
No. 537.
MAHĀ-SUTASOMA-JĀTAKA 258.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Tuan dari rasa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang Thera, Aṅgulimāla (Angulimala)259. Kisah kelahirannya dan bagaimana ia bisa menerima penahbisan menjadi seorang bhikkhu dapat dilihat pada Aṅgulimāla Sutta. Mulai dari saat dengan menggunakan pernyataan kebenaran ia menyelamatkan nyawa seorang wanita yang mengalami kesulitan dalam proses kelahiran, ia mendapatkan makanan derma dengan mudahnya, dan dengan terus-menerus mengembangkan pelepasan (viveka) ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat, dan kemudian dikenal sebagai salah satu dari delapan puluh Mahathera.
Kala itu, para bhikkhu memulai pembicaraan mengenai ini di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “ Āvuso, betapa suatu keajaiban luar biasa yang disebabkan oleh Yang Terberkahi, dengan damai tanpa menggunakan kekerasan apa pun, Beliau mengubah dan membuat seorang penyamun besar yang keji dan berlumuran darah, Angulimala, menjadi rendah hati: Oh, sungguh, para Buddha melakukan hal-hal yang luar biasa!” Sang Guru yang sedang duduk di dalam gandhakuṭi, dengan kekuatan telinga dewa-Nya, mendengar apa yang mereka katakan.
Mengetahui bahwa kedatangan-Nya pada hari itu akan menjadi sangat membantu dan akan adanya pemaparan khotbah besar, dengan keanggunan seorang Buddha, Beliau pergi ke balai kebenaran dan setelah duduk di tempat yang telah disediakan, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana; ketika mereka memberitahukan topik pembicaraannya, Beliau berkata, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, di saat sekarang saya mengubahnya [457], ketika telah kucapai penerangan tertinggi. Di masa lampau ketika hidup dengan pengetahuan yang terbatas260, juga kuubah dirinya menjadi yang baik,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala seorang raja yang bernama Koravya memerintah Kota Indapatta dengan benar, di dalam Kerajaan Kuru. Bodhisatta terlahir sebagai anak dari permaisurinya, dan dikarenakan kegemarannya akan jus buah soma, mereka memberinya nama Sutasoma. Ketika beranjak dewasa, ayahnya mengirim ia ke Takkasila untuk mendapatkan pendidikan dari seorang guru yang terkemuka. Maka setelah mengambil uang untuk membayar gurunya, ia pun berangkat pergi. Di Kerajaan Benares juga, Pangeran Brahmadatta, putra dari Raja Kasi, dikirim oleh ayahnya dengan tujuan yang sama, dan berangkat menuju tempat yang sama. Di tengah perjalanannya, untuk beristirahat, Sutasoma duduk di sebuah papan yang terdapat dalam suatu balai di dekat gerbang kota. Pangeran Brahmadatta juga, datang dan duduk di papan yang sama. Setelah beruluk salam, Sutasoma bertanya kepadanya, “Teman, Anda kelihatan lelah dalam perjalanan. Dari manakah asalmu?” Ketika dijawabnya, “Dari Benares,” ia kemudian menanyakan putra siapakah dirinya itu. “Putra dari Brahmadatta.” “Dan siapakah namamu?” “Pangeran Brahmadatta.” “Apa tujuanmu datang ke sini?” “Untuk mendapatkan pendidikan,” jawabnya. Kemudian Pangeran Brahmadatta berkata, “Anda juga kelihatan lelah dalam perjalanan,” dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Dan Sutasoma memberitahukan kepadanya semua tentang dirinya.
Mereka berdua kemudian berpikir, “Kami berdua adalah pangeran yang pergi untuk mendapatkan pendidikan dalam ilmu pengetahuan dari satu guru yang sama,” dan mereka pun menjadi sahabat. Kemudian setelah memasuki kota, mereka langsung pergi ke rumah sang guru dan memberi salam hormat kepadanya, dan setelah memberitahukan dari mana mereka berasal, mereka pun memberitahukan bahwa tujuan mereka datang adalah untuk mendapatkan pendidikan. Sang guru menerima permintaan mereka. Setelah memberikan uang untuk pendidikan, mereka memulai pembelajaran. Bukan hanya mereka saja, tetapi pangeran-pangeran lain yang ada di India, sampai berjumlah seratus satu orang, mendapatkan pendidikan dari guru yang sama. Merupakan murid yang senior, dengan cepat Sutasoma mendapatkan kemampuan dalam mengajar, tanpa mengunjungi yang lainnya [458], ia berpikir, “Ini adalah sahabatku,” dan hanya mengunjungi Pangeran Brahmadatta.
Menjadi guru pribadinya, dengan cepat ia mengajari dirinya, sedangkan yang lainnya secara berangsur-angsur mendapatkan pelajaran mereka. Setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka berpamitan dengan sang guru, dan dengan membentuk satu kumpulan mengikuti Sutasoma dalam perjalanan pulang.
Kemudian dengan berdiri di depan mereka, untuk membubarkan mereka, Sutasoma berkata, “Setelah kalian menunjukkan bukti dari pembelajaran kepada ayah kalian masing-masing, kalian akan menjadi raja di kerajaan masing-masing. Ketika hal itu terjadi, pastikan kalian mematuhi petunjuk dariku.” “Apa petunjuknya itu?” “Menjalankan sila Uposatha dan berusaha menghindari pembunuhan terhadap makhluk apa pun.” Mereka semuanya setuju dengan hal ini. Dari kekuatannya untuk meramal dari penampilan seseorang, Bodhisatta mengetahui bahwa bahaya besar akan muncul yang berhubungan dengan Pangeran Benares di masa yang akan datang, dan oleh karena itu ia membubarkan mereka dengan sebelumnya menasihati mereka demikian. Mereka semua kemudian kembali ke kerajaan masing-masing, dan setelah menunjukkan hasil pembelajaran kepada ayah mereka, mereka pun naik takhta menjadi raja.
Untuk memberitahukan tentang hal ini dan juga tentang mereka yang tetap menjalankan nasihatnya, dan sebuah hadiah, mereka mengirimkan surat kepada Sutasoma. Ketika mengetahui hal ini, Sang Mahasatwa membalas surat-surat mereka, dengan tetap meminta mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh berkeyakinan. Salah satu dari mereka, Raja Benares, tidak pernah memakan makanannya tanpa daging, dan untuk menjalankan laku Uposatha, mereka akan meletakkan dagingnya di satu sisi. Suatu hari, setelah dagingnya diletakkan demikian, disebabkan oleh kecerobohan dari si juru masak, anjing-anjing yang berada di dalam istana memakan daging tersebut. Ketika tidak lagi menemukan daging itu, juru masak istana mengambil segenggam penuh koin dan berkeliling untuk membeli daging.
Tidak berhasil untuk mendapatkan daging apa pun, ia berkata, “Jika kusajikan makanan tanpa daging, saya pasti akan mati. Apa yang harus kulakukan?” Tetapi setelah berpikir, “Masih ada satu cara,” pada malam hari ia pergi ke suatu daerah pekuburan tempat mayat-mayat dikuburkan, ia mengambil daging paha dari seorang laki-laki yang baru saja meninggal. Ia memanggangnya sampai matang dan menyajikannya sebagai makanan. Tak lama setelah potongan kecil daging itu masuk ke lidah raja, kemudian itu menyampaikan suatu sensasi ke tujuh ribu saraf perasa dan terus-menerus menimbulkan suatu guncangan di sekujur tubuh raja. Mengapa terjadi demikian? Karena di kehidupan lampaunya, ia pernah memakan makanan seperti ini. Dikatakan bahwa sebagai yaksa di kehidupan lampaunya, ia memakan sejumlah daging manusia, dan oleh sebab itulah tubuhnya mengenali rasa tersebut261. [459] Raja kemudian berpikir, “Jika saya tetap makan tanpa bersuara, ia tidak akan memberitahukanku daging apa ini sebenarnya,” maka ia pun memuntahkan sepotong daging ke lantai. Ketika juru masak itu berkata, “Paduka, Anda dapat memakannya; tidak ada yang salah,” raja memerintahkan semua pengawalnya untuk keluar dan berkata, “Saya tahu daging ini tidak bermasalah, tetapi daging apakah ini?” “Sama seperti apa Yang Mulia makan pada hari-hari sebelumnya.” “Mengapa daging pada hari-hari sebelumnya tidak memiliki rasa seperti ini?” “Karena hari ini dagingnya dimasak dengan amat baik, Paduka.” “Apakah benar kamu memasaknya sama seperti pada hari-hari sebelumnya?”
Kemudian ketika melihatnya diam membisu, raja berkata, “Jika tidak memberitahukan yang sebenarnya, maka kamu akan mati.”
Maka ia pun meminta jaminan pengampunan terlebih dahulu dan memberitahukan kebenarannya. Raja berkata, “Jangan mengatakan apa-apa tentang ini. Kamu akan tetap dapat memakan daging yang biasa kamu masak, dan, hanya untukku sendiri, kamu harus memasak daging manusia.” “Ini adalah suatu hal yang sulit, Paduka.” “Jangan takut, tidak ada yang sulit.” “Dari mana bisa kudapatkan daging manusia secara terus-menerus?”
“Apakah tidak ada banyak orang di dalam penjara?” Mulai saat itu, ia pun melakukan apa yang diminta oleh raja. Lambat laun, ketika jumlah tawanan telah amat berkurang, ia berkata, “Apa yang harus kulakukan sekarang?” “Buanglah satu bungkusan yang berisikan ribuan keping uang di tengah jalan besar, dan tangkaplah siapa saja yang memungutnya sebagai seorang pencuri dan hukum mati dirinya.” Ia pun melakukan demikian.
Lambat laun, ketika tidak ada lagi orang yang mengambil bungkusan uang itu, ia berkata, “Apa yang harus kulakukan sekarang?” “Di saat genderang dibunyikan pada jam malam, kota akan dipenuhi dengan orang. Kemudian, dengan berada di celah pada dinding rumah atau persimpangan jalan, pukullah seseorang sampai jatuh mati dan ambillah dagingnya.” Mulai hari itu, ia selalu kembali dengan membawa daging segar, dan di tempat-tempat yang berbeda selalu terdapat mayat-mayat berserakan. Ratap tangis pun terdengar, “Saya telah kehilangan ayah, saya telah kehilangan ibu, saya telah kehilangan abang, saya telah kehilangan adik.” Para penduduk diserang dengan kepanikan dan berkata, “Pasti ada singa atau harimau atau yaksa yang memakan orang-orang ini.” Ketika memeriksa mayatmayat tersebut, mereka melihat luka seperti akibat perbuatan manusia dan berkata, “Apakah ini berarti manusia yang memakan daging mereka-mereka ini?” Para penduduk berkumpul bersama di halaman istana dan menyampaikan keluhan mereka. Raja bertanya, “Ada apa ini, Teman-temanku?”
“Paduka,” kata mereka, “ada penjahat kanibal di kota ini: Mohon Paduka memerintahkan pengawal untuk menangkapnya.”
“Bagaimana caranya saya mengetahui siapa itu orangnya? Apakah saya harus berjalan berkeliling dan menjaga kota?” Para penduduk berkata [460], “Raja tidak memiliki kepedulian (lagi) terhadap kota. Kami akan melaporkan hal ini kepada Panglima Tertinggi, Kāḷahatthi (Kalahatthi).” Mereka memberitahukan masalah itu kepadanya dan berkata, “Anda harus mencari penjahat itu.” Panglima menjawab, “Berilah waktu tujuh hari, akan kudapatkan penjahat itu dan kuserahkan ia kepada kalian.”
Dan setelah membubarkan kumpulan orang tersebut, ia memberikan perintah kepada para pengawalnya, dengan berkata, “Teman-temanku, orang-orang mengatakan bahwa ada seorang penjahat kanibal di kota ini. Siap siaga lah di beberapa tempat yang berbeda dan kalian harus mampu menangkapnya.”
“Baik,” jawab mereka. Mulai hari itu, mereka mengelilingi seluruh kota. Kemudian, si juru masak bersembunyi di celah sebuah rumah dan membunuh seorang wanita, dan mulai mengisi keranjangnya dengan daging segar. Maka para pengawal istana seketika itu juga menangkap dan memukulinya, dan setelah mengikat kedua tangannya di belakang, mereka berkata dengan keras, “Kami telah menangkap penjahat kanibal itu.” Kerumunan orang pun mengelilingi mereka.
Kemudian setelah memukulinya dengan keras dan mengikat keranjang daging itu di lehernya, mereka membawanya ke hadapan panglima. Ketika melihatnya, panglima berpikir, “Apakah orang ini yang memakan daging atau apakah ia mencampurnya dengan daging yang lain dan menjualnya, atau apakah ia membunuh orang atas perintah orang lain?” Dan untuk menanyakan masalah ini, ia mengucapkan bait pertama berikut:
Tuan dari segala rasa, kebutuhan apa yang mendesakmu melakukan perbuatan mengerikan ini?
Apakah untuk makanan atau untuk kekayaan, Orang buruk yang salah arah, Anda membunuh orang-orang?
Bait-bait berikutnya diucapkan oleh mereka secara bergantian:
Bukan untuk istri atau anak, teman, saudara, atau uang, Bukan juga untuk diriku sendiri kubunuh wanita ini;
Tuanku yang mulia, pemimpin negeri ini,
memakan daging manusia: kulakukan perbuatan buruk ini atas permintaannya.
Jika demikian diperintahkan untuk memuaskan nafsu tamak dari tuanmu, maka Anda bersalah atas perbuatan buruk ini,
[461] Mari kita menghadap kepada raja di subuh hari,
dan kembalikan tuduhan ini kepada dirinya.
Wahai Kāḷahatthi, pemimpin baik yang patut dipuja, akan kulakukan sesuai dengan perkataanmu,
saya akan menghadap kepada raja di subuh hari, dan mengembalikan tuduhan ini kepada dirinya.
Maka sang panglima membaringkannya, tetap dalam keadaan terikat, dan pada subuh hari ia berdiskusi dengan para pemimpin pasukannya. Ketika mereka setuju dengannya, ia pun menempatkan penjaga di segala penjuru, dan setelah demikian menguasai kota, ia mengikatkan keranjang daging itu pada leher si juru masak dan pergi bersamanya menuju ke istana, seluruh kota berada dalam suatu kegemparan. Hari itu, raja telah menyantap sarapan satu hari sebelumnya, tetapi tidak menyantap makan malam dan menghabiskan waktunya semalaman duduk menunggu si juru masak datang. “Hari ini juga,” pikirnya, “tak ada juru masak yang datang, dan kudengar ada kegemparan di kota. Ada apa gerangan?” Dan sewaktu melihat ke luar jendela, ia melihat laki-laki itu diperlakukan dengan cara yang telah diuraikan sebelumnya menuju ke sana, dan dengan berpikir bahwa semuanya telah terbongkar, ia pun berusaha mengumpulkan segala keberaniannya dan duduk di takhtanya. Kalahatthi kemudian menghampirinya dan bertanya kepadanya, dan raja menjawabnya.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Matahari belum terbit dan hari pun belum pagi,
ketika Kāḷa datang ke istana membawa serta juru masak, dan dengan menghampiri raja, kata-kata berikut diucapkannya.
‘Paduka, apakah benar juru masak ini dikirim ke jalanan, dan diperintahkan untu membunuh orang-orang agar dapat memberikan daging kepadamu sebagai makanan?’
[462]’ Kāḷa, benar demikian; itu dilakukan atas permintaanku:Mengapa menyalahkannya atas perbuatan yang dilakukan atas perintah dariku?’
Ketika mendengar ini, panglima berpikir, “Ia mengakuinya dengan mulutnya sendiri. Oh, Makhluk keji! Selama ini ia memakan daging manusia: akan kuhentikan ia dari perbuatannya ini,” dan berkata, “Paduka, janganlah makan ini, jangan memakan daging manusia.” “Kalahatthi, apa yang kamu katakan ini? Saya tidak bisa berhenti darinya.” “Paduka, jika tidak berhenti darinya, Anda akan menghancurkan diri sendiri dan juga kerajaan.” “Meskipun kerajaanku hancur, tetapi saya tidak mampu berhenti darinya.” Kemudian sang panglima, untuk memberikan pemikiran yang lebih baik, menceritakan sebuah kisah sebagai bentuk perumpamaan.
Dahulu kala terdapat enam ekor ikan monster di sebuah samudra yang mahaluas. Mereka adalah Ānanda (Ananda), Timanda, Ajjhohāra (Ajjhohara) yang berukuran lima ratus yojana panjangnya, Tītimīti (Titimiti), Miṅgala (Mingala), Timirapiṅgala (Timirapingala) yang berukuran seribu yojana panjangnya. Mereka semuanya ini pemakan lumut262 yang tumbuh di bebatuan. Di antara mereka, Ananda tinggal di satu sisi dari samudra tersebut dan banyak ikan yang datang untuk mengunjunginya. Suatu hari mereka berpikir, “Terdapat para pemimpin di antara makhluk-makhluk berkaki dua dan makhlukmakhluk berkaki empat, tetapi kami tidak memiliki raja (pemimpin): kami akan menjadikan ikan ini sebagai raja kami.”
Dan karena semuanya mencapai satu kesepakatan, mereka pun menjadikan Ananda sebagai raja mereka, dan mulai hari itu semua ikan datang untuk memberikan hormat dan pelayanan kepadanya. Suatu hari, Ananda sedang berada di satu gunung dan menyantap lumut yang ada, secara tak sengaja ia memakan seekor ikan karena mengira itu adalah lumut. [463] Daging ikan itu terasa lezat baginya, dan merasa ingin tahu benda apa itu yang begitu manis, ia pun mengeluarkannya dari mulut dan melihat potongan daging dari seekor ikan. Ia berpikir, “Karena ketidaktahuan-ku selama ini tidak pernah kumakan makanan jenis ini sebelumnya: setiap sore dan pagi hari ketika ikan-ikan itu datang untuk memberikan pelayanan kepadaku, akan kumakan satu atau dua dari mereka, karena jika kumakan mereka secara terang-terangan, maka tak ada satu pun yang akan mendekatiku lagi, mereka akan kabur semuanya.” Maka dengan sembunyisembunyi, ia menyerang ikan yang berada di bagian belakang (ketika hendak pulang) dan memakannya. Ketika jumlah mereka lambat laun menjadi berkurang, ikan-ikan tersebut berpikir, “Bahaya apa ini yang mengancam kami?” Kemudian seekor ikan bijak yang berada di antara mereka berpikir, “Saya merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh Ananda: akan kuselidiki apa yang sebenarnya dilakukannya,” dan ketika ikan-ikan datang untuk memberikan hormat dan pelayanan kepada Ananda, si ikan bijak itu bersembunyi pada insang Ananda. Setelah membubarkan ikan-ikan tersebut, Ananda memakan mereka yang berada di luar barisan di bagian belakang. Ikan bijak yang melihatnya memberitahukan hal ini kepada yang lainnya dan mereka melarikan diri karena panik.
Sejak hari itu, dikarenakan nafsu serakahnya akan rasa daging ikan, Ananda menolak jenis makanan yang lainnya. Sewaktu jatuh sakit karena lapar, ia berpikir, “Ke mana gerangan perginya mereka?” Dalam pencariannya, ia melihat sebuah gunung dan berpikir, “Dikarenakan rasa takut terhadap diriku, menurutku ikan-ikan itu pasti berada di dekat gunung ini. Akan kukelilingi gunung ini dan kucari mereka. Maka dalam pencariannya mengelilingi gunung tersebut, ia berpikir kembali, “Jika mereka berada di tempat ini, mereka pasti melarikan diri (sekarang),” dan sewaktu melihat ekornya sendiri di saat berputar mengelilingi gunung tersebut, ia berpikir, “Ikan ini berada di dekat gunung ini dan sedang mencoba untuk menghindariku,” dalam kemarahannya, ia pun menggigit ekornya sendiri, yang panjangnya lima puluh yojana, yang dianggapnya sebagai seekor ikan, dan memakannya dengan suara kunyah yang keras. Akibatnya, ia merasakan rasa sakit dan mengalami penderitaan yang dahsyat. Mencium bau darah, ikan-ikan pun berkumpul, dan dengan menggigit sedikit demi sedikit bagian ekor Ananda, akhirnya sampai pada bagian kepala.
[464] Karena badannya yang begitu besar, ia tidak mampu berbalik dan demikian menemui ajalnya. Kemudian di sana terdapat satu tumpukan tulang belulang yang besarnya sama dengan sebuah gunung. Para petapa (dan juga petapa pengembara) yang sewaktu terbang di angkasa dan melihatnya, memberitahukan kepada manusia mengenai hal ini. Dan para penduduk di seluruh India pun mengetahui akan hal ini. Sebagai perumpamaan, Kalahatthi menceritakan kisah ini dan berkata:Ānanda memangsa ikan dan ketika pengikutnya melarikan diri,
dengan rakusnya ia memakan ekornya sendiri dan mengunyahnya sampai akhirnya ia mati.
Budak nafsu tidak mengenal kesenangan lainnya, Makhluk dungu yang ceroboh, begitu butanya ia terhadap penderitaan yang datang:
Ia akan menjadi hina dan merusak anak-anak serta sanak saudaranya,
kemudian mengubah dirinya sendiri menjadi mangsa bagi ketamakannya yang mematikan.
Wahai raja, dengarkanlah kata-kataku ini dengan baik, Jangan memakan daging manusia; kembalilah kepada tujuanmu seperti sebelumnya:
Jika tidak, Anda akan berbagi nasib yang sama dengan ikan itu suatu hari,
dan kerajaanmu akan mengalami kehancuran.
Putra sekaligus ahli waris Sujāta menangis-nangis meminta buah jambu,
anak itu amat bersedih karena tak mendapatkannya, ia membaringkannya dan meninggal.
Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan makanan lezat,
jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka hidupku akan hancur.
Dahulu kala, seorang tuan tanah yang bernama Sujāta
(Sujata) di Benares tinggal di dalam tamannya dan melayani lima ratus petapa yang turun dari pegunungan Himalaya untuk mendapatkan derma makanan. Makanan selalu dibawakan ke rumahnya untuk mereka, tetapi para petapa tersebut kadangkadang berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan membawa pulang buah-buah jambu yang besar untuk dimakan. Ketika mereka sedang menyantap buah-buah jambu yang didapat, Sujata berpikir, “Hari ini adalah hari ketiga atau keempat bagi para orang suci itu tidak datang ke tempatku, ke sini. Ke mana gerangan perginya mereka?” Dengan menggandeng tangan anak laki-lakinya, ia pergi ke sana di saat mereka sedang menyantap makanan. Kala itu, seorang petapa junior memberikan air kepada para petapa senior untuk mencuci mulut dan sedang memakan potongan buah jambu. Sujata memberi hormat kepada para petapa dan setelah duduk, bertanya, “Bhante, apa yang sedang kalian makan?” “Buah jambu yang besar, Āvuso 263.
Mendengar ini, anak kecil tersebut menjadi merasa haus, maka pemimpin para petapa itu meminta petapa yang lainnya untuk memberikan potongan kecil kepadanya. Anak itu memakannya. Ia begitu suka dengan rasa lezatnya sehingga terus-menerus meminta mereka untuk memberikannya lagi. Lakilaki tersebut, yang sedang mendengarkan khotbah, berkata, “Jangan menangis. Nanti di saat tiba di rumah, kamu akan mendapatkannya,” demikian ia membohongi anak tersebut karena merasa takut kalau-kalau para resi itu menjadi terganggu dengan suara tangisnya. Maka sambil menghibur sang anak, ia membawanya meninggalkan kumpulan orang suci tersebut dan pulang kembali ke rumah. Mulai dari saat mereka tiba di rumah, anak itu terus-menerus berkata dengan keras, “Berikan buah jambu kepadaku.” Kemudian para resi berkata, “Kita sudah tinggal di sini untuk waktu yang lama,” dan kembali ke Himalaya. Karena tidak menemukan anak tersebut di taman, maka mereka mengirimkan kepadanya hadiah berupa buah mangga, jambu, nangka, pisang, dan buah-buah lainnya, yang semuanya dicampur dengan gula bubuk. Tak lama setelah campuran buah ini dimasukkan ke lidahnya, kemudian itu bereaksi seperti racun yang mematikan. Selama tujuh hari, anak itu tidak (mau) memakan makanan lainnya dan meninggal dunia. [466] Kisah ini diceritakan oleh raja sebagai ilustrasi. Kemudian Kalahatthi berpikir, “Raja ini telah menjadi seorang budak pecandu rasa (daging): akan kuberitahukan kepadanya contoh-contoh lainnya,” dan berkata, “Maharaja, berhentilah dari ini.” “Tidak mungkin,” balasnya. “Jika Anda tidak berhenti, maka lambat laun Anda akan dikeluarkan dari keluargamu dan kekuasaanmu sebagai raja akan dicabut.”
Dahulu kala di Kota Benares yang sama ini juga terdapat sebuah keluarga brahmana yang selalu menjalankan lima sila. Satusatunya anak laki-laki lahir di keluarga ini, kesayangan dan kegembiraan dari kedua orang tuanya, ia adalah anak yang bijaksana dan terlihat menguasai tiga Kitab Weda dengan baik.
Ia biasa pergi keluar bersama dengan kelompok anak yang seusia dengannya. Anak-anak yang lain dalam kelompok tersebut makan ikan, daging, dan sejenisnya serta minum minuman keras, sedangkan ia tidak makan daging ataupun minum minuman keras. Kemudian pikiran ini terlintas dalam diri mereka, “Karena tidak minum minuman keras, anak ini tidak ikut ikut membayar bagiannya: mari kita lakukan sesuatu untuk membuatnya minum.” Jadi ketika mereka mereka berkata, “Teman, mari kita adakan sebuah perayaan.” Ia berkata, “Kalian minum minuman keras, tetapi saya tidak.
Pergilah tanpa diriku.” “Teman, kami akan bawakan susu sebagai minuman untukmu.” Ia pun menyetujuinya, dengan berkata, “Baiklah.” Anak-anak yang jahat itu masuk ke dalam taman dan mengikat satu minuman keras pada sebuah gelas daun dan meletakkannya di antara daun-daun teratai. Ketika mereka mulai minum, mereka memberikan susu kepada anak tersebut. Salah satu dari anak yang jahat itu berkata, “Ambilkan sari bunga teratai untuk kami,” dan setelah meminta orang membawakan itu kepadanya, ia membuat sebuah lubang di bagian bawah gelas daun yang diletakkan di dalam teratai, kemudian meletakkan di dalam mulutnya dan mulai mengisapnya. Anak-anak yang lain juga melakukan hal yang sama. Anak tersebut menanyakan minuman apa itu dan meminum minuman keras itu yang dianggapnya sebagai sari bunga teratai. Mereka juga memberikan kepadanya daging bakar, dan ia juga memakan ini.
Dan ketika ia telah ketagihan minuman keras, mereka memberitahunya, “Ini bukanlah sari bunga teratai, melainkan minuman keras.” “Selama ini,” katanya, “tak pernah kurasakan rasa manis seperti ini. Bawakanlah kepadaku minuman keras itu lagi!” Mereka membawakan dan memberikannya kepadanya karena ia merasa sangat haus. [467] Kemudian ketika ia memintanya lagi, mereka memberitahu bahwa minuman itu sudah habis. Ia berkata, “Ayo, bawakan lagi minuman itu kepadaku,” dan memberikan cincin stempelnya kepada mereka.
Setelah menghabiskan seharian dengan minum bersama mereka, dalam keadaan mabuk dan mata yang berwarna merah berkumpul bersama, darah, tubuh sempoyongan dan mulut mengoceh tak karuan, ia pulang ke rumah dan tidur. Kemudian sang ayah yang mengetahui bahwa ia telah meminum minuman keras, setelah pengaruh minuman keras itu hilang, berkata kepadanya, “Anakku, Anda telah melakukan sesuatu yang amat salah sebagai seorang anggota keluarga brahmana, dengan meminum minuman keras: jangan pernah mengulanginya lagi.” “Ayah, apa kesalahanku?” “Meminum minuman keras.” “Apa yang ayah katakan ini, tidak pernah sebelumnya kurasakan sesuatu yang amat manis seperti ini.” Brahmana itu terus-menerus memintanya untuk berhenti meminum minuman keras. “Tak sanggup kulakukan itu,” katanya. Kemudian brahmana itu berpikir, “Jika begini terus keadaannya, maka tradisi dari keluarga kita akan hancur dan harta kita akan musnah,” dan ia mengulangi bait berikut:
Seorang ahli waris keluarga brahmana, seorang anak yang rupawan,
Anda tidak boleh meminum minuman celaka yang tidak disukai oleh para brahmana.
Dan setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia menambahkan, “Anakku, berhentilah darinya. Jika tidak, terpaksa kukeluarkan kamu dari rumahku dan kuusir dari kerajaanku.”
Anak laki-laki itu menjawab, “Walaupun demikian keadaannya, tetap tak sanggup kulakukan itu,” dan ia mengulangi dua bait berikut ini:
Karena, Ayah, Anda menghalangiku dari mendapatkan rasa terbaik yang amat kuinginkan ini,
maka, untuk mendapatkannya, akan kucari ke mana pun, betapa pun jauhnya.
Segera saya akan pergi dan tidak lagi tinggal bersamamu,
karena sekarang tidak lagi diriku suka terlihat olehmu.
Selanjutnya ia berkata, “Saya tidak akan berhenti dari meminum minuman keras ini: lakukan apa saja sesuka hatimu.”
Kemudian brahmana tersebut berkata, “Baiklah, karena kamu (memilih untuk) meninggalkan kami, maka kami juga akan meninggalkanmu,” dan mengulangi bait berikut:
Pergilah, anak bandel, ke mana kami tidak lagi pernah mendengar namamu.
Kemudian setelah membawa putranya ke pengadilan, brahmana itu mencabut haknya sebagai ahli waris dan mengusirnya dari rumah. Setelah kejadian ini, anak laki-laki itu menjadi orang miskin yang malang, mengenakan pakaian usang, dan dengan membawa mangkuk seorang pengemis di tangannya, ia berkeliling untuk mendapatkan sedekah, yang akhirnya meninggal, dengan bersandar pada sebuah dinding.
Dengan mempertautkan kisah ini sebagai suatu pelajaran bagi raja, Kalahatthi berkata, “Paduka, jika Anda tetap menolak untuk mendengarkan perkataan kami, maka mereka akan membuatmu keluar dari kerajaan,” dan setelah berkata demikian, ia mengucapkan bait berikut:
Maka dengarkanlah dengan baik, wahai raja manusia, patuhilah perkataanku,
atau seperti pemuda mabuk itu, Anda akan diusir keluar dari kerajaan.
Bahkan setelah contoh yang ditunjukkan demikian oleh Kalahatthi, raja tetap tidak mampu berhenti dari kebiasaannya, dan untuk mengilustrasikan kisah lainnya, ia berkata:
Siswa dari para resi yang sempurna264, Sujāta, dikatakan,
berpantang makan dan minum demi cintanya terhadap seorang bidadari kayangan.
Seperti tetesan embun pada sehelai rumput dengan air yang ada di samudra,
demikianlah cinta manusia jika dibandingkan dengan cinta terhadap makhluk kayangan.
Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan makanan lezat,
jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka hidupku akan hancur.
Kisahnya hampir sama dengan kisah sebelumnya yang telah diceritakan.
Dikatakan bahwa ketika melihat para petapa tersebut tidak kembali lagi setelah selesai menyantap buah jambu besar, Sujāta (Sujata) ini berpikir, “Saya ingin tahu mengapa mereka tidak kembali lagi. Jika mereka telah pergi ke tempat yang lainnya, akan kucari tahu di mana itu: atau akan kudengar khotbah yang mereka paparkan.” Maka ia pergi ke taman dan mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh pemimpin rombongan. Ketika matahari mulai terbenam, meskipun telah disuruh pergi, ia berkata, “Saya akan tinggal di sini hari ini,” dan setelah memberi hormat kepada rombongan orang suci tersebut, ia masuk ke dalam gubuk daunnya dan berbaring. Pada malam hari, Sakka, raja para dewa, ditemani dengan rombongan bidadari beserta dengan pelayannya, datang untuk memberi hormat kepada rombongan petapa suci tersebut, dan membuat seluruh pertapaan menjadi bercahaya. Merasa ingin tahu ada apa, Sujata bangkit dan melihat melalui satu celah dari dalam gubuk daunnya kedatangan Sakka beserta rombongannya untuk memberi hormat kepada rombongan resi, [469] yang ditemani juga oleh sekelompok bidadari.
Tak lama setelah melihat mereka, kemudian dirinya pun dilanda oleh nafsu (yang menggebu-gebu). Sakka kemudian mengambil tempat duduknya, dan setelah mendengarkan khotbah mengenai Keyakinan, kembali ke kediamannya. Pada keesokan harinya, tuan tanah tersebut menjumpai para petapa suci tersebut dan bertanya, dengan berkata, “Bhante, siapakah yang datang di malam hari memberikan hormat kepada Anda?” “Sakka, Āvuso.” “Dan siapakah yang duduk di sekelilingnya itu?” “Mereka adalah para bidadari kayangan265.” Setelah memberi hormat kepada rombongan petapa tersebut, ia kembali ke rumahnya, dan sejak saat itu, ia selalu meneriakkan kata-kata bodoh, “Berikan accharā kepadaku.” Sanak keluarganya, yang berada di sekelilingnya, bertanya-tanya dalam hati apakah ia dirasuki oleh makhluk halus, dan menjentikkan jari mereka. Ia berkata, “Yang kuminta bukanlah jentikkan jari, melainkan bidadari266.” Dan ketika mereka mendandani dan membawakan kepadanya seorang selir dan bahkan seorang wanita penghibur, dan berkata, “Ini bidadarinya,” ia membalas, “Ini bukanlah seorang bidadari, ini adalah yaksa wanita,” dan kembali terus meneriakkan, “Berikan accharā kepadaku.” Karena ia tidak memakan apa pun, akhirnya ia pun meninggal dunia.
Setelah mendengar ini, Kalahatthi berpikir, “Raja ini telah menjadi seorang budak pecandu rasa (daging): akan kubuat ia memiliki pemikiran yang lebih baik.” Dan ia berkata, “Angsa-angsa emas yang terbang tinggi di angkasa juga mati karena memakan daging saudara mereka sendiri,” dan untuk memberikan perumpamaan, ia mengulangi dua bait berikut:
Seperti angsa-angsa Dhataraṭṭha yang terbang di angkasa ini, semuanya mati karena memakan makanan dan minuman yang tidak biasa,
Demikian juga halnya dengan Anda, wahai raja manusia, dengarkanlah baik-baik apa yang kukatakan,
Karena memakan makanan yang tidak biasa ini, maka Anda juga akan diasingkan oleh mereka.
Dahulu kala, dikatakan ada sebanyak sembilan puluh ribu ekor angsa bertempat tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa.
Selama empat bulan di musim hujan mereka tidak akan keluar. Jika mereka keluar, maka sayap mereka yang akan dipenuhi oleh air akan membuat mereka tidak mampu terbang jauh dan terjatuh ke laut. Oleh karenanya mereka pun tidak keluar (pada musim hujan), tetapi ketika musim hujan baru akan tiba, mereka akan mengumpulkan padi dari suatu danau alami untuk memenuhi gua mereka, dan bertahan hidup dengannya. Akan tetapi tidak lama setelah mereka masuk ke dalam gua, kemudian seekor laba-laba uṇṇanābhi yang sebesar roda pedati akan menjalin sarang di pintu masuk gua pada setiap bulannya, dan jaring itu setebal tali kekang (pada sapi). Angsa-angsa ini memberikan makanan sebanyak dua porsi kepada angsa muda dengan beranggapan bahwa angsa muda itu akan mampu menerobos jaring tersebut. [470] Ketika langit terang, dengan berada di barisan paling depan, angsa muda ini maju menghancurkan jaring laba-laba tersebut dan angsa-angsa lainnya dapat meloloskan diri melalui jalan yang sama. Pada suatu ketika, terjadi musim hujan yang berlangsung selama lima bulan, dan persediaan makanan milik angsa-angsa tersebut pun menjadi amat kurang. Mereka berdiskusi mengenai apa yang harus dilakukan, dan berkata, “Jika kita ingin tetap hidup, maka kita harus memakan telur-telur (kita).” Pertama, mereka memakan telur-telur, kemudian anak-anak angsa, dan setelah semuanya itu habis, mereka memakan angsa-angsa yang tua. Di akhir bulan kelima, hujan berhenti dan laba-laba itu telah menjalin lima sarang. Karena memakan daging sanak saudara mereka sendiri, angsa-angsa itu (yang bertahan hidup) menjadi lemah. Angsa muda yang mendapatkan makanan sebanyak dua porsi tersebut berhasil menghancurkan empat sarang laba-laba ketika menerobos keluar, tetapi tidak berhasil menghancurkan yang kelima dan tersangkut di sana. Maka laba-laba itu memotong kepalanya dan meminum darahnya. Satu per satu dari angsa-angsa yang tersisa itu pun datang dan menerobos sarang tersebut, dan laba-laba itu berkata, “Ada lagi angsa yang tersangkut di tempat yang sama ini,” dan meminum darah mereka semuanya. Pada waktu itu, dikatakan suku angsa Dhataraṭṭha menjadi punah.
Raja masih ingin memberikan perumpamaan yang lain, tetapi para penduduk bergejolak dan berkata, “Tuanku Panglima, apa yang hendak Anda lakukan? Bagaimana Anda bertindak selanjutnya setelah menangkap penjahat kanibal ini? Jika ia tetap tidak mau berhenti memakan daging manusia, maka usirlah ia dari kerajaannya,” dan mereka tidak memberikan kesempatan kepada raja untuk mengucapkan bahkan sepatah kata pun.
Mendengar kata-kata dari para penduduk, raja menjadi ketakutan dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, dan untuk ke sekian kalinya, panglima berkata kepadanya, “Tuan, apakah mungkin bagimu untuk berhenti dari ini?” “Tidak mungkin,” jawabnya.
Maka sang panglima menempatkan di satu sisi semua selirnya, putra dan putrinya, yang berhiaskan dengan segala kebesaran mereka, dan berkata, “Tuan, lihatlah anggota dari sanak keluargamu, kumpulan orang-orang istanamu: Berhentilah dari memakan daging manusia.” Raja berkata, “Semuanya ini tidaklah lebih nikmatnya dari daging manusia.” “Kalau begitu, Tuan, pergilah dari kota dan kerajaan ini.” “Kalahatthi,” katanya, “saya tidak menginginkan kerajaanku; saya siap untuk pergi, tetapi kabulkanlah satu permintaanku; berikanlah pedang, juru masak itu, dan belanga kepadaku.” Maka mereka memberikan kepadanya sebilah pedang, sebuah belanga untuk memasak daging manusia dan sebuah keranjang, dan juru masak itu, sebelum akhirnya mengusir mereka keluar dari kerajaan. [471]
Dengan membawa serta juru masaknya, ia keluar dari kerajaan dan masuk ke dalam suatu hutan, membuat tempat tinggalnya di bawah kaki pohon beringin. Dengan tinggal di sana, ia akan selalu berjaga di jalan yang dilalui oleh orang yang melewati hutan tersebut, dan setelah membunuh mangsanya, ia akan membawakan dan memberikannya kepada juru masak untuk dimasak. Sang juru masak akan memasak dan menyajikan kepadanya. Dengan cara demikian ini, mereka berdua menjalani hidup. Ketika ia mendadak menghalang jalan sembari berkata dengan keras, :Inilah saya, si pemakan daging manusia!” tak seorang pun berani melawannya dan mereka semuanya bersujud di tanah, dan siapa saja yang disukai olehnya akan ditariknya, digantung terbalik dan diberikan kepada juru masaknya. Suatu hari, ia tidak mendapatkan satu orang pun di hutan dan ketika ditanya oleh juru masaknya sewaktu kembali, “Bagaimana ini, Tuan?” Ia menyuruhnya untuk meletakkan belanga itu pada perapian. “Tetapi, mana dagingnya, Tuan?”
“Oh! Saya pasti akan mendapatkan daging,” balasnya. Juru masak berpikir, “Saya pasti mati kali ini,” dan dengan gemetaran ia membuat perapian dan meletakkan belanga itu di atasnya.
Kemudian si kanibal tersebut dengan satu sabetan pedangnya membunuh juru masak itu, memasak dan memakan dagingnya.
Sejak saat itu, ia hidup sendirian dan harus memasak makanannya sendiri. Berita ini tersebar luas di seluruh India, “Pembunuh kanibal membunuh orang-orang yang bepergian (melewati daerahnya).” Pada waktu itu, seorang brahmana kaya yang sedang berada dalam perjalanan dagang dengan membawa lima ratus kereta, berjalan dari arah timur menuju ke barat, dan ia berpikir, “Orang-orang mengatakan bahwa penjahat kanibal ini membunuh orang-orang yang melewati daerahnya.
Dengan uang, akan saya lewati jalan di hutan itu.” Maka ia memberikan uang seribu keping kepada orang-orang yang tinggal di dekat pintu masuk ke hutan tersebut dan meminta mereka mengiringi dirinya dalam konvoi untuk melewati hutan dengan aman. Mereka pun mengiringinya dalam konvoi. Ia menempatkan karavannya di bagian depan, dan setelah selesai mandi dan meminyaki dirinya, dan mengenakan pakaian mewah, ia duduk di satu kereta yang ditarik oleh sapi-sapi putih, dengan diiringi oleh konvoinya, ia berjalan di bagian paling belakang.
Memanjat sebuah pohon, pemakan manusia itu sedang melihat-lihat untuk mencari mangsa. Ia tidak berselera melihat orangorang yang berada dalam konvoi tersebut, tetapi sewaktu ia melihat brahmana tersebut, mulutnya dipenuhi dengan air liur karena bernafsu untuk memakannya. Ketika brahmana itu bergerak mendekat ke arahnya, [472] ia meneriakkan namanya, “Inilah saya, si pemakan daging manusia,” dan dengan mengayunkan pedangnya keluar, seperti orang yang memasukkan pasir ke dalam mata orang-orang lainnya, ia melompati mereka dan tak seorang pun mampu berdiri melawannya, mereka semuanya hanya mampu bersujud di tanah. Setelah menangkap kaki brahmana itu yang sedang duduk di keretanya, ia melemparnya di punggung, dengan posisi kepalanya di bawah, dan memukul kepalanya dengan menggunakan tumitnya, kemudian membawanya pergi. Orangorang bangkit dan berteriak satu sama lain, “Teman-teman, gerakkanlah diri kalian. Kita telah menerima uang seribu keping dari tangan brahmana itu. Siapa di antara kita yang mengenakan atribut sebagai seorang manusia? Mari kita semuanya, baik kuat maupun lemah, mengejar penjahat itu sekuat tenaga.” Mereka pun mengejarnya. Kemudian penjahat kanibal itu berhenti, melihat ke arah belakang, dan melambatkan langkahnya ketika melihat tidak ada orang yang mengikutinya. Tak lama kemudian, seorang pemberani dengan amat cepat berlari menyusulnya.
Ketika melihatnya, penjahat itu melompati sebuah pagar dan memijak tunggul pohon akasia267 yang melukainya sampai menembus bagian atas kakinya, dan menyebabkan ia berjalan pincang dan darah mengucur keluar dari lukanya itu. Kemudian si pemberani yang mengejarnya itu, ketika melihat ini, berkata, “Saya telah membuatnya terluka: ikuti saja jejaknya dari belakang dan akan dapat kutangkap dirinya.” Mereka melihat betapa lemahnya penjahat itu sekarang dan ikut dalam pengejaran. Ketika melihat orang-orang terus mengejarnya, penjahat itu melepaskan brahmana tersebut dan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Sewaktu menemukan brahmana itu, rombongan tersebut kemudian berpikir, “Apa gunanya lagi mengejar penjahat ini?” dan berbalik arah kembali. Sedangkan si penjahat kanibal itu terus bergerak ke tempat pohon beringinnya dan berbaring, mengucapkan permohonan kepada dewata penjaga pohon dengan berkata, “Dewi pohon, jika dalam waktu tujuh hari Anda dapat menyembuhkan lukaku, akan kumandikan batang pohonmu dengan darah segar dari seratus satu raja dari seluruh India, dan akan kugantungkan pada pohonmu semua organ dalam mereka, serta akan kupersembahkan lima jenis daging yang lezat.”
Pada saat itu, dikarenakan tidak memiliki apa pun untuk dapat dimakan atau diminum, maka tubuhnya pun mengering, dan dalam waktu tujuh hari lukanya menjadi sembuh.
Ia menyangka bahwa penyembuhan lukanya tersebut dilakukan oleh sang dewi pohon. Dalam waktu beberapa hari saja, ia memulihkan kembali kekuatannya dengan memakan daging manusia, dan berpikir, “Dewi pohon ini telah menolongku. Akan kupenuhi janjiku.” Dengan membawa serta pedangnya, ia berangkat keluar dari bawah kaki pohon beringin, dengan tujuan membawa kembali para raja tersebut. Waktu itu, sesosok yaksa yang dalam kehidupan lampau adalah rekan dari penjahat kanibal tersebut, melihatnya dan sewaktu mengetahui bahwa ia adalah rekannya dalam kehidupan lampau, bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengenaliku, Teman?” “Tidak,” jawabnya.
Kemudian ia pun memberitahukan kepadanya tentang apa yang mereka lakukan dalam kehidupan lampau, yang menyebabkan penjahat kanibal itu mengenali dirinya dan memberikan salam hangat kepadanya. Ketika ditanya oleh yaksa tersebut di mana ia dilahirkan, penjahat kanibal itu memberitahukan tempat lahirnya dan juga bagaimana ia diusir dari kerajaannya, dan di mana ia tinggal sekarang. Kemudian ia menceritakan bagaimana ia terluka oleh tunggul pohon dan juga tentang apa yang sedang dilakukannya untuk menebus janjinya terhadap makhluk dewata penjaga pohon tersebut. “Saya pasti dapat melalukan hal yang sulit ini dengan bantuanmu: mari kita melakukannya bersama, Teman,” katanya. “Saya tidak bisa pergi bersamamu, tetapi ada satu bantuan yang dapat kuberikan kepadamu. Saya tahu suatu mantra yang memiliki keistimewaan dengan kata-kata yang tak ternilai harganya. Mantra ini dapat memberikan kekuatan, kecepatan (langkah kaki), dan kekerasan (suara). Pelajarilah mantra ini.” Ia pun menyetujuinya dan yaksa tersebut memberikan mantra itu kepadanya, kemudian pergi.
Penjahat kanibal itu telah menghafal mantra tersebut di luar kepala, dan sejak saat itu ia menjadi (mampu berlari) secepat angin dan sangat kuat. Dalam waktu tujuh hari, ia mencoba mendapatkan seratus satu raja tersebut sewaktu mereka berada di taman atau tempat bersenang-senang lainnya, dengan melompat muncul di hadapan mereka secepat angin dan memberitahukan namanya, melompat ke sana dan ke sini serta berteriak-teriak, ia membuat mereka menjadi ketakutan. Kemudian ia menangkap kaki mereka dan menggendong mereka dengan posisi kepala di bawah, membawa mereka pergi secepat angin, sembari tumitnya memukul bagian kepala mereka (sewaktu berlari). Berikutnya, ia melubangi telapak tangan mereka dan menggantung mereka pada pohon beringin dengan menggunakan tali. Mereka terhuyung-huyung oleh angin karena mereka tergantung berdiri dengan ujung jari kaki saja yang menyentuh tanah, berputarputar seperti untaian bunga layu di dalam keranjang. Tetapi ia berpikir, “Sutasoma adalah guru pribadiku: Janganlah membuat seluruh India menjadi habis,” dan ia tidak menangkapnya.
Dengan berpikiran untuk membuat persembahan kepada dewi pohon, ia membuat perapian dan duduk sambil mengasah sebuah tombak. Ketika melihat ini, dewi pohon berpikir, “Orang ini sedang menyiapkan kurban persembahan untukku. Bukan diriku yang menyembuhkan lukanya: [474] Ia akan menyebabkan terjadinya suatu pembantaian yang besar. Apa yang harus dilakukan? Saya tidak mampu menghentikannya.” Maka ia pergi dan memberitahukan hal ini kepada dewa-dewa Cātumahārājika dan memohon kepada mereka untuk menghentikannya.
Ketika mereka mengatakan bahwa mereka tidak mampu melakukannya, ia pun pergi menjumpai dewa Sakka dan memberitahukan kepadanya mengenai semua ceritanya dan memohon kepadanya untuk menghentikannya. Sakka berkata, “Saya tidak dapat melakukannya, tetapi saya dapat memberitahukan kepadamu orang yang mampu melakukannya.” Dewi pohon kemudian bertanya, “Siapakah orangnya itu?” “Di alam dewa dan manusia,” jawabnya, “yang mampu melakukannya, selain Sutasoma, Pangeran Kuru, yang berada di Kota Indapatta di dalam Kerajaan Kuru. Ia akan mampu mengatasi dan mengubah diri orang ini, akan mampu menyelamatkan nyawa dari raja-raja tersebut, dan menyembuhkannya dari kebiasaannya memakan daging manusia, serta akan menghujani seluruh India dengan buah kebenaran. Jika Anda benar-benar ingin untuk menyelamatkan nyawa dari para raja tersebut, maka mintalah ia untuk membawakan Sutasoma terlebih dahulu sebelum memberikan persembahannya kepada pohon.” “Baiklah,” jawabnya dan kemudian pergi dengan cepat. Dengan menyamar sebagai seorang petapa, ia mendatangi penjahat kanibal tersebut.
Mendengar suara langkah kaki, ia berpikir, “Apakah salah satu raja ini melarikan diri?” Ketika mencari tahu jawabannya dan melihat seorang petapa, ia kemudian berpikir, “Petapa adalah (termasuk) kaum kesatria. Jika ia kutangkap, maka akan kudapatkan seratus satu orang raja (kesatria) dan dapat kuberikan persembahanku268.” Bangkit dan dengan pedang di tangan, ia mengejar petapa tersebut. Akan tetapi ia tidak mampu menyusulnya meskipun telah mengejarnya sejauh tiga yojana dan keringat telah bercucuran keluar dari tangannya. Ia berpikir, “Biasanya saya mampu mengejar dan menangkap seekor gajah, atau seekor kuda, atau sebuah kereta yang berjalan amat cepat.
Tetapi hari ini, meskipun saya berlari dengan segala kecepatan yang kumiliki, tidak mampu kutangkap petapa ini yang hanya berjalan dengan langkah yang biasa. Ada apa ini?” Kemudian dengan berpikir, “Petapa biasanya (selalu) patuh: Jika kuminta ia berhenti maka ia akan melakukannya, dengan demikian akan dapat kutangkap dirinya,” dan berteriak, “Berhenti, Petapa.”
“Saya telah berhenti,” jawabnya, “Anda juga harus berhenti.” Kemudian ia berkata, “Teman, untuk menyelamatkan nyawanya, seorang petapa tidaklah seharusnya berkata tidak benar, tetapi Anda melakukannya,” dan mengulangi bait berikut ini:
Anda tetap melaju cepat,
dan dengan berkata, ‘Saya telah berhenti,’ Anda telah berkata tidak benar:
Ini tidak pantas; Wahai petapa, Anda pasti menganggap pedang ini sebagai batang anak panah yang tak berbahaya, yang dihiasi dengan bulu bangau269.
Kemudian makhluk dewata itu mengucapkan dua bait berikut:
Berdiri kukuh dalam kebenaran diriku ini,
tidak mengubah nama ataupun margaku,
di alam ini penjahat tidak hidup lama,
segera mereka akan berakhir di alam neraka.
Jadilah berani dan tangkap serta bawa Sutasoma ke tempat ini,
dan dengan mempersembahkan dirinya, Anda akan mendapatkan tempat di alam surga.
Setelah mengucapkan kata-kata demikian, dewi pohon tersebut membuka samarannya sebagai seorang petapa dan kemudian berdiri dalam wujud aslinya, bersinar terang di angkasa layaknya matahari. Mendengar apa yang dikatakannya dan melihat wujud aslinya, penjahat kanibal itu menanyakannya siapa dirinya. Dan ketika dijawabnya bahwa ia adalah makhluk dewata penjaga pohon itu, penjahat kanibal tersebut bersukacita dan dalam dirinya ia berpikir, “Telah kutemukan dewata pelindungku,” kemudian berkata, “Wahai dewi pohon, jangan menjadi khawatir atas masalah Sutasoma, [476] silakan Anda masuk saja kembali ke dalam pohon.” Makhluk dewata itu pun, di hadapan penjahat kanibal tersebut, masuk ke dalam pohon. Kala itu, matahari terbenam dan bulan muncul keluar.
Penjahat ini ahli dalam ilmu pengetahuan dan ilmu perbintangan, setelah melihat ke langit, ia berpikir, “Besok adalah gugusan bintang Phussa;
Sutasoma akan pergi ke taman untuk mandi dan semua penghuni di seluruh India akan ikut bersama untuk menjaganya sejauh tiga yojana di sekelilingnya. Pada penggal awal malam hari, sebelum pengawal-pengawalnya berada di posisi mereka, saya akan pergi ke taman Migācira dan turun ke kolam, berdiri di di sana dengan daun teratai menutupi kepalaku. Dikarenakan kebesarannya yang mulia, ikan-ikan, kura-kura dan hewan lainnya pergi menjauh darinya dan berenang di tepian. Apa yang menjadi penyebab dari semua kejayaannya ini? Dikarenakan perbuatan baiknya di masa lampau: Di masa kehidupan Buddha Kassapa, ia memulai pemberian susu secara teratur. Disebabkan oleh perbuatan ini, ia menjadi orang yang sangat kuat. Ia juga membangunkan sebuah balai perapian bagi anggota sangha, untuk menghilangkan rasa dingin, ia yang menyediakan api, kayu bakar, dan kapak untuk membelah kayu. Disebabkan oleh perbuatan ini, ia menjadi orang yang terkemuka.—Kembali ke keadaan sekarang, ia telah berada di dalam taman. Sewaktu hari masih subuh, para penjaga mulai berjaga di sekeliling taman sampai sejauh tiga yojana.
Dan setelah selesai menyantap sarapan, Raja Sutasoma menunggangi seekor gajah yang bersenjata lengkap dan berangkat keluar dari kota, dikawal oleh empat kelompok pengawal. Kala itu, seorang brahmana yang bernama Nanda dari Takkasila yang membawa bersamanya empat bait kalimat, yang masing-masing bait seharga seratus keping uang, tiba di kota setelah melewati perjalanan sejauh seratus dua puluh yojana, dan tinggal di suatu daerah pedesaan.
Di saat matahari terbit, ketika hendak memasuki kota, ia melihat raja berangkat keluar dari gerbang timur, dan dengan mengangkat tangannya naik ke atas, ia kemudian berseru, “Semoga Paduka berjaya.” Karena melihat dari tempat yang jauh ketika sedang menunggang, raja (hanya) melihat tangan brahmana yang diangkat tersebut. Setelah menghampirinya, ia mengucapkan bait berikut:
Lahir di alam apa dan mengapa Anda datang, wahai brahmana,
[477] jika ini dikatakan, maka hari ini akan kukabulkan permohonanmu, apa pun itu.
Kemudian brahmana itu menjawabnya:
Empat bait, Raja yang perkasa, bagimu adalah sama dalamnya seperti samudra,
kubawakan ke sini untukmu; dengarkanlah baik-baik, mereka mengungkapkan rahasia-rahasia yang berharga paling tinggi.
“Maharaja,” katanya, “keempat bait kalimat ini diajarkan oleh Buddha Kassapa, dan bernilai seratus keping uang setiap baitnya. Setelah mendengar bahwa Anda kaya dalam ilmu pengetahuan, saya pun datang ke sini untuk mengajarimu.” Raja menjadi amat gembira dan berkata, “Guru, ini adalah suatu hal yang amat bagus, tetapi tidaklah mungkin bagiku untuk berbalik arah (sekarang). Karena hari ini adalah hari gugusan bintang Phussa, maka hari ini merupakan hari untuk memandikan kepalaku: Di saat kembali nanti, pasti akan kudengarkan itu darimu. Janganlah menjadi kesal terhadap diriku.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia memberikan perintah kepada para pejabat kerajaannya, dengan berkata, “Pergilah kalian ke rumah seorang brahmana ini dan siapkan sebuah tempat duduk dan susun tempat makan yang telah dihias,” dan ia pun melanjutkan perjalanannya menuju ke taman.
Taman ini dikelilingi oleh dinding yang tingginya mencapai delapan belas hasta dan dikawal oleh gajah-gajah yang saling bergandengan. Kemudian juga terdapat kuda, kereta, dan para pemanah serta pasukan (pengawal) berjalan kaki—itu terlihat seperti sebuah samudra yang kacau setelah para pasukan tersebut diberangkatkan ke sana. Setelah menanggalkan segala perhiasannya yang berat, dicukur, dan diberi sabun, raja pun mandi di dalam kolam teratai tersebut. Setelah keluar dari dalam air, ia berdiri dengan mengenakan pakaian mandi, dan mereka membawakan untaian wewangian bunga untuk menghias dirinya. Penjahat kanibal tersebut berpikir, “Jika ia (telah) berpakaian lengkap, maka ia akan menjadi suatu beban yang berat. Akan kutangkap ia selagi masih ringan untuk dibawa.” [478] Maka dengan berteriak, melompat, dan memutar pedang di atas kepalanya secepat kilat, ia menyerukan namanya, “Inilah saya, si pemakan daging makan manusia,” ia meletakkan jari tangannya pada dahinya270 dan keluar dari dalam air.
Segera setelah mereka mendengar seruannya, para penunggang gajah dengan gajah-gajah mereka, para penunggang kuda dengan kuda-kuda mereka, dan para pengemudi kereta dengan kereta-kereta mereka, para pemanah dengan panah-panah mereka, dan para pasukan berjalan kaki dengan senjata-senjata mereka letakkan di bawah perut dan berlutut di tanah. Penjahat kanibal itu menangkap Sutasoma, dengan memegangnya dalam keadaan berdiri. Terhadap rajaraja lain yang ditangkapnya, ia menangkap bagian kaki dan menggantung bagian kepala mereka di bawah, membawa mereka pergi dengan bagian tumit yang selalu memukul bagian kepala mereka. Akan tetapi, terhadap Bodhisatta, ia menunduk ke bawah, mengangkatnya dan menempatkannya di bagian pundak. Merasa akan menjadi suatu perjalanan yang berputarputar jika melewati gerbang, ia pun melompati pagar dinding yang tingginya delapan belas hasta yang berada di depannya, kemudian memijak bagian kepala gajah-gajah yang memberikan jejak, menaklukkan mereka seperti halnya menaklukkan puncakpuncak gunung.
Berikutnya, ia memijak bagian punggung kuda— mereka bergerak secepat angin dan memiliki harga yang tak ternilai—dan membuat mereka berbaring di tanah. Kemudian ketika memijak kereta-kereta perang, ia menjadi seperti sesuatu yang berputar di bagian atas dengan suara dengung atau seperti sesuatu yang menghancurkan dedaunan pohon phalaka271 atau pohon beringin, dan dalam satu letusan ia pun melewati jarak tiga yojana. Merasa ingin tahu apakah ada orang yang mengikutinya untuk menyelamatkan Sutasoma, ia melihat (ke belakang). Melihat tidak ada siapa pun, ia memelankan langkahnya. Setelah memperhatikan tetesan air (keringat) yang jatuh mengenai dirinya dari rambut Sutasoma, ia berpikir, “Tidak ada manusia yang hidup bebas dari rasa takut terhadap kematian: Sutasoma juga demikian halnya, menangis disebabkan oleh rasa takut ini,” dan berkata:
Orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, yang di dalam dirinya timbul pemikiran-pemikiran yang hebat,
orang-orang yang demikian terpelajar dan bijak tidak pernah menangis;
Semuanya dapat dijadikan sebagai tempat bernaung dan tempat tinggal,
Orang bijak dapat menghalau penderitaan yang demikian.
Apakah dikarenakan sanak saudaramu, istrimu, anakmu, atau mungkin dikarenakan dirimu sendiri,
kerajaanmu, harta kekayaanmu—
[479]Apa, Sutasoma, yang menjadi penyebab keluarnya tetesan air mata ini?
Raja agung Kuru, jawabanmu ingin kami ketahui.
Sutasoma berkata:
Tidak, tidak ada tetesan air mata yang kucucurkan karena diriku sendiri,
tidak juga karena istri atau anakku, kerajaanku ataupun kekayaanku.
Selalu kulatih kehidupan seorang bijak nan suci,
saya menangis karena suatu janji yang belum kupenuhi.
Tadinya telah kujanjikan sesuatu kepada seorang brahmana,
selalu diriku memerintah kerajaan dengan benar;
Janji yang telah kubuat itu ingin kupenuhi dahulu, kemudian kembali kepadamu, kehormatanku terselamatkan.
Penjahat kanibal itu berkata:
Saya tidak percaya jika ada orang yang terbebas dari jerat maut, kemudian dengan senang hati akan kembali untuk menyerahkan diri kepada musuhnya;
Demikian juga dirimu nantinya bertindak, jika kubebaskan untuk pergi.
dipenuhi dengan segala keinginan, segala kesenangan dalam hidup dikembalikan kepadamu;
Alasan apa yang dapat membuatmu kembali kepadaku?
Mendengar ini, Sang Mahasatwa, seperti seekor singa tanpa rasa takut, berkata:
Jika bersalah, seseorang akan lebih memilih kematian daripada kehidupan yang dipenuhi noda;
Jika ia, untuk menyelamatkan nyawanya, berkata dusta, maka itu tidak akan pernah melindunginya dari mendapatkan penderitaan di alam menyedihkan.
Angin mungkin dapat memindahkan gunung, Matahari dan bulan mungkin dapat jatuh dari langit, Tuan, aliran air mungkin dapat mengalir ke atas, tetapi saya pasti tidak akan berkata dusta.
Meskipun ia berkata demikian, penjahat kanibal itu tetap tidak memercayainya. Maka Bodhisatta, dengan berpikiran, “Ia tidak memercayaiku; Dengan satu sumpah, akan kubuat ia percaya padaku,” dan berkata, “ Teman kanibal, turunkanlah saya dari punggungmu, saya akan mengambil satu sumpah dan membuatmu memercayaiku.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia diturunkan oleh penjahat kanibal tersebut ke tanah. Untuk mengambil sumpah itu, ia berkata:
[481] Dengan menyentuh pedang dan tombak ini, kunyatakan sumpahku kepadamu,Lepaskanlah aku dan, setelah hutangku lunas, kehormatanku terselamatkan, akan kembali kepadamu.
Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para kesatria. Apa lagi yang saya inginkan darinya? Baiklah, saya juga adalah seorang kesatria; Akan kuambil darah dari tanganku sendiri dan kupersembahkan kepada dewi pohon. Orang ini adalah seorang pengecut.”
Dan ia berkata:
Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada seorang brahmana,
setiap saat di dalam kerajaanmu memerintah dengan benar,
sumpahmu itu kuminta untuk dipenuhi,
setelah kehormatanmu terselamatkan, akan kembali kepadaku.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, jangan khawatir. Setelah kudengarkan empat bait yang masingmasingnya berharga senilai seratus keping uang dan kuberikan persembahan kepada sang pengkhotbah kebenaran, saya akan kembali kepadamu di hari menjelang fajar.” Dan ia mengucapkan bait berikut:
Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada seorang brahmana,
setiap saat di dalam kerajaanku memerintah dengan benar,
sumpahku itu kepadamu akan kupenuhi
setelah kehormatanku terselamatkan, akan kembali kepadamu.
Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Anda telah membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para kesatria. Pastikan Anda bertindak sesuai dengan itu.” “Teman kanibal,” katanya, “Anda telah mengenalku sejak kecil: tidak pernah sebelumnya diriku berkata dusta, dan sekarang di saat diriku telah duduk di singgasana dan mengetahui yang benar dan yang salah, mengapa saya harus berkata dusta? Percayalah padaku, [482] akan kusediakan diriku sebagai persembahan bagi dirimu.” Setelah berhasil dibujuk untuk memercayainya, ia berkata, “Baiklah, Paduka, Anda boleh pergi. Jika Anda tidak kembali, maka tidak akan ada persembahan dan makhluk dewata itu tidak akan menerimanya tanpa adanya dirimu: jangan menimbulkan rintangan dalam persembahanku,” dan melepaskan Sang Mahasatwa untuk pergi. Seperti bulan yang lepas dari cengkeraman Rāhu dan dengan kekuataan seekor gajah muda, dengan cepat ia tiba di kota. Sebelumnya, para pasukannya berpikir, “Raja Sutasoma adalah orang yang bijak dan pengkhotbah kebenaran yang handal. Jika ia dapat berbincang dengannya, maka ia akan mengubah penjahat kanibal itu, dan akan kembali seperti gajah yang meloloskan diri dari mulut singa.” Dan dengan berpikir, “Orang-orang akan mengecam kami dan berkata, ‘Setelah menyerahkan rajamu kepada penjahat kanibal, kalian masih berani kembali kepada kami?” mereka pun menetap (sementara) di luar gerbang kota.
Ketika mereka melihat raja datang dari kejauhan, mereka pergi menyambutnya dan beruluk salam kepadanya, kemudian bertanya, “Apakah Anda tidak terluka oleh penjahat kanibal itu, Paduka?” “Penjahat kanibal itu,” balasnya, “melakukan sesuatu yang lebih sulit daripada yang dilakukan oleh orang tuaku.
Karena meskipun ia adalah makhluk yang demikian buas dan kejam, tetapi ia melepaskanku pergi setelah mendengar pemaparan kebenaranku.” Kemudian mereka mendandani raja dan menaikkannya ke atas punggung gajah, mengawalnya masuk kembali ke dalam kota. Ketika melihatnya, orang-orang bersukacita. Dikarenakan keinginannya untuk mendengarkan pemaparan khotbah (kebenaran), ia pun tidak mengunjungi orang tuanya (terlebih dahulu) dengan berpikiran, “Akan kukunjungi mereka lain kali,” ia pun masuk ke dalam istananya dan duduk di atas takhtanya.
Kemudian ia memanggil sang brahmana dan memberi perintah kepada pengawalnya untuk membersihkan dirinya. Setelah rambut dan janggutnya dipotong dan dirapikan, setelah ia mandi dan menggunakan wewangian, serta setelah ia mengenakan pakaian yang terang, mereka membawanya menghadap kepada raja. Dan ketika brahmana itu datang menghadap, Sutasoma pergi mandi dan memerintahkan agar makanan yang disajikan kepadanya agar diberikan kepada sang brahmana. Setelah brahmana itu selesai makan, ia pun memakannya (sisa). Kemudian ia memberikan tempat duduk yang agung kepada brahmana tersebut, dan untuk memberikan penghormatan kepadanya ia memberikan persembahan berupa untaian wewangian bunga dan sejenisnya. Setelah duduk di tempat yang lebih rendah, ia memohon kepadanya dengan berkata, “Guru, kami telah siap mendengar bait-bait (syair) yang Anda bawakan kepada kami.”
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Terbebas dari cengkeraman makhluk kanibal kejam, ia pergi menemui teman brahmananya dan berseru,
[483]‘Kami ingin mendengar bait-bait kalimat yang masingmasing berharga senilai seratus keping uang,
demi kebaikan kami semua jika Anda bersedia mengajar.’
Setelah Bodhisatta mengucapkan permohonannya, brahmana tersebut, setelah membersihkan tangannya dengan wewangian, mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas dengan kedua tangannya dan berkata: “Baiklah, Paduka, dengarkanlah empat syair-ku ini, yang masing-masing berharga senilai seratus keping uang. Syair-syair ini diajarkan oleh Buddha Kassapa, penghancur nafsu, penghancur kesombongan diri dan keburukan sejenisnya dan memberikan pelepasan akan nafsu (keinginan) dan berhentinya keadaan pikiran, bahkan pencapaian keadaan nibbana, pelenyapan nafsu, pemutusan proses kelahiran yang berulang-ulang, dan pencabutan kemelakatan,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, ia mengulangi syair-syair berikut:
Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik, jangan membina hubungan dengan orang-orang yang tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.
Bertemanlah dengan orang-orang yang bijaksana, mengenal hanya orang-orang demikian,
dari orang bijaksana mempelajari pengetahuan dan kian hari tumbuh kian baik.
Seperti hiasan pada kereta kerajaan yang luntur dan pudar, demikian juga halnya dengan tubuh kita yang akan menua dan menderita pembusukan.
Akan tetapi, kebenaran dari orang bijak akan tetap dan tidak akan usang,
Orang-orang baik memberitahukan ini kepada mereka yang baik sejak dahulu.
Langit membentang luas di atas, bumi membentang luas di bawah,
dan daratan di seberang lautan luas terlihat amat jauh, tetapi masih lebih hebat dari semuanya ini dan lebih luas dalam jangkauannya yaitu ajaran mengenai kebaikan atau keburukan yang dipaparkan oleh orang bijaksana nan suci.
[484] Demikianlah sang brahmana mengajarkan keempat syair tersebut, yang masing-masing berharga senilai seratus keping uang, sama seperti bagaimana ia diajar oleh Buddha Kassapa, dan kemudian diam. Sang Mahasatwa bersukacita setelah mendengar pemaparannya dan berkata, “Perjalananku kembali ke sini tidaklah sia-sia,” dan dengan berpikir, “Syair-syair ini bukanlah hanya kata-kata dari seorang siswa atau dari seorang petapa suci atau hasil karya dari seorang penyair, melainkan adalah kata-kata yang diucapkan oleh Yang Mahatahu; Saya bertanya-tanya berapa harga dari mereka ini.Meskipun memberikan seluruh dunia yang terbentang sampai ke alam brahma, mengisinya dengan tujuh batu permata berharga, seseorang pun belum sanggup memberikan balasan yang setimpal atas syair-syair ini. Pastinya, saya dapat memberikan kepadanya kekuasaan atas Kota Indapatta yang melingkupi wilayah seluas tujuh yojana di dalam Kerajaan Kuru, yang terbentang seluas tiga yojana. Tidak diragukan lagi, pasti ini adalah buah dari jasa-jasa kebajikannya yang menyebabkan ia menjadi seorang raja.” Tetapi ketika hendak menyerahkan kepadanya kekuasaan yang dimilikinya yang dapat menentukan kehidupan seseorang dari penampilan luarnya, raja tidak mendapatkan persetujuan darinya. Kemudian raja menawarkan kepadanya jabatan sebagai Panglima Tertinggi dan juga jabatan sejenisnya, tetapi juga ia tidak mendapatkan persetujuan darinya, bahkan sebagai seorang kepala suatu perkampungan sekalipun.
Berikutnya, memikirkan tentang kepemilikan harta kekayaannya, ia memulai menawarkan uang sejumlah seratus juta sampai akhirnya pada jumlah uang empat ribu keping. Dengan berpikiran untuk memberikan kepadanya jumlah yang demikian, ia mempersembahkan kepadanya empat kantong yang masingmasing berisikan uang seribu keping, dan ia bertanya kepadanya, “Guru, ketika Anda mengajarkan syair-syair kepada raja-raja yang lain, berapa yang Anda dapatkan?” “Seratus keping untuk tiap syair.” Sang Mahasatwa berkata, “Guru, Anda tidak memedulikan harga dari barang yang tak ternilai, yang Anda bawa berkeliling ini. Mulai sekarang, biarlah mereka menjadi seharga seribu keping (tiap syair),” setelah berkata demikian, ia mengulangi bait berikut:
Bukanlah ratusan nilai syair-syair ini, melainkan ribuan. Oleh karenanya, Brahmana, ambillah empat ribu keping ini dan kembalilah dengan membawa mereka.
Kemudian ia mempersembahkan kepadanya sebuah kereta [485] dan memberi perintah kepada pengawalpengawalnya, dengan berkata, “Bawa brahmana ini kembali dengan selamat ke tempat tinggalnya,” dan kemudian memintanya pergi. Kala itu, suara tepuk tangan yang keras terdengar dan seruan, “Bagus, bagus! Raja Sutasoma benarbenar menghargai syair-syair ini, dengan memberikan seribu keping uang atas barang yang sebelumnya dihargai seratus keping.” Orang tua raja yang mendengar suara ribut itu menanyakan apa yang terjadi, dan menjadi marah dengan Sang Mahasatwa ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya, dikarenakan ketamakan mereka. Setelah memulangkan brahmana tersebut, ia pergi menjumpai orang tuanya dan berdiri memberi hormat kepada mereka.
Kemudian ayahnya berkata, “Putraku, Anda telah lolos dari tangan seseorang yang disebutsebut sebagai penjahat kejam,” dan tidak mengungkapkan kebahagiaan atas pertemuan ia dengan anaknya, dikarenakan ketamakannya terhadap uang, ia bertanya, “Apakah benar yang mereka katakan bahwa Anda memberikan empat ribu keping uang karena telah mendengarkan empat bait kalimat?” Dan ketika diakui oleh anaknya bahwa hal itu adalah benar adanya, ayahnya mengulangi bait berikut:
Syair mungkin saja berharga senilai delapan puluh setiap baitnya,
bahkan juga mungkin berharga senilai seratus keping.
Akan tetapi, Sutasoma, tidak pernah kuketahui satu bait syair yang berharga senilai seribu keping uang.
Kemudian Sang Mahasatwa, untuk membuatnya dapat melihat segala hal dengan lebih terbuka, berkata, “Ayah, bukanlah peningkatan dalam harta kekayaan yang kuinginkan, melainkan peningkatan dalam pengetahuan,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:
Peningkatan dalam ilmu pengetahuan amat kuinginkan dan juga persahabatan dengan orang-orang yang baik; tidak ada sungai yang mampu membanjiri lautan, demikianlah diriku yang masih merasa kurang akan katakata (yang mengandung) kebenaran.
Seperti api yang terus berkobar, tidak puas dengan kayu dan rerumputan,
seperti samudra, yang meskipun diberi makan oleh aliran air sungai, terus-menerus meminta lagi,
demikianlah orang bijak, raja para kesatria,
tetap tidak puas untuk mendengarkan kata-kata kebenaran.
Jika dari mulut pembantuku sendiri kudengar syair-syair yang mengandung kebenaran,
[486]maka kata-katanya itu akan kuterima dengan penuh hormat, karena diriku masih merasa kurang akan katakata kebenaran.
Setelah berkata demikian, ia menambahkan, “Janganlah menyalahkan diriku hanya karena masalah uang. Saya kembali kemari setelah sebelumnya bersumpah untuk kembali lagi setelah selesai mendengarkan kebenaran. Karena sekarang telah kulakukan itu, maka sudah saatnya saya kembali ke tempat penjahat kanibal tersebut. Ambil alihlah kekuasaan ini,” dan mengucapkan bait berikut ini:
Kerajaan ini beserta dengan segala kekayaannya adalah milikmu,
segala hiasan kota, kegembiraan dan kesenangan berlimpah ruah.
Mengapa menyalahkanku, jika dari kesenangan indriawi diriku (hendak) bebas dan menemui ajal di tangan makhluk kanibal tersebut?
Pada saat itu, hati dari ayah sang raja tersebut menjadi panas di dalam, dan ia berkata, “Apa, Sutasoma, yang kamu katakan ini? Akan kudatangi dengan empat kelompok pengawal dan kutangkap penjahat itu,” dan ia mengulangi bait berikut:
Bala tentara datang untuk pertahanan kita,
Sebagian menunggang gajah, sebagian mengendarai kereta, sebagian menunggang kuda dengan busur, dan sebagian lagi berjalan kaki—
Dengan Panglima sebagai pemimpin, mari kita bunuh musuh kita.
Kemudian ayah dan ibunya, dengan air mata yang berlinang, memohon kepadanya, dengan berkata, “Jangan pergi, Anakku. Tidak, Anda tidak boleh pergi,” dan sebanyak enam belas ribu gadis penari beserta sisa rombongannya meratap dan berkata, “Ke mana Anda hendak pergi dengan meninggalkan kami yang tak berdaya di sini?” dan tak seorang pun di seluruh pelosok kota mampu menahan perasaan mereka, dan mereka berkata, “Ia telah datang kembali setelah sebelumnya membuat satu sumpah kepada makhluk kanibal itu, dan sekarang [487] karena telah selesai mendengarkan empat syair yang masingmasing berharga senilai seratus keping dan telah memberikan penghormatan selayaknya kepada seorang pengkhotbah kebenaran serta telah berpamitan kepada orang tuanya, ia akan kembali ke tempat penjahat itu, sekali lagi,” dan seluruh kota menjadi gempar.
Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh orang tuanya, ia kemudian mengulangi bait berikut:
Perbuatan dari musuh kita, si pemakan daging manusia, itu amat baik, membolehkanku pergi setelah menangkapku.
Mengingat perbuatannya yang baik itu, bagaimana mungkin kulanggar sumpahku sendiri?
Untuk menghibur orang tuanya, ia kemudian berkata, “Ayah dan Ibu, janganlah mencemaskan diriku. Saya telah melakukan perbuatan yang baik, dan penguasaan terhadap keinginan dari enam indra272 bukanlah hal yang sulit,” dan setelah berpamitan dengan orang tuanya, ia memberikan wejangan kepada orang-orang dan kemudian berangkat.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Berpamitan dengan kedua orang tuanya, dengan nasihat bijak ia menasihati para penduduk dan pejabat kerajaan,
Kemudian tidak berniat untuk tidak memenuhi sumpahnya, ia kembali lagi ke tempat makhluk kanibal.
Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Jika temanku, Sutasoma, hendak kembali, maka biarlah ia kembali. Kalau tidak, biarlah dewi pohon itu [488] melakukan apa pun yang diinginkannya, dan akan kubunuh para kesatria ini untuk membuat suatu persembahan dengan lima jenis daging yang lezat.” Maka ia pun membuat satu tumpukan kayu bakar dan mulai menyalakan api, dengan berpikiran untuk menunggu sampai baranya menjadi panas. Ketika ia sedang duduk dan mengasah tombak (tusuk), Sutasoma datang. Melihat Sutasoma datang kembali, ia menjadi gembira dan bertanya, dengan berkata, “Teman, apakah Anda telah pergi dan melakukan apa yang harus dilakukan?” Sang Mahasatwa berkata, “Ya, Maharaja, telah kudengar syair-syair dari brahmana itu yang diajarkan oleh Buddha Kassapa, dan telah kuberikan penghormatan yang selayaknya kepada pengkhotbah kebenaran. Sekarang saya telah kembali, setelah selesai melakukan apa yang harus dilakukan.” Untuk menggambarkan permasalahan ini, ia mengulangi bait berikut:
Suatu hari kujanjikan sesuatu kepada seorang brahmana, di saat diriku memerintah dengan benar di dalam kerajaanku,
dan sekarang setelah kupenuhi sumpahku itu, kehormatanku terselamatkan, saya datang kembali.
Bunuh dan persembahkanlah diriku kepada dewi pohonmu,
atau untuk memuaskan nafsumu akan daging manusia.
Mendengar ini, penjahat kanibal itu berpikir, “Raja ini tidak memiliki rasa takut; ia berbicara layaknya semua rasa takut dirinya terhadap kematian telah lenyap. Saya ingin tahu dari mana datangnya kekuatan ini. Tidak mungkin yang lainnya lagi, tadi ia mengatakan, ‘Telah kudengar syair-syair yang diajarkan oleh Buddha Kassapa.’ Kekuatan luar biasa ini pastinya berasal dari syair-syair itu. Akan kuminta ia mengucapkan syair-syair tersebut untuk kudengar, dan dengan demikian diriku juga akan terbebas dari segala rasa takut.” Dan dengan menetapkan tekad demikian, ia mengulangi bait berikut:
Api masih membara: meskipun agak sedikit tertunda, tetapi saya tidak akan berhenti dari memakan mangsaku.
Daging yang dipanggang di atas bara api akan matang dengan enak;
Mari beritahukan bait yang berharga seratus keping itu.
Anda adalah manusia yang keji,
terjatuh dari singgasana dikarenakan nafsu indriawi;
Syair-syair ini memberitahukan kebenaran kepadaku,
bagaimana yang benar bergabung dengan yang salah?
Bagi seorang penjahat keji, yang tangannya terjerumus dalam limbah darah,
dari mana datangnya kebenaran atau kebaikan?
Apa gunanya ilmu pengetahuan?
Ketika dikecam dengan kata-kata ini, penjahat kanibal itu tidak marah. Mengapa demikian? Hal ini terjadi dikarenakan kekuatan cinta kasih (metta) yang luar biasa dari Sang Mahasatwa. Maka ia berkata, “Apakah hanya saya, Teman Sutasoma, orang yang tidak benar?” dan mengulangi bait berikut:
Manusia yang memburu hewan
untuk dijadikan makanan,
dan manusia yang membunuh manusia
untuk dijadikan makanan,
kedua jenis orang ini akan dihitung sama besar kesalahannya setelah kematian:
Mengapa hanya diriku sendiri yang disalahkan karena kekejaman?
Mendengar ini, Sang Mahasatwa, untuk membantah pandangan salahnya, mengulangi bait berikut:
Oleh kaum kesatria diketahui ada lima mangsa berkuku lima yang boleh disantap273;
Oh, Paduka, menyantap yang tak boleh disantap, karena itu Anda bertentangan dengan kebenaran (Dhamma).
Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.
Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk memberikan nyawamu?
Anda adalah seorang yang ahli dalam pengetahuan!
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, seseorang seperti diriku ini seharusnya ahli dalam pengetahuan (kaum kesatria). Saya mengetahuinya dengan baik, tetapi tidak mendasarkan perbuatanku padanya,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Yang terdapat di dalam ajaran kaum kesatria membuat orang berakhir di alam neraka274.
Oleh karenanya tidak kusukai ajaran kaum kesatria dan kembali lagi ke tempatmu ini, memenuhi sumpahku: Jadikanlah diriku sebagai persembahanmu, atau makanan untukmu.
Penjahat kanibal itu berkata:
Tempat tinggal dalam istana megah, tanah yang luas, kuda dan ternak lainnya,
wewangian, kain yang mahal, dan banyak selir, Semuanya ini Anda miliki tanpa harus membayar—
Hal baik apa yang Anda dapatkan dari (menjaga) kebenaran?
Dari segalanya kebaikan yang dapat kunikmati di dunia, tak ada yang lebih baik daripada kebaikan dari kebenaran:
Para petapa dan brahmana yang selalu bertindak dengan benar, terbebas dari lingkaran kelahiran dan kematian, menuju ke sisi yang lebih jauh ke depan.
Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kepadanya akan kebaikan dari kebenaran. Kemudian sewaktu melihat wajahnya yang amat cerah seperti bunga teratai yang mekar sempurna atau seperti terangnya bulan purnama, penjahat kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini melihatku mempersiapkan tumpukan kayu bakar dan mengasah tombak, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Apakah mungkin ini disebabkan oleh syair-syair yang masing-masing berharga senilai seratus keping atau apakah ini disebabkan oleh suatu kebenaran? Akan kutanyakan padanya.” Dan dalam bentuk pertanyaan, ia mengulangi bait berikut:
Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.
Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk memberikan nyawamu?
Pastinya Anda tidak mengetahui apa itu rasa takut terhadap kematian, bebas dari nafsu keinginan, menepati sumpahmu.
Untuk menjawabnya, Sang Mahasatwa berkata:
Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak terhitung jumlahnya,
telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah, maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut terhadap kematian.
Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak terhitung jumlahnya,
telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,
Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan yang baik,
pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai pemerintahan yang adil (benar),
maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut akan kematian.
Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan yang baik,
pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai pemerintahan yang adil (benar),
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga, oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai persembahanmu atau makanan untukmu.
Telah kulakukan perbuatan yang selayaknya dilakukan terhadap sanak keluarga dan teman-teman, pemerintahanku adil dan mendapatkan pujian,
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga, oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai persembahanmu atau makanan untukmu.
Telah kuberikan derma yang demikian banyak,
telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan dana (makanan),
maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut terhadap kematian.
Telah kuberikan derma yang demikian banyak,
telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan dana (makanan),
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga, oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai persembahanmu atau makanan untukmu.
Ia harus meminum secangkir racun, atau menghadapi ular ganas yang murka, atau
kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian,
bila berani memakan seseorang yang tak berkata dusta.
Demikian ia berkata kepada Sang Mahasatwa, dengan menambahkan, “Anda itu, terlihat seolah-olah, seperti racun yang mematikan; siapa yang berani memakan dagingmu?” dan dikarenakan ingin mendengar syair-syair tersebut, ia pun memohon kepadanya untuk memberitahukan itu kepadanya.
Ketika permohonannya ditolak oleh Sang Mahasatwa disebabkan oleh rasa hormat yang selayaknya terhadap hal-hal yang suci, dengan dasar alasan bahwa ia bukanlah penerima yang tepat atas syair yang demikian, ia berkata, “Di seluruh India tidak ada orang bijak seperti ia, karena ketika ia kubebaskan dari cengkeramanku, ia pulang dan mendengarkan syair-syair ini.
Setelah memberikan hormat yang selayaknya kepada sang pengkhotbah kebenaran, ia kemudian kembali lagi, dengan kematian yang tertulis jelas di kepalanya. Syair-syair ini pastilah memiliki kebaikan yang luar biasa,” dan masih dengan dipenuhi oleh keinginan untuk (dapat) mendengar syair-syair tersebut, ia memohon kembali kepada Sang Mahasatwa dan mengulangi bait berikut:
Sesudah mendengar kebenaran itu, orang-orang segera dapat membedakan yang baik dan yang buruk;
Jika saya dapat mendengarnya, maka hatiku dapat diisi dengan kebahagiaan dalam kebenaran.
Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Penjahat kanibal ini sekarang berhasrat untuk mendengar: akan kupaparkan syairsyair tersebut kepadanya,” dan berkata, “Baiklah, Teman, dengarkanlah baik-baik.” Demikianlah, setelah mendapatkan perhatiannya, ia melantunkan syair-syair tersebut sama seperti bagaimana mereka diajarkan kepadanya oleh Brahmana Nanda, para dewa di enam alam kesenangan indriawi berseru [494], dan para bidadari bertepuk tangan menandakan persetujuan, dan Sang Mahasatwa demikian memaparkan kebenaran tersebut kepada si penjahat kanibal:
Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik, jangan membina hubungan dengan orang-orang yang tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.275
Disebabkan karena syair-syair tersebut disampaikan oleh Sang Mahasatwa dengan begitu baik dan ditambah dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang yang bijak, maka penjahat kanibal itu berpikir, “Syair-syair ini, terdengar seolah-olah, seperti kata-kata dari Buddha Yang Mahatahu,” dan seluruh tubuhnya didera oleh lima jenis kegiuran (batin), dan ia merasakan perasaan lembut terhadap Bodhisatta dan menganggapnya seperti seorang ayah yang siap untuk memberikan kepadanya payung putih kerajaan. Dan ia berpikir, “Tidak kulihat adanya persembahan berupa emas kuning untuk diberikan kepada Sutasoma. Akan tetapi, akan kukabulkan satu permintaan untuk setiap baitnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Penuh dengan arti dan dengan suara yang jelas, kata-kata manismu terdengar oleh telingaku,
demikian tergiurnya batinku, sehingga dengan senang akan kukabulkan empat permintaan darimu.
Kemudian Sang Mahasatwa memarahinya dan berkata, “Permintaan apa yang dapat Anda tawarkan kepadaku sebenarnya?” dan ia mengulangi bait berikut:
[495] Seorang makhluk yang tak mengetahui keadaan batin, yang baik atau yang buruk, tak mengetahui alam neraka, budak dari nafsu keinginan, bagaimana seorang makhluk sepertimu mengerti akan mengabulkan permintaan untuk orang?Andaikata saya mengatakan ‘Kabulkanlah permintaanku ini,’ kemudian akan Anda tarik kembali perkataanmu, Orang bijak manakah yang telah mengetahui ini (dan hendak) menerima risiko pertengkaran yang cukup jelas?
Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Ia tidak memercayaiku; Akan kubuat agar ia memiliki kepercayaan kepada diriku,” dan ia mengulangi bait berikut:
Tak seorang pun boleh mengatakan akan mengabulkan suatu permintaan,
kemudian menarik balik perkataannya itu:
Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaanpermintaanmu itu;
Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus kehilangan nyawa.
Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ia telah berkata layaknya seorang pemberani dan akan melakukan apa yang kuminta; Akan kuterima penawarannya ini. Tetapi, jika sebagai permintaan pertama kuminta ia untuk berhenti memakan daging manusia, ia pasti akan menjadi amat terganggu. Saya akan meminta permintaan lainnya di tiga permintaan pertama, dan baru setelah semua itu akan kupinta yang terakhir ini,” dan berkata:
Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik akan selalu setuju dengan perbuatan baik,
juga seorang baik pastinya saling menyenangkan sesama:
Saya ingin melihatmu hidup dalam keadaan demikian selama beratus-ratus tahun:
Inilah permintaan pertamaku dari seluruh permintaan yang ingin dikabulkan.
Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik akan selalu setuju dengan perbuatan baik,
juga seorang baik pastinya saling menyenangkan sesama:
Anda ingin melihatku hidup dalam keadaan demikian selama beratus-ratus tahun:
Dengan senang hati kukabulkan permintaan pertamamu.
Kemudian Bodhisatta berkata:
Para kesatria yang berada dalam tawananmu,
yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,
para pemimpin di atas bumi ini tidak boleh Anda makan: Inilah permintaanku yang kedua.
Demikianlah dalam memilih permintaan kedua ia meminta agar nyawa seratus raja tersebut diselamatkan. Dan untuk mengabulkan permintaannya ini, ia berkata:
Para kesatria yang berada dalam tawananku,
yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,
para pemimpin di atas bumi tidak akan kumakan: Dengan senang hati kukabulkan permintaan keduamu.
Anda menawan sekitar seratus orang raja,
semuanya dalam keadaan terikat dan meratap, kembalikan mereka ke kerajaan mereka masing-masing: Inilah permintaanku yang ketiga.
Demikianlah dalam memilih permintaannya yang ketiga ia meminta pengembalian (kekuasaan) para kesatria ini ke kerajaan mereka masing-masing. Mengapa memilih permintaan ini? Karena andaikan penjahat kanibal itu tidak memakan daging mereka, dikarenakan takut pembalasan dari mereka, ia mungkin saja menjadikan mereka sebagai budak dan membuat mereka tinggal di dalam hutan, atau mungkin membunuh mereka dan meninggalkan mayat mereka, atau mungkin juga membawa mereka ke daerah perbatasan dan menjual mereka sebagai budak. Oleh sebab itulah, ia memilih permintaan berupa pengembalian mereka ke kerajaan masing-masing. Untuk mengabulkan permintaannya ini, penjahat kanibal itu mengucapkan bait berikut:
Saya menawan sekitar seratus orang raja, semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,
akan kukembalikan semuanya ke kerajaan mereka masing-masing:
Dengan senang hati kukabulkan permintaan ketigamu.
Sekarang, untuk mengatakan permintaannya yang keempat, Bodhisatta mengucapkan bait berikut:
Duniamu ini kacau balau dan dipenuhi dengan ketakutan orang-orang bersembunyi di dalam gua (lubang) jika melihat dirimu.
Berhentilah memakan daging manusia, wahai raja: Inilah permintaanku yang keempat.
Begitu lezatnya makanan ini terasa bagi diriku;
Dikarenakan inilah diriku bersembunyi di dalam hutan.
Bagaimana mungkin dari kesenangan yang demikian diriku berpantang?
Untuk permintaanmu yang keempat, pilihlah yang lain.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Karena Anda menyukai daging manusia, Anda mengatakan, ‘Saya tidak bisa berpantang darinya.’ Sesungguhnya, ia yang melakukan perbuatan buruk karena itu menyenangkan adalah orang yang dungu,” dan ia mengulangi bait berikut:
Seorang raja sepertimu tidak seharusnya mengikuti kesenangan,
tidak juga mengorbankan diri demi kesenangan, dapatkanlah kehidupan dalam maknanya yang tertinggi, hadiah terbaik, dan kebahagiaan di kehidupan mendatang akan didapatkan karena perbuatan baik.
Ketika kata-kata ini selesai diucapkan oleh Sang Mahasatwa, penjahat kanibal tersebut dirundung oleh rasa takut, dan berpikir, “Saya tidak bisa menolak permintaan dari Sutasoma, tidak juga bisa berpantang makan daging manusia.
[499] Apa yang harus kulakukan?” dan dengan berlinang air mata, ia mengulangi bait berikut:
Saya menyukai daging manusia: Anda tentu tahu, Sutasoma agung, demikianlah adanya.
Dari makanan ini, tidak pernah diriku dapat berpantang. Pikirkanlah permintaan yang lain dan pilihlah itu.
Kemudian Bodhisatta berkata:
Ia yang mengikuti kesenangan,
bahkan juga mengorbankan diri demi kesenangan, maka gelas (berisi) racun akan diteguknya seperti seorang pemabuk,
dan di kehidupan berikutnya penderitaan tiada akhir sudah pasti menunggu dirinya.
Ia yang tidak mengikuti kesenangan,
menunaikan kewajibannya dengan usaha keras, maka gelas (berisi) penawar akan diteguknya seperti seorang pesakit,
dan di kehidupan berikutnya kebahagiaan sudah pasti menunggu dirinya.
Setelah ia berkata demikian, penjahat kanibal tersebut mengulangi bait berikut, sembari meratap tangis:
Lima kesenangan yang muncul dari indra,
orang tua dan semuanya kutinggalkan, dikarenakan alasan ini saya tinggal di dalam hutan;
Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:
Orang bijak tidak pernah mengucapkan kata-kata dusta, selalu menepati janji mereka adalah (ciri) orang baik:
[500] ’Katakanlah permintaanmu, Teman,’ ini yang Anda katakan kepadaku;Dan sekarang apa yang Anda katakan bertentangan dengannya.
Sekali lagi, masih dalam keadaan meratap tangis, penjahat kanibal itu mengucapkan bait berikut:
Kerugian, ditambah dengan malu dan aib,
keburukan, kejahatan dan kebejatan,
semuanya ini kutimbulkan demi memakan daging manusia:
Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?
Kemudian Sang Mahasatwa berkata:
Tak ada seorang pun yang seharusnya boleh menarik kembali janji yang telah diucapkannya, mengabulkan semua permintaan:
‘Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaanpermintaanmu itu;
Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus kehilangan nyawa.’
Setelah demikian menunjukkan kembali bait yang pernah diucapkan oleh si penjahat kanibal, dan untuk mendesaknya dengan usaha mengabulkan permintaan tersebut, ia mengucapkan bait berikut:
Orang baik akan meninggalkan kehidupan, tetapi kebenaran tidak, selalu tepati janji mereka;
Jika Anda telah berjanji, wahai raja, mengabulkan satu permintaan,
maka sempurnakanlah perbuatan yang Anda mulai itu dengan menyelesaikannya.
Orang memberikan harta kekayaan untuk menyelamatkan dirinya,
orang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kehidupannya.
[501] Kekayaan, diri, kehidupan dan segalanya akan musnah, kebenaran dan buah darinya yang akan tersisa.
Demikian Sang Mahasatwa dengan cara ini mengajarkan kebenaran kepada penjahat kanibal tersebut, dan kemudian untuk menjelaskannya, ia mengucapkan bait berikut:
Orang yang membuktikan perkataan yang diucapkannya, —semua orang baik yang akan menghilangkan segala keraguannya—
membuktikan dirinya sebagai tempat bernaung, tempat bertumpu, dan tempat beristirahat;
Kasih dari orang-orang suci untuk dirinya takkan habis.
Setelah mengucapkan bait ini, ia berkata, “Teman kanibal, tidaklah pantas bagimu untuk melampaui kata-kata dari seorang Guru yang demikian baik, dan juga diriku, ketika Anda masih muda, adalah gurumu dan mengajarimu banyak hal, dan sekarang dengan gaya layaknya seorang Buddha, telah kuperdengarkan untukmu syair-syair yang masing-masing berharga senilai seratus keping. Oleh sebab itu, Anda harus mematuhi perkataanku.” Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut berpikir, “Sutasoma adalah guruku dan seorang yang terpelajar, dan saya yang mengatakan akan mengabulkan permintaannya. Apa yang kulakukan (ini)? Kematian adalah suatu hal yang pasti dalam kehidupan setiap manusia. Saya tidak akan lagi memakan daging manusia, akan kukabulkan permintaannya,” dan berlinangan dengan air mata, ia pun bangkit dan bersujud di kaki Sutasoma. Untuk mengabulkan permintaannya, ia mengulangi bait berikut:
[502] Manis dan enak terasa makanan ini olehku,Dikarenakan alasan ini, saya tinggal di dalam hutan; Tetapi jika Anda (tetap) memintaku untuk melakukan perbuatan ini,
maka permintaan ini akan kukabulkan untukmu, Temanku juga rajaku.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Bagus sekali, Teman. Bagi seorang yang dengan ketat menjalankan latihan moralitas (sila), bahkan kematian juga merupakan suatu permintaan. Telah terkabulkan permintaanku kepadamu. Mulai hari ini, Anda harus berjalan di jalan para ariya, dan oleh karenanya saya memohon sesuatu kepadamu: jika Anda memiliki cinta kasih terhadap diriku (dalam persahabatan), maka jalankanlah, Paduka, lima latihan moralitas.” “Baik,” jawabnya, “ajarkanlah kepadaku, Teman, lima latihan moralitas itu.” “Kalau begitu, belajarlah dariku, Paduka.” Maka ia memberi penghormatan kepada Sang Mahasatwa dengan bersujud pada lima tumpuan276 dan duduk di satu sisi, kemudian Sang Mahasatwa pun mengajarkan lima sila kepadanya. Kala itu, para makhluk dewata yang berada di bumi berkumpul bersama dan berkata, “Tak ada orang lain lagi, mulai dari penghuni Alam Neraka Avīci sampai kepada penghuni alam tanpa bentuk, dengan cinta kasih mampu membuat penjahat kanibal ini berhenti memakan daging manusia, selain Sang Mahasatwa. Oh, suatu keajaiban luar biasa dilakukan oleh Sutasoma,” dan mereka bertepuk tangan, membuat hutan itu menggemakan suara-suara mereka yang keras. Mendengar suara (ribut) ini, para dewa di Alam Cātumahārājika juga melakukan hal yang sama, dan sampai akhirnya kegemparan ini bahkan sampai ke alam brahma. Para raja yang tergantung di pohon juga mendengar suara ribut tanda persetujuan ini dari para makhluk dewata, dan dewi pohon tersebut dengan berdiri di dalam kediamannya mengeluarkan suara tanda persetujuan juga. Jadi, suara dari para makhluk dewata terdengar, tetapi bentuk mereka tidak terlihat.
Ketika mendengar suara ribut dari para makhluk dewata tersebut, berpikir, “Dikarenakan Sutasoma, nyawa kita terselamatkan: Sutasoma telah melakukan suatu keajaiban dengan mengubah si pemakan daging manusia,” dan mereka melantunkan puji-pujian terhadap Bodhisatta. Setelah bersujud di kaki Sang Mahasatwa, penjahat kanibal itu berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Teman, bebaskanlah raja-raja kesatria itu.” Ia berpikir, “Saya adalah musuh raja-raja kesatria itu. Jika kubebaskan, mereka akan berkata, ‘Tangkap ia, ia adalah musuh kita,’ dan akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap diriku. Akan tetapi, meskipun harus kehilangan nyawa, saya tidak boleh melanggar sila yang telah kuambil dari Sutasoma. Saya akan pergi bersama dengannya dan melepaskan raja-raja kesatria itu, dan dengan jalan ini akan kudapatkan keselamatan.” Kemudian membungkuk memberi hormat kepada Bodhisatta, ia berkata, “Sutasoma, mari kita pergi bersama untuk membebaskan raja-raja kesatria itu,” dan ia mengulangi bait berikut:
[503]Guru sekaligus temanku adalah dirimu,telah kupenuhi semua permintaanmu:
Sebagai balasannya, Anda lakukan apa yang kuminta mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.
Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:
Guru sekaligus temanmu adalah diriku,
telah kamu penuhi semua permintaanku:
Saya juga akan melakukan apa yang kamu minta, mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.
Setelah berada di dekat mereka, Bodhisatta berkata:
Terikat di pohon ini, air mata kalian berlinangan karena penjahat kanibal telah melakukan perbuatan buruk kepada kalian,
meskipun demikian, kami ingin kalian berjanji, jangan pernah melukai raja ini.
Kemudian mereka membalas:
Terikat di pohon ini dan air mata berlinangan, kami membenci penjahat kanibal ini yang telah melakukan perbuatan buruk kepada kami, meskipun demikian, kami semua berjanji, tidak pernah melukainya jika kami dibebaskan.
[504] Kemudian Bodhisatta berkata, “Baiklah, berikanlah janji ini kepadaku,” dan mengulangi bait berikut:Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya memberikan kasih sayang nan lembut, demikianlah jadikan ia sebagai seorang ayah
dan kalian, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.
Dengan menyetujui akan janji ini, mereka juga mengulangi bait berikut:
Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya memberikan kasih sayang nan lembut, demikianlah ia kami jadikan sebagai seorang ayah
dan, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.
Demikian Sang Mahasatwa membuat mereka berjanji, dan memanggil si pemakan daging manusia itu dengan berkata, “Datanglah ke sini dan bebaskan raja-raja kesatria ini.” Ia mengambil pedangnya dan memotong ikatan dari salah seorang raja kesatria tersebut. Dikarenakan sudah tujuh hari raja ini tidak makan dan didera dengan rasa sakit, maka tak lama setelah ikatannya dipotong, kemudian ia terjatuh ke tanah. Melihat kejadian ini, Sang Mahasatwa tergerak oleh cinta kasihnya dan berkata, “Teman, jangan memotong ikatan mereka seperti ini,” dan dengan memegang erat seorang raja kesatria lainnya dengan kedua tangannya, ia mengangkatnya sampai ke bagian dadanya dan berkata, “Sekarang potonglah ikatannya.” Maka penjahat kanibal itu pun memotong ikatan tersebut dengan pedangnya.
Kemudian Sang Mahasatwa, yang diberkahi dengan kekuatan yang besar, menopangnya di bagian dada, menurunkannya dengan perlahan seolah-olah ia adalah anaknya sendiri, dan membaringkannya di tanah. Dengan cara yang demikian ia membaringkan mereka semua di tanah. Setelah membersihkan luka-luka mereka, dengan lembut ia melepaskan tali ikatan dari tangan-tangan mereka, seolah-olah tali yang dilepaskan dari telinga seorang anak kecil, kemudian melancarkan kembali darah yang membeku, ia membuat lukaluka itu menjadi tidak berbahaya. Dan ia berkata kepada penjahat kanibal tersebut, “Teman, haluskanlah beberapa kulit kayu pohon pada batu dan bawakanlah itu kepadaku.” Setelah itu dilakukannya, ia melakukan pernyataan kebenaran dan menggosokannya pada telapak tangan mereka, dan seketika itu juga luka-luka mereka menjadi sembuh. Penjahat kanibal itu membawa beras sekam dan memasaknya sebagai obat [505], dan mereka berdua memberikan obat itu kepada seratus raja kesatria. Demikian mereka semua dirawat, dan matahari pun kala itu terbenam. Keesokan harinya, pada pagi, siang dan malam hari mereka masih memberikan mereka minum air beras, tetapi pada hari ketiga dan berikutnya sampai sembuh, mereka memberikan bubur susu. Kemudian Sang Mahasatwa menanyakan apakah mereka sudah cukup kuat untuk dapat pulang kembali, dan ketika mereka menjawab mereka sanggup melakukannya, ia berkata, “Temanku pemakan daging manusia, mari kita pulang kembali ke kerajaan kita masing-masing.”
Tetapi, dengan meratap, ia bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, “Teman, Anda saja yang bawa raja-raja kesatria ini dan pulang kembali. Sedangkan, saya akan tetap tinggal di sini, bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dan akarakaran.” “Apa yang akan Anda lakukan di sini, Teman?
Kerajaanmu adalah tempat yang menyenangkan: pergi dan pimpinlah kembali Benares.” “Teman, apa yang Anda katakan ini? Adalah hal yang tidak mungkin bagiku untuk kembali ke sana: semua penduduk di sana adalah musuhku. Mereka akan mengecamku dan mengatakan, ‘Orang ini memakan ibuku, atau ayahku; tangkap penjahat ini,’ dan dengan bebatuan, mereka akan merenggut nyawaku. Jika tetap kukuh dalam lima latihan moralitas, saya tidak dapat membunuh siapa pun, tidak juga bahkan untuk menyelamatkan nyawaku. Saya tidak akan pergi.
Sebagai akibat dari perbuatanku yang berhenti memakan daging manusia, berapa lama waktu yang kumiliki untuk bertahan hidup? Dan sekarang saya tidak akan berjumpa lagi denganmu,” dan ia menangis, sambil berkata, “Pergilah.” Sang Mahasatwa mengusap punggungnya dan berkata, “Teman, namaku adalah Sutasoma: telah kuubah dirimu, seorang makhluk yang sedemikian buruknya. Jika Anda menanyakan apa yang harus dilakukan di Benares, saya akan mengembalikan kekuasaan kepadamu, atau (kalau tidak berhasil) kerajaanku akan kubagi dua dan kuberikan setengahnya kepadamu.” “Di dalam kerajaanmu juga saya memiliki musuh,” balasnya. Sutasoma berpikir, “Dengan mematuhi perkataanku, orang ini telah melakukan satu tugas yang amat sulit: Dengan suatu cara harus kukembalikan kejayaan dirinya yang dahulu,” dan untuk menggoda dirinya, ia melantunkan pujian akan kejayaan kerajaannya dan berkata:
Daging hewan dan segala jenis burung
pernah Anda nikmati,
dimasakkan oleh para juru masak yang ahli, hidangan yang benar-benar lezat,
Meninggalkan kesenangan demikian seperti apa yang dirasakan oleh (Dewa) Indra, dalam menikmati ambrosia—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Para wanita kaum kesatria dengan pinggang ramping, pakaian yang luar biasa,
yang biasanya mengelilingimu, sekumpulan gadis, seperti halnya (Dewa) Indra, di antara para bidadarinya, melangkah dalam kebahagiaan—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Di atas ranjang megah, wahai raja, pernah Anda berbaring,
dengan sedemikian banyak seprai menumpuk, mengelilingimu,
bantal merah di bawah kepalamu dan kain yang putih nan bersih—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Pernah, acap kali di malam hari terdengar suara tabuhan genderang,
dan suara-suara yang bukan suara manusia277 juga dapat terdengar,
musik dan lagu selalu dalam satu kesatuan, membuat suasana hati tetap gembira—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Anda pernah memiliki sebuah taman tempat tumbuhnya beragam jenis bunga,
Migācira, dikenal dengan demikian namanya,
sebagai taman dan juga kota,
di sana terdapat kuda-kuda, gajah-gajah, dan keretakereta dalam jumlah besar—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Setelah mendengar perkataannya, penjahat kanibal itu menjadi ingin pergi bersama dengannya dan berpikir, “Sutasoma menginginkan kebaikan untuk diriku dan ia adalah seorang yang penuh cinta kasih. Pertama ia membuat diriku kukuh dalam kebajikan, dan sekarang ia mengatakan akan mengembalikan kejayaan diriku seperti sediakala, ia pasti mampu melakukannya. Saya harus pergi bersamanya. Apalah gunanya tinggal di dalam hutan?” Dan dengan perasaan sukacita, ia ingin melantunkan pujian terhadap Sutasoma dikarenakan jasa kebajikannya, dan ia berkata, “Teman Sutasoma, tidak ada hal lain yang lebih baik daripada bersahabat dengan seorang teman yang baik, tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada bersahabat dengan seorang teman yang buruk,” dan mengulangi bait-bait berikut:
Seperti bulan yang makin redup dari hari ke hari setelah pertengahan bulan,
demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk, wahai raja, membuahkan penderitaan seperti pembusukan;
Demikian saya bersahabat dengan juru masak itu, orang yang hina dari yang paling hina, melakukan perbuatan buruk, yang memastikan diriku masuk ke alam neraka.
Seperti bulan yang makin terang dari hari ke hari sebelum pertengahan bulan,
demikianlah persahabatan dengan orang baik, wahai raja, tidak akan membuahkan penderitaan seperti pembusukan:
Demikian saya bersahabat denganmu, Anda tahu itu, melakukan kebajikan, yang membawa diriku ke alam surga, yang menyenangkan.
Seperti banjir besar yang melanda daratan kering akan reda secara perlahan, bersifat sementara,
[508] demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk, wahai raja, seperti air di daratan, suatu hal yang lambat laun akan menghilang.
Seperti banjir besar yang melanda lautan
akan bertahan lama,
demikianlah persahabatan dengan orang yang baik, wahai raja, seperti air di lautan,
suatu hal yang bertahan lama.
Tidaklah singkat persahabatan dengan orang yang baik, selama hidup, persahabatan demikian bertahan, sedangkan persahabatan dengan orang yang buruk segera berakhir,
dari jalan kebajikan, orang-orang yang buruk tersesat.
Demikian dalam tujuh bait kalimat, penjahat kanibal itu melantunkan pujian terhadap Sang Mahasatwa. Sang Mahasatwa kemudian membawanya beserta dengan para raja kesatria tersebut pergi ke suatu desa perbatasan, dan para penduduk yang melihat Sang Mahasatwa pergi ke kota dan melaporkannya. Kemudian para menteri raja datang beserta dengan satu pasukan dan mengawal Sang Mahasatwa, dengan kawalan rombongan ini ia tiba di Kerajaan Benares. Di tengah perjalanan ke sana, penduduk kota membawakan hadiah dan mengikuti rombongannya, dan oleh karenanya terdapat sekelompok besar orang yang tiba di Benares bersama dengannya. Pada waktu itu, putra dari penjahat kanibal itu menjadi raja dan Kalahatthi masih tetap menjabat sebagai panglima. Orang-orang di kota melaporkan ini kepada raja dengan berkata, “Paduka, dikatakan bahwa Sutasoma telah mengubah si penjahat kanibal dan sekarang telah tiba di sini bersama dengannya. Kita tidak akan memperbolehkan ia masuk ke kota,” dan dengan segera mereka menutup gerbang kota, berdiri dengan lengan di dalam tangan mereka.
Ketika mengetahui gerbang kota ditutup, Sang Mahasatwa meninggalkan penjahat kanibal dan seratus raja kesatria tersebut, pergi bersama sebagian menteri dan berseru, “Saya adalah Raja Sutasoma, buka pintu gerbangnya,” dan para pengawal kerajaan pergi memberitahukan ini kepada raja. Raja memerintahkan untuk segera membuka pintu gerbangnya, dan Sang Mahasatwa pun masuk ke dalam kota. Raja dan kalahatthi keluar untk menjumpainya [509] dan membawanya naik ke istana. Setelah duduk di tempat duduk yang mewah, Sang Mahasatwa memanggil istri dari penjahat kanibal dan juga rombongan menterinya, kemudian bertanya kepada Kalahatthi, “Mengapa, Kalahatthi, Anda tidak memperbolehkan raja untuk masuk ke dalam kota?” Ia menjawab, “Ia adalah seorang yang jahat. Di saat ia memerintah sebagai raja di kota ini, ia memakan banyak manusia dan melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan oleh kaum kesatria, dan menggemparkan seluruh India: itulah alasannya mengapa kami bertindak demikian.”
“Jangan beranggapan,” balasnya, “bahwa ia akan bertindak seperti itu lagi sekarang. Saya telah mengubah dirinya dan mengukuhkan dirinya dalam sila. Bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, ia tidak akan melukai orang lain. Kalian tidak berada dalam bahaya: janganlah bertindak seperti ini.
Sesungguhnya, anak harus merawat orang tua: mereka yang membahagiakan orang tuanya akan terlahir di alam surga, sedangkan mereka yang tidak membahagiakan orang tuanya akan terlahir di alam neraka.” Demikian ia menasihati putra raja, yang duduk di sampingnya di tempat duduk yang rendah.
Kemudian ia mengajari panglima dengan berkata, “Kalahatthi, Anda adalah seorang teman sekaligus pengikut raja, dan mendapatkan kekuasaan yang besar dikarenakan olehnya; Anda juga harus bertindak mendukung raja.” Dan untuk menasihati ratu, ia berkata, “Wahai ratu, Anda berasal dari keturunan bangsawan dan dari tangannya Anda mendapatkan posisi sebagai permaisuri, dan mendapatkan banyak putra dan putri darinya; Anda juga harus bertindak mendukung raja,” dan sebagai puncaknya dalam mengajarkan kebenaran ini, ia berkata:
Tidak ada raja yang seharusnya bertindak melampaui batas terhadap ia yang tak terkalahkan278,
Tidak ada teman yang mendapatkan teman yang lebih baik melalui tindak pengkhianatan;
Wanita yang takut berdiri membela suaminya bukanlah seorang istri sejati,
dan mereka juga bukan anak-anak yang berbakti, yang tidak merawat ayahnya di masa tua.
Tidak ada balai yang tidak memiliki seorang bijak di dalamnya,
Tidak ada orang bijak yang tidak menyebarkan kebenaran di mana pun ia berada.
Orang bijak adalah mereka yang telah mengenyahkan nafsu (kemelekatan), kebencian, dan kedunguan,
serta tidak pernah tidak mengajarkan kebenaran di mana pun ia berada.
Orang bijak di antara orang-orang dungu, jika membisu, tidak ada yang tahu ia adalah orang bijak,
(jika) ia berbicara, maka seluruh alam mengenalnya sebagai seorang guru.
Ajarkan, terangkan kebenaran, dan kibarkan (tinggi) bendera para orang suci,
lambang dari orang suci adalah ucapan yang bermanfaat, dan kebenaran adalah bendera yang mereka kibarkan.
Penduduk Kota Indapatta mengirim pesan, meminta raja mereka untuk pulang kembali. Sang Mahasatwa tinggal di sana selama satu bulan dan demikian menasihati raja, “Teman, kami akan pergi. Pastikan Anda tidak lalai dalam kebajikan, bangunlah lima balai distribusi dana di gerbang kota dan satu balai di pintu istanamu, dan jalankanlah sepuluh kualitas seorang raja, serta lindungilah diri dari jalan-jalan perbuatan buruk.” Bala tentara dari seratus kota kerajaan berkumpul bersama [511] dan dengan kawalan rombongan ini ia berangkat meninggalkan Benares. Pemakan daging manusia tersebut ikut pergi mengantarnya, dan berhenti di pertengahan perjalanan. Sang Mahasatwa memberikan kuda kepada mereka yang tidak memiliki kuda dan sebagainya, kemudian meminta mereka untuk pergi membubarkan diri. Mereka semua saling bersitabik beruluk salam, dan setelah saling memberikan salam dan berpelukan, mereka masing-masing kembali kepada rakyatnya. Sang Mahasatwa juga, tiba dengan keagungan yang mulia di Indapatta, masuk ke dalam kota, yang telah dihias oleh para penduduknya menjadi seolah-olah seperti kota para dewa.
Setelah memberi hormat kepada orang tuanya dan menyatakan kegembiraannya berjumpa kembali dengan mereka, ia pun naik ke menara istana. Ketika ia memerintah dengan benar di kerajaannya, terlintas pikiran ini di benaknya, “Makhluk dewata penjaga pohon itu sudah sangat membantuku; akan kupastikan ia mendapatkan persembahan yang setimpal.” Maka ia meminta pengawalnya untuk membuat satu danau yang besar di dekat pohon beringin itu dan memindahkan banyak keluarga untuk membangun sebuah perkampungan di sana. Perkampungan itu kemudian tumbuh berkembang menjadi sebuah tempat yang besar dengan delapan ribu tempat jualan. Dan dimulai dari batas terjauh yang dijangkau cabang pohonnya, ia menaikkan tanah tempat akar pohonnya berada dan mengelilinginya dengan sebuah anjungan yang dilindungi dengan panah dan gerbang; demikianlah makhluk dewata penjaga pohon itu disenangkannya.
Dikarenakan perkampungan itu dibangun di tempat penjahat kanibal itu dijinakkan, tempat itu berkembang menjadi Kota Kammāsadamma. Dan semua raja tersebut, dengan mengikuti nasihat dari Sang Mahasatwa, melakukan kebajikan seperti memberikan derma dan sebagainya, terlahir di alam surga.
Sang Mahasatwa mengakhiri uraian Dhamma-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, saya mengubah Aṅgulimāla, tetapi juga di masa lampau dirinya diubah olehku,” dan mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, raja pemakan daging manusia itu adalah Aṅgulimāla, Kāḷahatthi
adalah Sāriputta, Brahmana Nanda adalah Ānanda, dewi pohon adalah Kassapa, Sakka adalah Anuruddha, raja-raja kesatria adalah para pengikut Buddha, ayah dan ibu dari raja adalah anggota dari kehidupan maharaja, dan Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”
Catatan Kaki :
258 Bandingkan Jātaka-Māla, XXXI. Kisah Sutasoma, Jātaka Vol. V. No. 513, Jayaddisa-Jātaka, dan Cariyā-Piṭaka, III. 12. hal. 100 (yang disunting oleh R. Morris).
259 Lebih jelas mengenai kisah Aṅgulimāla, lihat Aṅgulimāla Sutta di dalam Majjhima Nikāya, No.86, dan juga Hardy’s Manual, hal. 257-261.
260 padesañāṇa. Lihat Sikshāmuccaya, Index, hal. 385, s.v. prādesika, 1. local, propinsial, setempat, 2. terbatas, seperti halnya dalam kata prādesikayāna, Mahāyutpatti, §59.
261 Di Kitab Jātaka, makhluk semi-dewa yang disebut sebagai yaksa, selalu diceritakan sebagai pemakan daging manusia. Kasus kanibalisme yang ada berupa mereka yang dibesarkan oleh yaksa, atau yang dalam kehidupan lampaunya terlahir menjadi yaksa, seperti dalam kisah ini.
262 sevāla; tanaman air vallisneria.
263 Selain digunakan oleh sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, sebagai panggilan keakraban, kata ‘āvuso’ juga digunakan untuk menyapa umat awam oleh seorang bhikkhu (petapa).
264 bhāvitattā. Bandingkan Dhamma Saṅgaṇi, terjemahan bahasa Inggris, hal.128.
265 devaccharā.
266 Kata accharā dalam bahasa Pali di sini memiliki dua arti, yaitu bidadari (kayangan) dan jentikan jari.
267 Khadira; Acacia catechu.
268 Karena Sutasoma tidak ditangkap, maka jumlah raja yang ada hanyalah seratus orang, masih kurang satu orang lagi untuk melengkapinya.
269 Bulu dari burung bangau biasanya ditempelkan pada panah.
270 Sebagai suatu tanda penghormatan kepada Bodhisatta.
271 Mesua roxburghii.
272 Lihat Jātaka, III. 234. 18.
273 sasaka (kelinci; rabbit, hare), sallaka (landak; porcupine), godhā (kadal besar; iguana), kapi (kera; monkey), kumma (kura-kura; tortoise).
274 Lihat halaman sebelumnya di baris [240], disebutkan bahwa ajaran (pengetahuan) kaum kesatria memperbolehkan seseorang untuk melakukan perbuatan buruk, demi kepentingan (keuntungan) dirinya sendiri.
275 Bait-bait berikutnya sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di baris [483].
276 kening, kedua tangan, pergelangan tangan, kedua lutut dan kaki.
277 nippurisa. Kata ini digunakan untuk musik dan berarti “bukan manusia,” “bukan dikeluarkan oleh manusia,” melainkan oleh para gandhabba, atau pemusik surgawi. Morris, Academy, Feb. 25, 1888.
278 Kitab komentar menjelaskan kata ini sebagai seorang ayah atau seorang ibu.