Latukikopama Sutta

LATUKIKOPAMA SUTTA

Perumpamaan Burung Puyuh

Sumber : Majjhima Nikaya 4
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati
Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2007

1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri suku Anguttarapa di kota mereka yang bernama Apana.

2. Kemudian, ketika hari telah pagi, yang terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah luar Beliau, dan pergi ke Apana untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika Beliau berkeliling untuk dana makanan di Apanan dan  telah kembali, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan kecil untuk tinggal pada hari itu. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di akar pohon untuk tinggal pada hari itu.

3. Ketika menjelang, Y.M. Udayin berpakaian, mengambil mangkuk serta jubah luarnya, dan dia juga pergi ke Apana untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika dia berkeliling untuk dana makanan di Apana dan telah kembali, setelah makan dia pergi ke hutan kecil yang sama untuk tinggal pada hari itu. Setelah memasuki hutan, dia duduk di akar pohon untuk tinggal pada hari itu.

4. Kemudian, pada saat Y.M. Udayin sedang bermeditasi sendirian, pemikiran ini muncul di benaknya: “Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan menyenangkan yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami! Betapa banyak keadaan-keadaan tak-bajik yang telah disingkirkan oelh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!”

5. Maka, ketika pantang tiba, Y.M. Udayin bangkit dari meditasinya, menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat, dia duduk di satu sisi [448] dan berkata kepada Beliau:

6. “Di sini, Yang Mulia Bhante, sementara saya sedang sendirian bermeditasi, pemikiran berikut ini muncul di benak saya: ‘Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! … Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!’ Yang Mulia Bhante, dulu kami terbiasa makan di petang hari, di pagi hari, dan di siang hari di luar jam makan. Kemudian ada suatu saat ketika Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: ‘Para bhikkhu, tinggalkan makan siang di luar jam yang pantas.’(671) Yang Mulia Bhante, pada waktu itu saya bingung dan sedih, dan berpikir: ‘Para perumah-tangga yang setia memberi kami beraneka makanan lezat selama siang hari di luar jam yang pantas, tetapi Yang Terberkahi memberitahu kami untuk meninggalkannya, Yang Mahatinggi memberitahu kami untuk melepaskannya.’ Disebabkan oleh cinta kasih dan hormat kami kepada Yang Terberkahi, dan karena malu dan takut akan perbuatan salah, kami meningglkan makan siang di luar jam yang pantas.

“Kemudian kami makan hanya di petang dan pagi hari. Kemudian ada suatu saat ketika Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan malam itu, yang berada di luar jam yang pantas.’ Yang Mulia Bhante, pada waktu itu saya bingung  dan  sedih, dan berpikir: ‘Yang Terberkahi memberitahu kami untuk meninggalkan yang lebih lezat di antara dua kali makan kami itu, Yang Mahatinggi memberitahu kami untuk melepaskannya.’ Pernah suatu kali, ada seseorang yang memperoleh sup di siang hari dan dia berkata: ‘Sisihkan itu dan kita semua akan makan bersama di petang hari.’ [Hampir] semua masak-memasak dilakukan di malam hari, hanya sedikit yang di siang hari. Disebabkan oleh cinta kasih dan hormat kami kepada Yang Terberkahi, dan karena malu dan takut akan perbuatan salah, kami meninggalkan makan malam di luar jam yang pantas.

“Sudah terjadi, Yang Mulia Bhante, bahwa para bhikkhu – yang berkelana untuk mengumpulkan dana makanan di kegelapan malam yang pekat – terjatuh ke lubang tinja, jatuh ke dalam gorong-gorong, berjalan menabrak semak berduri, dan jatuh di atas sapi yang sedang tidur; mereka bertemu para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan para penjahat yang sedang merencanakan tindakan kejahatan, dan para bhikkhu itu telah digoda secara seksual oleh perempuan. Pernah sekali, Yang Mulia Bhante, saya pergi berkelana untuk mengumpulakn dana makanan di kegelapan malam yang pekat. Seorang perempuan yang sedang mencuci pot melihat saya karena kilatan halilintar dan dia menjerit ketakutan: ‘Ampuni aku, setan telah datang mengambilku!’ Saya memberitahu dia: ‘Saudari, saya bukan mengambilku!’ Saya memberitahu dia: ‘Saudari, saya bukan setan, saya adalah bhikkhu [449] yang menunggu dana makanan.’ – ‘Kalau demikian, engkau adalah bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah meninggal!(672) Bhikkhu, lebih baik bila engkau menyuruh perutmu dibelah dengan pisau jagal yang tajam daripada mencari-cari dana makanan demi perutmu itu di kegelapan malam yang pekat!’ Yang Mulia Bhante, ketika ingat hal itu, saya berpikir: ‘Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan menyenangkan yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami! Betapa banyak keadaan-keadaan tak-bajik yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!’”

7. “Demikian pula, Udayin, ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku “Tinggalkan ini.’- mengatakan: ‘Apa, hanya hal sepele semacam ini, hal kecil semacam ini? Petapa ini terlalu menuntut!’ dan mereka tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka hal itu menjadi tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, dan tak membusuk, serta kuk yang tebal.

8. “Misalnya, Udayin, seekor puyuh dirantai dengan tanaman rambat yang membusuk sehingga pasti akan cedera, tertangkap, atau mati. Misalnya seseorang mengatakan ‘Tanaman rambat membusuk yang dipakai merantai puyuh itu sehingga ia pasti akan cedera, tertangkap, atau mati, baginya merupakan rantai yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Bagi puyuh itu, tanaman rambat membusuk yang dipakai merantainya sehingga ia pasti akan cedera, tertangkap, kuat mati, merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak- membusuk, serta kuk yang tebal.”

“Demikian pula, Udayin, ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ …tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambahan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.

9. :Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang [450] – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal sepele semacam ini, hal kecil yang harus ditinggalkan seperti ini, Yang Terberkahi memberitahu kita untuk meninggalkannya, Yang Maha tinggi memberitahu kita untuk meepasnya.’ Namun mereka meninggalkan hal itu dan mereka bersikap sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Setelah meninggalkan hal itu, mereka hidup dengan nyaman, tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

10. “Misalnya, Udayin, seekor gajah jantan kerajaan dengan gading sepanjang tiang kereta kencana, tubuhnya sudah dewasa, keturunan-tinggi dan sudah terbiasa bertempur, dirantai oleh tali kulit tyang kokoh. Dengan hanya sedikit memutar tubuhnya saja dia sudah dapat memutus dan meletuskan tali kulit itu dan kemudian pergi ke mana pun ia suka. Nah, misalnya seseorang mengatakan: ‘Tali kulit kokoh yang dipakai untuk merantai gajah jantan kerajaan … baginya merupakan tali tambatan yang kuatt, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Tali kulit kokoh yang dipakai merantai gajah jantan kerajaan itu, yang dengan hanya sedikit memutar tubuhnya saja sudah dapat memutus dan meletuskan tali kulit itu dan kemudian pergi ke mana pun ia suka, baginya merupakan tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.”

“Demikian juga, Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkan hal itu dan tidak bersikap tak-sopan padaku atau pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Setelah meninggalkan hal itu, mereka hidup dengan nyaman, tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatan yang lemah, tak kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

11. “Misalnya, Udayin, ada seorang laki-laki yang miskin, tak beruang, melarat, dan dia mempunyai gubuk bobrok yang terbuka untuk gagak-gagak, bukan jenis terbaik, dan alas tidur anyaman yang bobrok, bukan jenis terbaik, [451] dan sejumlah biji-bijian dan biji waluh di dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang parah, bukan jenis terbaik. Dia mungkin melihat seorang bhikkhu di taman vihara – yang sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya telah dicuci bersih setelah menyantap mekanan yang lezat – membaktikan diri untuk pemikiran yang lebih tinggi. Laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya keadaan petapa itu! Betapa sehatnya keadaan petapa itu! Seandainya aja aku dapat mencukur rambut dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah!’ Tetapi karena tidak dapat meninggalkan gubuk bobrok yang terbuka untuk gagak-gagak, bukan jenis terbaik, dan alas tidur anyaman yang bobrok, bukan jenis terbaik, dan sejumlah biji-bijian dan biji waluh di dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang parah, bukan jenis terbaik, dia tidak dapat mencukur rambut dan jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Rantai-rantai yang dipakai merantai laki-laki ini sehingga dia tidak dapat meninggalkan gubuk bobroknya…. Dan istrinya yang parah, bukan jenis terbaik, dan tidak dapat mencukur rambut dan jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah – baginya merupakan tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante, Rantai-rantai yang dipakai merantai laki-laki ini sehingga dia tidak dapat meninggalkan gubuk bobroknya … dan istrinya yang parah, bukan jenis terbaik, dan tidak dapat mencukur rambut serta jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah  menuju  tak-berumah – bagi dia, hal itu merupakan tali  tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk serta kuk yang tebal.”

“Demikian juga, Udayin ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini” … tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka, hal itu merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.

12. “Misalnya, Udayin, ada seorang perumah-tangga karya atau putra perumah-tangga, [452] dengan kekayaan dan harta yang besar, dengan banyak  emas batangan, dengan banyak lumbungg, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki dan perempuan. Dia mungkin melihat seorang bhikkhu di taman vihara – yang sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya telah di cuci bersih setelah menyantap makanan yang lezat – membaktikan diri untuk pemikiran yang lebih tinggi. Laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya keadaan petapa itu! Betapa sehatnya keadaan petapa itu! Seandainya saja aku dapat mencukur rambut  dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah!’
Karena dapat meninggalkan banyak emas batangan, banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki dan perempuan, dia dapat  mencukur rambut  dan jenggotnya, dapat mengenakan jubah kuning, dan  dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Rantai-rantai yang dipakai merantai perumah-tangga atau putra perumah-tangga sehingga dia dapat meninggalkan banyak batang emas… banyak budak laki-perempuannya, dan dapat mencukur rambut dan jenggotnya, dapat mengenakan jubah kuning, dan dapat meninggalkan  kehidupan berumah menuju tak-berumah-bagi dia hal-hal itu merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Rantai-rantai yang dipakai merantai perumah-tangga atau putra perumah-tangga sehingga dia dapat meninggalkan banyak emas batangan…banyak budak laki dan perempuannya, dan dapat mencukur rambut dan jenggotnya. Dapat mengenakan jubah kuning, dan dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju  tak-berumah – bagi dia hal-hal itu  merupakan tali tambatan  yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

“Demikian juga, Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’… meninggalkan hal itu dan tidak bersikap tak-sopan padaku atau pada para bhikkhu yang ingin berlatih. [453] Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman,  tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, denngan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatann yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

13. “Udayin, ada empat jenis manusia  yang dapat  ditemukan di dunia ini. Apakah yang empat itu?(673)

14. “Di sini, Udayin manusia mempraktekkan jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan.(674) Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat yang berhubungan dengan kemelekatan menyerangnya. Dia mentoleransinya; dia tidak menanggalkannya, tidak menghilangkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak meniadakannya. Manusia semacam ini kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu. Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

15. “Di sini, Udayin manusia mempraktekkan jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan. Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat  yang berhubungan dengan kemelekatan menyerangnya. Dia tidak mentoleransinya.; dia menaggalkannya, menghilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya Manusia semacam ini kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu. Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada diri manusia ini.(675)

16. “Di sini, Udayin, manusia mempraktekkan  jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan. Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat yang berhubungan dengan kemelekatan kadang-kadang menyerangnya karena tergelincirnya kewaspadaan. Kewaspdaannya mungkin lambat munculnya, tetapi dengan cepat dia meninggalkannya, menghilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya.(676) Sama seperti orang yang membiarkan dua atau tiga tetas air menetes ke piring besi yang dipanaskan sepanjang hari, air itu mungkin menetes lamban tetapi akan cepat menguap dan lenyap. Demikian pula, di sini seseorang mempraktekkan jalan itu…Kewaspadaannya mungkin lamban munculnya, tetapi dengan cepat dia meninggalkannya, menhilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya. Manusia  semacam ini juga kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu.[454] Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

17. “Di sini, Udayin, seseorang, setelah memahami bahwa kemelekatan adalah akar penderitaan, membebaskan dirinya dari kemelekatan dan terbebas bersama dengan hancurnya kemelekatan. Manusia semacam ini kusebut tak-terbelenggu, bukan terbelenggu.(677) Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

18. “Udayin, ada lima tali kesenangan indera. Apakah yang lima itu? Bentuk yang dapat dikognisi oleh mata – yang diinginkan, dihasrati, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera dan menggoda nafsu jasmani, Suara yang dapat dikognisi oleh telinga … Bebauan yang dapat dikognisi oleh hidung … citarasa yang dapat dikognisi oleh lidah …Sentuhan yang dapat dikognisi oleh tubuh – yang diinginkan, dihasrati, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera dan menggoda nafsu jasmani. Ini adalah lima tali kesenangan indera.

19. “Udayin, kesenangan dan kegembiraan yang muncul bergantung pada lima tali kesenangan indera ini disebut kesenangan indera – kesenangan yang kotor, kesenangan yang kasar, kesenangan yang tak-luhur. Kukatakan bahwa jenis kesenangan ini seharusnya tidak dikejar, bahwa halitu seharusnya tidak dikembangkan, bahwa hal itu seharusnya tidak diolah, bahwa hal itu seharusnya ditakuti.

20. “Di sini, Udayin, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera. Terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama … Dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua … Dengan juga melemahnya kegiuran … dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan …dia masuk dan berdiam di dalam jhana keempat …

21. “Ini disebut sukacita meninggalkan keduniawian, sukacita kesendirian, sukacita kedamaian, sukacita pencerahan.(678) Kukatakan bahwa jenis kesenangan ini seharusnya dikejar, bahwa hal itu seharusnya dikembangkan, bahwa hal itu seharusnya diolah, bahwa hal itu seharusnya tidak ditakuti.

22. “Di sini, Udayin, sangant terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama…Ini, kukatakan, termasuk dalam yang-terganggu.(679) Dan apakah disana yang termasuk dalam yang-terganggu? Pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan yang belum berhenti di saana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

23. “Di sini, Udayin, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam  jhana kedua … Ini, kukatakan, juga termasuk dalam yang-terganggu. Dan apakah yang di sana termasuk dalam yang terganggu? Kegiuran dan kesenangan yang belum berhenti di sana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

24. “Di sini, Udayin dengan juga melemahnya kegiuran … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Ini, kukatakan, juga termasuk dalam yang-terganggu. Dan apakah yang di sana termasuk dalam yang-terganggu? Ketenang-seimbangan [455] dan kesenangan yang belum berhenti di sana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

25. “Di sini, Udayin, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jahan keempat … Ini, kukatakan, termasuk dalam yang –tak-terganggu.

26. “Di sini, Udayin, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama … Itu, kukatakan, tidaklah cukup.(680) Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

27. “Di sini, Udayin, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana kedua … Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

28. “Di sini, Udayin, dengan  juga melemahnya kegiuran … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Itulah  yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

29. “Di sini, Udayin, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana keempat … Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

30. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkann  persepsi mengenai bentuk, dengan lenyapnya mengenai dampak indera, bersama tanpa-perhatian terhadap persepsi mengenai keragaman, menyadari bahwa / ruang adalah tak-terhingga, ‘ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan ruang tak-terhingga. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya

31. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landaan ruang tak-terhingga, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tak-terhingga,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kesadaran tak-terhingga. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

32. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan kesadaran tak-terhingga, menyadari bahwa ‘tidak ada apa pun,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kekosongan. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

33. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.[456] Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

34. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam berhentinya persepsi dan perasaan.(681) Itulahh  yang melampauinya. Demikianlah aku berbicara tentang ditinggalkannya bahkan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Apakah engkau melihat, Udayin, belenggu apa pun, baik yang kecil maupun besar, yang tidak kubicarakan peninggalannya?”

Tidak, Yang Mulia Bhante.”

Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Y.M. Udayin merasa puas dan bergembira di dalam kata-kaa Yang Terberkahi.

Catatan

671 Dari bacaan ini dan bacaan berikutnya, tampaknya Sang Buddha membatasi waktu makan yang diizinkan bagi para bhikkhu di dalam dua tahap yang berurutan, pertama melarang hanya makan siang saja namun mengizinkan makan malam. Tetapi, di dalam ketrangan Vinaya tentang asal mula Pac 37 (Vin iv.85) tidak disebutkan larangan berurutan ini. Sebaliknya, teks itu tampaknya menganggap bahwa sudah merupakan pengetahuan umum bahwa para bhikkhu tidak boleh menyantap makanan lewat tengan hari, dan hal ini menunjukkan bahwa Sang Buddha menentukan peraturan agar tidak makan bukan pada waktunya dengan satu pernyataan lengkap yang berlaku untuk semua makanan setelah tengah hari.

672 Ucapan itu tampaknya memakai bahasa Pali yang sangat tidak resmi. MA menjelaskan: Seandainya ibu dan ayah seseorang masih hidup, mereka akan memberi putra mereka berbagai jenis makanan dan menawarkan kepadanya tempat untuk tidur, sehingga dia tidak harus berkelanan ke sana kemari untuk mendapatkan makanan di malam hari.

673 MA: Sang Buddha memberikan ajaran ini untuk menganalisa manusia yang meninggalkan apa yang telah diberitahukan untuk ditinggalkan (§9) menjadi empat jenis manusia yang berbeda.

674 Upadhi. MA menerangkan: Untuk meninggalkan empat jenis Upadhi – kelompok khanda, kekotoran batin, bentukan berkehendak, dan tali-tali kesenangan indera (khandh’upadhi kiles’upadhi abhisankhar’upadhi kamagun’upadhi).

675 MA: Manusia biasa, Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-Sekali-Lagi, Yang-tidak-Kembali-Lagi semuanya dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama (§14), Yang-Tidak-Kembali-Lagi karena nafsu untuk dumai masih ada padanya sehingga kadang-kadang dia masih bergembira dalam pemikiran-pemikiran kenikmatan duniawi. Empat yang sama dapat dimasukkan ke dalam kategori kedua (§15), manusia biasa karena dia mungkin menekan kekotoran batin yang telah muncul, membangkitkan energi, mengembangkan pandangan terang, dan menghapus kekotoran batin dengan mencapai jalan di-atas-duniawi.

676 Jenis ini dibedakan dari jenis sebelumnya hanya oleh kelambanannya dalam menggugah kewaspadaan untuk meninggalkan kekotoran-kekotoran yang telah muncul.

677 Ini adalah Arahat, yang sendirian telah menghapus semua belenggu.

678 Di sini saya berangkat dari Nm dalam  menerjemahkan sukha sebagai “sukacita” dan bukan “kesenangan” untuk menghindari frasa-frasa yang terdengar kikuk yang terjadi karena konsistensi yang kaku. MA menjelaskan jhana-jhana sebagai nekkhammasukha karena jhana-jhana itu menghasilkan sukacita meninggalkan kesenangan indera; sebagai pavivekasukha karena jhana-jhana itu menghasilkan sukacita terpisah dari orang banyak dan dari kekotoran batin; sebagai upasamasukha karena sukacita mereka bertujuan untuk meredakan kekotoran batin; dan sebagai sambodhasukha karena sukacita mereka bertujuan untuk mencapai pencerahan. Jhana-jahna itu sendiri, tentu saja, bukanlah keadaan-keadaan pencerahan.

679 Semua keadaan pikiran di bawah jhana keempat dikelompokkan sebagai “yang tergoncang” (injita). Jhana keempat dan semua keadaan yang lebih tinggi disebut “yang tak-tergoncang” (aninjita). Lihat n.1000.

680 MA:Sungguh tidak cocok bila menjadi melekatinya dengan nafsu keinginan, dan orang seharusnya tidak berhenti pada titik ini.

681 Berhentinya persepsi dan perasaan bukan hanya satu pencapaian yang lebih tinggi lagi di sepanjang skala konsentrasi, tetapi di sini menyiratkan pengembangan pandangan terang total, yang memuncak di dalam tingkat arahat.