang-kacangan: Rumpun pohon pisang terlihat di mana-mana, dan pohon bambu tumbuh lebat berkelompok.

Di sebelah utara, diapit di kedua sisi oleh tepi yang datar dan dihidupi oleh aliran air yang jernih,
terdapat sebuah kolam.

Di kolam itu beragam jenis ikan215 bersenang-senang sesuka hati mereka menikmati beragam makanan berlimpah ruah yang menghidupi mereka.

[406] Di sana beragam jenis burung menikmati makanan dan minuman yang berlimpah ruah jua, burung angsa, burung pucung, merak, angsa emas, elang (pemakan ikan), dan tekukur dapat terlihat.

Di sana beragam jenis hewan liar menjadikannya sebagai tempat pelepas dahaga, singa, harimau, babi, beruang, hiena (anjing hutan), serigala.

Kerbau, badak, dan banteng juga ada di sini, bersama dengan kijang, rusa besar, kawanan babi hutan, rusa merah dan jenis lainnya, serta kucing dengan telinga yang menyerupai kelinci terlihat.

Landaian gunung dihiasi oleh indahnya beragam tumbuhan yang merindang dan gema suara kicauan burung yang menghuninya.

Demikianlah Yang Terberkahi melantunkan pujian terhadap (keadaan sekitar) kediaman Kosiya. Kemudian untuk menjelaskan cara Hiri masuk ke dalamnya, Beliau berkata:

[407] Bidadari anggun yang bersandar pada suatu cabang, seperti kilat yang muncul di tengah badai, langsung menuju ke kediaman petapa itu.
Sebuah tempat duduk yang bagus disiapkan untuknya, dengan pernak-pernik di atasnya, semuanya disatukan oleh rumput kusa, beralaskan kulit kijang.
Dan demikian kepada Hiri, petapa agung itu berkata: ‘Tempat duduk ini disiapkan untukmu; silakan duduk.’

Kemudian, dengan segera, sang petapa memberikan air bersih dengan sehelai daun yang baru saja dikumpulkannya,
Dan mengetahui apa yang menjadi keinginan hatinya, dengan senang hati ia memberikan makanan dewa itu kepadanya.

Menerima hadiah sambutan itu di tangannya, dalam perasaan sukacita bidadari berujar demikian kepada orang suci itu:
‘Anda telah memberikan pujaan dan kemenangan kepadaku, sekarang saya akan kembali ke kediaman surgawiku.’

Wanita itu dengan rasa bangga akan kehormatan, setelah mendapat persetujuan dari Kosiya,
kembali kepada Indra,
‘Lihatlah,’ katanya dengan keras, ‘dewa bermata seribu, ambrosia yang ada di sini—berikanlah hadiah itu kepadaku.’

Kemudian Sakka dan semua penghuni alam dewanya memberi hormat kepada bidadari tiada tara,
dan ketika ia duduk di takhta barunya, dewa-dewa yang ada di hadapannya dan juga manusia memujanya.

[408] Selagi mereka memberikan penghormatan demikian kepadanya, terlintas dalam pikiran Sakka, “Apa yang menjadi alasan mengapa Kosiya memberikan ambrosia itu hanya kepada putriku ini dan menolak yang lainnya?” Untuk mendapatkan kepastian akan alasannya, ia kembali mengutus Matali (mencari jawabannya).

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan bait berikut:

Demikian Sakka, raja dewa di Alam Tāvatiṁsā, memanggil Mātali sekali lagi dan berkata,
‘Pergi dan mintalah petapa suci itu jelaskan mengapa Hirī  (Hiri) yang mendapatkan ambrosia itu.’

 

 

Mematuhi perkataannya, Matali berangkat menuju ke sana dengan mengendarai kereta yang disebut Vejayanta216.

 

 

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikian Mātali meluncurkan sebuah kereta dalam melakukan perjalanan di angkasa, dengan segala perlengkapan dalam keanggunannya yang luar biasa, tiang emasnya, emas yang amat berharga, dan segala kerangkanya diperindah dengan hiasan emas.

Burung merak bergaris keemasan tidaklah sedikit jumlahnya, kuda, sapi, gajah, harimau, macan kumbang

juga, terlihat di sini kijang dan rusa seperti siap bertempur,
terlihat di sini juga dengan batu permata burung-burung lainnya yang beterbangan.

Mereka menggunakan seribu kuda terbaik berwarna keemasan, yang masing-masing kuat seperti gajah muda, suatu pandangan luar biasa untuk dilihat;
[409] Bagian dada mereka dihubungkan oleh satu jaringan, disertai pula dengan untaian bunga, dengan tali kekang yang tidak ketat, dengan hanya ucapan satu kata, secepat angin mereka berlari.

Ketika Mātali menaiki kereta surgawi ini dengan satu guncangan, cakrawala di sepuluh arah menggemakan suaranya:
Di saat ia melewati perjalanan di angkasa, ia membuat bumi berguncang, langit dan laut dengan bebatuan dan pepohonan yang bergoyang.

Segera setelah sampai di kediamannya, memiliki keinginan untuk memberi hormat kepada petapa suci itu, ia mengosongkan satu bahunya,
dan untuk berbicara kepada brahmana agung itu, seorang yang bijaksana dan cendekia, sangat ahli dalam pengetahuan, demikian Mātali memulainya:

Dengarlah, wahai Kosiya, kata-kata dan pesan dari Indra yang kubawa ini, raja para dewa, atas apa yang ingin diketahuinya,
‘Permintaan dari Asa, Saddha, dan Siri tidak Anda kabulkan, mengapa harus Hiri yang mendapatkannya?

 

 

[410] Mendengar perkataannya ini, petapa itu mengucapkan bait berikut:

Wahai Mātali, bagiku Siri adalah wanita yang tidak berkeahlian, Saddha menunjukkan ia adalah wanita yang selalu berubah, Asa menyukai para penipu, melanggar janjinya,
sedangkan Hiri adalah satu-satunya yang berada dalam jalan yang bajik dan benar.

Dan sekarang untuk memuji kebajikan (kualitas bagus) dari Hiri, ia berkata:

Para gadis yang masih tinggal di dalam rumah mereka, selalu terjaga dengan baik,
para wanita yang telah melewati masanya, seperti yang tinggal bersama suami mereka, sewaktu-waktu ketika timbul nafsu berahi dalam diri,
mendengar suara Hiri (suara hati karena segan), mereka akan berpikir sekali lagi, dan padamlah nafsu bejat.

Ketika panah dan tombak beterbangan dalam suatu pertempuran, dan dalam keadaan rusuh, banyak orang terjatuh dan lari menyelamatkan diri,
mendengar suara Hiri, mereka akan berpikir sekali lagi, meskipun nyawa taruhannya, dan mereka akan berdamai kembali, seolah-olah seperti diserang oleh kepanikan217.

Seperti pantai yang menenangkan hantaman ombak laut, demikianlah Hiri (rasa segan berbuat jahat) mengendalikan perbuatan dari orang-orang yang jahat.
Kalau begitu, Mātali, cepatlah kembali kepada Indra dan jelaskan padanya, para ariya di seluruh penjuru pasti memilih Hiri tanpa keraguan.

[411] Mendengar ini, Mātali (Matali) mengulangi bait berikut:

Siapa gerangan, Kosiya, yang memberikan pandangan ini kepadamu, apakah Indra, Brahma, atau mungkin
Pajāpati 218?

Hiri adalah putri dari Indra, dan di alam dewa, ia mendapatkan kejayaan sebagai yang terbaik.

Selagi berkata demikian, pada saat itu juga Kosiya harus mengalami tumimbal lahir. Kemudian Matali berkata kepadanya, “Kosiya, kehidupanmu219 akan berakhir (segera): latihanmu dalam pemberian220 (derma) telah selesai. Apa lagi yang harus Anda lakukan di alam manusia? Mari kita pergi ke alam dewa sekarang,” dan dengan berpikiran seperti ini, ia mengucapkan bait berikut:

Mari, petapa suci, segera kita naik ke dalam kereta kesayanganku, dan biarlah diriku membawamu ke alam menyenangkan, tempat Tāvatiṁsā berada.
Indra lama menantikan dirimu, keluarga dari Indra,
hari ini hubungan kekeluargaan dengan Indra akan Anda dapatkan.

Selagi Matali berkata demikian, Kosiya, setelah meninggal dunia, muncul sebagai dewa tanpa intervensi dari orang tua221, dan berdiri di kereta surgawi tersebut. Kemudian Matali membawanya ke hadapan Sakka. Ketika melihatnya, Sakka merasa amat bahagia dan menikahkan putrinya, Hirī, kepadanya sebagai permaisuri, dan menganugerahkan kepadanya kekuasaan tanpa batas.

 

 

Ketika meninjau keadaan yang terjadi ini, Sang Guru berkata: “Disebabkan oleh jasa-jasa kebajikan dari makhluk itulah ia menjadi demikian suci kembali,” dan Beliau mengulangi bait terakhir berikut:

Demikianlah perbuatan-perbuatan dari orang suci ini membawanya ke akhir yang menyenangkan, dan menikmati buah dari perbuatan kebajikannya.
[412] Ia yang memberikan ambrosia kepada Hiri, setelah meninggal, langsung menjadi anggota keluarga dari Indra, sang raja dewa.

 

 

Sang Guru menyampaikan uraian kisahnya sampai di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, tetapi juga di masa lampau saya mengubah orang yang tak mau memberi, yang benar-benar kikir ini,” dan setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada waktu itu, Uppalavaṇṇā adalah Hirī (Hiri), bhikkhu yang dermawan itu adalah Kosiya, Anuruddha adalah Pañcasikha, Ānanda adalah Mātali, Kassapa adalah Suriya, Moggallāna adalah Canda, Sāriputta adalah Nārada, dan aku adalah Sakka.

 

Catatan Kaki :
199 Bandingkan Vol. I. No. 78, Illisa-Jātaka.
200 Sebuah kiasan yang digunakan untuk menggambarkan suatu kepunyaan yang tak ada gunanya.
201 anuseṭṭhi, dengan jelas kata ini menunjukkan seorang pejabat (kerajaan) yang berada di bawah jabatan Yang Mulia Bendahara. Lihat Fick’s Die Sociale Gliederung im nordöstlichen
Indien zu Buddha’s Zeit, catatan pada halaman 167, 168.
202 Madhura, mungkin bisa juga dibaca madhu, yang berarti ‘madu’, karena bahan-bahan untuk membuat bubur ini disebutkan di halaman berikutnya.
203 patthaṃ taṇḍulānaṃ, kata ‘pattha’ menyatakan ukuran banyaknya yang dalam PED diartikan sebagai ¼ Ālhaka; catubhāgaṃ khīrassa, ‘catubhāga’ berarti seperempat; accharaṃ
sakkharātya, ‘acchara’ dalam terjemahan Inggris diduga sebagai satuan ukuran juga yang tidak disebutkan spesifikasinya; karaṇḍakaṃ sappisa karaṇḍakaṃ madhussa, ‘karaṇḍaka’ dalam PED diartikan ‘satu kotak, satu keranjang’.
204 Balai Dewa Sakka; balai pertemuan para dewa yang dikepalai oleh Sakka.
205 māluvapattāni.
206 khadira; Areca catechu.
207 Perencanaan (pengaturan) untuk tukar menukar derma itu tidak diperbolehkan. Bandingkan Jātaka II, catatan pada halaman 57 dan 214, versi bahasa Inggris.
208 Asa, Keyakinan, Kejayaan, Keseganan.
209 nama sebuah taman di kediaman Dewa Indra.
210 The coral tree—pāricchattaka, Erythmia indica, sebuah nama pohon yang ada di kediaman Dewa Indra.
211 sudhā(bhojana); ambrosia, makanan atau minuman dewa.
212 kāḷā; Ipomaea turpethum.
213 Banyak nama pohon dan tumbuhan (tanaman), yang hanya diketahui nama latinnya, dihilangkan.
214 piyāla ( Buchanania latifolia); kiṃsuka ( Butea frondosa) = palāsa.
215 Nama-nama ikan yang diberikan, kebanyakan tidak diketahui, telah dihilangkan.
216 Kereta (perang) Dewa Sakka. Bandingkan Jātaka I. 202. 23, II. 254. 13, IV. 355. 17, VI. 103. 6. Di tempat yang lain, kata ini juga bisa berarti nama dari istana Dewa Sakka.
217 Para ahli mengartikannya demikian: ‘Dan dengan berlari kembali kepada pemimpin mereka masing-masing, perdamaian akan tercipta.’
218 Nama dari ketiga makhluk dewata (yang sama) ini juga muncul di dalam Jātaka VI. 568. Pajāpati di sini benar-benar berbeda dengan Brahma.
219 Jātaka I. 106, versi bahasa Inggris.
220 Dengan frasa dānadhamma, bandingkan frasa deyyadhamma, istilah umum Buddhis untuk suatu pemberian yang benar atau persembahan yang sesuai tekad.
221 opapātika adalah suatu makhluk yang muncul (terbentuk/terlahir) tanpa ada bantuan (atau intervensi) dari orang tua, seperti tanpa sebab dan muncul dengan spontan, melainkan dikarenakan oleh karma (perbuatan) dari suatu makhluk yang telah meninggal di tempat lain.
Buddhist Suttas, hal. 213 (S.B.E. XI.).

 

 

 

Leave a Reply 0 comments