MAGANDIYA SUTTA
Sumber: Aneka Sutta, Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma,
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992
Pada suatu hari Sang Bhagava bersemayam di daerah suku Kuru, di kota yang bernama Kammasadamma, di rumah seorang yang brahmana dari keluarga Bharadvaja.
Pagi-pagi sekali Sang Bhagava berkemas-kemas dan dengan membawa jubah serta patta (mangkok untuk mengumpulkan makanan) menuju ke Kammasadamma untuk mengumpulkan makanan.
Setelah mengumpulkan makanan dan selesai bersantap, Beliau lalu menuju ke sebuah hutan terdekat untuk melewati tengah hari. Di hutan ini Beliau kemudian duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon yang rindang sampai matahari terbenam.
Ketika itu datanglah seorang pertapa bernama Magandiya di rumah brahmana Bharadvaja. Ia melihat sebuah tikar yang tergelar. Ia kemudian bertanya kepada Bharadvaja : “Untuk siapakah tikar itu digelar? Tampaknya seperti disediakan untuk seorang samana (pertapa).”
Tikar itu disediakan untuk Sang Samana Gotama, putera suku Sakya yang menjadi seorang pertapa. Beliau dihormati orang dan dimana-mana terdengar pekik kegembiraan dan pujian terhadap-Nya. Itulah Sang Bhagava, Yang Maha Suci dan Yang Maha Bijaksana, Sempurna Pengetahuan Serta Tindak-tanduk-Nya, Sang Sugata, Pengenal Semua Alam, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, itulah Sang Buddha, Sang Bhagava. Untuk Sang Bhagava inilah tikar itu disediakan.”
“Sesungguhnya, Bharadvaja, kita telah melihat sesuatu yang tidak baik, yaitu tempat tidur dari si Perusak.”
“Jangan berkata demikian, Magandiya, jangan bicara demikian Magandiya! Banyak pangeran yang cerdik pandai, brahmana yang cendikiawan, rakyat yang terpelajar dan pertapa yang arif bijaksana menghormat sekali kepada Sang Bhagava, sebab, setelah diberi bimbingan dan latihan, mereka semua dapat mengerti dengan baik dan menembus arti yang sesungguhnya dari Ajaran Suci (Dhamma) Sang Bhagava.”
“Andaikata aku dapat kesempatan untuk bertemu muka dengan muka dengan pertapa Gotama itu, maka dihadapannya aku akan juga berkata : “Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.” Mengapa demikian? Karena hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam ajaran agama kita.”
“Aku tidak ingin Anda mendapat kesukaran. Tetapi, baiklah, ceritakanlah hal ini kepada Samana Gotama.”
Pembicaraan di atas ternyata dapat didengar oleh Sang Bhagava melalui telinga dewa yang dimiliki seorang Buddha.
Menjelang malam hari Sang Bhagava mengakhiri meditasi-Nya dan kembali ke rumah brahmana Bharadvaja. Setelah tiba Beliau kemudian duduk di atas tikar yang khusus disediakan untuk keperluan Beliau. Brahmana Bharadvaja menghampiri Sang Bhagava, memberi hormat sebagaimana layaknya dan menyapa Sang Bhagava dengan kata-kata lemah lembut dan penuh rasa hormat.
Setelah itu Bharadvaja duduk bersimpuh di samping Sang Bhagava.
Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada brahmana Bharadvaja : “Oh Bharadvaja, apakah engkau dan pertapa Magandiya berbincang-bincang mengenai tikar yang Kududuki ini?”
Mendengar pertanyaan ini, brahmana Bharadvaja dengan badan gemetar menjawab dengan khidmat : “Hal itulah yang hamba ingin ceritakan kepada Sang Bhagava, tetapi Sang Bhagava ternyata telah membungkamkan hamba.”
Baru saja percakapan ini dimulai, tiba-tiba pertapa Magandiya, yang sebelumnya sudah melanjutkan perjalannya, memasuki rumah brahmana Bharadvaja. Magandiya memberi hormat kepada Sang Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata yang lemah lembut. Kemudian Magandiya mengambil tempat duduk di samping Sang Bhagava.
“Magandiya, mata menyenangi bentuk-bentuk, menyukai bentuk-bentuk dan menikmati bentuk-bentuk. Sang Tathagata telah menaklukkannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’?”
“Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’ Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami.”
“Telinga, Magandiya, menyenangi suara yang merdu; hidung, Magandiya, menyenangi wewangian; lidah, Magandiya, menyenangi rasa yang lezat; tubuh, Magandiya, menyenangi sentuhan-sentuhan yang lembut; batin, Magandiya, menyenangi bentuk-bentuk pikiran, menyukainya dan menikmatinya.
Sang Tathagata telah menaklukannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’?”
“Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’ Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami.”
“Bagaimanakah pendapatmu, Magandiya, andai kata terdapat seorang yang dulu menikmati bentuk-bentuk melalui mata, bentuk yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti bagaimana bentuk-bentuk itu muncul dan lenyap kembali, tentang suka duka yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap berbagai macam bentuk, dapat mengusir kerinduan akan bentuk-bentuk, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?”
“Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa.”
“Bagaimana pendapatmu, Magandiya, andaikata terdapat seorang yang dulu menikmati suara melalui telinga, wangi-wangian melalui hidung, rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh, hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti akan muncul dan lenyapnya kembali, tentang suka-duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?”
“Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa.”
“Dan mengenai diriku sendiri, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga. Akupun menikmati rangsangan-rangsangan yang memabukkan dari indria-indriaku, bentuk-bentuk yang menggiurkan melalui mata, wangi-wangian melalui hidung, rasa-rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh; hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan dan yang memberi kepuasan kepada nafsu-nafsu, dan Aku, Magandiya, dahulu memiliki tiga buah istana. Satu istana untuk musim hujan, satu istana untuk musim dingin, satu istana untuk musim panas. Empat bulan selama musim hujan Aku berdiam di istana musim hujan. Di tempat itulah Aku dilayani oleh gadis-gadis cantik yang memainkan alat musik, menyanyi serta menari.
Namun di kemudian hari, ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu-keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu-keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena kebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Magandiya, seperti juga seorang kepala keluarga, atau putera seorang kepala keluarga, kaya-raya, memiliki banyak harta dan menikmati kesenangan indrianya. Selain itu ia berkelakuan baik dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Ketika badan jasmaninya hancur setelah meninggal dunia ia akan bertumimbal lahir di alam sorga Tavatimsa (sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa). Di sana ia berdiam di sebuah hutan Nandana yang indah, dikelilingi para bidadari dan dapat menikmati kesenangan sorgawi. Sekiranya orang ini melihat seorang kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga sedang menikmati kesenangan indrianya di dunia. Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah putera dewata itu yang menghuni hutan indah dengan dikelilingi bidadari-bidadari cantik dan sedang menikmati kesenangan sorgawi, akan iri terhadap kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga yang sedang menikmati kesenangan duniawi, sehingga ia akan meninggalkan alam sorga agar dapat menikmati kesenangan di dunia?”
“Pasti tidak Pertapa Gotama.”
“Mengapa?”
“Karena kesenangan di sorga, pertapa Gotama, lebih baik dan lebih agung dari kesenangan di dunia.”
“Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria. Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.
Kemudian ia melihat seorang penderita kusta lain yang tubuhnya penuh luka dan bisul sedang menggaruk-garuk luka dan bisulnya itu hingga berdarah untuk kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah ia akan iri kepada penderita kusta yang sedang menggarang badannya itu?”
“Pasti tidak, pertapa Gotama.”
“Mengapa tidak?”
“Jika orang itu sakit, pertapa Gotama, sudah seyogyanya ia minum atau memakai obat, jika orang itu sehat tentu saja ia tidak memerlukan obat.”
“Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria.
Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.
Andaikata, kemudian dua orang kuat memegang tangannya serta menyeretnya ke perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Bagaimana pendaptmu, Magandiya, apakah ia tidak akan menggunakan segala daya dan tenaganya untuk meloloskan diri?”
“Pasti, pertapa Gotama.”
“Mengapa?”
“Api itu, pertapa Gotama, sangat menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya.”
“Dan Magandiya, apakah baru sekarang saja api itu menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya; atau apakah api itu dahulu juga menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya?”
“Sekarang dan juga sejak dahulu kala api memang menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi si penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah mungkin seperti orang yang terkena obat bius, sehingga secara tidak sadar menganggap sentuhan api yang menyakitkan sebagai sentuhan yang menyenangkan.”
“Demikian juga halnya dengan nafsu-nafsu indria, Magandiya. Dahulu nafsu-nafsu itu menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya, namun sekarang juga nafsu-nafsu itu tetap menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi mahkluk-mahkluk, Magandiya, yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu seakan-akan terbius dan secara tidak sadar menganggap rangsangan hawa nafsu itu sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Seperti halnya dengan si penderita kusta, Magandiya, yang badannya penuh luka dan bisul menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarangnya di perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Lukanya akan membesar dan sakitnya akan bertambah parah, meskipun ia telah mengalami sensasi serta ‘kenikmatan’ tertentu, sewaktu ia menggaruk pecah luka dan bisul di badannya.
Demikian pula halnya, Magandiya, dengan orang-orang yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu. Makin ia menyerah kepada tuntutan nafsu-nafsu keinginan untuk diberi kepuasan, makin kuat pula ia akan dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan dan dibakar oleh nafsu keinginan dan mereka merasai suatu kepuasan tertentu, suatu kenikmatan tertentu, sewaktu ia menyerah kepada tuntutan-tuntutan nafsu keinginan itu.
Bagaimana pendapatmu mengenai hal yang berikut ini, Magandiya?
Apakah engkau pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, telah memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin?”
“Tidak, pertapa Gotama.”
“Betul, Magandiya. Juga Aku belum pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin.”
Kemudian Sang Bhagava mengucapkan syair di bawah ini :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.
Mendengar syair di atas pertapa Magandiya berkata : “Sungguh mengagumkan, sungguh luar biasa, pertapa Gotama, sungguh tepat ucapan Anda yaitu :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi.”
“Akan tetapi, Magandiya, mengenai apa yang engkau dengar, telah diucapkan oleh para pertapa di jaman dulu dan oleh guru-guru mereka tentang : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi’, apakah engkau tahu kesehatan apakah yang dimaksud dan Nibbana apakah yang dimaksud?”
Mendengar pertanyaan ini, pertapa Magandiya mengusap-usap anggota badannya dan menjawab : “Inilah, Gotama yang dimaksud dengan kesehatan dan ini juga merupakan Nibbana. Karena pada saat ini, Gotama, aku merasa sehat sekali dan tidak menderita sakit apapun juga.”
“Seperti juga seorang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Ada seorang yang melek (tidak buta) berkata kepadanya : ‘Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Ia menerima dan memakai pakaian itu, berjalan pergi dan dengan bangga mengucapkan kata-kata sebagai berikut : ‘Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Bagaimana pendapatmu, Magandiya, misalnya orang buta itu dapat melihat serta mengetahui, apakah ia sudi menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan dengan bangga mengucapkan kata-kata : ‘Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Atau mungkin juga karena ia percaya kepada kata-kata dari si penipu yang melek (tidak buta)?”
“Tanpa mengetahui dan tanpa melihatnya sendiri, Gotama, orang yang dilahirkan buta itu telah menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan merasa gembira dan bangga, karena ia percaya kepada orang yang melek.”
“Demikianpun, Magandiya, pertapa-pertapa itu yang buta, tidak dapat melihat, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan Nibbana, turut mengucapkan syair ini : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi’
Tetapi, Magandiya, sejak dahulu kala syair di bawah ini diucapkan oleh para Buddha yang memiliki Penerangan Sempurna : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.’
Syair ini lambat-laun menjadi peribahasa rakyat.
Meskipun tubuh ini, Magandiya, dapat menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit, namun tentang tubuh ini yang menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit engkau berkata : ‘Tubuh ini adalah kesehatan dan tubuh ini adalah Nibbana.’
Magandiya, engkau pasti belum memiliki mata suci, karena bila engkau memiliki mata suci engkau dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan dan dapat melihat apa yang dimaksud dengan Nibbana.”
“Sekarang aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanku agar pertapa Gotama dapat memberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana.”
“Magandiya, seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter itu membuat obat untuknya dan setelah dipakai obat itu ternyata tidak berhasil membuat orang buta itu bisa melihat kembali, bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah dokter itu tidak kecewa karena jerih payahnya telah sia-sia?”
“Tentu, pertapa Gotama.”
“Demikian pula halnya, Magandiya, jika Aku mengajarmu Dhamma : ‘Inilah yang dinamakan kesehatan dan inilah yang disebut Nibbana’, namun engkau tetap tidak dapat mengenal kesehatan dan tidak dapat melihat Nibbana, dapat membuat Aku kecewa dan merasa bahwa jerih payahKu telah sia-sia.”
“Aku mempunyai keyakinan kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanKu agar pertapa Gotama dapat meberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana.”
“Seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari.
Ada seorang melek (tidak buta) berkata kepadanya : ‘Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Dan ia menerimanya serta memakainya.
Dan jika sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya membawanya ke seorang dokter dan dokter ini memberinya obat, obat muntah, obat urus-urus, obat mata, salep dan obat hidung. Setelah memakai obat-obat ini ternyata manjur dan ia lalu dapat melihat lagi. Setelah penglihatannya pulih dengan jemu ia melihat pakaian yang dikenakan, yaitu pakaian tukang jagal yang kotor dan penuh lemak. Ia marah kepada orang yang menipunya dan sekarang ia menganggap orang itu sebagai musuh, bahkan mungkin sampai ingin membunuhnya.
Ia berpikir : “Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh orang dengan pakaian kotor dan berlemak dari si tukang jagal dengan mengatakan : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dengan cara yang sama, Magandiya, bila Aku mengajarmu Dhamma kelak engkau akan mengerti apa yang dimaksud dengan kesehatan dan Nibbana. Dengan penglihatanmu yang berangsur-angsur menjadi terang, kamu akan berusaha untuk melepaskan diri dari keinginan dan kemelekatan kepada Lima Kelompok Kegemaran dan engkau akan berpikir : ‘Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh batinku yang melekat, yaitu melekat kepada bentuk-bentuk, melekat kepada perasaan, melekat kepada pencerapan, melekat kepada pikiran dan melekat kepada kesadaran.
Dengan adanya kemelekatan (upadana) maka terjadilah proses tumimbal lahir (bhava); dengan adanya proses tumimbal lahir maka terjadilah kelahiran kembali (jati); dengan adanya kelahiran kembali maka terjadilah kelapukan, keluh-kesah, sakit dan mati (jaramarana). Itulah sebab-musabab dari rangkaian penderitaan manusia.”
“Aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan aku harap dapat diberi pelajaran Dhamma sehingga aku dapat bangkit dari tempat ini tanpa terus-menerus buta.”
“Carilah persahabatan dengan para bijaksana, Magandiya. Sebab jika berhubungan dengan para bijaksanaan, engkau akan mendengar Ajaran (Dhamma) yang benar. Jika engkau mendengar Ajaran yang benar, engkau akan hidup sesuai dengan Ajaran itu. Jika engkau hidup sesuai dengan Ajaran yang benar, engkau nanti akan mengetahui sendiri, akan melihat sendiri : ‘Inilah dukkha (penderitaan) yang dapat dimusnahkan dalam kehidupan ini juga. Dengan tidak adanya kemelekatan maka tidak akan terjadi proses tumimbal lahir; dengan tidak adanya proses tumimbal lahir maka tidak akan ada kelahiran kembali; dengan tidak adanya kelahiran kembali maka tidak akan ada kelapukan, keluh kesah, sakit dan mati. Dengan demikian penderitaan manusia itu akan berhenti.”
Setelah mendengar sabda Sang Bhagava, Magandiya lalu berkata :
“Sungguh indah, Bhante, sungguh indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : ‘Siapa yang punya mata, silakan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagava. Dan aku ingin mencari perlindungan kepada Sang Buddha, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga aku dapat diterima sebagai murid oleh Sang Bhagava dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava sendiri.”
“Magandiya, mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu diharuskan untuk menjalani masa percobaan selama empat bulan. Setelah masa empat bulan berlalu dan mereka dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Tetapi dalam hal ini Aku dapat melihat ada perbedaan dalam kesanggupanmu.”
“Bhante yang mulia, jika mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan ingin ditahbiskan menjadi bhikkhu harus menjalani masa percobaan selama empat bulan; dan setelah masa empat bulan berlalu dan dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu; mengenai diriku sendiri aku bersedia untuk menjalani masa percobaan selama empat tahun. Setelah masa percobaan empat tahun berlalu dan dianggap memenuhi syarat para bhikkhu senior baru mentahbiskan aku menjadi bhikkhu.”
Tetapi pertapa Magandiya pada hari itu juga diterima dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava.
Tidak lama setelah Bhikkhu Magandiya diterima di dalam Sangha, dengan selalu menyendiri, mengasingkan diri, rajin dan tekun maka dalam waktu tidak terlalu lama beliau mencapai tujuan yang menjadi idam-idaman dari mereka yang meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa; yaitu tujuan yang tertinggi dari penghidupan suci.
Beliau telah memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi sehingga dapat melihat dengan jelas hakekat yang sesungguhnya dari benda-benda. Beliau tahu bahwa : “Tumimbal lahir sudah dimusnahkan, penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada sesuatu lagi yang masih tertinggal.”
Dan bhikkhu Magandiya menjadi salah satu diantara para Arahat.