Sonadanda Sutta

SONADANDA SUTTA

Sumber : Sutta Pitaka Digha Nikaya VI
Oleh : Cornelis Wowor MA, Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit : CV. Danau Batur – Jakarta

Demikian yang telah kami dengar:

  1. Pada suatu waktu Sang Bhagava bersama sejumlah besar bhikkhu, sebanyak 500 bhikkhu, sedang dalam perjalanan melalui daerah Anga, tiba di Campa. Di Campa, beliau menginap di tepi danau Gaggara. Pada waktu itu Brahmana Sonadanda tinggal di Campa, tempat yang ramai, banyak rumput, pohon, air dan gundum, yang diberikan kepadanya oleh Raja Bimbisara dari Magadha, sebagai hadiah kerajaan dan berkuasa bagaikan raja.
  2. Para brahmana dan penduduk Campa mendengar berita: “Petapa Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan suku Sakya dan menjadi petapa, sedang mengembara di daerah Anga bersama sejumlah besar bhikkhu, sebanyak 500 bhikkhu, telah tiba di Campa dan menginap di tepi danau Gaggara. Sehubungan dengan petapa Gotama, telah tersiar berita baik: ‘Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak tanduknya, sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing manusia yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang sadar dan Mulia.’ Ia mengajar dengan pengetahuan yang direalisasikannya sendiri kepada dunia ini yang meliputi para dewa, para mara, para dewa Brahma, para petapa, para brahmana, para raja dan orang-orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan penghidupan-suci (brahmacari) yang sempurna dan suci. Sungguh baik bila menemui arahat seperti itu.”
    Berdasarkan hal ini maka para brahmana dan para penduduk, dalam jumlah yang besar, meninggalkan Campa dan pergi ke tepi danau Gaggara.
  3. Ketika itu Brahmana Sonadanda berada di teras atas rumahnya untuk istirahat dan ia melihat orang-orang yang pergi, maka ia bertanya kepada pembantunya: “Mengapa orang-orang Campa pergi seperti ini ke arah danau Gaggara?”
    Pembantu menceritakan sebabnya. Lalu ia berkata: “Baiklah, temui para brahmana dan penduduk Campa, katakan kepada mereka : Brahmana Sonadanda ingin kamu sekalian menunggunya. Ia sendiri akan pergi menemui Samana Gotama.”
    “Baiklah,” jawab pembantu dan melakukannya.
  4. Pada waktu itu lima ratus orang brahmana dari berbagai daerah sedang berada di Campa untuk berbagai urusan, mereka mendengar bahwa Brahmana Sonadanda ingin menemui Samana Gotama. Maka mereka menemuinya dan menanyakan apakah berita itu benar. “Begitulah, saudara-saudara, saya akan pergi menemui Samana Gotama.”
    “Saudara, jangan pergi menemui Samana Gotama. Tidak pantas bagi anda untuk pergi menemuinya. Jika anda pergi menemui Samana Gotama, reputasi anda akan berkurang, sedangkan reputasi Samana Gotama akan bertambah. Karena itu, maka tidak pantas bagi anda untuk pergi menemui Samana Gotama, ia yang layak datang menemuimu.”
  5. Mereka juga menyampaikan beberapa pertimbangan lain kepada brahmana Sonadanda, seperti: “Anda telah dilahirkan dari ke dua belah pihak keturunan yang baik, turunan murni tanpa putus dari tujuh generasi dan tanpa cacat. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda adalah ahli, mengetahui mantra-mantra, menguasai Tevijja, ahli menerangkan peraturan-peraturan dan upacara-upacara, ahli suara-suara dan makna-maknanya, yang kelima adalah menjelaskan dengan rinci tentang tradisi, menguasai dengan baik mengenai filsafat alam (Lokayata) dan ciri-ciri manusia besar (Mahapurisa lakkhana). Karena itu, maka tidak pantas . ..
    Anda adalah tampan, menyenangkan dilihat, berpenampilan meyakinkan, memiliki kecakapan yang mengagumkan, berpenampilan seperti Brahma dan mempesona. Karena itu, maka tidak pantas …
    Anda bermoral, sangat bermoral dan memiliki moral tinggi. Karena itu maka tidak pantas ….
    Anda pintar berceramah, ahli berkhotbah, memiliki kemampuan berpidato yang mengagumkan, tanpa salah dan menerangkan arti dengan jelas. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda adalah guru dari para guru, mendidik tiga ratus brahmana untuk menghafalkan mantra-mantra, dan banyak brahmana muda dari berbagai penjuru dan daerah yang semuanya ingin belajar mantra, datang belajar pada anda. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda telah berumur, tua dan berusia lanjut, berusia panjang dan bepengalaman. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda dihormati, dipuji, dipuja, dimuliakan dan dijunjung tinggi oleh Raja Magadha, Seniya Bimbisara. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda dihormati, dipuji, dipuja, dimuliakan dan dijunjung tinggi oleh brahmana Pokkharasadi. Karena itu, maka tidak pantas ….
    Anda tinggal di Campa banyak ternak rumput, pohon, dan gandum, sebagai penguasa dan berhak penuh pada daerah itu bagaikan raja yang dilimpahkan kepadanya oleh Raja Bimbisara. Karena itu, maka tidak pantas anda untuk pergi menemui Samana Gotama, ia yang layak datang menemuimu.”
  6. Ketika mereka telah berkata begitu, Sonadanda berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, dengar dan perhatikan mengapa pantas bagi saya menemui Samana Gotama, dan bukan ia yang mengunjungi saya ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama telah dilahirkan dengan sempurna dari kedua belah pihak, turunan sempurna dari ibu dan ayah sejak tujuh turunan, tanpa cacad sedikitpun untuknya dan kelahirannya tanpa hal yang dapat dikritik …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama telah meninggalkan kehidupan berumah-tangga (pabbajja), meninggalkan keluarga besarnya …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama telah meningalkan kehidupan berumah-tangga, meninggalkan uang dan emas yang banyak, harta yang disimpan dalam tanah dan di atas tanah …
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama, masih muda, tanpa uban di kepalanya, diliputi keremajaan, telah meninggalkan kehidupan berumah tangga lalu hidup tanpa berkeluarga …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama, walaupun ayah dan ibunya tidak setuju, menangis, pipi mereka dibasahi air mata, namun ia memotong rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah-tangga lalu hidup tanpa berkeluarga ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama adalah tampan, menyenangkan dilihat, memiliki karisma, memiliki kecakapan yang mengagumkan, berpenampilan yang mempesona, kehadirannya menyenangkan, mempesona, …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama bermoral dengan ariya sila, memiliki kebaikan dan sila ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama memiliki suara yang menyenangkan, pintar berkhotbah, penceramah yang sopan, jelas, jernih suaranya, topik dijelaskan dengan rinci …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama adalah guru dari para guru …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama tak memiliki sedikit nafsu pun, ia telah melenyapkan semua kotoran batin ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama meyakini ajaran karma (kammavadi), ajaran perbuatan (kiriyavadi), ia adalah seorang yang membabarkan kebenaran di depan para brahmana …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama telah meninggalkan keluarga yang terhormat, para kesatriya …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama telah meninggalkan keluarga yang makmur dan kaya raya ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya banyak sekali orang datang dari berbagai penjuru untuk bertanya kepada Samana Gotama ……
    Saudara-saudara, berkelompok-kelompok ribuan dewa berlindung kepada Samana Gotama …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya berita baik tentang Samana Gotama telah tersebar: ‘Demikianlah Sang Bhagava, yang maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh jalan (mencapai nibbana), pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, Buddha, Bhagava,’ ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama memiliki ke semua tiga puluh dua tanda Manusia Agung (Mahapurisalakkhana) …
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama menyambut dengan baik semua orang yang datang, menyenangkan, pendamai, rendah hati, dapat ditemui siapa saja, berbicara dengan jujur …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama dipuja, dipuji dan dihormati oleh empat kelompok (upasaka, upasika, bhikkhu dan bhikkhuni), ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya para dewa dan manusia mempercayainya, ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya di kota dan desa mana saja Samana Gotama tinggal, makhluk-makhluk halus yang ada di kota dan desa itu tidak mengganggu manusia …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama mengepalai sangha, kelompok, sebagai guru dari sebuah kelompok, diketahui sebagai kepala dari semua pendiri ajaran (sekte). Banyak samana dan brahmana yang mendapat reputasi baik karena hal-hal yang sepele, namun Samana Gotama tidak demikian. Reputasinya dihasilkan oleh kesempurnaan pengetahuan dan tindak-tanduknya (vijja-carana-sampadaya) …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Raja Bimbisara dari kerajaan Magadha, bersama para permaisuri, pangeran dan putrinya, para bangsawan dan rakyatnya telah berlindung pada Samana Gotama …..
    Saudara-saudara, sesungguhnya Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, bersama para permaisuri, pangeran dan putrinya, para bangsawan dan rakyatnya telah berlindung pada Samana Gotama ……
    Saudara-saudara, sesungguhnya Brahmana Pokkharasadi bersama para istri dan anak-anaknya, para sahabat dan para pembantunya telah berlindung pada Samana Gotama ….
    Saudara-saudara, sesungguhnya Samana Gotama dipuja, dipuji dan dihormati oleh Raja Bimbisara dari Magadha, Raja Pasenadi dari Kosala serta Brahmana Pokkharasadi ……
    Saudara-saudara, sesungguhnya sekarang Samana Gotama telah tiba di Campa, dan berada di tepi danau Gaggara. Sebagaimana semua samana dan brahmana yang memasuki perbatasan perkampungan kita merupakan tamu kita. Para tamu kita sambut, layani, hormati dan puji. Demikian pula sekarang ia telah datang, ia patut dilayani sebagai tamu …..
    Setiap dan semua pertimbangan ini adalah tidak menunjukkan bahwa tidak tepat bila Samana Gotama mengunjungi kita, tetapi adalah tepat bila kita yang pergi menemui beliau. Hanya sebegitu jauh yang saya tahu mengenai keistimewaan Samana Gotama, tetapi ini pun belum semuanya, karena keistimewaannya adalah tidak terukur.”
  7. Setelah ia berkata demikian, para brahmana berkata kepadanya “Sonadanda yang mulia telah menyatakan pujian yang begitu rupa tentang Samana Gotama, bagaikan ia berada kira-kira 100 yojana dari sini dan yang cukup bagi seseorang berkeyakinan pergi menemuinya, walaupun ia itu pergi dengan membawa beban di bahunya. Marilah kita semua bersama-sama pergi menemui Samana Gotama.”
    Demikianlah, Brahmana Sonadanda bersama sejumlah besar brahmana pergi ke danau Gaggara.
  8. Kemudian suatu keraguan muncul dalam pikiran Sonadanda ketika sedang melintas hutan: “Jika saya menanyakan pertanyaan kepada Samana Gotama, ia akan berkata: ‘Pertanyaannya bukan ditanyakan seperti itu, pertanyaannya harus sistimatis,’ maka orang-orang yang ada akan berkata tidak sopan kepadaku dengan berucap: ‘Brahmana Sonadanda tolol dan tidak berpendidikan. Ia tidak sanggup menanyakan sebuah pertanyaan dengan benar.’ Jika mereka berbuat seperti itu maka reputasiku menurun; dengan reputasiku seperti itu, maka pendapatanku menyusut, karena untuk senang itu tergantung pada reputasi. Namun, bila Samana Gotama bertanya padaku, saya mungkin tidak akan mendapat persetujuannya karena jawabanku. Jika orang-orang yang ada berkata kepadaku: ‘Pertanyaan tidak dijawab seperti itu; masalahnya harus diterangkan,’ karena hal itu, maka orang-orang akan berkata dengan tidak sopan kepadaku: ‘Brahmana Sonadanda tolol dan tidak berpendidikan. Ia tidak sanggup memuaskan Samana Gotama dengan memberikan jawaban mengenai petanyaan yang diajukan.’ Jika mereka melakukan demikian maka reputasi saya akan turun; dengan reputasiku seperti itu maka pendapatanku akan menurun, karena apa yang kita nikmati adalah tergantung pada reputasi kita. Tetapi sebaliknya, jika setelah datang sejauh ini, saya pulang tanpa menemui Samana Gotama, maka kemungkinan sekali orang-orang yang datang bersama saya akan merendahkan saya dengan berkata: ‘Brahmana Sonadanda ini tolol, tidak berpendidikan, keras kepala dengan kesombongan, ia sangat takut sehingga ia tidak berani menemui Samana Gotama. Mengapa ia berbalik setelah berjalan sejauh ini?’ Jika mereka melakukan hal itu, reputasi saya akan menurun; dengan reputasi seperti itu, pendapatan saya akan berkurang. Karena apa yang kita nikmati, tergantung pada reputasi kita.”
  9. Akhirnya Brahmana Sonadanda tiba di tempat Sang Bhagava.
    Setelah tiba, ia dan Sang Bhagava saling memberi salam dengan kata-kata sopan dan hormat, setelah itu ia duduk di tempat yang telah tersedia. Sedangkan para brahmana dan penduduk Campa; ada yang membungkuk kepada Sang Bhagava lalu duduk; ada yang saling memberi salam kepada Sang Bhagava dengan kata-kata sopan dan hormat, lalu duduk; ada yang menyebutkan nama mereka dan nama keluarga mereka lalu duduk; sedangkan yang lain dengan diam-diam langsung duduk.
  10. Pada saat itu, Sonadanda sedang duduk dengan pikiran yang ragu-ragu, dengan pikiran seperti yang muncul dalam perjalanan; dan ia menambahkan: “Oh! Apakah Samana Gotama akan menanyakan padaku beberapa pertanyaan tentang kemampuanku tentang Tevijja. Dengan begini, saya akan dapat mendapatkan persetujuan tentang keterangan jawabannya mengenai pertanyaannya.”
  11. Pada saat itu pula, Sang Bhagava mengetahui dengan pikirannya mengenai keragu-raguan yang ada dalam pikiran Sonadanda, dan ia berpikir: “Sonadanda sedang berpikir. Sebaiknya saya menanyakan sebuah pertanyaan tentang ajarannya.” Lalu ia berkata kepadanya: “Brahmana, apakah hal yang harus dimiliki oleh seorang brahmana sehingga ia dapat berkata: ‘Saya brahmana,’ pernyataan ini adalah benar dan ia tidak merasa bersalah karena ia tidak berbohong?”
  12. Sonadanda berpikir: “Apa yang saya mau, ingin, pikir dan harapkan bahwa Samana Gotama akan menanyakan sesuatu mengenai kemampuanku mengenai Tevijja itulah yang ia tanyakan. Oh! Keteranganku akan dapat menyenangkan hatinya!”
  13. Dengan menegakkan badannya serta melihat para hadirin di sekitarnya, ia berkata kepada Sang Bhagava: “Gotama, para brahmana menyatakan dirinya seorang brahmana yang dengan tepat mengatakan ‘Saya brahmana’ tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong, yang memiliki lima hal. Apakah lima hal itu? Pertama, seorang brahmana terlahir dengan baik dari kedua sisi orang tuanya, sejak tujuh generasi, tanpa noda maupun cacad atau pun hal yang dapat dikritik mengenai kelahirannya ….
    Ia seorang yang mengetahui dan pengucap mantra-mantra, menguasai Tevijja, ahli menerangkan peraturan-peraturan dan upacara-upacara, ahli suara-suara dan makna-maknanya sebagai yang keempat, yang kelima adalah menjelaskan dengan rinci tentang tradisi, menguasai dengan baik mengenai filsafat alam (Lokayata) dan ciri-ciri manusia-besar (Mahapurisa lakkhana) ….
    Ia tampan, menyenangkan dilihat, memiliki karisma, memiliki kecakapan yang mengagumkan, berpenampilan yang mempesona, kehadirannya menyenangkan, mempesona, ….
    Ia bermoral (sila), silanya dikembangkannya, silanya maju dengan baik sekali ….
    Sebagai yang pertama atau kedua, ia terpelajar dan bijaksana dalam upacara pemujaan pada api.
    Gotama, inilah lima hal yang dimiliki oleh para brahmana sehingga seorang brahmana dapat menyatakan dengan tepat ‘Saya brahmana,’ pernyataan ini benar dan tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong.”
  14. “Brahmana, dapatkah dari lima hal itu salah satu dikeluarkan, namun dengan empat hal saja seseorang masih dinyatakan sebagai brahmana; pernyataan ini benar serta tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong ketika menyatakan ia seorang brahmana?”
    “Ya, Gotama, itu dapat dilakukan. Kita dapat mengeluarkan Vanna (Varna). Karena apa yang dapat dilakukan oleh Vanna? Jika kita telah memiliki empat hal kelahiran yang baik, latihan teknis, sila dan kebijaksanaan, sebagai yang keempat para brahmana tetap akan menyatakan dia sebagai brahmana; ia benar dan tanpa bahaya dari berbohong, menyatakan tentang dirinya itu.”
  15. “Brahmana, dapatkah dari empat hal itu salah satu dikeluarkan, namun dengan tiga hal saja seseorang masih dinyatakan sebagai brahmana; pernyataan ini benar tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong ketika menyatakan ia seorang brahmana?”
    “Ya, Gotama, itu dapat dilakukan. Kita dapat mengeluarkan mantra, karena apa yang dapat dilakukan oleh mantra? Jika kita telah memiliki tiga hal kelahiran yang baik, sila dan kebijaksanaan para brahmana tetap akan menyatakan dia sebagai brahmana; ia benar dan tanpa bahaya dari berbohong, menyatakan tentang dirinya itu.”
  16. “Brahmana, dapatkah dari tiga hal itu salah satu dikeluarkan, namun dengan dua hal itu saja seseorang masih dinyatakan sebagai brahmana; pernyataan ini benar tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong ketika menyatakan ia seorang brahmana?”
    “Ya, Gotama, itu dapat dilakukan. Kita dapat mengeluarkan kelahiran, karena apa yang dapat dilakukan oleh kelahiran? Jika kita telah memiliki dua hal sila dan kebijaksanaan para brahmana tetap akan menyatakan dia sebagai brahmana; ia benar dan tanpa bahaya dari berbohong, menyatakan tentang dirinya itu.”
  17. Ketika ia selesai berkata begitu, para brahmana yang lain berkata kepada Sonadanda: “Sonadanda yang terhormat, jangan berkata begitu. la tidak hanya merendahkan Vanna kami, namun ia merendahkan mantra dan kelahiran kami. Sesungguhnya, Sonadanda yang terhormat, cenderung miring ke arah ajaran Samana Gotama.”
  18. Lalu Sang Bhagava berkata kepada para brahmana: “Para brahmana, jika anda sekalian berpendapat bahwa Sonadanda tidak terpelajar, ia berkata tidak tepat, ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mempertahankan pandangannya mengenai hal ini dengan saya, maka sebaiknya ia diam dan anda sekalian berdiskusi dengan saya. Namun, bilamana anda sekalian berpendapat bahwa ia terpelajar, dapat berbicara, bijaksana dan dapat mempertahankan pandangannya, maka anda sekalian diam dan biarkan ia berdiskusi dengan saya.”
  19. Setelah beliau berkata demikian, brahmana Sonadanda berkata kepada para brahmana itu: “Janganlah anda sekalian yang terhormat berkata begitu. Janganlah berkata begitu, saudara-saudara. Saya tidak merendahkan vanna, mantra maupun kelahiran kita.”
  20. Pada waktu itu, seorang brahmana muda bernama Angaka, putra dari saudara wanita brahmana Sonadanda, sedang duduk di antara para brahmana, Sonadanda berkata kepada para brahmana: “Apakah anda yang terhormat melihat kemenakan kita, Angaka?”
    “Ya, kami melihatnya.”
    “Saudara-saudara, Angaka tampan, menyenangkan dilihat, berpenampilan meyakinkan, memiliki kecakapan yang mengagumkan, berpenampilan seperti Brahma dan mempesona tak seorang pun di antara para hadirin yang menyamainya dalam hal penampilan, kecuali Samana Gotama.
    Saudara-saudara, Angaka adalah ahli, mengetahui mantra-mantra, menguasai Tevijja, ahli menerangkan peraturan-peraturan dan upacara-upacara, ahli suara-suara dan makna-maknanya, yang kelima adalah menjelaskan dengan rinci tentang tradisi, menguasai dengan baik mengenai Lokayata dan Mahapurisa lakkhana, saya sendiri telah mengajarkan mantra-mantra ini.
    Saudara-saudara, Angaka telah dilahirkan dari ke dua belah pihak keturunan yang baik, turunan murni tanpa putus dari tujuh generasi, tanpa cacat dan tanpa hal yang dapat dikritik mengenai garis keturunannya saya sendiri mengetahui nenek-moyangnya, dari pihak ibu maupun ayah.
    Saudara-saudara, jika Angaka membunuh makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, berdusta dan minum minuman yang memabukkan, maka apakah yang dapat dilakukan oleh vanna, mantra dan kelahiran?
    Saudara-saudara, selama seorang brahmana bermoral, silanya dikembangkannya, silanya maju dengan baik sekali; selama ia berpendidikan dan bijaksana, sebagai yang pertama atau kedua, di antara mereka yang melakukan upacara api, maka para brahmana akan menyatakan dia, karena memiliki dua kualitas ini, sebagai seorang brahmana, menjadi seseorang yang dengan tepat menyatakan ‘saya seorang brahmana’, tanpa merasa bersalah karena ia menyatakan hal itu.”
  21. “Brahmana, dapatkah dari dua hal itu salah satu dikeluarkan, sehingga hanya dengan satu hal itu saja seseorang masih dinyatakan sebagai brahmana; pernyataan ini benar tanpa merasa bersalah karena ia tidak berbohong ketika menyatakan ia seorang brahmana?”
    “Tidak, Gotama! Karena kebijaksanaan (panna) disucikan oleh sila, sebaliknya sila disucikan oleh kebijaksanaan. Di mana ada sila, di situ ada kebijaksanaan. Bagi yang memiliki sila ada kebijaksanaan, yang bijaksana ada sila, kebijaksanaan dan sila dinyatakan sebagai hal yang terbaik di dunia. Gotama, bagaikan seseorang yang mencuci tangannya dengan tangan, atau mencuci kaki dengan kaki, begitu pula kebijaksanaan disucikan oleh sila, dan sila disucikan oleh kebijaksanaan. Di mana ada sila, di situ ada kebijaksanaan; di mana ada kebijaksanaan, di situ ada sila. Bagi yang memiliki sila ada kebijaksanaan, yang bijaksana ada sila, kebijaksanaan dan sila dinyatakan sebagai hal yang terbaik di dunia.”
  22. “Brahmana, begitulah. Saya juga mengatakan yang sama. Tetapi apakah sila dan kebijaksanaan itu?”
    “Gotama, kami hanya mengetahui pernyataan umumnya saja. Semoga Gotama yang mulia dengan senang hati menerangkan ungkapan ini.”
    “Brahmana, baiklah, dengarkanlah dan perhatikan dengan baik, saya akan bicara.”
    “Baiklah,” jawab Sonadanda, menyetujui Sang Bhagava. Sang Bhagava berkata: “Brahmana, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing. Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usahanya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.
    Kemudian, seorang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga-rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya: ‘Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Hidup pabbaja adalah bebas seperti udara. Sungguh sukar bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk menempuh hidup brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta dalam seluruh kegemilangan kesempurnaannya. Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup pabbaja.
    Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (Peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna perilaku dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya, ia memiliki perhatian murni dan pengertian jelas (sati-sampajanna); dan hidup sederhana.
    Brahmana, bagaimanakah seorang bhikkhu yang sempurna silanya? Brahmana, dalam hal ini seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu dengan perbuatan kasar; ia hidup dengan penuh cinta kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua makhluk, semua yang hidup. Inilah sila yang dimilikinya.
    Menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian; ia hidup jujur dan suci. Inilah sila yang dimilikinya.
    Menjauhi hubungan kelamin, menjalankan Brahmacariya (tidak kawin); ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hubungan kelamin. Inilah sila yang dimilikinya.
    Menjauhi kedustaan, menahan diri dari dusta, ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia.
    Menjauhi ucapan fitnah, menahan diri dari memfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-pecah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan pembicaraan. Inilah sila yang dimilikinya.
    Menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang. Inilah sila yang dimilikinya.
    Menjauhi pembicaraan sia-sia, menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat; ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya. Pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya.
    Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan. Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari. Ia menahan diri dari menonton pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian, nyanyian dan musik. Ia menahan diri dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan. Ia menahan diri dari menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia menahan diri dari menerima emas dan perak. Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda. Ia menahan diri dari menerima budak-belian lelaki dan budak-belian perempuan. Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing. Ia menahan diri dari menerima babi dan ungas. Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda. Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian. Ia menahan diri dari berlaku sebagai duta atau pesuruh. Ia menahan diri dari membeli dan menjual. Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran. Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan menggelapkan. Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari dahan-dahanan, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuh-tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menggunakan barang-barang yang ditimbun dan disimpan, seperti: bahan makanan, minuman, jubah, perkakas-perkakas, alat-alat tidur, wangi-wangian dan bumbu makanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang disimpan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukan, seperti: tari-tarian, nyanyi-nyanyian musik, pertunjukan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang-perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke tempat lain tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan luku mainan, permainan jungkir batik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang-mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain, menirukan gerak-gerik orang cacat; namun seorang bhikkhu menahan diri dari permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menggunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang, seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna-warni, selimut putih, seprei dari wol disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat digunakan oleh enam betas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup di atasnya, sofa dengan bantal merah untuk kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak menggunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak-mata (bukan obat), bunga-bungaan, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang pencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran-pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percakapan tentang wanita, percakapan tentang laki-laki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan di tempat-tempat pengambilan air, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksistensi dan non eksistensi); namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa brahmana hidup dari makanan yang disediakan dari umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti: ‘Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma? Bagaimana seharusnya engkau mengerti Vinaya ini? Engkau menganut pandangan-pandangan keliru tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar. Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan. Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir. Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang. Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah. Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: ‘Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana’; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir setan dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul-bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan beras untuk dewa-dewa, mempersembahkan biji wijen dengan cara menyemburkan dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat pada buku jari, setelah itu mengucapkan mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik-baik atau tidak, menasehati cara-cara pengukuran tanah, mengusir setan-setan di kuburan, mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kalajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti, pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, pembantu lelaki, pembantu perempuan; gajah, kuda, kerbau, sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu penghidupan, dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar; matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi dan yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seseorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, akan ada musim baik, meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang populer dan adat kebiasaan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti mengatur hari baik mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik bagi wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat kaca-ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari, memuja maha ibu (dewa tanah) mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri, atau dewi keberuntungan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat tumpah dan penguras perut, memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberikan collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktik sebagai okultis, menjalankan praktik sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.
    Brahmana, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Brahmana, sama seperti seorang ksatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Brahmana, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila sempurna.Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan (nivarana) itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana I; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (pitisukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan Vitakka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh tubuh dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka).
    Brahmana, sama halnya seperti tukang memandikan yang pandai atau pembantunya akan menebarkan bubuk-sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam, memercikinya dengan air setetes demi setetes dan kemudian ia meremasnya bersama sehingga bubuk sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibasahi, diresapi dan diliputi dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang mengalir ke luar.
    Brahmana, demikian pula bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan itu.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Brahmana, selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitaka dan Vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana II; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitaka dan vicara, keadaan pikiran yang terpusat. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi.
    Brahmana, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang mempunyai sumber air di bawahnya, tanpa lubang masuk dari Timur atau Barat, dari waktu ke waktu tidak turun hujan; namun, aliran air yang sejuk, yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi, menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian pun dari kolam itu, yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu.
    Brahmana, demikian pula bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari konsentrasi itu.
    Inilah, Brahmana, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Brahmana, selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para Arya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni’; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana III. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu.
    Brahmana, seperti dalam sebuah kolam yang berisi bunga-bunga teratai; merah, putih atau biru, yang beberapa di antara bunga-bunga teratai merah, putih atau biru yang bersemi dalam air, tumbuh dalam air, tidak muncul di atas permukaan air serta menghisap makanan dari dalam air itu adalah dipenuhi, digenangi diresapi serta diliputi dengan air dingin; sehingga tidak ada satu bagian pun dari bunga-bunga teratai merah, putih atau biru itu mulai dari ujung daun sampai ke akarnya yang tidak diliputi dengan air.
    Brahmana, demikian pula bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Brahmana, selanjutnya dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia (sukkhamasukha), dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam Jhana IV, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.
    Brahmana, sama seperti seorang yang sedang duduk, diselubungi dengan jubah putih mulai dari kepala sampai ke kaki, sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak bersentuhan dengan jubah putih itu.
    Brahmana, demikian pula bhikkhu itu duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya, dengan perasaan batin yang bersih dan jernih; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi dengan perasaan batin yang bersih dan jernih itu.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.
    Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk terdiri atas empat unsur-pokok (maha-bhuta), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya.
    Brahmana, sama seperti halnya dengan permata Veluriya, yang gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apapun. Di tengahnya dimasuki seutas benang, yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning. Seandainya seseorang yang memiliki mata meletakkannya di atas tangannya, maka ia akan merenung: ‘Permata Veluriya ini adalah gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacad, sempurna dalam keadaan apa pun. Sekarang permata itu diikatkan pada seutas benang yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning.
    Brahmana, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan. Ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri empat unsur pokok, berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kelapukan, kehancuran dan kematian, begitu pula halnya dengan kesadaranku yang terikat dengannya.’
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh ciptaan batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apa pun.
    Brahmana, sama seperti halnya seseorang menarik sehelai ilalang keluar dari pelepahnya. Maka ia akan mengerti: ‘Inilah ilalang, inilah pelepah. Ilalang adalah satu hal, pelepah adalah hal yang lain. Sesungguhnya dari pelepah ilalang itu telah ditarik keluar.’
    Brahmana, sama seperti halnya seseorang mengeluarkan ular dari kulitnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah ular, inilah kulitnya. Ular adalah satu hal, kulit adalah hal yang lain. Sesungguhnya dari selongsong ular itu telah dikeluarkan.’
    Brahmana, sama seperti halnya seseorang menghunus pedang dari sarungnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah pedang, inilah sarung pedang. Pedang adalah satu hal, sarung pedang adalah hal yang lain. Sesungguhnya dari sarung pedang itu telah dihunus.’
    Brahmana, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘wujud ciptaan batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh ciptaan batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya.
    Brahmana, sama seperti halnya seorang pembuat barang-barang tembikar atau pembantunya, dapat membuat, berhasil menciptakan berbagai bentuk barang tembikar yang mengkilap menurut keinginannya.
    Brahmana, sama seperti halnya pemahat gading atau pembantunya, dapat memilih gading serta berhasil memahatnya menjadi berbagai bentuk pahatan gading menurut keinginannya.
    Brahmana, sama seperti halnya tukang emas atau pembantunya, dapat menjadikan, berhasil membuat berbagai bentuk barang dari emas menurut keinginannya.
    Brahmana, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan gaib). Demikianlah ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan Dibbasota (telinga-dewa). Dengan kemampuan-kemampuan Dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia biasa, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.
    Brahmana, sama seperti halnya seseorang yang sedang berada di jalan raya, dapat mendengar suara genderang-besar, suara tambur, suara tiupan terompet kulit kerang, suara genderang kecil. Maka ia akan tahu; ‘Ini suara genderang besar, ini suara tambur, ini suara tiupan terompet kulit-kerang, ini suara genderang kecil.’
    Brahmana, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan Dibbasota (telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan Dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia biasa, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau dekat.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada Cetopariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang-orang lain. Ia mengetahui:

    Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
    Pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu.
    Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
    Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
    Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
    Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
    Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
    Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
    Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
    Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
    Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
    Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
    Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
    Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
    Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
    Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas.

    Brahmana, sama halnya seperti seorang wanita, pria atau anak kecil, yang ingin memperindah diri dengan melihat wajahnya pada permukaan sebuah kaca yang bersih dan jernih atau pada sebuah tempayan yang berisikan air jernih; maka apabila wajahnya memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa wajahnya memiliki tahi-lalat; apabila wajahnya tidak memiliki tahi lalat, ia tahu bahwa wajahnya tidak memiliki tahi lalat.
    Brahmana, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas, dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada Ceto-pariyanana (kemampuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang-orang lain dan ia mengetahui:

    Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
    Pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran yang tanpa nafsu.
    Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
    Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
    Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
    Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
    Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
    Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
    Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
    Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
    Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
    Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
    Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
    Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
    Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas.

    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang Pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang: satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivattakappa), melalui banyak masa perkembangan-kehancuran (samvatta-vivattakappa). ‘Di suatu tempat demikian, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluarga adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya dan dalam seluruh macamnya.
    Brahmana, sama halnya seperti seseorang yang pergi dari desanya menuju desa lain, lalu dari desa itu ia pergi ke desa lainnya lagi, serta dari desa itu ia pulang kembali ke desanya sendiri; maka ia akan tahu: ‘Dari desaku sendiri, aku pergi ke desa lain. Di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk, berbicara dan berdiam diri demikian. Sekarang dari desa itu aku pulang ke desaku sendiri.’
    Brahmana, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak tergoncangkan. Bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang Pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kappa), melalui banyak masa perkembangan-kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat demikian, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian lahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya dan dalam seluruh macamnya.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Brahmana, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak tergoncangkan. Bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya makhluk-makhluk (Cutupa-pata-nana). Dengan kemampuan Dibba Cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia biasa, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kelahiran, muncul dalam kelahiran lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan karma-karma mereka: ‘Makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran jahat, penghina para orang suci, pengikut pandangan-pandangan keliru dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah meninggal, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara atau alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran baik, bukan penghina orang suci, pengikut padangan-pandangan benar dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuh mereka, setelah meninggal, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia atau alam surga.’ Demikianlah, dengan kemampuan Dibba Cakkhu yang jernih, yang melebihi mata manusia biasa, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan dan muncul dalam perwujudan lain, rendah, mulia, indah, jelek, bahagia atau menderita.
    Brahmana, sama halnya seperti di sana terdapat sebuah rumah bertingkat, terletak di suatu tempat yang menghadap ke persimpangan jalan; seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri di atasnya, mengamati orang-orang memasuki rumah, keluar dari rumah, berjalan hilir mudik sepanjang jalan, duduk di tengah persimpangan jalan; maka ia akan tahu: ‘Orang-orang itu memasuki rumah, orang-orang itu keluar dari rumah; orang-orang itu berjalan hilir mudik di sepanjang jalan; orang-orang itu duduk di tengah persimpangan jalan.’
    Brahmana, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak tergoncangkan. Bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupa-pata-nana). Dengan kemampuan Dibba Cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia biasa, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kelahiran, muncul dalam kelahiran lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan karma-karma mereka: ‘Makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran jahat, penghina para orang suci, pengikut pandangan-pandangan keliru dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah meninggal, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara atau alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran baik, bukan penghina orang suci, pengikut pandangan-pandangan benar dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuh mereka, setelah meninggal, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia atau alam surga.’ Demikianlah, dengan kemampuan Dibba Cakkhu yang jernih, yang melebihi mata manusia biasa, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kelahiran dan muncul dalam kelahiran lain, rendah, mulia, indah, jelek, bahagia atau menderita.
    Brahmana, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa pada masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.

    Brahmana, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak tergoncangkan. Bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava). Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju lenyapnya dukkha.’ Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan yang menuju lenyapnya asava’. Dengan mengetahui dan melihatnya demikian, maka batinnya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), dan noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas seperti itu, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.’
    Brahmana, sama halnya seperti dalam sebuah lekukan gunung, terdapat sebuah kolam yang jernih dan tenang airnya, seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri pada tepinya, melihat di dalam kolam ada tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian ke mari; maka ia akan tahu: ‘Kolam ini bersih, jernih dan tenang airnya. Di dalamnya ada tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian ke mari.’
    Brahmana, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak tergoncangkan. Bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava). Demikianlah ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebah dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju lenyapnya dukkha.’ Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan yang menuju lenyapnya asava’. Dengan mengetahui dan melihatnya demikian, maka batinnya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), dan noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas seperti itu, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.
    Brahmana, inilah kebijaksanaan.”

  23. Setelah ia selesai berkata, Brahmana Sonadanda berkata kepada Sang Bhagava: “Menakjubkan Gotama, menakjubkan Gotama! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan penerangan di tempat yang gelap agar bagi mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula dhamma telah dibabarkan dengan berbagai macam cara oleh Samana Gotama kepadaku. Sekarang saya menyatakan berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava Gotama sudi menerima saya sebagai seorang upasaka, yang mulai hari ini sampai selama-lamanya, berlindung kepada beliau. Semoga Samana Gotama bersama bhikkhu sangha sudi kiranya menerima makan pagi dariku besok.”
    Sang Bhagava menyetujuinya dengan bersikap diam. Sonadanda setelah mengetahui bahwa beliau setuju, bagun dari duduk dan menghormati Sang Bhagava, lalu berjalan mengitari dengan menempatkan beliau di sisi kanannya dan pulang. Pada pagi hari, setelah menyiapkan makanan manis, lunak dan keras di rumahnya, serta waktu makan telah tiba, ia memberitahukan kepada Sang Bhagava: “Samana Gotama, waktu telah tiba dan makanan telah siap.”
  24. Sang Bhagava, di pagi hari telah mengenakan jubah dan membawa patta, bersama bhikkhu sangha pergi ke rumah Sonadanda, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmana Sonadanda dengan tangannya sendiri melayani Sang Bhagava bersama bhikkhu sangha, dengan memberikan makanan manis, keras dan lunak hingga mereka menolak untuk menerima lagi. Ketika Sang Bhagava selesai makan, mencuci patta dan tangannya, Sonadanda duduk di tempat yang agak rendah di samping beliau, lalu berkata:
  25. “Gotama, bilamana setelah saya berada di antara kelompokku, saya harus bangkit dari duduk dan menghormat kepada Samana Gotama, maka kelompokku akan menyatakan saya bersalah. Sekarang ia yang akan dinyatakan bersalah oleh kelompoknya, reputasinya akan menurun; selanjutnya ia yang bereputasi menurun, maka pendapatannya akan menurun pula. Karena apa yang kita nikmati adalah tergantung pada reputasi kita, maka bilamana saya duduk di antara para hadirin, saya beranjali menghormat, semoga Samana Gotama menerimanya seperti saya telah bangkit dari duduk. Bilamana saya berada di antara para hadirin, saya melepaskan kain penutup kepalaku, semoga Samana Gotama menerimanya sebagai namaskaraku. Begitu pula, bilamana saya berada di atas keretaku, saya turun dari kereta untuk menghormat Samana Gotama, maka kelompokku akan menyatakan saya bersalah. Maka ketika saya di atas keretaku, saya meletakkan cambuk lebih rendah, semoga Samana Gotama menerimanya seperti saya telah turun dari kereta. Bilamana saya telah turun dari kereta dan saya mengoyang-goyang tanganku, semoga Samana Gotama menerimanya seperti saya telah bernamaskara.”
  26. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan, membangkitkan, mengarahkan dan menyenangkan brahmana Sonadanda dengan dhamma, lalu bangkit dari duduk dan pergi.