Mahasaropama Sutta

MAHASAROPAMA SUTTA

Khotbah Besar tentang Perumpamaan Inti-kayu

Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005

[192] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha di gunung Puncak Burung Nasar, tak lama setelah Devadatta pergi.246 Di sana, mengacupada Devadatta, Yang Terberkahi berbicara kepada para bhikkhu demikian:

2. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia senang dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang-orang lain demikian: ‘Aku mendapat perolehan, penghormatan, dan ketenaran, sedangkan bhikkhu-bhikkhu lain ini tidak dikenal sama sekali.” Dia menjadi mabuk dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan.

“Andaikan saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, namun memotong ranting dan daunnya dan memnbawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui inti-kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, dia sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, dia memotong ranting dan daun dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya, Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan …[193]…dia hidup di dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil ranting dan daun kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.

3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia senang dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak menjadi mabuk dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu; dia tidak menjadi lalai dan tidak jatuh ke dalam kelalaian, karena rajin, dia memperolah mencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian moralitas dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirirnya sendiri dan merendakan orang-orang lain demikian: ‘Aku bermoral, berwatak baik, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain ini tidak bermoral, berwatak jahat.’ Dia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan.

“Andaikan saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, namun dia memotong kulit luarnya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui inti-kayu…atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu…dia memotong kulit luarnya dan membawanya pergi karena pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…dia hidup di dalam penderitaan. [194] Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil kulit luar kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.

4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berubah menuju tak-berumah, karena mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak terpenuhi….Karena rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian moralitas itu, namun niatnya tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; dia tidak menjadi lalai dan tidak jatuh ke dalam kelalaian. Karena rajin, dia memperoleh pencapaian konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang-orang lain demikian: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku menyatu, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka tercerai-berai.’ Dia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan. “Andaikan saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya, dan kayu lunaknya, namun dia memotong kulit dalamnya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui inti-kayu….atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu…dia memotong kulit dalamnya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Apapun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…dia hidup di dalam penderitaan. [195] Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil kulit dalam kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.

5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan dan keputus-asaan; aku adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak terpenuhi…Karena rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian moralitas itu, namun niatnya tidak terpenuhi….Karena rajin, dia memperoleh pencapaian konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi, namun niatnya tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak mabuk dengan pencapaian konsentrasi; dia tidak menjadi lalai dan tidak jatuh ke dalam kelalaian. Karena rajin, dia mencapai pengetahuan dan visi.347 Dia senang dengan pengetahuan dan visi dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang-orang lain demikian: ‘Aku hidup dengan mengetahui da melihat, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain ini hidup tanpa mengetahui dan melihat.’ Dia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan visi itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan.

“Andaikan saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya, namun dia memotong kayu lunaknya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui inti-kayu…atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu…dia memotong kayu lunaknya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ [196] Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…dia hidup di dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil; kayu lunak kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.

6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan dan keputus-asaan; aku adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak terpenuhi…Karena rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian itu, namun niatnya tidak terpenuhi…Karena rajin, dia memperoleh pencapaian konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi, namun niatnya tidak terpenuhi…Karena rajin, dia mencapai pengetahuan dan visi. Dia senang dengan pengetahuan dan visi itu, tetapi niatnya tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak mabuk dengan pencapaian pengetahuan dan visi; dia tidak menjadi lalai dan jatuh ke dalam kelalaian. Karena rajin, dia mencapai pembebasan yang abadi. Tidaklah mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan abadi itu.348

“Andaikan saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia memotong inti kayunya saja dan membawanya pergi karena mengetahui itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: “orang yang baik ini mengetahui inti-kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, [197] dia sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia memotong hanya inti-kayunya saja dan membawanya pergi karena mengetahui itu adalah inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…Karena rajin, dia mencapai pembebasan abadi. Dan tidaklah mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan abadi itu.349

7. “Jadi para bhikkhu, kehidupan suci ini tidak memiliki perolehan, penghormatan, dan ketenaran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan serta visi sebagai manfaatnya. Tetapi, pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan inilah yang merupakan tujuan dari kehidupan suci, inti-kayunya, tujuan akhirnya.”

Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.

Catatan :

(346) Setelah Devadatta rtidak berhasil mencoba membunuh Sang Buddha dan merampas kendali atas Sangha, dia memisahkan diri dari Sang Buddha dan mencoba membentuk sektenya sendiri dengan dia sebagai pemimpinnya. Lihat Nanamoli, The Life of the Buddha, hal. 266-69.

(347) “Pengetahuan dan pandangan” (nanadassana) di sini mengacu pada mata dewa (MA), yaitu kemampuan untuk melihat bentuk-bentuk halus yang tidak terlihat oleh pandangan normal.

(348) Terjemahan ini mengikuti edisi BBS dan SBJ, yang terbaca asamayavimokkham di dalam kalimat yang mendahuluinya, dan asamayavimuttiya di dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mendasari terjemahan Horner dan Nm, jelas-jelas salah menuliskan samaya di dalam dua kata majemuk dan thanam, bukannya atthanam. MA menyebutkan Patisambhidamagga (ii.40) untuk definisi dari asamayavimokkha (harafiah, pembebasan bukan-sementara, atau “abadi”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbana, dan dari samayavimokkha (pembebasan sementara) sebagai empat jhana dan empat pencapaian tanpa-bentuk. Lihat juga MN 122.4.

(349) “Pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan” adalah buah dari tingkat Arahat (MA). Dengan demikian, “pembebasan abadi”-yang mencakup semua empat jalan dan buahnya-memiliki lingkup arti yang lebih luas daripada “pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan”, yang dinyatakan”, yang dinyatakan justru menjadi tujuan kehidupan suci.