SAMANAMANDIKA SUTTA
Samanamandikaputta
Sumber : Majjhima Nikaya 4
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati
Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2007
1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Pada saat itu, Uggahamana Samanamandikaputta si kelana sedang berdiam di Taman Mallika, perkebunan Tinduka beraula-tunggal untuk debat filosofis, 771 [23] bersama dengan sekelompok besar kelana, dengan sebanyak tiga ratus kelana.
2. Tukang kayu Pailcakanga pergi keluar dari Savatthi di tengah hari untuk menjumpai Yang Terberkahi. Kemudian dia berpikir: Ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjumpai Yang Terberkahi; Beliau masih menyepi. Dan ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjumpai para bhikkhu yang pantas mendapat penghormatan; mereka masih menyepi. Sebaiknya aku pergi ke Taman Mallika, ke Uggahamana Samanamandikaputta si kelana. Dan dia pun pergi ke Taman Mallika.
3. Pada saat itu, Uggahamana si kelana sedang duduk bersama kelompok besar kelana yang membuat kegaduhan, dengan keras dan bising mereka membicarakan berbagai macam pembicaraan yang tak berarti, seperti misalnya pembicaraan tentang raja … (seperti Sutta 76, §4) … apakah segala sesuatu memang demikian atau tidak demikian.
Kemudian Uggahamana Samanamandikaputta si kelana melihat tukang kayu Pancakanga datang dari kejauhan. Ketika melihat tukang kayu Pancakanga, dia menenangkan kelompoknya demikian: “Tuan-tuan, diamlah; tuan-tuan, jangan bersuara. Tukang kayu Pancakanga datang, siswa petapa Gotama, salah satu siswa awam berpakaian-putih petapa Gotama yang sedang berdiam di Savatthi. Para mulia ini suka ketenangan; mereka terdisiplin dalam ketenangan; mereka memuji ketenangan. Mungkin jika mendapati bahwa kelompok kita tenang, dia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Maka para kelana itu pun menjadi diam.
4. Tukang kayu Pancakanga mendekati Uggahamana si kelana dan bertukar sapa dengannya. [24] Ketika ramah tamah ini telah selesai, dia duduk di satu sisi. Kelana Uggahamana kemudian berkata kepadanya:
5. “Tukang kayu, jika seseorang memiliki empat sifat, kugambarkan dia sebagai mantap di dalam hal yang bajik, sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan. Apakah yang empat itu? Di sini, dia tidak melakukan tindakan fisik yang jahat, dia tidak mengucapkan ucapan yang jahat, dia tidak mempunyai niat jahat, dan dia tidak menjalani hidup dengan penghidupan jahat apa pun. Jika seseorang memiliki empat sifat ini, kugambarkan dia sebagai mantap di dalam apa yang baik sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan.”
6. Pada waktu itu, Tukang kayu Pancakanga bukannya setuju pun bukannya tidak setuju dengan kata-kata kelana Uggahamana si kelana. Dengan tidak melakukan kedua hal itu, dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi, sambil berpikir: “Aku akan mempelajari arti pernyataan ini di hadapan Yang Terberkahi.”
7. Kemudian dia pergi kepada Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan melaporkan kepada Yang Terberkahi seluruh percakapannya dengan Ugghamana si kelana. Setelah itu, Yang Terberkahi berkata:
8. “Seandainya memang demikian, tukang kayu, maka bayi muda lemah yang terbaring tengkurap adalah mantap dalam apa yang bajik, sempurna di dalam apa yang bajik, mencapai pencapaian yang tertinggi, petapa yang tak-terkalahkan, menurut pernyataan kelana Ugghamana. Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak mempunyai pengertian tentang ‘tubuh,’ jadi bagaimana dia bisa melakukan tindakan jahat selain hanya geliang-geliut? Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak mempunyai pengertian tentang ‘ucapan,’ jadi bagaimana dia bisa mengucapkan ucapan jahat selain hanya merengek? Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak mempunyai pengertian tentang ‘niat,’ jadi bagaimana dia bisa mempunyai niat jahat selain hanya cemberut? Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak mempunyai pengertian tentang penghidupan,’ jadi bagaimana [25] dia bisa mencari nafkah melalui penghidupan yang jahat selain hanya menyusu pada ibunya? Seandainya memang demikian, tukang kayu, maka bayi muda lemah yang terbaring tengkurap adalah mantap dalam apa yang bajik … menurut pernyataan Ugghahmana si kelana.
“Jika seseorang memiliki empat sifat, tukang kayu, kugambarkan dia, bukannya mantap di dalam apa yang bajik, sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan, melainkan sebagai orang yang berada di dalam kategori yang sama dengan bayi muda lemah yang terbaring tengkurap itu. Apakah yang empat itu? Di sini, dia tidak melakukan tindakan fisik yang jahat, dia tidak mengucapkan ucapan yang jahat, dia tidak mempunyai niat jahat, dan dia tidak menjalani hidup dengan penghidupan jahat apa pun. Jika seseorang memiliki empat sifat ini, kugambarkan dia, bukannya mantap di dalam apa yang bajik … melainkan sebagai orang yang berada di dalam kategori yang sama dengan, bayi muda lemah yang terbaring tengkurap itu.
9. “Jika seseorang memiliki sepuluh sifat, tukang kayu, kugambarkan dia sebagai mantap di dalam apa yang baik sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan. [Tetapi pertama-tama] kukatakan, hal ini harus dipahami demikian :772 Ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik,’dan demikian: ‘Kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik berasal dari hal ini,’ dan demikian: ‘Kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik berhenti tanpa sisa di sini,’ dan demikian: ‘Orang yang berlatih dengan cara ini berarti rnernpraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik.’Dan kukatakan,. hal ini harus dipahami demikian: Ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang bajik,’ dan demikian ‘Kebiasaan-kebiasaan yang bajik berasal dari hal ini,’ dan demikian : “Kebiasaan-kebiasaan yang bajik berhenti tanpa sisa di sini, ‘dan demikian :’Orang yang berlath dengan cara ini berarti mempraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang bajik.’ Dan kukatakan, hal ini harus dipahami demikan: ‘Ini adalah niat-niat yang tak-bajik,’dan demikian:’Niat-niat yang tak-bajik berasal dari hal ini,’ dan demkan: ‘Niat-niat yang tak-bajik berhenti tanpa sisa di sini,’ dan demikan: ‘Orang yang berlatih dengan cara ini berarti mempraktekkan cara menuju
berhentinya niat-niat tak-bajik.’ Dan kukatakan, hal ini harus dipahami demikian: ‘ Ini adalah niat-niat yang bajik,’dan demikian: ‘Niat-niat bajik berasal dari hal ini,’dan demikian:’Niat-niat yang bajik berhenti tanpa sisa di sini,’ dan demikan: ‘Orang yang
berlatih dengan cara ini berarti mempraktekkan cara menuju berhentinya niat-niat yang bajik.’
10. “Apakah kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik itu? Hal itu adalah tindakan fisik yang tak-bajik, tindakan ucapan yang tak- bajik, dan penghidupan jahat. Hal inilah yang disebut kebiasaankebiasaan yang tak-bajik.
‘Dan berasal dari apakah kebiasan-kebiasaan yang tak-bajik ini? Asal mulanya bermula dari pikiran. Pikiran apa? Walaupun pikiran itu memiliki banyak bagian (multiple), bervariasi, dan dari berbagai aspek, ada pikiran yang dipengaruhi oleh nafsu keserakahan, oleh nafsu kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik bermula dari hal ini.
‘Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik ini lenyap tanpa sisa? Penghentiannya pun dinyatakan: di sini, seorang bhikkhu meninggalkan perilaku fisik yang salah dan mengembangkan perilaku fisik yang baik; dia meninggalkan perilaku ucapan yang salah dan mengembangkan perilaku ucapan yang baik; dia meninggalkan perilaku mental yang salah dan mengembangkan perilaku mental yang baik; dia meninggalkan penghidupan yang salah dan mencari nafkah dengan penghidupan yang benar .773 Di sinilah kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik itu berhenti tanpa sisa.
“Dan bagaimanakah dia mempraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak munculnya keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang belum muncul dan dia mengerahkan usaha, membangunkan energi, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Dia membangkitkan semangat untuk meninggalkan keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang telah muncul … Dia membangkitkan semangat untuk munculnya keadaan-keadaan bajik yang belum muncul … Dia membangkitkan semangat untuk kesinambungan, tidak hilangnya, penguatan, peningkatan, dan pemenuhan dengan mengembangkan keadaan-keadaan bajik yang telah muncul, dan dia mengerahkan usaha, membangunkan energi, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. [27] Orang yang berlatih demikian mempraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang tak-bajik.
11. “Apakah kebiasaan-kebiasaan yang bajik itu? Hal itu adalah tindakan fisik yang bajik, tindakan ucapan yang bajik, dan pemurnian penghidupan. Hal inilah yang disebut kebiasaan yang bajik.
‘Dan berasal dari apakah kebiasaan bajik ini? Asal mulanya pun dinyatakan: hal itu harus dikatakan bermula dari pikiran. Pikiran apa? Walaupun pikiran itu memiliki banyak bagian, bervariasi, dan dari berbagai aspek, ada pikiran yang tidak dipengaruhi oleh nafsu keserakahan, oleh nafsu kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan yang bajik bermula dari hal ini.
‘Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan yang bajik ini lenyap tanpa sisa? Penghentiannya pun dinyatakan: di sini, seorang bhikkhu bermoral, tetapi dia tidak mengidentifikasikan diri dengan moralitasnya, dan dia memahami sebagaimana adanya pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan itu – di mana kebiasaan-kebiasaan yang bajik ini berhenti tanpa sisa. 775
“Dan bagaimanakah dia mempraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang bajik? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak-munculnya
keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang belum muncul …untuk kesinambungan, tidak-hilangnya, penguatan, peningkatan, dan pemenuhan dengan mengembangkan keadaan-keadaan bajik yang telah muncul, dan dia mengerahkan usaha, membangunkan energi, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Orang yang berlatih demikian mempraktekkan cara menuju berhentinya kebiasaan-kebiasaan yang bajik. 776
12. Apakah niat-niat yang tak-bajik itu? Hal itu adalah niat nafsu indera, niat kemauan-jahat, dan niat kekejaman. Inilah yang disebut niat-niat yang tak-bajik.
‘Dan berasal dari apakah niat yang tak-bajik ini? Asal mulanya pun dinyatakan: hal itu harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apa? Walaupun persepsi memiliki banyak bagian, bervariasi, dan dari berbagai aspek, ada persepsi nafsu-indera, persepsi niat-jahat, dan persepsi kekejaman. Niat-niat yang takbajik bermula dari hal ini.
‘Dan di manakah niat-niat yang tak-bajik ini lenyap tanpa sisa? Penghentiannya pun dinyatakan: di sini, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari [28] keadaan-keadaan tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama yang dibarengi pikiran-pemicu dan pikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian. Di sinilah niat-niat yang tak-bajik berhenti tanpa sisa .777
“Dan bagaimanakah dia mempraktekkan cara menuju berhentinya niat-niat yang tak-bajik? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak munculnya keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang belum muncul … untuk kesinambungan, tidak-hilangnya, penguatan, peningkatan, dan pemenuhan dengan mengembangkan keadaan-keadaan balik yang telah muncul, dan dia mengerahkan usaha, membangunkan energi, mengerahkan pkirannya, dan berjuang. Orang yang berlatih demikian mempraktekkan cara menuju berhentinya niat-niat yang tak-bajik.
13. Apakah niat-niat yang bajik itu? Hal itu adalah niat meninggalkan keduniawian, niat tanpa-kemauan-jahat, dan niat tanpa kekejaman . Inilah yang disebut niat-niat yang bajik
“Dan berasal dari apakah niat bajik ini? Asal mulanya pun dinyatakan’. hal itu harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apa? Walaupun persepsi memiliki banyak bagian, dan dari berbagai aspek, ada persepsi meninggalkan keduniawian, persepsi tanpa kemauan jahat, dan persepsi tanpa-kekejaman. Niat-niat bajik bermula dari hal ini.
‘Dan di manakah niat-niat yang bajik ini berhenti tanpa sisa? Penghentiannya pun dinyatakan: di sini, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam diri dalam jhana kedua, yang memiliki keyakinan-diri dan kemanunggalan pikiran tanpa pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Disinilah niat-niat yang bajik berhenti tanpa sisa.790
“Dan bagaimanakah dia mempraktekkan cara menuju berhentinya niat-niat yang bajik? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak munculnya keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang belum muncul … untuk kesinambungan, tidak-hilangnya, penguatan, peningkatan, dan pemenuhan dengan mengembangkan keadaan-keadaan bajik yang telah muncul, dan dia mengerahkan usaha, membangunkan energi, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Orang yang berlatih demikian mempraktekkan cara menuju berhentinya niat-niat yang bajik.
14. “Nah, tukang kayu, bila seseorang memiliki sepuluh sifat apa [29] maka barulah dia kugambarkan sebagai mantap di dalam hal yang bajik, sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan? Di sini, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar dari orang yang berada di luar latihan, 781 niat benar dari orang yang berada di luar latihan, ucapan benar dari orang yang berada di luar latihan, tindakan benar dari orang yang berada di luar latihan, penghidupan benar dari orang yang berada di luar latihan, usaha benar dari orang yang berada di luar latihan, kewaspadaan benar dari orang yang berada di luar latihan, konsentrasi benar dari orang yang berada di luar latihan, pengetahuan benar dari orang yang berada di luar latihan, dan pembebasan benar dari orang yang berada di luar latihan. Bila seseorang memiliki sepuluh sifat ini, kugambarkan dia sebagai mantap di dalam hal yang bajik, sempurna di dalam apa yang bajik, telah mencapai pencapaian yang tinggi, petapa yang tak-terkalahkan.”
Demikianiah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Tukang kayu Pancakanga merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan
711 MA: Taman itu dibangun oleh Ratu Mallika, istri Raja Pasenadi dari Kosala. Taman itu diperindah dengan pohon-pohon bunga dan pohon-pohon buah. Pada awalnya hanya dibangun satu aula, yang menerangkan namanya, tetapi setelah itu banyak aula yang dibangun. Berbagai kelompok brahmana dan kelana berkumpul di sini untuk menjelaskan dan mendiskusikan doktrin-doktrin mereka.
772 MA: Pertama-tama, Sang Buddha menunjukkan tingkat arahat, orang yang berada di luar latihan (yaitu, dengan menyebutkan sepuluh sifat), kemudian Beliau membuat garis besar yang berlaku untuk sekha, siswa di dalam latihan yang lebih tinggi. Kata yang diterjemahkan sebagai “kebiasaan-kebiasaan” adalah sila, yang dalam beberapa konteks dapat mengambil rangkaian arti yang lebih luas daripada “moralitas.”
773 MA menjelaskan bahwa hal ini mengacu pada buah Pemasuk-Arus, karena pada titik inilah terpenuhinya moralitas pengendalian diri melalui Patimokkha (dan, bagi Buddhist awam, menjalankan Lima Peraturan). MA juga menjelaskan bacaan-bacaan selanjutnya dengan mengacu pada jalan dan buah di-atas-duniawi. Walaupun teks sutta tidak secara jelas menyebutkan pencapaian-pencapaian ini, interpretasi komentar tampaknya dibenarkan oleh ungkapan ‘berhenti tanpa sisa,’ (aparisesa niruj-jhanti), karena hanya dengan pencapaian jalan dan buah secara berturut-turutlah maka kekotoran batin khusus
barulah berhenti total. Pandangan kitab komentar selanjutnya ditopang oleh memuncaknya seluruh khotbah dalam figur arahat.
774 MA: Sejauh jalan Pemasuk-Arus dia dikatakan berlatih untuk penghentiannya; setelah dia mencapai buah pemasuk-arus maka barulah dikatakan telah berhenti.
775 Bacaan ini menunjukkan Arahat; yang mempertahankan perilaku luhur tetapi tidak lagi beridentifikasi dengan moralitasnya dengan memahami hal itu sebagai “aku” dan “milikku” Karena kebiasaan-kebiasaan luhurnya tidak lagi menimbulkan kamma, kebiasaan-kebiasaan itu tidak dapat digambarkan sebagai “bajik.”
776 MA:Sejauh jalan tingkat arahat,dia dikatakan berlatih untuk penghentiannya; setelah dia mencapai buah tingkat arahat maka barulah dikatakan telah berhenti.
777 MA: Ini mengacu pada jhana pertama yang berhubungan dengan buah Yang-Tidak-Kernbali-Lagi. Jalan Yang-Tidak-Kembali-Lagi menghapus nafsu indera dan niat jahat, dan dengan demikian mencegah munculnya tiga niat yang tak-bajik di masa depan – niat yang berkenaan dengan nafsu-indera, kernauan-jahat, dan kekejaman.
778 MA: SejaA jalan Yang-Tidak-Kernbali-Lagi, dia dikatakan berlatih untuk penghentiannya; ketika dia telah mencapai buah Yang-Tidak-Kembali-Lagi barulah dikatakan telah berhenti.
779 MA: Ini mengacu pada jhana kedua yang berhubungan dengan buah tingkat arahat.
780 MA: Sejauh jalan tingkat arahat, dia dikatakan berlatih untuk penghentiannya; setelah dia mendapatkan buah tingkat arahat maka barulah dikatakan telah berhenti. Niat-niat luhur Arahat tidak digambarkan sebagai ‘bajik.”
781 Lihat MN 65.34.